Kisah "Kudeta" dalam Dinamika Politik Kekuasaan Jawa (Timur) Tempo Dulu

ilustrasi, Twitter @MilHistNow

JurnalMalang, Wacana - Tanah Jawa Timur pada masa lampau dipenuhi ragam peristiwa, mulai dari kebangkitan kembali kekuasaan Mataram kuno pasca 'mahaprayala' abad 10 oleh Mpu Sendok hingga kehancuran total imperium Majapahit pada tahun sirno ilang kertaning bhumi (1478).

Tahun 928 Keraton Mataram (Jateng) tamat, Mpu Sendok dari klan Dyah Wawa membangunnya kembali di Jawa Timur dengan nama kerajaan Medang Kemulan. Imperium ini lah yang membuat prasasti keramat Sangguran (Minto Stone) yang kini masih terlantar di Skotlandia (dibawa oleh Raffles abad 19, hadian untuk sohibnya Sir Minto). Kerajaan Medang tak bertahan lama, hancur akibat konflik dengan faksi-faksi politik lokal yang disokong oleh sisa kekuasaan Sriwijaya. Raja Teguh Dharmawangsa tewas dalam konflik ini.

Pangeran peranakan Medang - Bali, Airlangga lalu mendirikan kerajaan baru tahun 1009, Kahuripan di Sidoarjo dan merintis sistem irigasi modern yang kelak menjadi cikal bakal kuatnya budaya maritim bagi masyarakat pedalaman. Bendungan raksasa waringin sapta adalah salah satu karya Kahuripan.

Dalam perjalanannya raja Airlangga memindahkan ibukota kerajaan ke Dahanapura (Kediri) dan kota ini lalu menjadi pusat kekuasaan terkuat nusantara. Seluruh faksi politik berhasil dipersatukan.

Namun masalah datang ketika raja Airlangga sudah ujur, tidak memiliki anak laki-laki sementara putrinya tidak bersedia naik tahta. Maka dua putranya dari selir harus bersaing untuk merebut tahta. Untuk menghindari konflik maka kerajaan dibagi dua menjadi Panjalu dan Jenggala. Satu bercorak maritim dan satu berbasis agraris, pedalaman.

Baru pada tahun 1115 dua kekuasaan ini berhasil diintegrasikan menjadi kerajaan Panjalu (Jayati) yang berpusat di Daha Kediri. Raja Panji Hinu Kertapati (Kamesywara) naik tahta. Kekuasaan inilah yang melahirkan maharaja Jayabaya (Joyoboyo) yang kekuasaannya menurut kronik Tionghoa sejajar dengan mega imperium terjaya era itu: dinasti Abbasiyah Timur Tengah dan Song,Tionghoa. Teknologi pengolahan logam, senjata baja dan budaya literasi berkembang pesat.

Tidak ada kekuasaan yang abadi. Pada penghujung kejayaannya Panjalu dipimpin oleh raja yang amat sombong dan tangan besi, Kertajaya. Dia amat anti pada campur tangan pihak agamawan (Biara/Brahmana Syiwa) dalam kekuasaannya. Ketika kaum Brahmana bersatu menentangnya, raja menyatakan dirinya sebagai perwakilan Syiwa yang lebih tinggi dibanding Brahmana. 

Maka persekutuan Brahmana menjauhi istana Daha, masuk ke pedalaman mengonsolidasikan diri di daerah pegunungan Tumapel (Malang) yang masih merupakan bagian dari teritorial Daha.

Dari tanah pedalaman inilah kaum Biara membangun perlawanan, antara lain mengkader seorang "berandal" muda yang dikemudian hari dikenal dengan nama Ken Arok. Arok adalah eksekutor pelaksana dari faksi Brahmana yang anti Kertajaya.

Setelah menguasai pabrik senjata Mpu Gandring, Arok melakukan perlawanan dan puncaknya membunuh Tunggul Ametung.

Tunggul Ametung adalah penguasa lokal yang merupakan perwakilan resmi dari Raja Daha di Tumapel. Kudeta ini membuat murka raja maka dia mengirim kekuatan militer menyerbu Tumapel di bawah pimpinan Mahisa Wulungan.

Di luar dugaan, pasukan Arok berhasil menghabisinya dan merampas banyak senjata. Elit militer Daha berguguran. Akhirnya tamatlah riwayat kekuasaan Panjalu Daha.

Tahun 1222 ken Arok menyatakan diri sebagai raja baru dan memaklumatkan pengambilalihan semua wilayah kekuasaan Panjalu. Ibukota berpindah dari Daha ke Tumapel. Kerajaan Singhasari berdiri.

Dalam perkembangannya Kerajaan ini dipindah ke utara (Singosari) dan membangun jalur transportasi ke arah situs irigasi bekas Airlangga, berlanjut hingga ke pantai utara. Singhasari pada era raja Kertanegara menjadi kekuasaan pedalaman pertama yang membangun angkatan laut besar dan melakukan ekspedisi militer ke berbagai negeri seberang: Bali, Kalimantan hingga Sumatera. Patroli Selat Malaka jatuh ke tangan Singhasari.

Namun, sejarah berulang. Pangeran dari klan Panjalu Daha (Jayakatwang putra mendiang Kertajaya) melakukan serangan kilat mengkudeta raja Kertanegara tahun 1292. Beberapa elit Singhasari berhasil meloloskan diri. Istana Singhasari roboh bersamaan dengan saat ribuan prajuritnya sedang berlayar ke berbagai negeri sebrang membawa diplomasi "Amogapasha" dalam rangka membangun poros nusantara untuk membendung ancaman invasi dari kekaisaran terbesar zaman itu, Mongolia dari Beijing.

Raja baru Jayakatwang langsung memindahkan istana ke asalnya, kota Daha. Raja ini naik tahta hasil kudeta dalam negri namun pada era dimana politik Asia sedang panas-panasnya: rezim Kubilai Khan Mongol sedang gencar menjajah seluruh negara. Penguasaan Selat Malaka adalah ambisi terakhirnya.

Pada saat yang bersamaan, armada besar Mongol telah mendarat di pantai utara untuk menghabisi raja Kertanegara yang dinilainya sebagai penguasa Nusantara yang bandel. Begitu mengetahui musuhnya telah tewas dan istana berpindah ke Daha maka militer Mongol merengsek masuk ke jantung kota Daha. Serbuan besar besaran tentara asing ini langsung memusnahkan istana baru Daha, menewaskan raja baru Jayakatwang. Mongolia berpesta kemenangan dan menganggap penaklukan nusantara berhasil.

Konflik yang rumit ini rupanya belum selesai. Sisa prajurit Singhasari dibawah pimpinan Raden Wijaya tidak mau membuang kesempatan untuk mengakui supremasi Mongol, menyerbu tentara Tar-tar yang sedang lelah usai melawan Daha, hingga kocar kacir. Konflik segitiga ini akhirnya dimenangkan Singhasari, yang pada tahun 1293 mendeklarasikan berdirinya kerajaan Majapahit. Corak maritim Singhasari menjadi khas Majapahit dan kemudian berhasil menjadi lebih besar dan sangat digdaya. Ibukota dipindahkan ke Trowulan (Mojokerto).

Pada awal-awal berdirinya Majapahit penuh dengan konflik, pertarungan ksatria berebut jabatan, saling menghabisi satu sama lain. Gajahmada besar dalam suasana konflik ini.

Betapapun besarnya kekuasaan Majapahit, pada akhirnya tergerus zaman, dihempas oleh gelombang perubahan, faksi politik baru yang berbasis di pesisir. 

Kekuasaan nusantara lama yang berupa negara kota kini telah menjadi nusantara baru yang menganut sistem negara bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah lampau tinggalkan abunya, petik pelajaran dan ambil api semangatnya untuk mengukuhkan persatuan. *admin#1*