EKO-KULTURA CANDI-PATIRTHAN SONGGORITI: Identifikasi Bangunan Suci "Mananjung" dalam Prasasti Sangguran


Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog - Sejarahwan Nasional)

A. Paleo-Ekologi Songgoriti

1. Varian Pengartian Kata Gabung "Songgoriti"

Candi Songgoriti berada di Jl. Songgoriti Dusun Singgoriti, Kelurahan Songgokerto Kecamatan Kota pada Kota Batu. Baik dusun ataupun desa itu sama-sama memilikii unsur nama "songgo". Paling tidak terdapat dua eksponen pendapat mengenai nama (toponimi) "Songgpriti. Analisis toponimi berikut perlu dilakukan, karena dibalik namanya ada informasi masa lalu yang tersirat, baik berkenaan tatikh pembangunan candi, potensi fisis-alamiah dan aktifitas warganya pada masa lampau 

Eksponen pendapat pertama, nama (toponimi) "Songgoriti" dipandang sebagai kata gabung dari kata 'songgo" dan kata "riti". Dalam bahasaJawa Baru, istilah "sangga (songgo)" antara lain berati menumpangkan pada tangan (Mangunsuwito, 2013::427). Namun, dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan kata "sangga" antara lain berarti berhubungan dengan -- misalnya kata "sanggama", atau berarti: kumpulan (Zoetmulder, 1995: 1019).  Dalam analisis linguistik ini, berarti ditumpangkan di atas atau berhubungan dengan atau sekumpulan "riti".

Istilah "riti" tak dikenal dalam bahasa Jawa Baru. Namun, tetdapat dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, yaitu "riti" atau "ariti", berarti logam tertentu. Misalnya, perkataan "wesi riti tambaga" yang disebut di kakawin Parthayajna (8.3) dan "wesi riti tambaga salaka" yang disebut dalam kitab Tantri Kamandaka (62). Berdasarkan analisis lunguistik terhadap topinimi "Songgoriti" bisa diartikan : berhubungan dengan, atau dapat berarti: sekumpulan (timbunan) logam tertentu, seperti logam besi (wesi), tambaga (tembaga) dan perak (salaka). Dalam kaitan dengan logam itu, menariknpula untuk dicermati adanya nama kampung di sekitar Songgoriti seperti Kemasan (tempat pengrajin emas) dan Pandesari (pusat perajin ogam). Ada pula yang mengartikan kata "riti" dengan : tanah (?), Sehingga kata gabung itu  diartikan: disangga atau ditopang oleh tanah. 

Eksponen pendapat kedua, ada kemungkinan bahwa "Songgiriti" bukan meripakan bentukan (kata gabung) dari "songgo + riti", melainkan "sang artiti". Sebagaimana dipaparkan diatas, kata "riti" atau variannya "ariti" berarti : logam tertentu. Dengan demikian, kata gabung dua dari kata "sang (kata sandang :  memuliakan, atau honorifix prefix)" dan "ariti (logam tertentu)", yang menunjuk pada logam tertentu yang dimuliakan. Apabila pemenggalan kata "Songgoriti (Saggariti)" menjadi kata "sanga (sembilan)" dan "riti", maka menunjuk kepada sembilan jenis logam. 

Penekanan arti jepada logam ini penting untuk dicermati, mengingat vahwa terdapat legenda lokal yang menghubungkan Songgoriti dengan tokoh Empu Supo, yakni pande sejata (utamanya keris) yang teresohor. Dalam tradisi lusan, Mpu Supo Madrangi adalah saudara kandung dari Mpu Tumenggung Supodriyo. Mpu Supodriyo adalah suami dari Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga. Ia adalah Empu kerajaan Majapahit yang hidup di sekitar abad XV Masehi. Karya karyanya yang masyhur antara lain Keris Kyai Nagasasra, Kyai Sengkelat dan Kyai Carubuk. Uniknya, Oleh warga setempat candi ini juga dinamai dengan "Candi Supo". Terkait dengan pembuatan keris, ada beberapa jenis logam yang "disatutubuhkan" menjadi suatu bentuk senjata. Varian lainnya dari ekspononen  pendapat ini adalah "sang- + Harti', dimana Hariti atau di Bali disebut "Men Brayut" adalah Dewi Kesuburan, khususnya kesuburan anak. 


2. Gambaran Ekologis Songgoriti dan Sekitarnya

Secara ekologis Songgoriti terbilang areal yang subur. Letaknya pada 998 meter DPL berada di lembah antara dua gunung, yaitu (a) di sebelah utara Gunung Panderman (anak Gunung Kawi) dan (b) selatan Gunung Banyak (anak Gunung Anjasmoro). Pada masa amat lampau, tepatnya sebelum kala Pleistocen, baik Gunung Kawi ataupun Gunung Anjasmoro merupakan "gunung berapi (vulcan)". Pada posisinya di lembah antara dua gunung, dapat difahami  bila di Songhoriti dan sekitarnya terdapat sejumlah sumbet air. Bahkan, terdapat sumber air yang mengandung belerang (sulfur), utamanya pada sekitar Hotel Songgoriti. Hal ini mengindikasikan adanya peristiwa intrusi dari lobang kepundan ke arah lembah di masa lalu, yang mengingatkan kita pada sumber belerang di Cangar, di Pacet, dsb. Uniknya, Candi Songhoriti berdiri tepat di mata air (tuk) belerang tetsrbut. Dengan demikian, ada kalkulasi khusus dalam pemilihan lokasi untuk mendirikan candi, yaitu di suatu sumber air belerang. Hal ini sesuai dengan bentuk arsitekturnya yang berupa paduan antara candi dan kolam suci (patiryhan), sehingga tepat bila disebut sebagai "Candi-Patithan Songhoriti".

Dalam kondisinya yang sekarang Candi-Patithan Songgoriti berada di lingkungan Pemandian Air Panas Alami (PAPA). Bahkan, sebagian dari areal situsnya, khususnya pada sisi timur yang konon merupakan areal patithan telah "termakan" buat bangunan hotel. Sumber air belerang berada sedikit sebelah barqt barat candi, yang kini sebagian airnya dialirkan ke kamar mandi khusus air panas. Kolam air panas yang dulu terletak mengelilingi candi tersebut kini tidak terbayangkan lagi. Bukan hanya airnya telah mengering, namun bangunan patirthaan itu juga telah tidak tersisa lagi. Suatu contoh buruk mengenai  pembangunan hotel di areal situs yang tidak mengindahkan keberadaan maupun kelestarian jejak puerbakala yang ada. 


3. Kadunganab Bijih Logam dan Sumber Air Belerang pada Lembah Gunung Api

Banyak endapan bahan galian, baik logam maupun bahan galian industri berkaitan dengan gunung api. Endapan epithermal yang hasilkan komoditi logam emas, perak, tembaga selalu ditemukan tak jauh dengan gunung api. Pada sepanjang jalur pegunungan terdapat endapan emas epitermal maupun endapan tipe porfiri, sebagai akibat adanya proses diferensiasi magma dan segregasi magma, sehingga logam-logam berat dapat terakumulasi. Magma yang mengandung adanya fluida magmatik, naik ke permukaan dalam bentuk ligan ataupun ion-ion, yang akan bereaksi dengan fluida-fluida lain, serta melalui proses kesetimbangan dalam diagram fasa akan membentuk logam-logam yang bervariasi berdasarkan temperatur pembentukannya. Salah satu asal fluida adalah dari magma. Endapan epithermal merupakan prospek endapan logam berharga yang muncul dan berdekatan dengan aktivitas vulkanik dan di dekat zona subduksi.

Hal lain yang bisa dijumpai dari produk erupsi gunung api adalah pasir besi (Fe). Pasir besi yang terbentuk akibat adanya letusan gunung api, umumnya mempunyai kualitas yang baik, dan mempunyai kandungan silika yang tinggi, serta habit yang meruncing. Pasir besi umumnya terbawa ke laut melalui media sungai. Pasir ini tertransport dari gunung melalui sungai, dan mengendap sepanjang lekuk sungai (meander), yang bisa terbawa hingga ke muara. Pasir besi kemudian diendapkan dengan arah yang relatif sejajar dengan garis pantai, sebagai akibat dari adanya pengaruh dari ombak dan pasang surut.

Selain unsur logam, peristiwa vulkanik menjadi musabab bagi hadirnya sumber air belerang (S,  nomoratom16). Air belerang adalah air panas yang mengandung sulfur (S, belerang) berada di pegunungan. Bentuknya non-metal  yang tidak  berasa, tidak berbau dan multivalent. Belerang dalam bentuk aslinya adalah zat padat kristalin kuning. Dialam belerang bisa ditemukan  sebagai unsur murni atau sebagai mineral-mineralsulfide dan sulfate. Sulfur adalah unsur penting dalam kehidupan, yang diketemukan dalam dua asam  amino. Zat kimia ini dapat membunuh kuman  atau bakteri tertentu yang menyerang kulit. Mata air belerang berwqrna kuning-kecoklatan atau susu dan memancarkan bau telur agak  busuk. Mineral dalam air belerang memiliki efek  terapi positif terhadap penyakit kulit,  penyakit wanita, asma, neuralgia, arteriosklerosis, rematik dan bahu, leher dan pergelangan tangan sakit,  serta memiliki efek detoksifikasi dan  mucolytic. 


B. Candi-Patirhan Era Peralihan di Tuk Belerang

Reruntuhan candi di Dusun Songgoriti ini kali pertama diinformasikan oleh Wouter Hendrik Van Ijsseldijk tahun 1799. Pemberita berikutnya adalah Jonathan Rigg tahun 1849 dan Jaan Frederik Gerrit Brumund tahun 1863. Pada Tahun 1902, J. Knebel melakukan inventarisasi. Lantas dilanjutkan dengan restorasi (pemugaran) pada tahun 1921, dengan hasil restorasi sebagaimana dapat dilihat sekarang. Hasil restorasi tersebut diberitakan dalam OV (Oudheidkundig Verslag) terbitan tahun 1938.

Tinggalan arkeoligis ini merupakan paduan dua bentuk, yaitu (a) candi dan (b) patirthan menjadi "candi-patirthan". Bangunan candi mungil (sekitar 3 X 3 meter, tinggi: 3,5 metet) terdiri atas susunan balok-balok batu andesit. Candi berdiri di atas petak tanah berbangun bujur sangkar (14,50 X  10 metet) -- yang kini tampqk tingal dua sisi (tinur dan utara) dikeliling oleh kolam air belerang -- serupa pulau (dwipa). Tergambar bahwa tata letak (layout) komponen- komponen bangunan disesuaikan dengan konsep kosmoligis, yaitu beupa Gunung Meru (Himalaya) menjulang pada Jambudwipa (Pulai Jambu, sebutan kuno untuk India) serta dikeliling oleh tujuh lapis samudra berpola "cincin". Menurut konsepsi ini, Candi Songgoriti adalah simbol untuk Gumung Meru, petak tanah serupa pulau tempat berdiri candi adalah simbol Jambudwipa, dan kolam keliling simbol samodra yang mengelili Jambudwipa.

Dalam keberadaan sekarang, elemen arsitektur yang tersisa tinggal batur candi (saubasement) yang pendek, kaki candi (basemet) dan sebagian tubuh candi. Atap dan kemuncak candinya telah runtuh. Namun, menurut gambar rekonstruksi yang dikerjakan oleh de Haan, diketahui bahwa konon atap candi terdiri atas tiga lapis, dengan bentuk berulang yang semakin ke atas semakin mengecil, dan diakhiri dengan kemuncak candi. Tiap lapis atap candi dilengkapi dengan menara- menara sudut dan benda serupa dengan ukuran sedikit lebih besar di tengah antar menara sudut. Sumuran (petigi) candi kini dalam kondisi tanpa penutup. Tidak dijumpai lagi komponen tamgga dan pipi tangga (balustrade). 

Terdapat sumber air (tuk) belerang, yang berada di dekat candi. Konon air dari sumber belerang ini dialirkan menuju ke patirthan lewat saluran air dari batu andesit yang ditempatkan di  bawah permukaan tanah. Selanjutnya air mengucur ke dalam patthittan lewat pancuran-pancuran air yang ditempat berderet pada perbingkaiaan atas pada dinding patirthan -- yang sekaligus dinding luar tanah petak serupa pulau tempat berdirinya candi. Sebagian dari jaladwara itu kini masih terpasang, dan sebagian yang lain terlepas dari tempat asalnya dan kini ditempatkan di halaman sekitar candi. Bentuk jaladwara adalah makara (gaja-mina) dari bahan batu andesit. Demianlah, dulu patirthan Songgoriti berisi air belerang, yang kini telah mengering, mendangkal, dan ditumbuhi rerumputan.

Latar keagamaan dari Candi Songgoriti dapat diidentifikaikan berdasarkan fragmen arca yang ditemukan dan bisa diidentifikasi, serta tulisan pendek dari lempeng emas tipis (swarnapatra) yamg ditemukan di dalam peripih pada sumuran candi. Arca-arca itu antara lain adalah Agastya, Durga Mahisasuramardhini, dan fragmen arca yang boleh jadi adalah Siwa Mahakala. Selain itu, diseberang barat lokasi candi terdapat sebuah Yoni -- dengan Lingga telah hilang. Arca-arca ini adalah arca-arca yang lazim terdapat pada candi Hindu sekte Siwa -- ada yang belum ditemukan, yaitu arca Siwa Nandiswara dan arca dewata utama (istadewata) yang ditempatkan di dalam bilik tengah (garbhagreha,). Latar keagamaan yang Hindu diperkuat oleh adanya inskripsi- inskripsi pendek yang memuat nama dewata, seperti Sri Hana, Rudra, Brahma, Lindamura, Uma, Durga, Prqlina, dan Yahari (Boechari, 1985: 220-222). Selain itu terdapat fragmen pahatan arca pada tubuh candi, yang menurut FDK. Bisch (1929: 108) mirip dengan yangvtetdapat di Candi Gedongsongo (abad VII-VIII Masehi). 

Bentuk candu yang tambun, adanya pelipit candi bergerigi dan bulat, dan rekonstruksi atap candi bersusun tiga dalam bentuk berulang mengecil ke arah atas menjadi petunjuk akan arsitekturnya berlanggam "Jawa Tengahan" itu. Begitu pula pahatan arca dewa-dewa pariwara mengapit relung-relung candi, seperti kedapatan pada candi-candi di Jawa Tengah, kian menguatkan gaya arsiteturnya yang demikian. Berdasarkan gaya arsitekturnya tersebut, banyak ahli yang  menempatkannya pada masa pemerintahan Pu Sindok (abhisrkanama adalah "Sri Isana"), yang bertarikh relatif paro pertama abad X Masehi. Pentarikhannya itu selaras dengan paleografi dari inskripsi-inskripsi pendek, yakini abad IX atau awal X Masehi. Di wilayah Jawa Timur, candi-candi yang diprakirakan berasal dari era Pu Sindok antara lain adalah Candi Songgoriti, Candi Lor di. Nganjuk, Candi Sumbernanas di Blitat, dan Candi Gunung Gangsir di Pasuruan. Untuk wilayah Malangraya, Cani-Patirthan Songgoriti adalah candi tertua ke-2 setelah Candi Badut yang kini masih dalam kondisi relaitif utuh. 

C. Kemungkinan Candi Songgortoti sebagai Bangunan Suci di Mananjung

Jika benar bahwa Candi Songgoriti dibangun dan difungsikan sejak paro pertama abad XIII Masehi, yang semasa dengan pemerintahan Pu Sindok, bertarti candi- patirthan Singgoriti merupakan salah satu peninggalan arsitektural dari masa pemerintahan Pu Sindok (Sri Isana) yang kini masih bisa didapati di Malangraya, selain bangunan suci di Walandit, Himad, dan Turyyan. Diantara sembilan hingga sepuluh buah peasasti yang ditulis atas perintah pu Sindok yang ditemukan di Malangraya, ada sebuah yang berada di wilayah Kota Batu, yakni prasasti Sangguran atau disebut "prasasti Ngandat" atau dinamai pula 'dengan "Minto's Steen", yang berasal dari Desa Mojorejo di dekat aliran Bhangawan Brantas. 

Prasasti itu dikeluarkan bersama oleh dua orang, yakni Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa dan menantunya Rakai Hino Pu Sindok  Tarikh tertera adalah 850 Saka (928 Masehi), yang berarti setahun jelang pemindahan kadatwan kerajaan Mataram dari wilayah Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur, tepatnya ke Tamwlanf di daerah Malang. Adapun pokok isinya memberitakan tentang penetapan Sangguran sebagau desa sima (swatantra, perdikan) bagi Kajurugusalyan (pimpinan para penempa logam) untuk kepentingan pemujaan pada bangunan suci di Mananjung. Tergambar adanya banfunan suci dengan pengguma khysus para penemp logam (pande, pandau). Hal ini mengingatkan kepada reluef "bengkel tempa logam (besalen)" di halaman samping candi Sukuh, yang bukan tidak mungkin dijadikan media pemujaan khusus oleh para penempa logam.

Dimana dan apa bangunan suci itu. Mungkinkah itu adalah candi-patirthan Songgoriti yang berada di dekat tuk (sumber air) belerang pada lembah antara dua anak eks gunung api purba yang kaya akan beragam bijih logam (ariti) tersebut. Jika benar demikian, maka Candi Songgoriti adalah bangunan suci di Mananjung, yang konon di abad X Masehi menjadi tempat peribadatan bagi para undahagi penempa logam di Sangguran. Berarti, nama kuno dari Songgorit adalah "Mananjung". Daerah ini kemudian dinamai dengan "Sang Ariti", yang kini menjadi "Songgoriti", lantaran (a) kaya akan bijih logam (ariti) -- sebagai material vulkanik, dan (b) terdapat bangunan suci tempat pemujaan khusus para penempa logam di wanua Sangguran. 

Bagunan suci itu kini oleh warga setempat diberi pula nama "Candi Supo" dan dikaitkan dengan pembuat keris tersohor, yakni Empu Supo, yang dalam sumber data tradisi hidup pada akhir masa Majapahit. Yang terang bahwa jika menilik gaya arsitekturnya dan jika benar identifikasi bahwa candi-patirthan Songhoriti adalah bangunan suci di Manajung yang diberitakan dalam prasasti Sangguran (938 Masehi), tentulah candi ini lebih tua dari masa hidup Empu Supo. Jika Empu Supob benar adanya (historis) -- bisa juga ahistoris, maka empu Supo dan warga di bhumi Mananjung (Sang Ariti) memanfaatkan lanjut bangunan suci ini, baik untuk pemujaan kepada dewata Hindu serta mwbjadikannya sebagai tempat tepat bagi penyembuhan dari mala (penyakit) dan untuk membugarkan tubuh, maupun untuj kepentingan khusus yang berkenaan dengan keundagian logam. 

Demikianlah tulisan ringkas dan bersahaja ini, yang menelaah tentang candi-patirthan Sang Ariti (kini disebut "Songgoriti"). Semoga memberi kefaedahan bagi para pembaca budiman. Nuwun.

Sangkaling, Sabtu 5 Desember 2017

Griya Ajar CITRALEKHA

(Sumber: m.dwi.cahyono)