Pemkot Malang memutuskan untuk menaikkan
tarif retribusi parkir dan sudah disahkan oleh DPRD. Sebelumnya, berbagai
tahapan sudah dilakukan: riset-kajian yang dilakukan DISHUB bersama tim
UB, dratf diusulkan kepada Dewan, lalu pembahasan yang cukup alot di Panja/Pansus
DPRD. Namun anehnya hingga saat ini tidak ada kejelasan apakah Perda baru tersebut sudah diParipurna DPRD atau belum (banyak informasi di media yang rancu). Terlepas dari hal itu, kebijakan tentang Parkir ini tidak seperti kebijakan
jalur satu arah lingkar UB yang terkesan “Pemkot sentris” lalu menimbulkan polemik, kali
ini Pemkot menerapkan mekanisme yang tepat. Sehingga apapun implementasinya
nanti di lapangan, dengan segenap konsekwensi sosial dan hukumnya, jelas akan
dinilai sebagai keputusan kolektif Eksekutif-Legislatif plus diperkuat
oleh riset dari kampus yang bergaransi akademis.
Sekarang kita kaji dari sudutpandang yang di luar ketiga-tiganya.
Pertama, masyarakat
perlu mencatat bahwa segala kebijakan pemerintah daerah harus memiliki landasan hukum yang jelas. Segala kebijakan
yang tidak berlandaskan hukum pasti mengandung resiko bagi pelaksananya. Asas ini
berlaku juga bagi kebijakan menaikkan retribusi parkir. Bila sesuai dengan UU
dan didukung oleh rakyat sebagai konsumen layanan parkir maka kebijakan
tersebut akan berjalan lancar, kondusif dan aman.
UU
nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjadi landasan dari
pajak maupun retribusi parkir. Bahwa pendapatan parkir untuk Pemkot dibagi
menjadi dua: 1) dari lahan parkir yang
dimiliki / dikelola oleh perorangan atau badan yang memiliki ijin usaha
parkiran akan dikenakan pajak parkir dengan besaran maksimal 30 % dari jumlah
pembayaran atau dari yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.
Berapa besaran tarifnya juga perlu landasan hukumnya di Perda. Area parkir
resmi mall, lahan parkir milik pribadi atau perusahaan dst adalah contoh lahan parkir
kategori pajak. Makanya jangan heran bila tarif parkir di MALL-MALL lebih mahal
dan tidak ada karcisnya karena ada celah dari regulasi pemerintah yang
memungkinkan mereka membuat kebijakan sendiri. Tetapi hati-hati, cermati regulasinya
karena ada Pasal 1365 KUH Perdata Buku III yang berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.” Apakah tarif yang melebihi ketentuan pemerintah daerah bukan
perbuatan melanggar hukum?
2)
Retribusi parkir. PEMDA diberi kewenangan oleh UU untuk menetukan sendiri
besaran dari tarif retribusi parkir. Zona parkir yang masuk kategori lahan
beretribusi adalah “Tepi Jalan Umum” (sesuai pasal 110 ayat (1) huruf e UU
28/2009).
Retribusi
parkir tepi jalan yang berlaku saat ini (sebelum penerapan tarif baru)
berlandaskan pada PERDA Kota Malang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, Pasal 37 dengan besaran
sebagai berikut:
a) Sepeda
Motor Rp 700,-
b) Mobil
(sedan, pickup, jeep dan sejenisnya) Rp 1. 500,-
c) Minibus,
truk dan sejenisnya Rp 3. 000,-
d) Truk
gandeng, bus besar, trailer Rp 6. 000,-
Namun dalam kenyataannya, masyarakat atau
pengguna layanan parkir tepi jalan umum ditarik tarif yang lebih tinggi yaitu:
Rp 1.000 untuk sepeda motor dan Rp 2.000 untuk mobil. Anehnya masyarakat tidak
keberatan atau tidak menunjukkan penolakan secara formal. Dengan kata lain,
tarikan parkir beretribusi yang melampaui perintah PERDA di atas dimaklumi oleh
publik meskipun banyak yang paham bahwa itu melanggar hukum. Perlu diakui, salahsatu
urusan publik yang paling rumit dibenahi di negeri ini adalah urusan parkir
tepi jalan umum sehingga dalam reformasi kebijakan parkir juga butuh waktu dan
hati-hati. Banyak aspek sosial ekonomi yang perlu dikaji secara mendalam.
Sekarang,
pemkot-DPRD telah sepakat untuk menaikkan tarif retribusi parkir dengan
diterbitkannya Perda baru nanti sebagai landasan hukum kebijakan ini. Tarif baru
tersebut adalah 1) Rp 2.000 untuk Sepeda Motor dan 2) Rp 3.000,- untuk Mobil
sedan dan sejenisnya. Pemkot dan DPRD kompak sudah merilis ke media
akan putusan ini berikut besaran tarif baru. Berbeda dengan Ahok - H.Lulung (di JKT) di sini terjadi duet yang harmonis sebagai contoh sinergi eksekutif-legislatif.
Lalu
media massa memberitakannya secara luas sekaligus sosialisasi, dengan satu pertanyaan
paling mendasar yang mengikutinya, “apakah publik atau konsumen layanan parkir
setuju dengan tarif baru ini?” Jawabannya akan diketahui apabila dilakukan
polling publik atau ketika kebijakan ini diterapkan nanti.
Berdasarkan
kajian yang dilakukan Jurnal Malang terkait rencana kebijakan menaikkan tarif
retribusi parkir, ada beberapa hal yang penting untuk menjadi bahan
pertimbangan pengambil kebijakan:
- 1. Frekwensi parkir kendaraan bermotor tepi jalan umum masyarakat yang ada di kota Malang ternyata sangat tinggi. Mayoritas pengguna layanan parkir mengaku parkir antara 6-11 kali dalam seminggu. Dengan populasi kota Malang yang besar dan jumlah orang yang datang/transit parkir yang tinggi maka potensi pendapatan daerah sangat besar. Apabila di menej dengan baik, dengan tarif Perda baru nanti maka uang hasil dari jasa parkir yang masuk KASDA bisa menjangkau angka puluhan M (target 5 miliar rupiah per tahun selama ini masih terlalu kecil).
- 2. Mayoritas pengguna layanan parkir tidak mempermasalahkan rencana pemkot menaikkan tarif retribusi parkir. Tarif lama (PerdaNo1/2011) memang sebaiknya dievaluasi, tetapi dengan besaran yang tidak terlalu memberatkan masyarakat. Untuk mengukur tingkat “keberatan” masyarakat tentunya adalah dengan riset dan kajian “pada nominal berapa yang disetujui mayoritas konsumen”. Survey membuktikan bahwa mayoritas setuju naik dengan besaran ideal antara Rp 1.000 – 1.500 untuk sepeda motor dan Rp 2.000 – 3.000,- untuk mobil.
- 3. Bila tarif naik maka target PAD dari retribusi parkir harus lebih dari 5 miliar per tahunnya. Bagian dari dana tersebut sebaiknya digunakan untuk memperbaiki layanan dan infrastruktur parkir agar lebih nyaman, aman dan bermartabat.
- 4. Jangan lupa bahwa tarif naik masyarakat butuh perubahan dalam layanan parkir: jukir yang profesional, sistem karcis diterapkan (syukur2 kalau sekali-sekali dipakai undian berhadiah umroh:), pungutan yang taat PERDA, transparansi data titik/lokasi parkir beretribusi (untuk mengetahui zona parkir liar), khusus di zona padat dan rawan kehilangan motor/helm dipasang CCTV dst. Bila perlu Dishub melakukan sertifikasi jukir dan secara berkala mengadakan bimtek / workshop untuk mereka.
Keputusan tarif baru sudah lolos diparipurna
Dewan, sekarang tinggal pelaksanaannya. Dan jangan lupa sosialisasinya. Jangan sampai
masyarakat pengguna layanan merasa Pemkot tiba-tiba menaikkan tarif parkir sepihak
lalu berujung polemik di bawah seperti yang sering terjadi. Masyarakat
sesungguhnya menghargai setiap upaya pemerintah yang berlandaskan kepentingan
publik namun seringkali faktor komunikasi memainkan peranan penting untuk goalnya suatu
kebijakan. melebarnya jarak antara pemerintah dan rakyat seringkali terjadi lantaran kegagalan dalam menjalin komunikasi dari pihak pemerintah.
Kenaikan tarif parkir
sebagaimana yang dinyatakan Walikota, adalah dalam rangka meningkatkan pendapatan
daerah dan akan digunakan untuk mendukung pendidikan dan kesehatan warga kota
Malang. Ide tersebut positif dan perlu didukung serta dikawal pelaksanaannya. Sehingga
masyarakatpun rela atas kenaikan tarif karena akumulasi dana hasil retribusi parkir
akan dikembalikan kepada masyarakat kota
Malang dalam bentuk layanan pendidikan
dan kesehatan (garisbawahi ini
sebagai bahasa kunci sosialisasi ke masyarakat dan harap dipastikan realisasinya bukan sekedar bunyian).
Sekali lagi, respon publik
terhadap suatu kebijakan sangat ditentukan oleh cara komunikasi pemerintah
kepada rakyatnya....