Gempa Dalam Kisah Mitologi, Berita Naskah Lama dan Peramalan Petanda Alam Pada Sosio-Budaya Jawa

Ilustrasi dari USGS Earthquakes

Oleh: M. Dwi Cahyono (Arkeolog/ Sejarahwan Nusantara)

A. Latar Mitologis Kegoncangan Dunia

Sebuah lagu religi Jawa lama, yang bukan karya asal Cak Nun (MH Ainun Najib), berjudul “Jaman Akhir” antara lain memuat kalimat sebagai berikut:

        Jaman wis akhir bumine goyang 

        Akeh manungso ora sembahyang.

Dalam syair lagu itu, kegoncangan dunia (bumine goyang) dilatari oleh banyaknya orang yang tidak menjalankan ibadah sholat (sembahyang). Hal ini mengingatkan kepada legenda Rumania, yang mengikisahkan bahwa kegoncangan dunia itu dilatari oleh berkurangnya amalan baik dari manunia, mengingat bahwa kestabilan dunia ditopang oleh tiga pilar, yaitu harapan. kepercayaan dan amalan manusia. 

Apabila kegoncangan dunia itu berwujud gempa bumi (lindu), ada berbagai kisah yang seakan memberi penjelas latar terjadinya gempa, biak yang berkenaan dengan dewata tertentu ataupun binatang motologis tertentu. Dalam mitologi Yunani dewa laut bernama Poseidon adalah yang menyebabkan terjadinya gempa bumi. Ketika marah, dasar laut dipukul dengan tongkat trisulanya, sehingga membuat bumi bergoyang. Oleh karena itu, Poseidon memperoleh julukan ‘Enosikhthon (Pengguncang Bumi)’, yang juga ditemukan pada lembaran Linear B di Knossos: E-NE-SI-DA-O-NE (Enosidas)’. Tingkah lakunya yang terbilang kasar membuatnya juga dijuluki sebagai “Earth Shaker”. Selain itu, olah karena keberadaan bumi berada di panggulan pundak Dewa Atlas, maka posisi geser dari pundak Atlas dapat menimbulkan kegempaan. Mitologi gempa berkenaan dengan Posidon di atas mengingatkan pada gempa tektonik, yang terjadi sebagai akibat pergeseran patahan lempeng bumi di dasar laut. Latar kedetawaatan dari gempa juga tergambar pada legenda Maori di Selandia Baru, yang disebabkan oleh bergeraknya bayi dewa Ru yang ada di dalam kandungan Dewi Papatuanuku, ketika menendang-tendang kadungan ibunya.

Selain dewata sebagai menyebab terkadinya gempa, ada sejulah lain yang melatarkan kegempaan pada binatang mitologis. Legenda Jepang kuno misalnya, mengkisahkan bahwa gempa disebabkan oleh gerakan (berontak) kuat Namazu (lele raksasa), yang berada dalam lapisan lumpur di bawah lapisan bumi. Serupa itu, namun dengan binatang motologis berupa babi rusa raksasa, legenda di Sulawesi mengkisahkan bahwa gempa terjadi manakala babi rusa raksasa yang merupakan tempat berdirinya bumi merasa gatal tubuhnya dan karenanya menggosok-gosokkan tubuhnya ke pohon palm. Latar mitologis penyebab gempa yang demikian tergambar juga dalam legenda India Kuno. Dalam mitologi Hindu dikisahkan bahwa bumi ditopang oleh beberapa binatang mitologis, yaitu delapan ekor gajah raksasa yang berdiri di atas termprung kura-kura, ular pada tujuh kepalanya, babi hutan dengan gadingnya, dan lembu dengan tanduknya. Apabila salah satu atau lebih binatang mitologis itu berganti posisinya, maka bumi yang ditopangnya mengalami goncangan. Berkenaan dengan naga. Dalam mitologi Jawa yang mendapat mengaruh budaya India, kestabilan bunia amat tergantung pada dua ekor naga yang menjadi penjaga dan penyangga bumi, yaitu (1) Naga Ananta (Anantaboga) yang berada di dalam perut bumi, yang bertugas sebagai penjaga bumi; dan (2) naga Sesa (Ananta Sesa atau Adi Sessa) yang menyelam ke dasar laut (patala) untuk menyangga pertiwi. Kedua naga inilah oleh orang Jawa acap disebut dengan ‘nogo bumi’.  

Ada pula suatu motologi yang melatarkan kegempaan pada bimi itu sendiri. Legenda di Mozambik mengkisahkan bahwa gempa terjadi ketika bumi menderita sakit demam. Atau tatkala merasa riang dan gemetaran tubuhnya. Sudah barang tentu terdapat legenda-legenda lain yang memberi kisah mengenai latar teradinya gempa bumi, yang berbeda dengan penjelasan geologis tentangnya, yang melatarkan gempa pada terjadinya peristiwa alamiah yang berupa: (a) letusan gunung berapi, yang kerenanya disebut dengan ‘gempa vulkanik’, dan (b) pergesaran patahan lepengan bumi yang pada umumnya berada d dasar laut, sehingga dinamai ‘gempa tektonik’.


B. Berita Gempa dalam Sumber Data Tekstual Jawa Lama

Dalam bahasa Jawa Baru istilah ‘lindu’ digunakan dalam arti: gempa. Ternyata, istilah ini telah terdapat dalam Bahasa Jawa Kuna maupun Jawa Tengahan, dalam arti: bergetar, gempa bumi, lindu (Zoetmulder, 1995:600), sebagaimana dijumpai dalam kitab Adiparwa (35) serta kakawin Arjunawiwaha (7.5), Bharatayuddha (29,17), Bhomakawya (16,3), Sumanasantaka (30.18, 122.1, 148.9)) dan Kidung Sunda (2.212). Berdasarkan waktu penulisan susastra-susastra tersebut, kata ‘lindu’ paling tidak telah dikenal dan dipergunakan sejak abad XI Masehi. Kata jadian ‘kalindwan’ menunjuk kepada: kondisi tergoncang, terlanda gempa bumi. Istilah ‘lindu’ dari bahasa Jawa ini diserap ke dalam bahasa Indonesia, juga dalam arti: gempa bumi (KBBI, 2002:674). Dalam bahasa Sunda pun dikenal istilah ‘lindu’ dan ‘lindu gempa’. 

Sebagai istilah, kara ‘lindu’ dan kata jadiannya digunakan dalam arti lugas yang menjunjuk pada gempa bumi, namun juga sebagai istilah perumpaan untuk mengambarkan ‘kondisi terguncang’. Dalam pengertian demikian, istilah ini bersinomim arti dengan kata ‘reg’, yakni sebuah partikel deskriptif, sebagaimana terlihat pada kata ‘regreg’ ataupun kata jadiannya ‘angrereg’ yang berarti : maju dengan berhenti dan sentakan (Zoetmuder, 19965: 936). Akat kata ‘reg’ menunjuk kepada gerakan menghentak, atau getaran bahkan goncangan hebat – telebih apabila direpetisikan menjadi  ‘reg-reg’, seperti tergambar pada kata ‘horeg’, bergerak ‘greg-greg’, dan ‘paregreg (pa-reg-reg)’. Istilah terakhir (paregrek) mengingatkan kita pada perang besar yang terjadi pada akhir Majapahit antara Bhra Hyang Wisesa dan Bhra (Brhe) Wirabhumi yang diberitakan dalam Pararaton (31.5, 31.15). Peperangan ini mencapai puncak pada tahun 1404 Masehi, yang bernih pertentangannya berlangsung tiga tahun sebelumnya (1401-1403 Masehi), sebab Bhre WiraWirabhum – anak raja Hayamwuruk dengan bini haji (istri selir) – tidak setuju atas mengangkatan Suhita sebagai raja di Majapahit menggantikan Wikramawarddhana setelah kakak lakinya (Bhra Hyang Wekasing Suka II) meninggal pada tahun 1399 Masehi. Kedua belah pihak mengumpulkan orang-orangya, lantas menghimpun kekuatan. hingga akhirnya terjadilah pertempuran hebat. 

Peristiwa itu tercatat dalam berita Cina zaman Dinasti Ming (1366-1643 Masehi). Di dalam buku Sejrah Dinasti Ming (Ming Shih) jikid ke-324 diberitakan bahwa kaisar Ch’eng-tsu yang naik tahta pada tahun 1403 Mesehi menjalin hubungan diplomatik dengan raja ‘bagian barat’ yang disebut dengan ‘Tu-ma-pan (boleh jadi translir Cina atas ‘Tumapel’ – kadatwan keturnan Bhre Tumapel)  dan raja ‘bagian tinur’ yang disebut dengan “Put-ling-ta-ha (Pi-ling-da-ha)’. Tatkala tahun 1405 Masehi Laksamana Cheng-Ho berkunjung ke Jawa sempat disaksikan peperangan antar keduanya. Kerajaan bagian timur mendapat kekalahan dan kerajaannya di rusak. Kala itu perutusan dari Cina tengah berada di kerajaan bagian timur, sehingga ikut terjebak pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya 170 orang prajurit Cina. Boleh, jadi lokasi keraton (kadatwan, kini ‘kedaton’) bagian barat dan bagian timur sama-sama berada di Wilwatikta (berlokasi di daerah Trowulan sekarang), yag hanya terpisah oleh jalan poros di dalam wilayah ibukota yang membujur utara-selatan. Oleh karena itu bisa difahami bila kematian. korban luka, dan kehancuran fisik akibat pertempuran dua kedaton yang bertengga tempat ini amat dahsyat, yang diibaratkan dengan dampak bencana gempa bumi hebat. Sebutan ‘pa-reg-reg’ bagi perang besar ini merupakan istilah perumpaan yang berupa kejadian gempa bimi besar terhadap perang saudara yang pada hakikatnya juga merupakan bercana politik, sekaligus bencana peradaban dan bencana kemanusiaan.

Kerajaan-kerajaan yang beribukota di daerah Jawa Timur, seperti Kanjuruhan, Mataram (paroh kedua tahun 929-1049 Mashi), Pangjalu (Kadiri) dan Jenggala, Singhasri dan Majapahit, bukanlah tidak mungkin pernah terpapar gempa bumi. Paling tidak gempa bumi jenis gempa vulkani, sebab lokasi kadatwan dari kerajaan-kerajaan itu berada tak jauh dari gunung-gnung berapi aktif kala itu, seperti Gunung Semeru, Bromo, Kelud (Kampud), Welirang (Kumukus), dan boleh jadi Gunung Penanggungan (Pawitra). Berita Pararton mengenai adanya beberapa kali peritiwa vulkanik yang mendahui dan menyeratai terjadinya letusan (eksplosi) gunung berapi, seperti tergambar pada (a) Bab VIII, yang memberitakan terjadinya gunung meletus (gunung lungge) tahun 1233 Saka (1311 Masehi); (b) Bab IX terjadi gemuruh lahar dingin (guntur-banyu-pindah) tahun 1256 Saka (1334 Masehi); (c) Bab X munculnya ‘gunung anyar’ tahun 1307 Saka (1385 Masehi); (d) Bab XI adanya gunung meletus tahun 1317 Saka (1395 Masehi); (e) Bab XII peristwa gunung meletus tahun 1343 Saka (1421 Masehi) disusul dengan terjadinya kekurangan pangan demikian lama pada tahun 1348 Saka (1426 Masehi); (f) Bab XIV kejadian gempa bumi (palindu) tahun 1372 Saka (1450 Masehi); disusul gunung Meletus di tahun berikutnya (1373 Saka = 1451 Masehi); (g) Bab XVII terjadinya gunung Meletus tahun 1384 Saka (1462 Masehi); serta (h) Bab XVIII letusan gunung tahun 1403 Saka (1481 Masehi).. 

Rentetan peristiwa vulkanik, baik yang berupa gunung meletus, lahar dingin, muncul gunung baru, dan gempa bumi yang diberitakan dalam Pararaton tersebut sangat menungkin berlangsung pada Gunung Kampud (Kelud). Eksplosi Gunung Kampud pada tahun 1256 Saka (1334 Masehi), yang dicatat di dalam bab IX susastra gancaran Pararaton, sejalan dengan keterangan di dalam kakawin Nagarakretagama (pupuh I bait 4), berkenaan dengan waktu kelahiran Hayam Wuruk di kadatwan nagari Kahuripan pada tahun 1256 Saka, yang terjadi bersamaan waktu dengan peristwa letusan Gunung Kampud (nama arkhais ‘Gunung Kelud’), yang disertai dengan aktifitas vulkanik berupa gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guntur halilintar yang menyambar-sambar (Muljana, 2006: 338). Peristiwa vulkanik dahsyat ini akibatkan jatuh banyak korban jiwa, yang dalam pemberitaan kakawin Nagakretagama dikalimati dengan ‘… membubuh durjana, penjahat musnah dari negara’. Hal yang menarik adalah keterangan pada pupuh 1.4.1 yang menyatakan bahwa peristiwa vulkanis ini dimaknai sebagai ‘petanda alam’ mengenai lahirnya seorang anak yang kelak menjadi ‘narpati (narapati,  nara = orang, pati = pemimpin”, atau sang pemimpin), Adapun kalimat pernyataannya sebagai beriut ‘…. beliau lahir untuk menjadi narpati// salama dalam kandungan di kahuripan telah tampak tanda keluhuran ...(pupuh 1.4.2)’ dan “.….. itulah tanda bahwa Bhattara Girinata (sebuatan bagi raja Hayam Wuruk) menjelma bagai raja besar …..(1.5.1)”. 

Periwia gempa bumi yang diberitakan dalam susastra Jawa Kuna dan Jawa Tengahan pada Masa Hindu-Buddha kebanyakkan masuk dalam kategori ’gempa vulkanik’. Sedangkan gempa ketegori ‘tektonik’ boleh dibilang ‘luput’ dari pemberitaan susastra lama, mengingat bahwa sebagain besar warga Jawa kala itu tinggal di daerah pedalaman, bukan di pesisiran. Namun demikian, bukan tak mungkin bila kala itu gempa tektonik juga berlangsung. Pasca Masa Hindu-Buddha, yakni pada  Masa Perkembangan Islam. Peristiwa kegempaan di Jawa didapati dalam teks susastra. Antara lain pemberitakan dalam jilid III naskah ‘Babad Betawi” koleksi Pura Pakualaman, berkenaan dengan gempa lantaran erupsi Gunung Merapi yang terjadi di Yogyakata pada tahun 2822. 

Peristiwa kegempaan yang dituliskan pada naskah yang hingga kini kondisinya terawat baik dalam bentuk puisi dengan kalimat paparan sebagai berikut :

   Gunung Merapi semburkan api sangat 

         dahsyat

   Siang-malam bumi berguncang dan 

         dihujani api.

   Kilat tak henti-hentinya menyambar.

   Asap dan api yang keluar dari mulut

           gunung.

    Bagai kain merah menyala dibentuk wiru, 

    membumbung tinggi menyentuh langit.

    Jagat yang gelap pekat bagai terbakar.

    Merahnya api bagai menghias kelam

           angkasa.

    Gemeretak pepohonan bertumbangan.

    Tak ubah suara senapan yang ditembakkan. 

    Seluruh warga di lereng Merapi saling

           tunjang.

    Berebut untuk menyelamatkan diri.

    Sepanjang masa, baru kali ini 

    Merapi tumpahkan lahar dahsyat.

    Memuntahan lumpur batu,

    sepert perang Pajang lawan Mataram 

          (1586).

Peristiwa kegempaan yang terjadi pada waktu berkutnya (tahun 1867) diberaitakan dalam “Babad Pakualaman” karya permaisuri Paku Alam VI, Gusti Kanjeng Raden Ayu Adipati Paku Alam atau Siti Jaleka. Babad Pakualaman memberitakan gempa yang berlangsung sekitar dua menit Peristiwa ini menyebabkan: “tanah berjungkat, bagai diayun-ayun, bergetar bergoyang bagai hendak dicabut. Bumi dan langit seperti hendak menelungkup, suara gemuruh di puncak gunung amat mengerikan, dan ombak laut pun menjadi besar ‘kocak-kocak’ hingga air dan ikannya terangkat ke daratan. Kotagede dan Makam Imogiri mengalami kerusakan parah. Pendapa Pakualaman roboh dan beberapa bangunan dalam Beteng Keraton Yogyakarta juga roboh’.

Peritiwa kegempaan yang dicatat dalam Babad Pakualaman itu memberitakan dengan cukup rinci jalannya peristwa beserta paparan dampak gempa dahsuat yang terjadi di Yogyakarta pada subuh, Senin Wage t7 Sapar tahun ehe 1796 (10 Juni 1867). Susastra ini juga menuliskan jalur-jalur lain gempa di Bantul, dan yang menarik serupa dengan yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya pada 2006 lalu. Apabila terjadi perbedaan, hanya dalam hal jumlah korban gempa. Yang tercatat dalam Babad Pakualaman adalah 1.000 orang meninggal dunia. Para korban kala itu mendapat bantuan dari Gubernur Jenderal Belanda di Semarang, sesuai dengan kerusakan. Rakyat dianjurkan untuk membangun rumahnya dengan menggunakan atap daun tebu yang sudah kering atau alang-alang. Tak terbantahkan bahwa catatan kuno itu merupakan catatan sejarah yang sangat berharga, bukan khayalan. bukan mitos.

C. Makna Gempa sebagai “Petanda Alam” tentang Sesuatu

Memaknai peristiwa gempa bumi sebagai ‘petanda alam’ mengenai suatu peristiwa nyata dalam dunia manusia yang bakal terjadi di suatu tempat bukan hanya terdapat di Jawa lewat apa yang disebut ‘ramalan (estimasi)’, namun terdapat pula di daerah dan pada etinik lain di penjuru dunia. Pada lingkungan budaya Jawa, ramalan terhadap peristiwa alam yang dimaknai sebagai 'petanda alam' telah tergambar dalam kakawin Nagarakretagama mengenai peristiwa vulknanik Gunung Kampud (Kelud) dalam kaitan dengan kelahiran dan prestasi mendatang Hayam Wuruk. Hal serupa juga dijumpai dalam susastra yang lebih muda, separti kitab ‘Betaljemur Adam Makna, kitab ‘Mujarobat’, atupun kitab ‘Ramalan (acap pula disebut ‘Jongko (Jangka)’ Jayoboyo. 

Pada kitab ramalan yang disebut terkhir, yakni kitab 'Jangka Jayabaya", ada anggapan bahwa peramalan itu disampaikan oleh Jayabaya (Jayabhaya), yakni seorang raja di Kerajaan Pangjalu atau Kadiri, yang memerintah antara tahun 1135 hingga 1157 Masehi, dengan nama gelar (abhisekanama) ‘Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Salah kaprah tersebut perlulah ‘dikoreksi keakuratannya’, mengingat bahwa sejauh ini belum diperoleh bukti tekstual. baik yang berbentuk prasasti ataupun suastra dari abad XII Masehi yang memuat peramalan yang diberikan olah raja Kadiri pada Masa Keemasan (Golden Periode)-nya itu. Kalaupun ada kitab atau tradisi lisan yang disebuat ‘Jangka Jayabaya’, itu bukan berarti bahwa asal penulisannya dari Masa Kadiri dan diberikan oleh raja Kadiri bernama Jayabaya. Boleh jadi, nama ‘jayabaya’ diberikan dalam arti : keberhasilan (jaya) dalam mengatasi persoalan atau bahaya (baya).

Salah satu obyek peramalannya adalah gempa bumi. Dalam konsepsisi ini, gempa tidak difahami sebagai ‘fenomena alam biasa’, melainkan adalah ‘petanda alam’. Sebagai suatu petanda (sign), dibaliknya terkandung (tersirat) makna atau terdapat suatu pesan. Adapun dasar logikanya adalah adanya kesesuaian (reklevansi) antara peristiwa yang terjadi pada ‘jagad besar (makro kosmos)’, yaitu alam semesta atau jagad raya, dengan yang berlangsung pada ‘jagad kecil (mikro kosmos), yakni dunia manusia atau bahkan lebih mikro lagi adalah di diri manusia. Makna yang terkadung di dalam ‘petanda alam’ itu diformulasikan ‘secara metodologis’ dengan membuaf ‘generalisasi’ mengenai akan adanya hal nyata, yakni peristiwa riil tertentu yang terjadi pasca berlangsungnya gempa bumi di waktu tertentu. Misalnya, gempa yang terjadi pada waktu X – dalam hal ini pada bulan X – di  tahun  ..… diikuti oleh terjadinya peristiwa ….... Gempa yang juga terjadi pada bulan X di tahun berikutnya diikuti oleh terjadinya peristwa ...……, dst. Persamaan peristwa-peristiwa yang seakan ‘berulang’ mengikuti gempa-gempa yang terjadi di bulan X itu diformusikan ke dalam ‘kelimat generalitatif’, yang disebuti dengan ‘kalimat ramalan (jangka)’. Dengan demikian, tingkat keberanan peramalan atas peristiwa gempa ini mempunyai peluang ‘bernar’, namun tidak tertutup kemungkinan dapat ‘meleset’ dari yang diramalkan. Dengan perkataan lain, estimasi itu hanyalah sekedar ‘yang biasanya terjadi pasca berlangsungnya gempa di satu bulan’.


Kitab ‘Mujarobat’ yang beraksara pego atau pegon (disebut juga ‘Arab gundul’) misalnya memuat formula estimatif tentang kemungkinan peristiwa yang bakal terjadi pasca terjadinya gempa bumi (lindu) di siang hari (rahina) pada bulan Ribiulawwal, yaitu (a) banyak orang mendapat kenaikan derajad (oleh derajad), dan (b) banyak penyakit (pagering). Apabila gempa itu terjadi di malam hari (wengi), maka peranda bakal terjadi (a) hujan-angin (akeh udan lan angina), dan (b) banyak terjadi ombak laut (akeh ombak). Pemberian ‘makna’ terhadap ‘petanda alam’ yang berupa gempa itu merupakan kemampuan luar biasa (waskito), yang semula dipunyai oleh orang tertentu yang rajin dalam mencermati dan mencatat atau mengingat secara teratir (niteni) terhadap fenomen alam yang luar biasa (supernatural) -- semisal gempa, yang kemudian menuangan hasil percemtan tersbut kedalam tulisan (kitab) yang berisi peramalan, yang acap sebut ‘kitab primbon’. Memaknai dengan jalan ‘membaca’ petanda alam (fenomena alam di sekitarnya) adalah wujud kewaspadaan manusia, yang dikenal dengan sebutan ‘moco ing waskito’. Berikut dipaparkan tentang pemaknaan (ramaln, jangka) terhadap petanda alam yang berupa gempa menurut bulan terjadinya.

Jika ada gempa bumi pada bulan Muharram, bila berlangsung pada waktu siang, maka alamat akan banyak orang prihatin. Jika terjadi pada waktu malam, maka alamat bahan makanan mahal banyak timbul huru hara. 

Jika ada gempa bumi pada bulan Safar, apabila terjadi di siang hari, maka alamat banyak penduduk desa sama pindah dan banyak penyakit. Namun jika terjadi di waktu malam, maka alamat banyak orang selamat pada tahun itu. 

Jika ada gempa bumi pada bulan Robiul Awwal. Bila terjadi siang hari, maka alamat banyak orang yang mendapat derajat (pangkat) dan banyak penyakit. Namun jika berlangsung di waktu malam, maka alamat banyak hujan, angin dan ombak.

Jika ada gempa bumi pada bulan Robiul Akhir. Bila terjadi pada siang hari, maka alamat banyak manusia, kerbau, dan sapi mati. Namun bila berangsung pada malam hari, maka alamat baik, yakni banyak hujan, murah sandang-pangan, tanaman-tanaman bagus, dan selamat dari segala penyakit. 

Jika ada gempa bumi pada bulan Jumadil Awwal. Bila terkadi di waktu siang, maka alamat banyak musuh. Namun, jika terjadi pada malam hari, maka alamat baik (rahayu). 

Jika ada gempa bumi pada bulan Jumadil Akhir. Apabila terjadi pada waktu siang, maka alamat musim kemarau panjang serta banyak kerbau dan sapi yang kurus pada tahun itu. Namun, jika berlangsung pada malam hari, maka alamat banyak penyakit dan paceklik. 

Jika ada gempa bumi pada bulan Rajab. Apabila terjadi pada waktu suang, maka alamat banyak penyakit pada tahun itu. Namun, jika berlagsingnya pada waktu malam, maka alamat akan timbul peperangan besar dalam Negara itu.

Jika ada gempa bumi pada bulan Sya’ban. Apabila terjadi siang hari, maka alamat banyak orang meninggal dunia dan segala kebutuhan mahal. 

Jilka ada gempa bumi pada bulan Romadhon. Apabila berlangsung pada siang hari, maka alamat banyak orang bertengkar.Namun, bila terjadi malam hari, maka alamat banyak orang berpindah. 

Jika ada gempa bumi pada bulan Syawal. Apabila terjadinya di waktu siang, maka alamat banyak penykit dan kerusakan-kerusakan. Sedangkan jika berlangsung pada waktu malam, maka alamat akan timbul peperangan besar dan banyak orang berselisih. 

Jika ada gempa bumi pada bulan Dzul Qo’dah. Bila terjadi siang hari, maka alamat banyak orang desa sama berebutan. Namun, jika berlangsung malam hari, maka alamat banyak orang berpindah. 

Jika ada gempa bumi pada bulan Dzul Hijjah. Bila terjadi di waktu siangi, maka alamat banyak orang marah dan paceklik pada tahun itu serta disana-sini terjadi permusuhan. Sedangkan apabila berlangsungnya di waktu malam, maka alamat banyaj terjadi desa rusak dan banyak hujan, padi murah harganya, banyak orang berbuat kebagusan. 


D. Pengharapan Selamat dari Musibah Gempa

Demikianlah tulasan bersaja ini dibuat, sebagai tambahan pengetuhan bagi para pembaca tentang kesejarahan gampa bumi. Sengaja penulis menempatkan peristiwa fisis alamiah yang berupa gempa bumi ini dalam konteks budaya, dengan mencermati pemberitaan mengenai gempa dalam sumber data tekstual masa lampau, cerita-cerita mitologis mengenai gempa dalam beragam budaya serta pemaknaan terhadap gempa sebagai suatu ‘petanda alam’. Telaah menganai tiga hal tersebut dibatasi dalam lingkup budaya Jawa. Bagiamana dengan di lingkungan budaya lain, silahkan untuk ditelisik oleh yang berminat mengungkapkannya. Tidak terkecuali dalam kaitan dengan peristiwa gempa bumi di Pulau Lombok pada bulan Agustus 2018, yang menelan banyak korban meninggal, luka, kerusakan fasiltas public dan rumah tinggal. Dan dampak-dampak ikutan lainnya. Peristiwa itu berlangsung di bulan ‘Dzul Qo’dah’. Gempa utama berlangsung di malam hari, adapun gempa susulan yang terjadi berulangkali terjadi baik siang ataupun malam. Jika memiliki ramalan dalam kitab Mujarobat tersebut, maka gempa yang berlangsung siang dan malam si bulan ini maknanya: (a) banyak orang desa sama berebuatan, yang dalam ‘konteks lebih luas’ , yakni konteks nasional,  adalah bakal terjadinya perubatan kekusaan baik kekuasaan legislative ataupun eksekutif di tahun 2019 mulai tingkat daerah hingga tingkat nasional, (b) banyak orang berpindah, yang tergambar pada terjadina pengusian besar-besar, bahkan warga memilih untuk mengungsi atau tinggal di luar rumah (pada tenda) lantara takut tertipa bangunan akibat gempa sususulan. Apakah ramalan yang demikian benar, atau ‘dipapaskan se=upaya kelihatan benar’, silahkan dinilai sendiri.

Gempa adalah salah sebuah bencana, tetapnya bencana alam. Istilah lain yang bersinomin adalah musibah atau ‘blai (disebut juga ‘bilahi”). Terpapar dampak gempa adalah keniscayaan, dalam arti siapapun tentu berharap terhindar dari gempa, atau mendapat keselamatan ketika gempa menimpa. Dalam hal demikian, orang berucap ‘blai slamet’, yakni mendapat keselamatan ketika terjadi blai. Sebagaimana itu, semoga kelselamatan selantiasa menyertai kita manakala tertimpa bencana, baik bencana yang akibat peristiwa alam yang laur biasa ataupun bencana karena ulah manusia. Amin, amin, ya robbal alamin.

Sangkaliang, Griya Ajar Citralekha

Sabtu malam, 11 Agustus 2018

(Sumber: M. Dwi Cahyono fb)