Akademisi Unmer Malang Sebut VOC sebagai Oligarki Pertama di Indonesia


(Sumber: kahminasional.com)

Akademisi Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Sukardi, menyatakan, kelahiran oligarki di Indonesia pertama kali ditandai dengan kedatangan kongsi dagang Hindia Timur Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Ini terlihat dari pola yang dipraktikkannya dalam membangun dan mempertahankan kekuasaannya.

“Perjalanannya oligarki itu kalau dalam konteks di Indonesia, kita sebetulnya pada awal-awal dulu hadirnya VOC,” ujarnya dalam webinar Kajian Rutin Reboan Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI bertajuk “Membangun Nasionalisme Ekonomi; Analis Kritis terhadap Menguatnya Oligarki di Indonesia” yang diadakan secara hibdrida, Rabu (13/10).

“VOC itu sendiri sebetulnya kekuatan dagang yang bermetamorfosa. Dia berinteraksi, berkolaborasi dengan kekuasaan kesultanan lokal yang dia juga membangun ‘dinasti-dinasti politik boneka’ yang juga ikut menjalankan misi dagang sekaligus ikut mengatur sirkulasi rezim lokal yang menguntungkan pada kepentingan ekonominya,” sambungnya.

Sedangkan secara global, merujuk pemikiran klasik hingga postmodernism, dari Adam Smith dan Karl Marx hingga Jeffrey Winters, eksistensi oligarki ada sejak 5.000 tahun silam. “Sudah ada polanya,” katanya.

Sukardi melanjutkan, oligarki masuk, menyusup, dan menyusuri agendanya selalu bermula dari regulasi sehingga memiliki kekuatan di lembaga peradilan nasional. “Jadi, permainan-permanan oligarki yang selalu ‘dijahit’ dengan rapi dari kasus ke kasus, dari pemidanaan regulasi-regulasi. Sangat detail ini.”

Karenanya, menurutnya, bakal sulit menaklukkan oligark di “meja hijau”. “Tadi termasuk saran bahwa kita mulai menerapkan sandaran-sandaran hukum internasional yang lebih kuat. Saya kira, (saran) itu juga bukan pekerjaan mudah,” ucapnya.

Perkembangan Oligarki
Oligarki di Indonesia dalam perkembangannya telah “menikah” dengan demokrasi. Ia turut andil dalam menentukan sistem perekrutan politik hingga siapa yang akan dicalonkan sebagai kepala daerah dan anggota dewan.

“Mereka membiayai melalui survei-survei juga, yang itu semua dibuka lebar oleh oligarki-oligarki lokal. Saya kira, di tingkat nasional pun peran lembaga-lembaga survei juga memperburuk keadaan ini,” jelasnya.


Dirinya berpendapat, bercokolnya oligarki di seluruh sumber-sumber kekuasaan politik disokong tenaga ahli yang tidak kalah canggih dengan pemerintah. Sumber-sumber kekuasaan politik yang dicengkeram di antaranya hak dan status politik warga negara, posisi formal, cara-cara koersif, mobilisasi partisipasi besar, tokoh-tokoh berpengaruh, dan sumber daya (material).

Oligarki di Indonesia sekarang disebutnya sudah menguasai seluruh sektor. Nyaris tidak ada lagi “lorong” dan “pojokan” yang tersisa untuk bermanuver, termasuk menyelamatkan diri. Hal tersebut tidak lepas juga dari keterlambatan publik dalam mendeteksi keberadaan oligarki sehingga pengaruhnya telah membesar.

Membengkaknya peran oligarki dalam konteks kekinian tecermin dari dipangkasnya kewenangan pemerintah daerah (pemda) dalam memberikan izin berinvestasi di wilayahnya. Menyangkut pertambangan, salah satunya.

“Kewenangan-kewenangan daerah semua dicabut, termasuk izin usaha tambang, agar tidak ada lagi kewajiban untuk bdiskusi, berdebat dengan kepentingan-kepentingan daerah. Ini yang sekarang menjadi PR (pekerjaan rumah), kemunduran besar dalam konteks otonomi daerah,” tuturnya.

“Jadi, saya setuju (dengan pendapat) sudah dua periode Pak Jokowi ini kita menghadapi suatu percepatan eskalasi dari peran oligarki yang makin tidak bisa terkontrol,” imbuhnya.

Mengutip Winters, Sukardi mengatakan, oligarki menjadi kian kuat karena berjaring. Hal tersebut tidak ubahnya dengan masyarakat.

“Kalau (masyarakat) tidak diorganisir, maka dia kekuatannya bisa ke sana-kemari. Makanya, penyadaran menjadi kekuatan untuk dimobilisasi agar dia bisa melawan oligarki,” terangnya.

Melawan Oligarki
Dia juga menyarankan agar merombak peta kekuatan politik oligarki agar pecah (crack) sehingga tidak lagi memiliki waktu untuk bersekongkol dengan penguasa. “Tapi,” dirinya mengingatkan, “ini bkan pekerjaan yang mudah dan ringan.”

Sukardi menilai, upaya memecah isu oligarki menjadi perdebatan nasional sudah harus dimulai. Namun, harus disertai peta jalan (roadmap) secara perinci agar semua lapisan masyarakat dapat mengenalinya dan membentuk gerakan-gerakan intelektual.

“Kalau perlu pada tahap awal buat serial publikasi yang cukup baik sehingga itu menjadi konsumsi atau asupan tentang pandangan-pandangan yang menggugat oligarki dalam pemburukan dari cara kita bebangsa-bernegara sehingga bisa dibuka lebar-lebar,” paparnya.

“Sekarang, kan, enggak bisa terlalu mengandalkan kekuatan mahasiswa yang hari ini sedang asyik dengan media sosial dan asyik bermain dengan dunianya. Saya kira, ini semakin sulit dan makin berat tantangan kita untuk membagun kesadaran baru tentang keberadan oligarki di dalam tata perpolitikan di Indonesia,” sambungnya.

Dirinya mendorong demikian lantaran oligarki takkan berkenan mendistribusikan kekayaan ataupun kekuasaannya yang telah dikuasainya. “Itu sudah naluri,” tegasnya.

“Jadi, kita enggak usah minta mereka untuk berbagi. Harus kita rebut,” tandasnya. Diakuinya, dibutuhkan peran negara melalui regulasi untuk merebut kekayaan nasional yang telah dikeruk oligarki. **

Link sumber:
https://www.kahminasional.com/akademisi-unmer-malang-sebut-voc-sebagai-oligarki-pertama-di-indonesia/