TUNGKU, "DAPUR NGEBUL" PETANDA HIDUP BAGi KEHIDUPAN : Antara Warga Tengger dan Lundayeh

SumberFoto : M.DwiCahyono
Oleh: M. Dwi Cahyono
(Arkeolog dan Sejarahwan Nusantara)

A. Tungku sebagai Pertanda Hidup
Sebelum "era kompor", entah kompor minyak atau kompor gas, bagian inti dari dapur (pawon) keluarga adalah tungku (bahasa Jawa "pawonan"). Pemakaian unsur sebutan "pawon" dalam "pawon+an"memberi petunjuk akan urgensi tungku pada dapur. Jaminan kelasungan hidup ada pada tungku, yang digunakan untuk menanak makanan, memasak air dan mengawetkan bahan makan guna menopang kehidupan. Dari tungku lah kehidupan keluarga bermula. Sebaliknya, pencaharian hidup yang dilakukan oleh anggota keluarga dimaksudkan untuk dapat menghidupkan tungku, membuat dapur agar menjadi "ngebul".
Tungku yang mengepulkan asap, disebut dengan "dapur ngebul". Kepulan asap darinya menjadi petanda bahwa kehidupan di keluarga bersangkutan berlangsung. Asap tungku yang membumbung tinggi menembus celah atap terrlihat dari kejauhan atau dari ketinggian. Pagi dan sore, bahkan hingga larut malam, adalah bagian waktu padamana dapur rumah tinggal mengebul. Pada siang hari, acap tungku di pondok- pondok ladang mengebul, pertanda bahwa para pengolah sawah/ladang tengah beristirahat sambil menikmati makan siangnya. Dapur, ya dapur, lagi-lagi menjadi pensuplai energi agar kehidupan menjadi lebih hidup.
B. Tungku Warga Tengger dan Dayak Lundayeh
Bagi Masyarakat Tengger di era pra-kompor gas, tungku kayu bakar (pawonan) adalah int darii rumah tinggal. Suatu anggota keluarga batih yang telah menikah namun masih tinggal untuk sementara waktu bersama orang tuanya baru dinyatakan "mandiri" apabila telah memiliki tungku sendiri. Demikian pentingnya tungku pada masyarakat Tengger, maka pada prosesi pernikahan mempelai dikelilingkan sebanyak tiga kali secara pradaksina (searah dengan putar jarum jam) dengan sentra putar tungku. Begitu pula jika tengah punya hajat, tungku pun diberi sesajian, yang ditujukan kepada "Among Geni".
Bagi warga Tengger, aeral sekitar tungku (dapur) bukan hanya untuk kegiatan masak-memasak, namun lebih dari itu menjadi ajang kumpul keluarga batih. Rp keluarga dan cengkraman bersama anggota keluarga dilakukan di dapur pada sekitar tungku. Ada nafas sosial yang berhembus di dapur, ada nyala semangat untuk meniti hidup yang bernyala seiring dengan nyala api di tungku. Tak jarang areal sekitar tungku dijadikan sebagai tempat untuk penjamu tamu. Meski rumah tinggal itu memiliki ruang tamu, namun ruang tamu yang sesungguhnya adalah dapur Dalam hal demikian, dapur memiliki fungsi ganda, yakni tempat memasak dan sekaligus ruang tamu, dimana tungku sebagai inti dapur
Pendek kata, tungku mempunyau fungsi sosial, yang secara simbolik menjadi inti kehidupan keluarga. Oleh karenanya ada penghormatan yang ditujukan pada tungku. Pada masyarakat Tengger terdapat pantangan untuk melangkahi kayu bakar yang tengah digunakan untuk memasak. Selain itu, bahan makan dan hasil panen tertentu pun acap ditempatkan pada perancah yang menaungi tungku (bahasa Jawa "pogo"). Demikianlah, meski nuansa dapur serba hitam lantaran berbalut jelaga dan terjena asap, namun dapur punya posisi penting di lingkungan a keluarga Tengger, yakni (a) tempat memasak, (b) ruang bincang keluarga, bahkan (c) tempat menerima tamu. Dengan kata lain, dapur padamana tungku menjadi intinya memiliki multi fungsi.
Namun apa yang dipaparkan pada dua alinea diatasi adalah kondisinya dulu. Adapun kini, sebagian besar dapur di Tengger, beserta tungkunya telah kehilangan urgensi fungsinya yang demikian, seiring dengan bumingnya kompor gas. Walaupun hampir setiap rumah tinggal miliki tungku, namun tak semua tungku digunakan riil untuk kegiatan memasak sehari-hari. Tungku itu hanya dipakai saat-saat tertentu, misalnya ketika ada hajatan. Bahkan, tak jarang tungku dilapisi dengan keramik dan dinding dapur dicat bersih serta dihindarkan dari jelaga maupun asap kayu bakar. Walhasil, tungku pun beralih fungsi sebagai meja tempat penyajian makanan atau minuman. Jikapun ada warga Tengger yang masih mempunyai tungku lama, maka jumlahnya kian terbatas, begitu pula frekuensi penggunaannya. Banyak tungku yang kini "hidup kesepian".
Berbeda halnya dengan di masyarkat Dayak, misalnya pada warga sub-etnik Lundayeh di Krayan. Kendati mereka telah mengenal bahan bakar gas -- sebagian besar berasal dari Serawak, namun masing-masing keluarga masih memiliki tungku (tetel baang) berbahan kayu dan digunakan sehari-hari. Penerimaan tamu dan bincang keluarga pun masih acap dilakukan disekitar tungku. Seperti juga pada nasyarakat Jawa di masa lampau, terdapat juga perancah yang menaungi tungku perapian, yang digunakan untuk megawetkan bahan makan dan menyimpan peralatan dapur. Dahulu di Jawa kipas (tepas) dan tabung oenghembus udara digunakan untuk memarakkan nyala api. Kini tabung hembus udara itu telah jarang digunakan di Jawa. Sedangkan pada warga Dayak Lundayeh, tabung hembus ydara dari sekerat batang bambu kecil dan penjepit kayu/arang yang jyga dibuat dari bambu masih digunakan hingga kini.
Uniknya, meskipun rumah tinggalnya berpanggung, dengan lantai papan, namun tungku ditempatkan di dalam rumah pada lantai papan yang dilindungi dengan tanah untuk mencegah kebakaran. Umumnya, tungku ditumpangkan pada pedestal di atas lantai papan rumah panggung. Untuk mencegah terjadi kebakaran, maka antara tungku dan pedestal diberi lapisan tanah, bata, ataupun plesteran. Mustilah berhati-hati dalam menggunakan tungku di dalam rumah kayu. Kendati demikian, jarang terjadi kebakaran rumah akibat kecerobohan dalam penggunaan tungku.
C. Kelak Tungku Tinggal "Cerita Masa Lalu"
Sebenarnya, ketika bahan bakar minyak dan gas kian mahal ataupun langka, maka tungku adalah alternatif pengganti. Minyak dan gas bumi merupakan sumber energi yang "tidak terbaharui" . Berbeda dengan kayu bakar, yang adalah bahan bakar "terbaharui", sehingga sepanjang masih ada tanaman, maka bahan bakar ini akan tetap ada Namun kini kayu bakar pun tak mudah didapat -- utamanya di perkotaan. Kalaupun bisa dudapat, kebanyakkan orang beranggapan bahwa emasak dengan tungku kayu bakar sebagai ribet karena musti dimulai dengan mmenyalakan api (cetik geni), yang bagi orang yang tak terbiasa, hal itu tidaklah mudah. Selain itu, ada pandangan bahwa memasak dengan kayu bakar adalah jorok (kotor). Oleh karena itu, kini banyak orang merasa enggan berhubungan dan bersedia menggunakan tungku. Jika demikian, pada akhirnya nanti, tungku tinggallah "cerita masa lampau", bahwa konon leluhurnya pernah memasak dengan bahan bakar kayu di tungku perpiaan.
Semoga keberadaan tungku pada masyarakat Nusantara bisa lestari. Memang hal itu tidak mudah, karena tungku kayu bakar musti bersaing ketat dengan kompor minyak ataupun kompor gas, yang kini kompor telah menjangkau pelosok-pelosok di antero Indonesia. Jika akhirnya tungku hilang dari publik, maka paling tidak tungku kayu bakar perlu dihadirkan sebagai atraksi budaya masa lalu yang bersifat memorial, atau sebagai sajian di museum. Nuwun.
Sangkaling, 18 Oktober 2018
Griya Ajar CITRALEKHA
(Sumber: FB Dwi Cahyono)