Desawarnana, Perjalanan Inspeksi Raja Hayam Wuruk Pada Daerah Pinggiran Kekuasaan Majapahit

 


Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Sejarahwan Nusantara)

A. Perjalanan Inspeksi Hayam Wuruk  

Pada Orde Baru sempat muncul sebutan akro- nim “turba”, dengan kepanjangannya adalah : turun ke bawah. Sebutan ini kedapatan sebagai salah satu kosa kata di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia {KBBI, 2002}. Konon, di era Orde Baru perihal “turba” menjadi model komu- nikasi publil, yang dipergunakan untuk pejabat Negara ataupun pejabat pemerintahan yang hadir secara langsung di tengah mesyarakat {on the spot) umtuk menyerap aspirasi dari masyarakat, mengungkap akar permaslahan, menawarkan solusi atas suatu masalah. Atau terkadamg dipelencengkan maksudmya untuk ‘mencari pendukung” bahkan sebagai ‘kampa- mye terselubung”. Sebenarmnya, sebagai su- atu istilah akronim, turba telah kedapatan pada Orde Lama. Dalam buku “Di Tengah Pergolakan Lekra di Klaten (2005), yang dalamnya memuat tentang kenangan dari J.J. Kusni – seorang seniman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra} – tentang "Gerakan Aksi Sepihak" di Kabupaten Klaten pada tahun 1963-1964, yang pernah diikuti J.J. Kusni, terdapat kerterangan bahwa istilah “turba (turun ke bawah}” telah dipergunakan oleh Nyoto untuk mengebut aktifitas turun ke bawan guna memasyarakat- kan arjarannya mengenai “prinsip tiga sama”, yakni : sama makan, sama tidur, sama kerja}’. Aktifitas turba yang pada Orde Baru terkesan formalstik dan protokoler. Hal ini berbeda demgan model “blusukan” yang menyerak di Orde Reformasi, dimana kehadiran lans-ung pejabat negara atau aparatur pemerimtah di masyarakat dilakukan tidak amat formal dan proto-koler, dan lebih mendasarkan pada tang- gung jawab profesi. Blusukan dilaksanakan sebagai upaya agar seoramg pemimpin/peja- bat tidak terkelabuhi oleh oleh bisikan-bisikan anak buah dan/atau pihak-pihak yang punya kepentingan tertentu, sehingga lebih menyeru- pai obxservasi atau survei la-pangan di dalam pene;itian social.

Jika menelisik ke masa lampau, turba ataupun blusukan atau yang serupa dengan itu sebe- narnya telah dilakukan oleh penguasa atau pejabat negara {kerajaan, kesultanan, kadipa- ten, dsb.). Tradiai lisan acap menggmbarkan adanya raja atau pangeran yang menyamar (membo-membo) dan hadir ke masyarajkat secara diam-diam untuk melihat sendiri reali- tas (kasunyatan) di masyarakat dan wilayah yang diperintah-nya. Bisa juga kehadirannya ke daerah-daerah di bawah kekuasaannya itu dilakukan secara formal, yang menyrupai perjalanan inspeksi (tour de inspection) dari penguasa terhadap rayat dan daerah kekua- saannya. Penguasa itu tak datang sendirian, namun disertai anggota keluar kerajaan, para bangsawan dan para pejabat pemerintahan. Perjalanan inspeksi yang demikian misalnya dilakukan oleh maharaja Hayam Wuruk beserta rombongan, paling tidak ada tujuh kali perja- lanan di masa pemrintahan-nya (1350-1389 Masehi), yaitu : (1) tahun 1353 menuju Pajang, (2) tahun 1354 menuju Lasem melintasi pantai samudra, (3) tahun 1357 menumbus hutan menuju dan ke arah laut menuju Lodaya, Tetu, dan Sideman, (4) tahun 1359 bulan Badrapada berkeliling seluruh negara menuju ke Kota Lamajang, (5) tahun 1360 menuju Tirip dan Sempur, (6) tahun 1361 menuju Palah dan me- ngunjungi Balitar, Lodaya, laut, Simping. dan (7) tahun 1363 menuju ke Simping. 

Bila menilik waktu-waktu kunjungnya dan per- bandingan dengan masa pemerintahannya, tergambarlah bahwa raja Hayam Wuruk telah mulai mengadakan tour de inspection sejak tiga tahun di awal era pemerinhahannya, yaitu pada tahun 1353. Dalam kurun waktu 10 tahun (1353 – 1363 Masehi) ada sebanyak tujuh kali perjalanan. Yang terpanjang dan terlama ada- lah perjalanan yang diberitakan dengan cukup rinci di dalam kakawin Nagarakretagama atau Desawarnana tahun 1359 menuju ke Lamajang dan tempat-tempat lain di Daerah Tapal Kuda (DTK), melintasi beberapa daerah kini masuk dalam wilayah Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, lantas kembali memasuki wilayah Probolinggo dan Pasuruan untuk seterusnya menuju ke wilayah Malang hingga kembali lagii ke kadatwan Majapahit di Wilwatikta. Selain itu, menurut Nagarakretagama (pupuh 17.4 dan 17.5) tiap bulan sehabis musim penghujan (‘akhir musim dingin’) Hayam Wuruk biasa berkeliling ke desa desa sima pada sebelah selatan Jalagiri, atau melancong mengunjungi Wewe Pikatan dan Candi Lima. Atau pergilah Beliau bersembah bakti kehadapan Hyang Acalapati – pada Candi Palah (kini lazim di- sebut “Candi Penataran”). Setelah itu biasanya menju ke Balitar (kini “Desa Blitar” Kecamatan Sanan Kulon Kota Blitar), Jimur, dan mengun- jungi gunung-gunung yang permai. Tempat kunjungannya yang lain adalah daerah Dhaha, utamanya ke Polaman, Kuwu, Lingga hingga Desa Bangin. Jika Baginda berkunjung ke Jenggala, Beliau singgah di Surabaya dan terus menuju ke Buwun.     

Perjalanan tersebut terkesan dilakukan secara formal, sebagaimana tergambar pada penggu- naan atribut-atribut kenegaraan. Seperti mem& bawa serta pejabat tinggi dan bala tentaranya. Hal ini tergambar di dalam Nagarakrwetagama (pupuh 17.6) bahwa pada tahun “Akasatisurya (1275 Saka = 1353 Masehi) Sang Prabhu me- nuju ke Pajang membawa banyak pengiring. Demikian pula, ketika berkeliling naik kereta ke seluruh negeri menuju Lamajang dan daerah- daerah lain di DTK tahun 1369 Masehi, Sri Nata diiringi oleh semua raja Jawa beserta permai- suri, pegawai dan abdi, rani Sridewi, para men- teri, tanda, pendeta, pujangga, juga pecinta kakawin (Nag. 17.7 dan 18.4) – tidak terkecuali Prapanca. Gambaran tentang robongan besar tersebut antara lain didapati pada sesi keber- angkatan dari Kapulungan, dimana para abdi berdesak berarak. Sepanjang jalan penuh ke- reta, penumpangnya duduk berhimpit-himpit. Pedati berada di muka dan di belakang, dengan para prajurit berjalan kaki berada di tengah. Berdesakan berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda. Tak terhingga jumlah kereta. Berbeda-beda tanda cirinya, karena tiap-tiap menteri lain lambangnya. Sri Nata Pajang mi- sal, keretanya bergambar matahari. Adapun kereta Sri Nata Lasem bergambar banteng pu- tih yang cemerlang. Kereta Sri Nata Dhaha bergambar Dahakusuma berwarna emas mengkilat. Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian. Kerata Sri Nata Wilwatikta bergambar buah maja, beratap kain grinsing, berhias lukisan emas, bersinar merah indah. Adapun para wanita berkereta merah, berjalan paling muka. Kereta Sri Nata berhias emas dan ratna manikam, dan berada di paling belakang. Rapat rampak para prajurit pengiring Jenggala-Kadiri, Panglarang, maupun prajurit Bhayangkari berbondong-bomdomg naik gajah dan kuda (Nag. 18.1-5). 

Sebagai kunjungan kenegaraan, kedatangan Baginda beserta rombongannya mendapat sabutan marak dari pejabat bawahan maupun rakyat setempat. Bahkan pada tempat tertentu, misalnya ketika raja singgah dan bermalam di Patukangan (kini berada di wilayah Panarukan Kabupaten Situbondo), dilakukan audensi (se- macam  “pasowanan agung ” atau penghadap- an pada era Kasultanan), dimana para menteri dari Bali, Madura, Balumbung yang menjadi kepercayaan Baginda maupun menteri seluruh Jawa datang berkumpul (Nag. 28.1). Turut juga hadir Jaksa Pasungguhan, para Upapati, para pembesar agama Siwa dan Buddha, dan sege- nap penududuk di Patukangan. Demikian pula, ketika Sri Narapati (Hayam Wuruk) singgah di Keta selama sepekan, atas perintah dari sang aryya semua menteri diminta untuk menhadap Beliau. Serupa itu, ketika Baginda bermalam selama empat hari di Pajarakan. Dengan di- pimpin Aryya Sajanottana para menteri serta pendeta datang menghadap raja. Penyambutan kepada raja juga tergambar ketika raja Hayam Wuruk beserta rombongan tiba di Japan untuk menginap, bergegaslah barisan tentara datang menjemputnya (Nag. 58.2).  

Model kunjungan Hayam Wuruk itu mengingat- kan kepada model “turba (turun ke bawah)” ala Orde Baru, yang bersifat formalistik dan proto- koler. Bisa difahami apabila bersifat demikian, karena yang melakukan perjalanan itu adalah raja, keluarga raja beserta para pejabat tinggi pemerintahan. Selain itu ada maksud politis- simbolik pada kunjungannya, yakni sebagai wahana untuk melalukan “rekonsiliasi politik”, utamanya terhadap sejumlah daerah di DTA yang kala itu kondisi poltiknya belum sepenuh- nya kondusif pasca terjadi serangkaian perla- wanan di daerah pada era pemerintahan Raden Wijaya, Jayanegara hingga awal pemerintahan Tribhuana Tunggadewi. Terkait itu, di beberapa tempat pada DTK Hayam Wuruk dan rombong- an bermalam beberapa hingga hari, seperti di Sadeng, Patukangan, Keta, dan Pajarakan. Pada daerah-daerah yang sebelumnya pernah terli- bat konflik politik dengan pemerintah kerajaan Majapahit itu diselenggarakan penghadapan. Para menteri, jaksa, upapati, maupun pembesar agama (pendeta) Siwa dan Buddha diminta un- tuk datang mengahdap Raja. 

Kahadiran raja dan para pembesar kerajaan mendapat sambutan marak. Hal ini antara lain tergambar manakala Baginda merjunjung ke Kagenengan. Rombongan tamu Negara, yang datang dengan membawa harta, perlengkapan, makanan dan bunga mengikuti jalannya ken- daraan yang didahului olrh kibaran bendera disambut sorak-sorai para penonton. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pa- kaian yang indah (Nag. 36.1-2). Serupa itu, ketika Hayam Wuruk dan rombomgan tiba di Jejawar, para penonton menyambut dengan bersorak gembira (Nag. 55.3). Bagitu pula, ketika Hayam Wuruk berkunjung ke Pajarakan, para menteri dan pendeta datang membawa pacitan dan santapan. Sebagai penggantinya (excanges), mereka menerima anugerah uang (Nag.32.1). Gambaran demikian terlihat ketika Hayam Wuruk berjunjung ke Keta. Rakyat da- tang dengan suka rela tanpa diundang sambil membawa santapan, dan mereka menerima balasan (Nag. 30.2). Suasana marak juga ber- langsung di Patukangan. Disajikanlah seni pertunjukan (tari topeng) maupun permainan (bergumul dan bergulat) yang membuat orang terkagum dan penduduk bergembira mendapat kesukaan (Nag. 27.2). Selain itu, pada suatu esok hari Baginda keluar di tengah-tengah rakyat, diiringi para kawi dan pujangga untuk menabur harta, yang membuat gembira rakyat (Nag. 28.3). Pada saat melaksanakan tour de insperction seperti itulah, acap Sang Pengusa tampil “dekat dengan rakyat” untuk mendapat simpati daripadanya.    

B. Desawarnana, Suatu Reporasi Perjalanan Kenegaraan Era Majapahit 

Meski tidak keseluruhan isinya, sebagaian isi kakawin Nagarakratagama memuat reportasi perjalanan keliling (jurny report) Hayam Wuruk beserta rombongan ke sejumlah tempat di wl- layah kekuasaan Majapahit, baik ke arah barat (Pajang dan Lasem), selatan (Lodaya, Balitar, Palah, Simping hingga Sideman maupun ke wilayah nagari Daha -- termasuk di dalamnya Polaman, Kuwu, Lingga dan Bangin), utara (Jenggala -- termasuk di dalamnya Surabaya dan Buwun), ataupun ke arah timur (Lamajang dan daerah-daerah lainnya di DTK). Dari kese- luruhan pupuh (98 pupuh) di dalam kakawin Nagarakretagama terdapat 31 pupuh (sekitar 1/3 bagiannya), yaitu : pupuh 17-38, pupuh 53-60, pupuh 61-62, dan pupuh 70, yang di dalamnya memuat informasi mengenai perja- lanan berkeliling raja Hayam Wuruk beserta rombongan. Berikut ini sejumlah pupuh yang memberitakan tentang perjalanan berkeliling tersebut. 

1. Perjalanan Kelililng Seluruh Negeri ke Lamajang beserta Daerah-daerah di DTK dan Malang

Pupuh 17.4-7 dan 17.10-11 menginformasikan perjalanan menuju ke Pajang pada tahun 1353, ke Lasem tahun 1354, Lodaya dan sekitarnya tahun 1367, maupun ke Lamajang tahun 1359 Masehi. Berikutnya berisi keterangan tentang awal perjalanan ke arah Lamajang melewati Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Balada dekat Kanci, Ratnapangkaja dan Kuti Haji Pangkaja, Mandala Panjrak, Pongging, Jinggan, Kuwu Hanyar, Candi Pancasara, hingga tempat inap- mya di Kapulungan. 

Pupuh 18.1-8 menginformasikan perjalanan dari Kapulungan menuju Pancuran Mungjkur, Sawungan, Watu KIlen, Mananjung, Gelang- gang, Bandung, Barungbung, Ermanaik, Kulur, Barang di Gangan Asem, dan bertenda di tengah sawah.

Pupuh 19.1-2 menginformasikan perjalanan menuju Baya, lalu ke Katang, Kedung Dawa, Rame, Lampes, Times, biara di Pagora, Beringin Tiga di Dadap, hingga sampai desa Kasogatan Madakaripura. 

Pupuh 20.1-2 menginformasikan perjamuan di desa Kasogatan {Madakaripura] – berdatangan penduduk dari desa-desa sekitar, seperti dari Gapuk, Sada, Wasisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar We Petang, Tunggilis, Pabayemaman, Ratnapangkaja di Carcan.

Pupuh 21.1-2 menginformasikan perjalanan dari desa Kasogatan Madakaripura menuju ke Lo Pandak, Ranu Ku-ning, Balerah, Bare-Bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang, Kasaduran, Pawijungan, Jala-dipa, Talapika, Padali, Ambon, Panggulan, Payaman, Tepasa- na, Kota Rembang, hingga Kemirahan di areal pantai.

Pupuh 22.1-5 menginformasikan perjalanan ke Dampar dan Patanjungan di tepi pantai, lantas menuju ke areal tepi danau yang penuh teratai, dilanjutkan ke Wedi dan Guntur, dan kasogatan Bajraka yang masuk dalam wilayah Taladwaja. Kemudian menuju ke timur mengikuti hutan tepi laut hingga Palumbon untuk berburu se- bentar, lalu menyebarang Sungai Rabutlawang, menuruni lurah Balater menujun ke arah pantai untuk bermalam. Keesokkan harinya menuju ke Kunir, Basini, dan bermalam di Sadeng hingga beberapa malam sembari menikmati keindah- an alam Sarampuan. Cacatan : Prapanca me- nyidat jalan dari Sadeng ke arah utara menuju Kota Bacok di areal pantai, dilanjut ke Balung, Tumbu dan Habet, Galagah, Tampaling, Per- temuan Prapanca dengan rombongan Baginda di perjalanan menuju ke Jayakerta-Wanagriya.  

Pupuh 23.1-2 menginformasikan  perjalanan menuju ke Doni, Bontong, Paruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan, Secang, Jati Gumelar, Silabango, Dewa Rame, Dukun, Dan bermalam Pakembangan. Keesok-an hari berangkat ke lurah Daya dan segera menuruni jurang.  

Pupuh 24.1-2 mengonformasikan perjalanan menuju ke Palayangan, Bangkong Sarana, m Surabasa, dan Turayan. Bergegas untuk secera mencapai Patukangan.

Pupuh 25.1-2, pupuh 26.1, pupuh 27.1-2, pupuh 28.1-3 dan pupuh 29.1-2 menginformasikan mengenai Patukangan, yang berada di tepi laut lebar dan tenang, terletak di barat Talakrep, dan di sebelah utara Pakuwuan.  

Pupuh 29.3 menginformasikan perjalanan dari Patukangan melalui Tal Tunggal, Halalang Panjang, Paca-ran, Bungatan, Toya Rungun, Walanding, dan bermalam di Tarapas. Pagi harinya berangkat menuju ke Lemah Abang dan sampailah di Keta.

Pupuh 30.1-2  menginformasikan bahwa Sri Narapati tinggal di Keta selama 5 hari.   

Pupuh 31.1-6 mwnginformasikan perjalanan dari Keta menuju ke Banyu Hering, Sampora, Dalweman, Wawaru, Gwebang, Krebilan, dan sampailah di desa perdikan Kasogatan Kalayu. Baginda melakukan penyekaran ‘mamegat sigi”, yang disertai dengan gelar pertunjukan music dan tari. Setelah menginap beberapa malam di Kalayu, perjalanan di lanjutkan ke Kutungan melalui Kebon Agung untuk ber- malam di Kambangrawi. Di tempat ini Baginda melakukan perjumpaan dengan Tumenggung Empu Nala. Pada pagi harinya perjalanan dilan- jutkan ke Halses, B’rungrang, Patunjungan, melintasi Patentanan, Tarub, dan Lasem.  

Pupuh 32.1-6 menginformasaikan perjalanan lenjutan ke Pajarakan untuk bermalam empat hari dengan bertenda di tanah lapang sebelah selatan Candi Buddha. Pada kesempatan itu Baginda berangkat menu- ju ke  asarama Sagara ada kemungkinan kini berada di sekitar Candi Kedaton di Kecamatan Tiris pada le- reng utara Gunung Hyang atau Argopuro) yang ketikaitu masih di barada tengah-tengah hutan, dengan melintasi terusan Buluh dan wilayah Gede. Selain itu memuat keterangan tentang kesinggahan Hayam Wuruk di srama Sagara, termasuk informasinya tentang bangunan suci pada areal pesanggarahan yang dilengkapi pahatan (relief candi).

Pupuh 33.1-3  menginformasikan tentang ja- muan makan para pendeta kepada Baginda pasca berkeliling pesanggrahan. Raja memberi balas ganti harta atas penyajian santapan me- reka. Seusai bertukar kata tentang arti dari kependetaan dan bercangkerama di taman yang penuh kesukaan. 

Pupuh 34. 1-4 menginformasikan mengenai perjalanan lanjutan dari srama Sagara menu- unju ke Aryya untuk menginap semalam. Pada oaginya perjalanan dilanjutkan ke arah utara menuju Desa Gading, dan berstirahat agak lama disini. Perjalanan diteruskan menuju ke Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi, lalu lurus ke arah barat.  

Pupuh 35.1-4 menginformasikan bahwa perja- lanan sampai di Pasuruan, lalu menyimpang jalan ke arah selatan menuju ke Kepanjangan, dilanjukan ke Andoh Wayang, Kedung Peluk, Hambal, dan sejera me-nuju ke Kota Singhasari untuk berlaman di Balai Kota. Adapun rakawi Prapanca tinggal di sebalah barat Pasuruan untuk terus melancong menuju ke asrama Indarbaru di Desa Hujung, dan seusai itu ber- gegas ke balai Singhasari. Sehabis berkunjung ke bangunan suci (candi), baginda menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurang- ganan dan Bureng.  

Pupuh 36.1-2 dan pupuh 37.1-7 menginforma- saikan tentang kunjungan ke Kagenengan, serta deskripsi candi Siwa di Kagenangan dan candi Kasogatan di sebelah selatannya yang terbengkelai, serta bekas kaki rumah yang suah rata di sebelah utaranya. Esok paginya Hayam Wuruk berkunjung ke candi Kidal, lalu ke Jajaghu, dan kemudian berangkat ke pengi- napan. Keesoakan harinya, dalam perjalanan balik ke Singhadari, terlebih duku singgah di Bureng.  

Pupuh 38.1-6 memuat deskiripsi mwengenai keelokan telaga Bureng beserta bangunan candi, rumah berderet dan aneka tanaman hias yang membuat para pelancong mendapat sari kesenangan. Setelah lewat terik mentari dilan- jutkanlsh perjalanan dari Bureng menuju ke pesanggrahan di Singhasari. Diinformasikan juga kesinggahan Sang Pujangga (Prapanca) ke rumah Pendeta Buddha yang telah lanjut usia untuk men- dapatkan informasi mengenai Bhattara Kagenangan yang menjadi “putera Girinata”. Catatan : pupuh 39.1-3, 40.1-5, 41.1-5, 42.1-3, 43.1-6, 44.1-4, 45.1-2, 46.1-2, 47.1-3, 48.1-3, 49.1-8 menginformasikan tentang kisah sejarah raja-raja Singhasari sejak “Putera Girinata (Ken Angrok atau Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi hingga Kretanegera, dan raja-raja Majapahit semenjak Dyah Wijaya , Jayanegera hingga Rani Jiwana Wijayatingga- dewi. Pupuh selanjutnya, yaitu 50.1-6, 51.1-7, 52.1-3, 53.1-5, 54.1-3, dan 55.1 memampakan tentang perburuan ke hutan Nandawa.        

Pupuh 55.2-3 mengonformasikan perjalanan dari Singhasari menuju Banyu Hanget, Banir, Talinjungan, dan bermalam di Wedwawedan. Siang hari berikutnya perjalanan dilanjutkan ke Kuwarahan, Celong, Dadamar, Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, melintasi Tambak, Rabut, Wahuya, terus ke Balanak, Pandakan, Banaragi, dan bermalam di Padamayan. Esok harinya kebali ke selatan, lalu ke barat menuju Jajawar di kakai gunung berapi. 

Pupuh 56.1-2 dan pupuh 57.1-6 mendeskripsi- kan Candi Jejawar sebagai pendharmman bagi Sri Kretanegara.  

Pupuh 58.1-3 menginformasikan perjalan  me- nuju Padameyan, Cunggrang, masuk ke hutan rindang ke asrama para peratapa pada lereng gunung menghadap jurang, kemudian menuju ke Japan untuk menginap. 

Pupuh 59.1-7 dan pupuh 60.1-4 menginforma- sikan mengenai perjalanan lanjutan untuk kembali menu- ju ibukota Majapahit. Rakawi Prapanca menyidat jalan menuju ke Rabut, Tugu, Pengiring, dan singgah di Pahyangan. Melewati pula Banasara, Sangkan Adoh. Pada puku dua Baginda beserta rombongan teklah sampai di perbatasan kota, dan mendapat sambutan yang amat marak dari warga kota. Setelah Baginda masuk ke pura, semua orang yang menyambutnya bubar ke rumah masing- masing.


2. Perjalanan ke Trip dan Sempur serta Pejalanan Ziarah ke Palah

Pupuh 61.1-3 menginformasikan perjalanan Baginda pada tahun Saka 1282 (1360 Masehi) ke Tirip dan Sempur yang berada di saekitar hutan. Selanjutnya, pada tahu Saka 1283 (1361 Masehi) dilakukan perjalanan ziarah ke Palah, serta mengunjungi Jimbe, Lawang Wentar, Balitar, lalu ke arah selatan sampai Lodaya untuk bermalam beberapa hari. Selanjutnyam dari Lodaya menuju ke Simping. 

Pupuh 62.2 menginformasikan mengenai per- jalanan pulang ke kadatwan Wilwatikta dengan melewati Jukung, Jnanabadra, terus kea rah timur hingga Bajralaksmi, dan bermalam di Surabawana. Keesokan harinya perjalanan dilanjukan menuju ke Bekel, dan pada sore harinya telah sampai di pura. 


3. Perjalan ke Simping  

Pupuh 70.1-3 menginformasikan mengenai perjalan Baginda ke Simping pada tahun Saka 1285 (1363 Ma-sehi). Diinformasikan pula tentang ritus persajian di Candi Simping. Sekambali dari Simpung, Baginda segera masuk ke pura.


C. Pemerian tentang Desa-desa Terkunjungi dalam Perjalanan Inspeksi Hayam Wuruk

Sumber berita mengenai situs-situs terkun- jungi dalam tour de inspection Hayam Wuruk dan rombongan itu adalah Nagarakratagama, yakni suatu susastra kakawin yang rampung disurat oleh rakawi Papanca pada tahun 1365 Masehi, semasa pemerintahan raja Hayam Wuruk. Sebagai orang yang turut menyertai perjalanan Baginda, Prapanca mendeskiripsi- kan secara cukup rinca dan faktual tentang apa yang dilihatnya, apa dirasakan menurut intuisi- nya, dan informasi penting yang diperolehnya dari para nara sumber tatkala menyertai per- jalanan inspeksi tersebut. Oleh karena susatra ini adalah informasi sezaman (sinkronik) ten- tang keadaan dan kejadian yang berlangsung pada era pemerintahan Hayam Wuruk, maka gambaran mengenai banyak tempat yang di- kujungi beserta kejadian-kejadian penting tatkala persingghan itu berlangsung adalah gambaran yang relatif nyata perihal pedesaan, kota, kondisi geografis, kehidupan sosial dan budaya setempat maupun perilaku raja beserta anggota rombongannya selama dalam perja- lanan. Paparan Prapanca tentangnya seakan ropertase atau catatan perjalanan (journey report) yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk susastra kakawin. 

Sebenarnya, gambaran mengenai desa-desa yang termaktub dalam kakawin ini tidak hanya diinformasi-kan oleh 31 pupuh yang secara langsung mendeskripsikan enam kali perja- lanan Hayam Wuruk, namun juga tersirat di dalam pupuh-pupuh lain yang memberitakan mengenai : (a) desa-desa perdikan (sima) yang berada di bawah perlindungan dari Baginda, sebagaimana tertuang di dalam pupuh 76.1-2 mengenai desa perdikan Saiwa, (b) pupuh 76. 3-4 mengenai desa perdikan Kasogatan, (c) pupuh 77.1-3 tentang desa-desa kebuddhaan Bajradhara, (d) pupuh 78.1 mengenai desa- deda karsyan, (e) pupuh 78.2 mengenai desa perdikan tanpa candi, (f) pupuh 78.4 tentang desa perdikan Waisnawa. Selain desa-desa di Jawa itu, (g) pupuh 80.1 informasikan tentang desa-desa perdikan kebuddhaan di Bali serta candi-candi penddharman di Bali. Gambaran tentang pertanian di pedesaan, khususnya (h) ekstensifikasi pertanian dengan pembukaan ladang-ladang ataupun persawahan baru di pedesaam tergambarkan  pada pupuh 82.2. 

Demikian pula sejumlah candi (27 penddhar- man), baik Hindu ataupun Buddhis, tersebar di penjuru desa, yang secara arsitektural dibina ulang dan dilengkapi dengan prasasti [untuk mencegah perselisihan jikalau sudah menurun] atas perintah Hayam Wuruk, tergambar pada pupuh 73.2-3. Hal ini memberi kita gambran bahwa kakawin Nagarakrtetagama bukan hanya memuat informasi tentang bagaimana menata birokrasi pemerintahan dan mengelola kekuasaan kerajaan Majapahit, namun seka- ligus memuat informasi yang tidak sedikit atas gambaran desa-desa dengan keragamannya. Kata Sanskrit “warnana” yang diserap ke dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan secara harafiah berarti : pemerian, deskripsi, kompo- sisi (Zoetmulder, 1995:1394). Demgam demi- kian, kata gabung “desawarnana” mengandung arti : deskrisi atas desa- desa. 

Naskah susastra yang diketemukan di Puri Cakranegera Lombok pada tahun 1894 ini oleh sejumlah ahli terdahulu – seperti : Jl. Brandes, H. Kern (1919) dan N.J. Krom, Poerbatjaraka (1924), C.C. Berg, F.D.K. Bosch, A. Teeuw dan Uhlenbeck (1958), Th. G, Th. Pigeaud (1960- 1962), Slamet Mulyana (1979), dsb. -- disebut dengan judul naskah “Nagarakretagama”. Sedangkan S.0. Robson (1995) berdasarkan sejumlah naskah serupa yang ditemukan di daerah Klungkung dan Karangasem, menyebut dengan “Desawarnana (Nagarakretagama)”. Menurut Robson, nama  “Desawarnana” itu adalah judul asli yang oleh diberikan penyair pada kakawinnya. Adapun “Nagarakretagama’ adalah judul tambahan yang hanya ditmukan pada kolofon, dan mungkin diciptakan bela- kang hari oleh salah seorang penyalin naskah di Pulau Bali (Pigeaud, 1962, IV : 344-347).

Sebutan “Desawarnana” itu sesuai dengan pokok isi dari kakawin ini yang benyak mem- berikan gambaran tentang desa-desa di Jawa Timur masa Majapahit pada medio abad XIV Masehi. Pada sejumlah pupuh yang telah di- paparkan di atas, gambaran tentang desa-desa Majapahit itu mweliputi : (a) kondisi lingkungan fisis-alamiahnya, termasuk flora, fauna serta panorama keindahan alamnya (b) letak geo- grafisnya pada bentang wilayah Jawa Timur, (c) bangunan suci dserta bangunan publik yang terdapat padanya, (d) jarak tempuh de- ngan kendaraan kereta, pedati, kuda dan gajah antar suatu desa atau tempat ke desa/tempat lain, (e) latar keagamaan di suatu tempat kala itu, (f) latar kesejarahan, (g) kehidapan sosial- budayatnya, (h) dsb.  

Ragam informasi tentang itu tentulah penting atinya, bukan hanya untuk rekonstruski histo- ris, namun toponimi-toponimi arkaisnya dapat dijadian pembanding dengan nama-nama desa atau daerah di masa sakarang, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melokasi- kannya di suatu tempat pada masa sekarang, seperti yang dilakukan oleh Th, G. Th. Pigeaud di dalam bukunya “Java in the 14th Century”, jilid I-V (1960-1962) maupun Hadi Sidomulyo dalam bukunya “Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca’ terbitan tahun 2007. Tulisan ini tidak mencantumkan hasil pelokasian desa-desa atau tempat-tempat yang disebut dalam kitab Desawarnana menurut pendapat dari kedua- nya. Dipersilahkan untuk membacanya sendiri. Kondisi fisis-alamiahnya di masa lampau juga menjadi infomasi penting untuk mendpatkan gambaran tentang peru- bahan ekologis dan infrastruktur dari waktu ke waktu hingga kini. 


D. Propeksi Kajian dan Kemanfaatannya

Kendati sesastra Kakawin Nagarakretagama (Desawarnana) telah cukup banyak mendapat kajian, namun bukan berarti bahwa telah se- mua informasil yang terkadung di dalamnya telah ditelaah tuntas. Ada banyak hal yang memerlukan eksplorasi dan pengkajian lan- jutan. Sebagai suatu sumber data tekstual yang memuat banyak informasi, Desawarnana (Nagarakretagama), yang ibarat “ensoklopedia eko-sosio-kultura masa lalu” itu adalah sumber pencarian tentang beragaman aspek keseja- rahan Jawa, khususnya Jawa Timur. Ragam aspek historis itulah yang untuk kepentingan sekarang masih memberi kemanfaatan, teru- tama mengenai bagaimana pemerintah dan msayarakat semestinya mengelola desa- desanya, mengingat desa adalah pangkal eko-sosio-kultura dari suatu daerah dan lebih lekuas lagi nagera. Kuat daerah, kuatnya naga- ra ditentukan oleh kuat/lemah desa-desanya. 

Beruntunglah susastra ini memuat gambaran mengenai kawasan yang luas di wilayah Jawa Timur melalui rekaman (recording) yang dila- kuan oleh rakawi Prapanca atas perjalanan panjang Hayam Wuruk beserta rombongan dalam enam kali tour de inspection-nya. Khususnya perjalanan ke Lamajang (kini ‘Lumajang’) beserta daerah-daerah lain di DTK serta Malang, yang untuk ukuran waktu itu merupakan ‘touring yang spektakuler’ dilihat dari jarak tempuhnya yang ratusan kilometer, kondisi alamnya yang cukup menantang kala itu, kendaraan tradisional yang dipergunakan, orang atau pihak yang terlibat dalam rombong- an besar perjalanannya, dsb. Hayam Wuruk se- bagai raja bisa dibilang seorang ‘turbais’ atau ‘blusukers’ yang mau dan sanggup melakukan perjalanan yang belum tentu raja-raja yang lain mau dan mampu melakukannya. Pada masa yang lebih muda, "touring panjang" ke penjuru tempat di Jawa pernah pula dilakukan oleh Bhujangga Manik, lantas Syeh Amongraga di dalam "Serat Centini", namun keduanya adalah rokhaniawan. 

Perjalanan berkeliling yang dilakukan oleh ra- jam Hayam Wuruk dan rombongan besarnya itu memiliki beberapa fungsi srksligus, yakni (a) fungsi politis, berkenaan dengan strategi "rekonsiliasi politik", (b) fungsi rekreatif, yakni untuk cangkerama dan kasukan, (c) fungsi re- ligis sebagai perjanan ziarah, (d) fungsi infor- matif untuk sebanyak mungkin menyerap ra- gam informasi dari masyarakat lintas deerah, dan (e) fungsi historis untuk melacak jejak se- jarah para leluhurnya. Atas ragam fungsi dan spektakuritas perjalanannya itu, ada baiknya kelak dikukan ‘Eksperdisi Desa Warnana” guna menapaktilasi perjalananya. Nuwun.   

Sangkaling, 22 Juni 2021

(Tulisan dan Ilustrasi, M. Dwi Cahyono)