Kajian Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Tradisional "Tari Jaranan"

Atraksi seni tradisional Jaranan / foto, dwicahyono

* Judul Asli Tulisan: SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA "TARI JARANAN," : EKSPRESI TARIAN BINATANG DAN KEPRAJURITAN

Oleh : M. Dwi Cahyono 

(Arkeolog - Sejarahwan Nusantara)

"Jaranan, jaranan, jarane jaran teji. Sing nunggang Ndoro Bei. Sing ngiring para mentri. Cek-cek nong, cek-cek gung. Srek-kesrek turut lurung." (Lirik Lagu daerah "Jaranan", pecipta : Ki Hadi Sukatno)

A. Jaranan sebagai "Animal Dance"

1. Hostorisitas Tarian Binatang 

Sesuai dengan sebutannya, yaitu "tari jaranan", tarian tradisional ini mempunyai tokoh peran berupa : kuda dan pengendara kuda (horse raider). Penari memainkan dua peran sekaligus, yaitu sebagai : (1) pengendara kuda, dan sebagai (2) binatang kuda. Kaki penari menstilasikan gerakan kaki kuda pacu. Begitu pula, tangan penari menggerakkan leher, kepala dan badan kuda, seperti gerakan ketika tengah berlari. Figur kuda tergambarkan pada properti tari yang berupa boneka pipih (pupet) berbentuk kuda (istilah Jawa "jaran" atau "turonggo"), yang dibuat dari rahan bahan : (a) anyaman siratan kulit batang bambu (istilah Jawa "kepang"), sehingga ada sebutan "jaran kepang", (b) pahatan atau ukiran dari kulit (wacucal hinukir, atau lumping), atau bahan lain (c) seperti potongan kardus berbentuk kuda, pelepah daun pisang pada mainan jaranan, ataupun bahkan sapu ijuk. Menurut warnanya, ada dua jenis properti kuda lumping, yaitu berwarna hitam dan putih. Kini terdapat pula varian-varian warna lainnya.

Selain properti tari yang berbentuk (a) kuda, pada seni pertunjukan Jaranan terdapat pula beberapa properti tari yang menggambarkan binatang hutan, seperti (b) babi hutan (istilah Jawa "celeng", sehingga terdapat tokoh peran disebut "celengan"), (c) ular besar (naga, tapi mendapat sebutan "barong" yang menunjuk pada harimau, sehingga ada tokoh peran yang disebut "barongan"), dan terkadang ada tokoh peran berupa (d) anjing (istilah Jawa "asu", dengan sebutan "ajak", yakni "asu ajak"). Agak berbeda dengan properti yang berbentuk kuda, yang di dalam tarian dalam posisi ditunggangi oleh sang penari, properti yang berupa celeng dan asu itu tidak selalu dalam posisi ditunggangi, namun acap dipengangi dengan dua tangan dengan posisi di depan penari. Adapun barongan diperlakukan seperti halnya topeng naga, yang dipergunakan untuk menupi wajah asli penari untuk digantikan dengan figur barongan. 

Menilik tokoh-tokoh peran yang berupa hewan tersebut, maka ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa tari ini masuk dalam kategori "tarian binatang (animal dance)". Tari yang ditokohperani oleh binatang terbilang sebagai tarian purba, selain tari yang ditokohi oleh hantu atau makhluk mitologis. Pada lukisan dinding gua (rock painting) pada goa Altamira (Spanyol) dari zaman Prasejarah (22.000 tahun lalu) antara lain terdapat gambarkan manusia berkepala rusa, yang banyak dipendapati ahli seba- gai lukisan mengenai tarian atau teater binatang. Sejarah tarian binatang dadapati pula jejaknya di Jawa, seperti terpahat pada batur (soubasement) candi Rimbi dari era Majapahit (abad XIV Masehi), yang menampilkan penari dengan properti tari yang berupa kepala binatang diiringi oleh waditra (music instrument) berupa sebuah reyong. Jejak arkhais tarian binatang juga didapati pada properti tarian etnik yang berwujud binatang, yang diantaranya berusia ratusan tahun. Dalam bukunus yang berjudul "History of Java" tahun 1817, Thomas Starmford Raffles membicarakan tentang sebuah pertunjukan di Jawa yang mempergunakan imitasi kuda, yang sangat mungkin menunjuk pada Tari Jaranan. 

2. Stilasi Gerak Binatang menjadi Gerak Tari 

Beberapa tarian etnik tradisional, seperti Tari Kebo-keboan yang berproperti kepala kerbau serta tubuh penari dilumuri dengan jelaga di Banyuwangi. Pada kawasan Papua terdapat sejumlah tarian binatang, seperti Tari Burung Cendrawasih di Papua (populer juga di Bali), Tari Ular di Sorong, Tari Burung Kasua- ri di Pegunungan Jayawijaya Tengah, maupun Tari Kanguru di Merauke. Pada beberapa daerah di pulau Jawa, tarian binatang juga kedapatan, seperti Tari Dadak Merak pada Reog Ponorogo, Tari Ketek Ogleng, Tari Jaran Monel, Tari Kuntulan di Banyu- wangi, Tari bantengan di Jawa Timur, Tari Wanara (kera), dan Tari Merak di Tatar Sunda. Ada tarian binatang pada Suku Dayak (Kalimantan) berupa Tari Burung Enggang dan Tari Hudoq -- berproperti topeng yang melambangkan jelmaan burung. Pada pulau Sumatra antara lain ada Tari Alang Babega di Sumatra Barat yang menstilasikan burung elang tengah terbang di Sumatra Barat, Tari Turun Lunggai pada suku Mentawai di Pulau Nias yang menggam- barkan gerak beberapa hewan (monyet, kelinci, dan unggas), dan banyak lagi lainnya. 

Tergambar bahwa gerakan binatang seperti unggas (burung), harimau (macan), babi hutan (celeng), ki- jang (kidang) dan rusa, kelinci, ular dan ular naga (barong), kerbau dan banteng, anjing, kanguru, dsb. memberikan inspirasi pada olah cipta tari. Gerakan binatang tertentu yang khas dan mempesona ditiru serta distilasi menjadi gerak tari, yang dinamai "tari binatang (animal dance). Bahkan ada sejumlah tari anak-anak yang mendapat inspirasi gerak binatang seperti tari kijang (rusa), kelinci, burung, dsb. Tari binatang itu acapkali dilengkapi dengan properti tari berwujud keseluruhan figur atau sebagian dari figur (misalnya kepala) binatang bersangkutan. Namun, tak jarang pula hanya mengambil gerak khasnya untuk distilasi menjadi gerak tari, misalnya pada tari alang babega. Pada tarian tradisional di Jawa terdapat gerak tari yang diinspirasi oleh gerakan yang mempesona burung merak, yang diistilahi de- ngan "mrak angigel (merak menari)". 

Terbuka kemungkinan adanya tarian binatang (ani- mal dance) yang dipadukan dengan tarian manusia (human dance, misal tari keprajuritan). Hal demiki- an tergambar dalam tarian jaranan, jathilan, reog Ponorogo, dsb. Bahkan, pada tarian itu tersisip ki- sah berlatarkan sejarah atau legenda lokal, seperti cerita Panji. Tidak sedikit tari binatang diposisikan sebagai "tarian sakral", yang dipentaskan pada suatu upacara dengan keyakinan tertentu. Sanghyang Jaran di Bali misalnya, ditarikan oleh penari pria  atau pemangku yang mengendarai kuda-kudaan dari pelepah daun kelapa. Penari kerasukan roh  kuda tunggangan dewata dari Kahyangan. Tarian diiringi paduan suara pria dan wanita, membawa- kan tembang puja antara lain "Gending Sanghyang". Di Sukawati - Gianyar, tari Sanghyang diiringi oleh Gamelan Palegongan. Penari bergerak keliling sam- bil memejamkan mata, berjalan dan berlari dengan bertelanjang kaki, bahkan menginjak-injak bara api bakaran batok kelapa yang dihamparkan di tengah  arena. Sanghyang disuguhkan dalam bentuk tarian religius, berfungsi sebagai tarian penolak bala atau  wabah penyakit. Acap pula penari putra atau putri kerauhan (kesurupan), lantaran kerasukan hyang, roh, bidadari kahyangan dan hewan lain yang memiliki kekuatan merusak seperti babi hutan, monyet, atau makhluk yang mempunyai kekuatan gaib. Ada tiga unsur penting yang senantiasa ada pada Tarian Sangyang, seperti asap/api, Gending Sanghyang* dan medium yang berupa orang atau boneka. 

B. Tari Keprajuritan dalam Tarian Jaranan

1. Penggambaran Prajurit Berkuda (Kavaleri)

Selain ditokohperani binatang, tari jaranan juga ditokohperani oleh manusia, yang menggambarkan prajurit penunggang kuda (kavaleri). Penari ini memerankan dua tokoh peran sekaligus, yaitu (a) kuda tunggang dan (b) prajurit penunggang kuda. Oleh karenanya bisa dikategorikan sebagai "tari keprajuritan", yang hadir dalam bentuk tarian berkelompok. Ritme tarian hampir sama dengan tari keprajuritan, yaitu merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran zaman dahulu, yang kini dikenal sebagai pasukan kavaleri (berkuda). Kata "kavaleri" berasal dari bahasa Latin "caballus", yang di dalam bahasa Perancis disebut "chevalier", dalam arti : kuda. 

Sebagai satuan ketentaraan (militer), kavaleri adalah pasukan berkuda, yang pada awalnya mengacu kepada pasukan perang khusus yang bertempur dengan kendarai kuda perang sembari mengangkat senjata. Pada saat ini sebutan ini bisa juga merujuk pada pasukan khusus yang bertempur menggunakan kendaraan berlapis baja atau tank. Oleh karena itu, kavaleri dibagi menjadi dua, yaitu : (a) kavaleri lapis baja, yang mengendarai tank; serta (b) kavaleri berkuda,  yang menunggangi kuda. Kini kavaleri berkuda hampir tidak pernah digunakan dalam perang dan militer. Kuda menjadi properti khusus pada pasujan kavaleri di berbagai negara. Salah satu legiun kavaleri yang terbilang menyejarah di Jawa adalah Legiun Mangkunegaran yang dibentuk pada tahun 1808 pada era pemerintahan Sri  Mangkunegara II (1796-1835), dengan pendanaan yang didapatkan dari Kerajaan Belanda. Korps militer berkekuatan 1150 personil ini menampung bekas pasukan Pangeran Sambernyawa, yang terdiri atas pasukan infantri, kavaleri dan artileri. Sri Mangkunegara II sendiri adalah seorang berpangkat  Kolonel pertama dalam Legiun Mangkunegaran. 

Gambaran tentang prajurit berkuda kedapatan pada relief-relief candi. Hal ini memberi kita pertunjukan bahwa pasukan kavaleri telah ada di Jawa pada Masa Hindu-Buddha. Bahkan, di era kerajaan Kadiri (Panjalu), manakala terjadi reformasi dalam bidang kemiliteran, pasukan berkuda menjadi kesatuan ketentaraan khusus, yang menggunakan kuda sebagai kendaraan perangnya. Dapam relief Kresnayana di teras II candi Induk Penataran (abad XIV Mesehi) misalnya, terdapat gambaran mengenai Kresna dan pendeta muda Meghadhwaja (penasihat dari Kresna) beserta bala tentaranya mengadakan per- jalanan menuju ke Kaundina. Gambaran mengenai seorang prajurit berkuda didapati pula pada salah satu relief lepas di halaman I Candi Sukuh. Satuan ketentaraan berkuda ini mengininsiprasi sajian tari mengenai prajurit berkuda dalam bentuk tari kepra- juritan. Hanya saja, kuda tunggangan di wujudkan dalam bentuk tiruan (duplikatif) berupa anyaman  bambu berbentuk kuda-kudaan (disebut dengan "jaran  kepang") atau dapat juga berupa pahatan atau ukiran pada kulit binatang (wacucal hinukir) berwujyd figur kuda dan diwarnai. Pada tari ini, jaranan adalah properti tari yang penting, yang dimainkan oleh 4 sampai 12 orang penari pria. 

2. Gerak dan Properti Keprajuritan pada Tarian Jaranan

Pada tarian ini, pengendara kuda dilengkapi dengan cemeti (pecut), yang kemudian menjadi atribut khas tari jaranan. Sebagai tari keprajuritan, busana yang dikenakan menggambarkan busana prajurit.  Demi- kian pula gerak tarinya yang memperlihatkan nuansa "gagahan", sebagai karakter dari tari keprajuritan. Penari yang membawa jaranan adalah karakter para prajurit yang siap untuk berperang. Pada umumnya para penari jaranan adalah lelaki, karena perannya adalah sebagai prajurit. Sesuai dengan tokoh peran yang digambarkannya, yaitu prajurit, gerak tari jaranan memberi kesan lincah, kuat dan berani,  yang dibangun dengan gerak kaki, tangan, kepala, dan  badan. Ragam gerak Tarian Jaranan meliputi gerak napak, sabetan, ndegar, mencak, sembahan dan perang. Gerak tari keprajuritan nampak jelas pada Jaranan Dor Kidalan di subarea timur Kabupaten Malang. 

Dalam pementasannya, terdapat tiga adegan tari yang dibawakan oleh penari jaranan, yaitu : (a) semua penari masuk ke arena pentas, laksana prajurit siap perang, (b) penari yang menggambar prajurit berkuda seolah melawan penari lain yang mengemban peran sebagai barongan (disebut juga dengan "macanan"), babi hutan (celeng), serta anjing hutan. Pada adegan ketiga, semua penari yang menjadi prajurit menjadi krida, yang menggambarkan bahwa mereka telah berhasil melewati segala rintangan. Tergambar pada tiga sesi adegan tersebut, terdapat muatan "keprajuritan" di dalam Tarian Jaranan. Tarian ini diiringi oleh ansambel musik, yang adalah komponen-komponen dari gamelan Jawa,  terdiri atas waditra : (a) kendang, (b) kenong, (c) gong, (d) kempul, (d) terompet, (e) kecer/kecrik, (f) 

Disamping itu, lantaran penari yang berperan sebagai prajurit itu sekaligus perankan kuda tanggang, maka sesekali gerakan kakinya menggambarkan gerak kaki kuda yang tengah berlari "congklang". Ada pula sesi tarian dimana para prajurit berkuda terlibat peperangan, baik dengan prajurit lain atau dengan sejumlah binatang buas penghuni hutan. Dalam hal terakhir, devile para prajurit kavaleri pada tarian ini digambarkan melintasi hutan lereng Wilis antara Kediri - Ponorogo yang dihuni binatang buas (seperti ular besar, babi hutan, dan anjing hutan), sehingga terjadi pertarungan diantaranya. Dalam legenda lokal, Tari Jaranan diberi muatan kisah tentang pernikahan antara Klono Sewandono asal Wengker (nama kuno daerah Ponorogo) dan Dewi Songgo Langit dari Kadiri (kini daerah Kediri). Penari penunggang kuda itu menggambarkan rombongan prajurit yang mengiringi acara pernikahan pasangan pengantin dari Kadiri menuju ke Wengker.

C. Properti dan Busana pada Ragam Jenis Jaranan 

1. Properti dan Busana Tokoh Peran Jaranan  

Tarian yang menstilasikan gerak kuda serta berpro- perti kuda-kudaan atau kuda sungguhan kedapatan pada berbagai tempat di Indonesia. Ada beragam sebutan teehadap tarian ini. Selain sebutan "jaranan", terdapat pula sebutan "jaran kepang, kuda lumping, jathilan, sang hyang jaran, dsb ". Sesuai unsur sebutannya, yakni "jaran, jaranan, atau kuda", pro- perti yang utama adalah kuda-kudaan dari anyaman bambu (kepang) ataupun tatahan kulit sapi,kerbau dsb. (lumping). Untuk menjelaskan bahwa properti itu adalah kuda, naka pengrajin menggunakan cat untuk memberi gambaran figur kuda. Selain itu biasanya memberi rumbai-rumbai dari ijuk untuk menggambarkan rambut kuda. Sebagaimana halnya kelengkapan menunggang kuda, penari jaranan melengkapi dirinya dengan cambuk (cemeti, istilah lokal Jawa "pecut") yang memiliki suara khas bila dilecutkan "jeder". Dalam permainan anak, kuda- kudaan itu bisa dibuat dari pelepah daun pisang. 

Properti lain disesuaikan dengan tokoh-tokoh peran dalam pertunjukan jaranan, seperti barongan (ca- plokan), kucingan, celengan, anjing - anjingan, dan topeng penthul-tembem. Adapun dalam petunjuk- an Reog Ponorogo ditambahkan properti  dadak merak dan topeng Kelono Sewandono. Lantaran adanya sejumlah tokoh peran, maka busana dan aksesoris serta tata rias wajahnya disesuaikan tokoh peran yang dibawakan. Ada jenis jaranan yang menampilkan busana kebesaran untuk para prajurit berkuda dan raja babi hutan (celengan), mi- sal Jaranan Pegon, Jarahan Sentherewe, Jathilan, dsb. Ada pula yang tampil lebih bersahaja, seperti pada jenis Jaranan Jowo, Jaranan Dor, dsb. 

Tergambar bahwa busana, aksesoris maupun pro- perti yang dikenakan bisa berbeda menurut jenis jaranan, varian lokal (kedaerahan), tema, latar be- lakang serta spirit tari jaranan yang di- tampilkan. Pada jaranan Jawa Timuran daerah Malang Raya, Blitar Raya, Kediri Raya dan Tulungagung misalnya,  busana dan aksesoris yang dikenakan menyerupai yang dikenakan dalam seni pertunjukan lain seperti wayang orang, wayang topeng, maupun tari lainnya, yang dalam sejumlah hal terdapat keserupaan de- ngan busana dan aksesoris pada seni arca Masa Hindu-Buddha. 

2. Ragam Jenis Tarian Jaranan 

Dalam perkembangannya, kesenian Jaranan meng- hadirkan ragam jenis yang pada sejumlah memiliki pembeda pada satu jenis dengan jenis lain. Terbuka pula kemungkinan untuk jenis yang sama terdapat unsur pembeda pada suatu daerah dengan daerah lain, pada suatu sanggar tari dengan sanggar tari yang lainnya. Bersarkan perbedaan itu maka hadir jaranan yang bersifat lokal (kedaerahan), dan memberi petunjuk bahwa meskipun merupakan "keseni- an tradisional", namun terbuka peluang bagi adanya kreatifitas, bahkan acapksli hadir sebagai kesenian "tradisi kreasi" -- kategori yang lainnya dari "tradisi murni (pure tradition). 

Diantara ragam jenis jaranan itu, terdapat apa yang dinamai "Jathil Reog" Ponorogo, Jaranan Thek juga di Ponorogo, Jaranan Kediren, Jaranan Sentherewe Tulungagung, Jaranan Turonggo Yakso Trenggalek, Jaranan Buto Banyuwangi. Jaranan Pegon dan Ja- ranan Jowo pada sejumlah daerah di Jawa Timur, Jaranan Dor di Malang dan daerah-daerah lain di Jawa Timur, Jathilan Diponegoro di Yogyakarta serta daerah-daetah lain di Jawa Tengah, Jathilan Hamengkubuwono di Yogyakarta dan daerah lain di Jawa Tengah, Kuda Lumping Seruni Putro Palem- bang, Jaran Kencak di daerah Lumajang, sub-etnk Tengger dan daerah-daerah Tapal Kuda lainnya, Ja6 ran Jenggo Lamongan, Sang Hyang Jaran di Bali, dsb. Jelas bahwa ada banyak ragam jenis jaranan di Jawa dan di sejumlah daerah di Luar Jawa, bah- kan di negeri jiran seperti Semenjung Malaysia. 

Jaranan Dor Malangan merupakan salah satu jenis jaranan yang terdapat di Jawa, khususnya di daerah Malang dan Jombang. Unsur sebutan "Dor" diambil dari bunyi perangkat musik (waditra)-nya yang beru- pa jidor. Jadi adalah sebutan onimatope, yakni se- buatan bersarkan bunyi sesuatu. Jaranan Dor di Jombang yang telah ada sejak tahun 1835  lebih dikenal dengan sebutan "Jepaplok Dor", yang diba- wa oleh Wiroguno, yakni  eks prajurit Diponegoro dari Ponorogo. Adaoun Jaranan Dor Malang keda- patan Malang Raya, yang miliki sebutan "Jaranan Kidalan". Boleh jadi Jaranan Dor Malang mendapat penga- ruh juga dari Ponorogo, mengingat banyaknya perantau dari Ponorogo, Tulungagung maupun Blitar di kawasan Malangraya. Pada era Koloni- al Jaranan Thek dari Ponorogo sering mengisi acara pasar malam di Malang. 

Pada tahun 1970an dicari dan ditemukan (inquiri) dari jaranan khas Malang, dengan menjadikan jidor (anasir waditra Islami) sebagai salah satu waditra pengiring jaranan. Pertunjukan Jaranan Dor daerah Malang diiringi dengan kendang, jidor, angklung reog gumbeng berjumlah banyak. Adapun kostum khas yang dikenakan berupa kaos warna  lorek dan celana komprang Ponoragan, tanpa mengenakan kostum penari kuda lumping yang terlihat mewah seperti umumnya. Jaranan Dor di dalam sejumlah hal mengacu kepada anasir jarahan yang telah ada di daerah Kidal dan Ngingit pada masa sebelumnya. Pertunjukan ini lebih mengarah kepada tarian daripada sendratari, artinya tidak menyajikan cerita tertentu. Ke depan, Joranan Dor Kudalan perlu lebih direvitusasikan karakternya dan dimasyarakatkan ke kawasan Malangraya sebagai suatu khasanah kesenian Jaranan khas Malang. Nuwun. 

Sangkaling, 1 Oktober 2022

Griyajar CITRALEKHA