ARI-ARI, RELASI "PASEDULURAN" PADA KONSEPSI JAWA TENTANG KELAHIRAN JABANG BAYI

 

Ilustrasi / m.d.c
Kado Buat "Div"

Oleh : M. Dwi Cahyono [Arkeolog, Sejarahwan Nusantara)


       Marmarti Kakang Kawah Adi Ari-ari,

       Getih Otot Puser, kadangingsun papat

       kalimo pancer, Kadangingsun kang 

       kang katon lan kang ora katon, ......    

(Mantra Jawa "Aji Paseduluran")


A .Bukan "Habis Manis Sepah Dibuang"

Orok (jabang bayi) tidak lahir sendirian. Ketika keluar dari kandungan (guo garbo) ibunya acap didahului dengan pecah dan keuarnya ketuban (kawah) dan diikuti dengan keluarnya palesnta ,(ari-ari), maupun darah (getih) yang turut tum- lah dan "tali" yang menempel di pusar (tali pu- ser). Bayi dengan demikian "terlahir" pada sesi tengah, sebab ada yang "lahir" lebih mula yaitu kawah yang karenanya disapa "kakang", lantas ada yang "lahir" kemudian yaitu ari-ari yang ka- renanya disapa "adi (adik)". Bersama dengan getih dan tali pusar itu, kawah dan ari-ari oleh pemangku budaya Jawa dikonsepsikan seba- gai "saudara (sedulur, kadang)" dengan jumlah empat (papat), sehingga memperoleh sebutan "sedulur papat". Apa yang dalam bahasa Jawa Batu disebut "ari-ari" itu, di dalam istilah medis sebutannya adalah "plasenta (tembuni)", yaitu suatu organ yang berada di dalam rahim, yang terbentuk sementara saat terjadi kehamilan. 

Organ ini bentuknya menyerupai piringan (Tb sekitar : 1 inci, D kurang lebih : 7 inci, dan berat pada kehamilan cukup bulan rata-rata adalah 1/6 dari berat janin -- sekitar 500 gr). Selama berbulan-bulan plasenta berguna penting bagi bayi yang berada dalam rahim ibunya, karena melalui plasenta itulah janin memperoleh zat makan dan kebutuhan hidup lainnya. Plasenta terdiri dua bagian : (a) bagian untuk janin yang disebut "vili korialis", dan (b) bagian buat  ibu, yang berasal dari "desidua basalis". Terjadilah pertukaran antara janin dengan darah ibu mela- lui permukaan vili serta diliputi oleh darah dari desidua basalis, yang berasal dari darah ibu. Hubungan antara sirkulasi janin dan plasenta terbentuk dengan adanya tali pusar yang biasa- nya berpangkal pada bagian tengah plasenta. Plasenta umumnya terbentuk lengkap pada sekitar 16 minggu usia kehamilan atau saat memasuki trimester kedua kehamilan. 

Fungsi pokok plasenta berkenaan dengan per- tukaran produk-produk metabolisme maupun produk gas antara peredaran darah ibu dan janin, serta produksi hormon. Selah bayi lahir, peran pleseta berakhir. Apakah lantaran meng- alami disfungsi pasca kelahiran bayi , lantas plasenta diabaikan, ataukah malahan dibuang begitu saja di tempat sampah lantas dimakan binatang atau membusuk dan dikumuni lalat dan belatung? Tentu bukan, tidak seperti bunyi pepatah lawas "habis manis sepah dibuang".   Warga budaya Jawa terbilang "tahu balas budi", atau tahu memberi penghargaan kepada yang patut dihargai, tidak terkecuali kepada "ari-ari". Dalam hal ini, meskipun telah pasca kelahiran bayi, ari-ari tetap diposisikan "terhormat". 

Organ yang pernah berjasa besar terhadap se- seorang ketika berada di dalam kandungan itu, tetap diberinya penghargaan, tidak dipandang putus relasi dengannya. Perihal demikian itu tergambarkan pada : (a) sebutan dan konsepsi terkandung pada penamaannya, (b) perawatan dan ritus pemendaman (mendem, ngubur ari- ari), dan (c) relasi panjang antara diri seseo- rang dengan "ari-ari"-nya di dalam menjalani hidup. Berikut ini dipaparkan masing- masing butir (a, b, dan c) tersebut. 


B. Ragam Sebutan dan Konsepsinya

Salah sebuah sebutan untuk plasrntas pasca kelahiran adalah 'ari-ari", suatu istilah repetitif (kaya ulang) dengan kata dasar (linggo) "ari". Kata "ari" telah kedapatan di dalam Bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, yang secara harafiah berarti : adik laki- laki atau perempuan, atau Sebagai sapaan bagi kerabat yang lebih jauh atau bahkan orang-orang yang bukan ke- rabat (Zoetmulder, 1995:62). Terdapat varian sebutan -- walau jarang dpakai,  seperti "hari, tari, atauoun ariten". Repetisi dari istilah ini, yaitu "ari-ari, hari-hari" menjuk kepada : tembuni (plasenta), yaitu suatu organ dalam kandungan pada masa kehamilan. Dalam arti demikian, kita dapati penjumpwinya dalam pustaka kuno Brahmandapurana (31, 130), kakawin Ramaya- na (2.51), dan dalam kitab susastra gancaran Tantupanggelaran (80).

Mengapa plasenta (tembuni) itu disebut "ari" dalam arti : adik -- bahkan digabung dengan kata "adi (adik)" menjadi "adi ari- ari"? Sangat mungkin hal ini berkenaan dengan waktu atau sesi kekyarjya ari-ari dalam proses kelahiran. Plesenta keluar dari rahim setelah lahirnya bayi, sehingga difahami sebagai "lebih muda usia', dan ksrenanya kata sapaan terhadapnya adalah "ari" atau "adi". Berrbeda halnya dengan ketuban (bahasa Jawa "kawah"), yang keluar lebih awal dari bayi, sehingga kata sapaannya adalah "kakang (kakak)". Tergambar adanya semacam "relasi peseduluran (paseduluran, famili- ariity)" antara ketuban (kawah), bayi, dan plasenta (ari-ari) pada sebutan "kakang kawah adi ari-ari". 

Hubungan "persaudaraan antara bayi dengan ari-ari juga terlihat pada adanya anggapan bahwasanya ari- ari adalah "saudara kembar" si jabang bayi. Malahan, ada kepercayaan tenn- tang hubungan "gaib" antara si jabang bayi dengan ari- arinya..Relasi dari keduanya juga tergambar pada sebutan "butur (yang mene- mani)" tergadap ari-ari, yakini srbagai "bature bayi". Wajar disebut demikian, lantaran untuk beberapa lama -- yakni mulai dari sekitar 16 minggu usia kehamilan atau saat memasuki trimester kedua kehamilan hingga tiba waktu kelahirannya, janin yang ada dalam kandungan mempunyai  hubungan yang intensif dengan plasenta. 


C. Perawatan dan Ritus "Mendem Ari-ari"

Ari-ari bukan ditanggapi dan diperlakui sebagai orang terbuang dari dalam tu- buah manusia. Sebaliknya, ada sikap maupun tindakan untuk menghormatinya, lantaran kontribusi yang per- nah biberikan olehnya pada jamin. Oleh karena itu, tak heran bila ada perlakuan secara baik terhadap ari-ari. Bahkan dilaksana- kan ritual yang berbasiskan pada keyakinan adat. Pada umumnya pemangku tradisi Jawa memibung- kus ari-ari yang telah dibersihkan dan diberi ubi-rampe (disebut "dibumboni") itu dipendam (dikubur) di tempat tertentu dengan disertai alat pelindung (kurungan) dan penerang untuk beberapa hari lamanya. 

Sebagai ritus adat, perawatan hingga pengu- buran ari-ari memiliki prosesi", yakni dilakukan secara bertahap dan mengikuti ketentuan adat. Afdolnya, ayah si bayi lah yang menjadi pelaku ritus ini. uniknya, jika bayinya perempuan, keti- ka menguburkan ari-ari, sang ayah berdandan sebagai wanita. Adapun pentahapannya adalah sebagai berikut. Pertama, mencuci ari- ari un- tuk bersihkan dari sisa darah yang menempel. dengan menggosokkan garam kasar, jeruk ni- pis dan asam Jawa. Apabila ari-ari telah mulai membusuk, maka ditaburkan garam kasar dan perasan jeruk nipis untuk menghilangkan bau busuknya. Ada baiknya mencuci dengan air mengalir, supaya benar-banar bersih. Setelah bersih lalu dibungkus dengan kain putih dan diikat dengan kuat  Ada pula yang menempat- kan air-ari itu ke dalam kendil terakota dialasi daun talas, sebagai simbol agar kelak dalam hidupnya tidak berkutat pada  keduniawinan.

Ada kalanya sejumlah benda simolik ikut dima- sukkan dalam kendi, antara lain (a) kembang boreh, (b) kemenyan, (c) garam, (4) bawang merah, (5) bawang putih, (6) gula, (7) sedikit kelapa, (8) ja- rum, (9) benang, (10) pensil, serta (11) kertas bertuliskan huruf Latin dan Arab. Garam, bawang merah maupun bawang putih akan membuat bau ari-ari menjadi wangi dan menghilangkan bau amis, sepaya  ari-ari tidak dimakan oleh binatang. Jarum bermakna pengharapan agar bayi kelak tumbuh sebagai orang cerdas. Benang memuat hatapan agar panjang umur. Adapun pensil dan kertas ber- tulis huruf Latin mensimpolkan pengharapan supaya menjadi orang pandai. Adapun kertas yang bertulis huruf Arab dimaksudkan agar kelak menjadi orang saleh. 

Tanah tempat ari-ari ditanam sebaiknya tanah yang cukup lembab serta mudah  dicangkul. Ari-ari tidak ditanam terlalu dalam, karena  me- nurut kepercayaan masyarakat Jawa membuat bayi nantinya sulit bicara. Kedalaman lubang gali sekitar setengah meter. Pengurugan perlu dilakukan dengan rapat, agar baunya tak ter- cium binatang liar, yang bisa membuatnya mengali dan memakannya. Apabila perlu, bisa diletakkan batu besar di atas kuburan ari-ari untuk menghindari hewan liar menggali ari-ari tersebut. Sesuai agama dan kepercayaan dari keluarga bersangkutan, penguburan disertai dengan pembacaan doa. Misalnya, pada peng- nut agama Islam dusertai dengan membaca basmillah dan shalawat Nabi.

Ada pula tradisi lain dimana ari-ari tak dikubur, melainoan disimpan di tempat tersembunyi dan dibiarkan mengering. Nantinya, bila bayi kembung, sakit perut atau demam, ari-ari ke- ring itu direndam air masak lalu diminumkan kepada bayi. Hal Ini bisa dilakukan hingga bayi usia satu tahun. Tergambar bahwa ari-ari bisa digunakan sebagai "obat alternatif".NMenurut padangan medis, pengobatan dengan cara ini  tidak benar. Teknik pengobatan ini lebih bersi- fat "sugestif". 


D. Relasi Panjang Diri Seseorang dan Ari-Arinya

Hubungan antara seorang dan plasentanya tak serta-merta berakhir dengan kelahirannya. Ke- tuban (kawah) yang mendahului dan plasenta (ari-ari) yang mengikuti kelahiran nanti dipan- dang sebagai "saudara (sedulur)" dari bayi atau seseorang manakala dewasa. Sebutan "kakang kawah adi ari-ari" menegaskan relasi "pasedur- an (persaudaraan)" itu . Relasi kekeluargaan di- antaranya berlangsung panjang. Hal demikian antara lain tergambarkan dalam "Suluk Kidung Kawedar, Kidung Sarira Ayu) yang oleh khala- yak Jawa dipercayai sebagai ciptaan Kanjeng Sunan Kalijaga. Pada bait 41 dan 42 tersurat "Sedulur Papat Kelimo Pancer". 


     Ana kidung akadang premati//Among 

     tuwuh ing kuwasanira//Nganakaken 

     saciptane//Kakang kawah puniku//

     Kang rumeksa ing awak mami// Ane-

     kakaken sedya//Pan kuwasanipun 

     adhi ari-ari ika//Kang mayungi ing    

     laku kuwasaneki//Anekaken panga-

     rah// Ponang getih ing rahina wengi/      

     Angrowangi Allah kang kuwasa//

     Andadekaken karsane//Puser kuwa-   

     sanipun//Nguyu uyu sambawa mami//

     Nuruti ing panedha//Kuwasanireku/   

     Jangkep kadang ingsun papat//Kali- 

     mane pancer wus dadi sawiji//Nung-    

     gal sawujudingwang.


Kidung (nyanyian) ini memuat petunjuk tentang saudara kita, yang merawat dengan hati-hati. Memelihara berdasarkan kekuasaannya. Apa yang dicipta dalam wujud ketuban (kawah), sebagai kakak (kakang), yang menjaga badan sesuai  kehendak dengan kuasanya. Ada "adik" berwujud ari-ari, yang memayungi perilaku ber- dasar arahannya. Ada juga darah (getih), yang siang dan malam membantu Allah Yang Kuasa wujudkan kehendaNya. Adapun pusar kekuasa- annya adaah memberikan perhatian dengan kesungguhan untuk memenuhii permintaan yang bersangkutan. Kempat saudara tersebut (kawah, ari- ari, darah, dan pusar) menyatu diri (mancer) sebagai "yang kelima", yang manung- gal dalam wujud ke falam diri si jabang bayi.   


Falsafah Jawa lama,  yang diistilahi "Sedulur Papat Kalima Pancer" memiliki makna spiritual mendalam. Kelima elemen dasar itu berkenaan dengan kelahiran seorang (jabang bayi), yang lahir dengan tak lepas dari empat duplikasi pe- nyertai kelahiran bayi. Duplikasi itulah yang dimaknai sebagai "sedulur (saudara)" yang tak kasat mata, terdiri atas (1) kawah (watman), (2) ari-ari (wahman), (3) darah -- yang keluar ketika kelahiran bayi (rahman), dan (4) puser -- yang lebih menunjuk pada tali pusar (ariman). Nah, 

bagai saudara, keempatnya menyertai seseo- rang di dalam metiti kehidupannya, sejak lahir hingga matinya. 


Yang "kelima" itu adalah "pancer (pusat) yaitu si jabang bayi itu sendiri. Ketika si jabang bayi kahir, tumbuh dan berkembang menjadi dewa- sa, ia tak sendirian, namun ditemani (dibaturi) oleh keempat saudara (sedulurvpapat)nya itu. Mereka itu adalah saudara "penolong" dirinya. 

Salah satu "bentuk pertologan" dari ari-ari ke- pads si jabang bayi tergambar pada keyakinan dari sebagian orang bahwa seduhan air-ari ke- ring dapat dijadikan sebagai "obat alternatif" apabila si bayi menderita sakit. Adapun yang kelima, yaitu "pancer", dimaknai sebagai “ruh” yang mengendalikan kesadaran seseo- rang agar tetap “eling lan waspodo (ingat pada Sang Pencipta) dan kelak menjadi  insan bijaksana. 

Pada konsepsi "Sedulur Papat Kalimo Pancer" ini, forkulsi simbolik yang dipakai adalah "4+1", yang mengingatkan kita pada konsepsi arkais, seperti "kiblat papah limo pancer, moncapat, manca lima, dsb". 


Demikian kilas telaah tentang "ari-ari" di dalam konsepsi Jawa yang mentradisi, yaitu "sedulur", yakni "Sedulur Papar Kalimo Pancer". Suatu hal yang menarik untuk dicermati, demikian ari-air itu dipandang penting, hingga ketika pindahan tempat tinggal, sejumput tanah di tempat ari- ari dikubur turut dibawa serta, agar anak jadi kerasan di tempat barunya. Bisa jadi tulisan ini masih kurang memiliki kedalaman makna. Na- mun paling tidak telah cukup guna memberi informasi awal. Nuwun. 

Sangkaling, 13 Maret 2021

Griyajar CITRALEKHA

(Sumber tulisan dan gbr, fb m.dwi cahyono).