Hari Tari Sedunia, Kampung Budaya Polowijen Persembahkan Ragam Tari Topeng Malang


Kampung Budaya Polowijen makin gencar promosikan seni tradisi / adihar
JurnalMalang - Ada banyak macam cara masyarakat mengapresiasi seni dan budaya. Salah satunya adalah dengan menari. Menari adalah ekspresi jiwa yang menggambarkan perilaku, kehidupan masyarakat bahkan cerita tentang kejadian-kejadian yang diselaraskan melalui gerak, ritme dan lagu, didalamnya ada penghayatan, pemaknaan yang mengandung nilai-nilai dan pesan moral tentang kebajikan. Pandangan ini dikemukakan penggagas Kampung Budaya Polowijen Malang Isa Wahyudi atau akrab disapa Ki Demang saat merayakan Hari Tari Sedunia (World Dance Day) di Polowijen Malang, Selasa (01/05).

Kegiatan itu merupakan kerja sama Kampung Budaya Polowijen bersama Fakultas Sastra Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang yang dipersembahkan untuk masyarakat Polowijen khususnya dan masyarakat Kota Malang umumnya.

Menurut Ki Demang, kegiatan ini digelar sebagai bentuk apresiasi dan mengungkapkan ekspresi tentang kegembiraan warga bahwa dengan berkesenian dan kebudayaan diperingati dengan peringatan khusus sehingga masyarakat mengetahui bahwa ini hari tari internasional. 

"Kegiatan ini digelar oleh warga Polowijen sendiri mulai anak-anak dan dewasa,” katanya.

Ia menuturkan, Kampung Budaya Polowijen sebagai salah satu kampung yang secara sosio historis masyarakatnya dahulu sangat kuat mengembangkan kesenian dan kebudayaan.  Menurutnya keberadaan makam Ki Tjondro Suwono (Mbah Reni) sebagai Empu Topeng Malang dengan julukan Ki Ageng Sungging Linuwih dari Polowijen menandakan sebagai salah satu cikal bakal kesenian khas Malang, yaitu Tari Topeng Malang.

Rangkaian acara diawali dengan nyekar ke makam Empu Topeng Malang Mbah Reni, dan dilanjutkan ke Situs Ken Dedes. Nyekar yang diikuti oleh para penari dan warga ini sebagai salah satu ritual yang selalu dilakukan setiap kali melakukan pagelaran atau kegiatan budaya lainnya.

Setelah itu, baru digelar beberapa tarian yang sudah dikuasai oleh anak-anak kelurahan Polowijen. Dikatakan Ki Demang, lebih dari 10 tarian termasuk tarian kolosal yang dipentaskan. Namun yang lebih diutamakan tari-tarian topeng yang selama ini menjadi ciri khas Polowijen.

Ki Demang mengatakan, untuk acara ini, mereka menampilkan Tari Beskalan Putri, Beskalan Patih, Grebek Jawa, Grebek Sabang, Grebeg Bapang, kemudian Tari Topeng Ragil Kuning yang menjadi khas Polowijen.

“Selain itu juga ada tarian koreografi yang dikembangkan oleh teman-teman lainnya sebagai bentuk apresiasi kegiatan Kampung Budaya Polowijen,” ujarnya.

Budayawan Malang DR. Robby Hidayat yang hadir dalam acara itu mengatakan, menari bukan untuk menjadikan sumber kehidupan melainkan menghidupkan kehidupan dengan menginspirasi tumbuhnya ekonomi kreatif, meningkatkan kreativitas masyarakat dalam mengembangkan usaha ketika terjadi sebuah pertunjukan. 

"Menari itu sejatinya untuk pembentukan karakter dan pengembangan kepribadian," kata dia. 

Ditegaskan dia,  pentas tari yang dilakukan oleh Kampung Budaya Polowijen  tidak hanya pada momen Hari Tari Sedunia. Namun, lanjutnya, warga Kampung Budaya Polowijen secara rutin menggelar latihan tari-tarian dengan bimbingan guru tari. Ia pun mengapresiasi anak-anak dan remaja yang mulai sadar tentang tari sebagai salah satu warisan luhur Nusantara.

Robby bilang, di era generasi milenial dan jaman now seperti ini, tidaklah mudah generasi muda mudi mempertahankan seni tradisi dan mewarisi generasi jaman sebelumnya. 

"Dibutuhkan kearifan dan sikap bijak saling memotivasi dan memfasilitasi untuk uri-uri budaya agar seni tradisi yang merupakan hasil cipta karya dan karsa lestari selamanya," ujar dosen tari Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang ini. *** (adiharnowo).