KONSEPSI "BABAD ALAS" PADA EKO-KULTURA JAWA, PANGKAL MULA BANGUN PERADABAN BARU DI SUATU AREA

 

Ilustrasi

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Sejarahwan Nusantara)

      ..............

      Eling-elingo "Babad Tanah Ponorogo"

      Soko Mbantarangin Prabu Klana

           Sewandana

      Siswa ginarsih Sunan Lawu Brawijaya

      Pecut Samandiman ingkang kinarya 

           pusaka

      Jumeglar-jumeglar koyo gorong 

          gurnidra

      Wektu lumaku candra wis gumanti 

          warsa

      Bumi Ponorogo nglairke para satriya

      Sri Batoro Katong nyang Warok

          Suramenggala

      Roggowarsito ing gegasari suwito

      Sentosa-sentosa kukuh Bhumi 

          Ponorogo

      ...............

(Lirik Lagu "Reog Ponorogo", pelantun tembang: Itje Trisnawati)

A. Sirat Makna Sebutan "Babad Alas"

Dalam sebutan Jawa Baru terdapat perkataan "babat alas". Kata "babat (sebutan medoknya 'mbabat') menunjuk pada : membuka, yang dalam hal ini adalah menebang pohon-pohon di areal hutan untuk dijadikan ajang bagi ikhtiar penumbahan dan pengembangan kehidupan yang berperadaban. Dalam Kamus Besar Ba- hasa Indonesia (KBBI, 2002), kata "babat" di- artikan sebagai : tebas. Kata jadian "memba- bat", antara lain mengadung arti : menebas; merambah (pohon-pohon, semak belukar, rerumputan, dan sebagainya). Pelakunya di- sebuti "pembabat". Dalam bahasa Jawa pe- nulisannya "babad", dalam arti : membuka lahan lahan baru atau menebangi pohon di hutan". Istilah ni bahkan telah kedapatan di dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengah- an, yang berarti : tempat yang baru dibuka atau dibersihkan (Zoetmulder, 1955:92). Kata jadian "ababad (membersihkan sebidang hutan), amabad (ambabad) atau binabad (membersihkan, memotong, memangkas, menebang, menebas, memenggal). Sebutan bagi tempat yang beru dibuka itu adalah "babadan".

Dalam bahasa Indonesia kata "babat" dibeda- kan dengan "babad". Untuk kata "babad" menunjuk kepada : (1) kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura yang berisi peristiwa sejarah; cerita sejarah; (2) riwayat; sejarah; tambo; hikayat (KBBI, 2002). Dalam susastra, babad adalah suatu genre sastra, khususnya dalam sastra Jawa, yang biasanya mengandung campuran antara sejarah, mitos, dan kepercayaan Sebagian besar babad ditulis dalam bentuk macapat (puisi), namun ada juga yang ditulis dalam bentuk gancaran (prosa). 

Kendati berarti demikian, ada relasi antara ka- tak "babad" dalam arti membuka hutan dan da- lam arti kisah terbentuknya sesuatu (misalnya suatu tempat, kerajaan, dsb ), yaitu kisah atau sejarah suatu daerah biasanya dimulai dengan pembukaan daerah tersebut dari suatu areal hutan. Kata "babad" pun digunakan untuk menyebut fase awal atau perintisan suatu usaha.

Stresing arti pada "babad alas" dalam konteks memulakan peradaban bukan kepada tebang pohonnya, melainkan mula buka peradaban di suatu tempat. Sebutan lain yang bersinonim dengannya adalah "bedah Karawang". Seorang atau sejumlah orang yang menjadi pemulanya diistilah dengan 'sing mbabat" atau "sing mbedah karawang", yang dalam mitologi setempat dipandang sebagai tokoh yang berjasa, dihormati (dipundi-pundi), bahkan dikultuskan pada suatu tempat yang sakral yang disebut "punden atau pedanyangan". Merekalah yang disebut- sebagai "sang cikal-bakal" saru suatu dusun, desa, atau bahkan daerah. Punden oleh karenanya dalam tradisi lisan sepatu acap dijadikan "petanda mula" atas kesejarahan suatu tempat. 

Kata "krawang" di dalam perkataan "bedah kra- wang" mengilustrasikan suasana yang semula gelap, lebat dengan pepohonan menjadi areal yang terang dengan pepihonan yang dijarangkan untuk dijadikan sebagai ajang bagi kegiatan sosial-budaya. Tempat itu semula sepi dan bahkan dianggap "wingit", sehingga ada sebut- an "gung lewang-lewung". Demikian wingitnya, sampai-sampai ada sebutan tambahan "gung lewang-lewung, jalmo moro jalmo mati". Seca- mitologis tempat itu semula menjadi hunian dari jm, setan, demit, prayangan, menedi, peri, thethekan, atau sebangsanya. Manusia dengan piranti budayanya berhasil mengubah suasana menjadi permukiman beserta fasiltas publik yang memadai, dan tapak demi tapak unsur - unsur peradaban lantas dihadirkan padanya. 

B. Titik Mula Tumbuh-Kembang Perdaban Baru

Tempat semula sepi itu pada akhirnya menja- di ramai. Pada seni pertunjukan Kethoprak di Jawa, dalam lakon yang bertema "babad", hal ini diungkapkan dengan kata-kata "yen rejo- rejaning jaman ....   ....". Ada siratan gambaran akan perubahan dari semula "sepi" menjadi "rejo (ramai)". Kota-kota yang kini menjadi ko- ta besar dimanapun, tidak terkeculi Jakarta, Surabaya, Bandung, Makasar, Medan, dsb. pada awalnya pun sepi, malahan sebelumnya berupa areal hutan yang konon"'dibabad atau dibedah kra- wang" yang dalam pertumbuhan dan per- kembangannya menjadi kota besar, bahkan kini metropolitan. Tidak serta merta suatu tempat atau daerah hadir sebagai tempat, daerah, atau kota besar. 

Untuk membuka ajang sosial-budaya yang lu- as dibutuhkan lah areal yang luas pula dengan kemasan atau penataan tertentu serta fungsi yang tertentu -- tanpa harus melakukan banyak penggusuran terhadap pemukim yang berada di tempati itu sebeumnya, areal yang demikian bisa berupa areal hutan. Jika demikian, maka bekerjaan awalnya adalah "babad alas". Dalam pewayangan Jawa didapati sejumlah lakon de- ngan unsur kalimat judulnya "babad", misalnya "Babad Alas Wonomarto, Babad Alas Mertani, dsb.". Pada kalimat judul itu malahan ada dua kata berderet dalam arti sama (redebden), yaitu "alas" dan "wono" yang menunjuk pada kondisi awal area tersebut masih berupa hutan. Dalam legenda Jawa lainnya, yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi "Alas Mentaok dibuka, yang akhirnya menjadi Bhumi Mataram". Demikian pula pusat kerajaan Majapahit, menurut kete- tangan dalam kitab Pararaton diawali dengan membuka hutan di Trik (kini Tarik di Kabupa- ten Sidoarjo). Adapun di Tatar Sunda terdapat lakon serupa "Babad Alas Amer Unsap Sumedang". 

Apakah setelah areal hutan itu dibabad dan di- bangun menjadi areal peradaban baru bakalan di datangi orang. Ada peribahasa klasik "ada gula ada semut", dimana ada gula (dalam arti : daya tarik, hal urgen yang memberi kemanfa- atan) maka semut-semut (dalam arti : banyak orang) akan mendatanginya. Memang, di tahap awal tempat itu tidak serta merta amat ramai, namun di dalam perkembangannya "dadi rejo (menjadi ramai)". Maka, tak usahlah "pobi" de- ngan tempat yang pada mulanya sepi, kerena lama kelamaan bakal ramai dengan sendirinya. Perumahan padat hunian dan bahkan terbilang perumahan elit, mulanya pun sepi dan akhirnya menjadi semacam "kota baru", yang diistilahi dengan "..... City" atau "Kota Mandiri ......". 

C. Jangan Pobia dengan Tempat yang Semula Sepi

Babat alas untuk memulai penumbuhan dan pengembangan kawasan perdaban di suatu tempat didasari oleh niatan baik, yaitu untuk menghadirkan, untuk meratakan ataupun me- nyebarkan pusat-pusat peradaban di penjuru wilayah. Justru dengan menggunakan "areal kosong (yang dibuka dari areal hutan)", maka menjadi lebih leluasa dan kontekstual jika di- bandingkan perencanaan itu diterapkan pada areal yang telah padat permukiman. Bersyu- kurlah bahwa leluhur kita adalah tokoh-tokoh yang disebuti dengan "sing mbabad atau sing mbedah krawang" sebagai orang yang hebat. Beliau-beliau itu tidak sekedar para pionir atau perintis, namun sekaligus adalah inovator bagi pertumbuhan atau perkembangan perdaban baru di suatu tempat. 

Demikianlah, janganlah pobia atau janganlah memandang rendah areal semua sepi, sebab bisa jadi tepat yang semula sepi, terisolir dan kurang diminati untuk areal hunian, kelak men- jadi pusat peradaban stategis dalam skala luas. Tak usahlah ngomong yang menyakitkan hati sebagai "tempat jin membuang anaknya" untuk areal baru yang tengah dibuka sebagai pusat peradaban kelak. Semoga tulisan yang  bersahaja ini memberi kefaedahan. Nuwun.

Sangkaling, 26 Januari 2022

Griyajar CITRALEKHA

(Sumber: M. Dwi Cahyono)