Relief Majapahit Ungkap "Wanita Penghibur" Sudah Ada Sejak Zaman Kuno


Gbr. Ilustrasi / google

Kajian Sejarah - Arkeolog yang juga sejarahwan nusantara M. Dwi Cahyono mengulas makna di balik gambar relief di salah satu Candi peninggalan imperium terbesar nusantara, Majapahit. Kerajaan ini berkuasa sejak tahun 1293 hingga 1500 an.

Ukiran kuno tersebut menggambarkan 'Anggoda': wanita cantik, bahenol menari sensual di hadapan raksasa. Konteksnya menggoda raksasa agar terlena dan ditaklukkan. "Entertain" dengan memanfaatkan pesona fisik dan sensualitas rupanya telah dikenal baik dalam peradaban lama.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada zaman Majapahit dahulu telah ada jenis wanita penghibur yang kerjaannya menari atau "berjoged" untuk tujuan tertentu yang sasarannya adalah kaum lelaki. 

Jika di contohkan era modern ini, sejenis wanita penghibur dalam arena tayub, penari-penari erotik lainnya yang kemudian banyak menginspirasi lahirnya penjoged dangdut koplo yang tak kalah menggodanya. Contoh yang paling umum, meskipun tidak sama persis, adalah "purel" yang bekerjanya menghibur pria, menari, berjoged dan lainnya.

Untuk lebih jelasnya berikut ini tulisan lengkap sejarahwan Dwi Cahyono:

----- ------------- -----

ANGGODA, SIRAT JEJAK TARIAN TELEDEK JAWA ERA MAJAPAHIT PADA CANDI AMPELGADING B



Oleh : M. Dwi Cahyono

(Arkeolog - Sejarahwan nusantara)

     Gemulai gerakanmu itu

     Menarik semua mata

     Lentiknya jemarimu indah

     Hadirkan kemesraan


     Penari yang terlahir

     Sebagai penghibur

     Seakan tak mau perduli

     Banyak yang mengganggu

     .....................

(Cuplikan lirik lagu "Penari", by Dewi Gita)

A. Arti Dibalik Sebutan Penari "Anggoda"

Ada suatu bentuk tarian yang dalam bahasa Jawa Tengahan dinamai "anggoda". Istilah ini  berkata dasar (lingga) "goda", yang mendapat  awalan "a" dan sengauan "ng" hingga menjadi "a+ng+goda". Secara harafiah, istilah "goda" berarti : (1) menggoda, mengganggu, (2) melakuman pekerjaan yang dianggap rendah. Orang yang melakukan pekerjaan sebagai "penggoda" termasuk golongan "wulu-wulu" (Zoetmulder, 1995 : 301). Apakah ada aspek "menggoda" pada tarian ini?

Dalam konteks seni pertunjukan (performing art), anggoda adalah tarian yang dimainkan oleh perempuan dengan tampilan diri yang menggoda. Perihal ini tergambar di dalam pustaka Siwasasana (31a), dimana aggoda disebut berturut-turut dengan seni pertunjukkan lain, seperti : ijo-ijo (sebangsa seni pertunjukan -- secara harafiah, istilah "ula hijo" atau "ulah hijo" berarti : tingkah laku tercela atau yang tak tahan uji), nyanyian (amidu) dan kesenian raket (araketan). 

Sebutan "anggoda" dalam arti yang demikian juga tergambar dalam kisah "Samudramantana (sebutan lainnya "Anretamantna"), seperti tergambar dalam relief pada sabuk (bhanda) tubuh miniatur Candi Ampel Gading B, yang menggambarkan penari perempuan dengan penampilan yang sensual. Sajian tarinya mampu  "menggoda" para raksasa. Konteks peristiwa adalah ketika para raksasa mabuk kepayang merayakan kemenangannya setelah berhasil mendapatkan tirthamreta (air kehidupan atau air keabadian). Peristiwa ini adalah fase akhir pada proses pengadukan samudra susu (ksirarwana). Pesta pora itu kian seru, karena di tengah suasana mabuk, seluruh raksasa turun ke arena demikian penari cantik yang sensual itu tampil menyajikan tarian yang menggoda. 

Sengaja sang pemahat (taksaka) mempersonifikasi anatomi penari anggoda dengan sensual. Payudaranya yang montok itu dibusungkan ke arah depan. Pinggangnya dibuat "nawon ke- mit (meremit)". Begitu pula pantatnya, juga digambarkan semok (pada penari teledek kini, untuk membuat pantat tampak semok, acapkali digunakan "ganjel bokong'").

Tarian dari wanita muda cantik ini pun terkesan erotik. Permainan sampur (selendang tipis) nya itu mengingatkan  kita pada tarian dari teledek Jawa, yang juga menjadikan sampur sebagai properti tari yang utama, terbukti di dalam pertunjukan tayuban terdapat sebutan "ketiban sampur". Gambaran yang demikian sesuai dengan penyebutan tarinnya, yaitu "anggoda", tariannya mampu menggoda pasangan tarinya, yaitu para raksasa dengan jenis kelamin pria. 

Sesungguhnya, wanita penari tersebut adalah penjelmaan Dewa Indra untuk "mengalihkan pehatian" para raksasa itu terhadap Tirtha Amreta yang ditempatkan di dalam kendi yang bercerat bentuk naga (kamandalu). Demikian mereka lengah dari perhatian serta penjagaannya terhadap Tirtha Amreta (Air Kehidupan, Air Keabadian) itu, segera Dewa Indra yang semu- la menjelma jadi penari "anggoda" kembali ke wujud aslinya sembari menyambar kamandaku berisi amreta untuk kemudian lari kencang ke tempat kediamanNya di Ka-Indra-an. Para raksasa pun mengejarnya, namun Dewa Indra lari kencang  meninggalkan arena untuk selanjut- nya menghilang menuju ke Kaindran. Demikianlah, bisa dibayangkan, betapa bahayanya ap bila air yang memberi "keabadian" itu jatuh ke pihak jahat, yang bisa menjadikan kejahatan bersifat " abadi". Oleh karena itu, para dewa berusaha untuk dapat  merebutnya dari tangan para raksasa jahat. 

Demikianlah, lantaran tak kuasa menahan go- da (tidak tahan goda) dari penari anggoda yang sensual, maka lengah lah perhatian raksasa terhadap barang maha penting yang mustinya senantiasa berperhatian dan melakukan pengawasan terhadap tirtha amreta. Pada cerita ini, sang penggoda digambarkan sebagai (a) wanita cantik, yang (b) gerakkan tubuhnya sensual. Memang, pada sejumlah cerita, penggoda  acap digambarkan sebagai wanita cantik. Pada kisah "Arjunawiwaha", ketika Arjuna tengah matapa (bertapa), Ia digoda oleh tujuh bidadari cantik sembari melakukan gerakan sensual munggugah birahi. Begitu pula, ketika Sang Buddha tengah samadi, digoda oleh para wanita cantik yang dinamai "mara", yang juga  melakukan adegan sensual. Di dalam filosofi Jawa Baru pun, salah satu diantara tiga godaan utama terhadap manusia, yang terbilang berat adalah (1) tahta, (2) harta dan (3) wanita (diakronimisasi dengan "3ta")..

B. Jejak Kuno Teledak di Candi Ampelgading B

Sebutan "anggoda" bersinonim arti dengan "teledek" atau "taledek", yang juga menunjuk kepada penari perempuan yang sensual. Tak sedikit pria yang tergoda pada penari teledek. Kata dasar dari teledek/talefek adalah "ledek", yang artinyai : mengejek atau menghina (KBBI, 2002), dan bisa juga berarti : goda, menggoda. Meledek bisa juga dilakukan dengan kata-kata, bisa juga dengan tindakan. Tidak semua godaan (ledekan) menimbulkan kemarahan pada diri sasaran goda/ledek, namun justru sebaliknya mengundang ketertarikan pada diri penggoda/ pekedek. Menghadapi godaan, ada orang yang tahan goda, namun ada pula yang tidak tahan goda (ra kuwat goda).

Dalam ksenian Jawa, kata "ledek (kependekan dari "teledek atau taledek"). Istilah Jawa ini masuk dalam kosa kata Bahasa Indonesia, yang berarti : penari penari dan penyanyi kesenian tradisional (keliling); ronggeng keliling (KBBI, 2002). Sebanar- nya, tidak semua tarian ledek disajikan dalam bentuk pertunjukan keliling (Ambarang), namun justru lebih banyak hadir pada pentas pertunjukan dalam acara hajatan.  Sebutan "teledek" bukan hanya ditukan untuk penari wanita, namun pertun- jukan binatang, tepatnya kera (bedes) pun disebuti dengan menggunakan unsur istilah ini, misalnya pada sebutan "tledek bedes (varian sebutan lainnya 'tandhak bedes')".

Para lelaki hidung belang, terlebih lagi ketika tengah menari dalam kondisi mabuk atau se- tengah mabuk di gelanggang tayup, tak jarang melakukan gerak tari yang tergoda oleh penari teledek pasangannya. Bahkan, terkadang me- lakun tindakan yang kurang senonoh terhadap teledek tesebut. Bisa juga terjadi, ketegodaannya terhadap teledek berlanjut hingga di luar pentas, misalnya dalam bentuk perselingkuhan. Naifnya, ada perkelahian antar pria yang bere- bu untukt mendapatkan seorang teledek yang mampu mempesona lainnya. Jika benar bahwa kedua istilah beda masa itu, yakni "anggoda" dalam bahasa Jawa Tengahan, dan "teledek" dalam bahasa Jawa Baru, tersebut bersinonim arti dan menunjuk kepada penari sensual yang punya daya goda, maka keberadaan teledek yang masuk kategori tarian hiburan berpasang- an itu paling tidak telah "terjejaki" bukti artefak- tual dan tekstualnya pada masa Majapahit. 

Jejak artefaktualnya, yang memberi kita gambaran tentang gerak tari, tata busana, dan ciri fisik penarinya didapati pada teluef tipis (baas- relief) pada bhanda (sabuk) tubuh miniatur Candi Ampel Gading B. Sesuai dengan sebutannya, yaitu "candi Ampel gading", artefak berbahan batu kapur (lime stone) keras ini diketemukan di Dusun Jurang Peteng Desa Taman Ksatrian Kecamatan Ampel Gading Kabupaten Malang. Miniatur candi ini adalah satu diantar tiga artefak (diberi kode : A, B, dan C, yang berhasil di- ketemukan pada tahun 1970-an hanyalah dua buah, yaitu A dan B). Artefak artistik ini konon ber- fungsi sebagai perangkat untuk  mengalirkan tirtha (air suci), yaitu semacam "jaladwara (pancuran air) di suatu reruntuhan patirthan. Keduanya direlokasikan ke Museum Trowulan. Prakuraan tarikh relatif (relative dating)-nya adalah era Majapahit., yang waktu itu cerita "Samudramanthana" atau disebut juga "Amretamantana" kedapatan cukup banyak, baik dalam bentuk seni pahat i(ikonografi), baik berupa relief candi ataupun arsitektur bertema. 

C  Tarian Sensual Lintas Ruang dan Waktu

Berdasarkan paparan di atas, tergambar bahwa, jejak arkhais dari penari teledak kedapatan sejak era akhir kerajaan Mapahit (abad XV Masehi,). Dalam kurun waktu lama hingga kini, penari teledek masih eksis di sejumlah daerah di Jawa dengan beragam sebutannya,, seperti teledek, ronggeng, tandhak, sindhir, dsb. Sebenarnya, tarian dengan tampilan fisik penari dan gerak tari yang sensual ada cukup beragam di sejumlah tempat di Jawa dan di daerah-daerah lain di Nusantara dari dulu hingga kini, sehing- terkesan bahwa masing-masing masa dan tiap tiap daerah memiliki dan membutuhkan tarian sensualnya sendiri-sendiri. Bukan hanya pada daerah pesisiran yang memiliki tarian sesual, daerah di pedalaman pun juga mempunyai tarian yang demikian, seperti terlihat pada tarian teledek (anggoda).

Pada dasawarsa terakhir, bermunculan tarian yang terang-terangan dikemas sebagai tarian penggoda nafsu birahi. Motivasi penyajian tari yang seringkali disertai dengan nyanyian ini tak semata mengeks- presikan seni pertunjukan terbaik, namun "motif ekonomi" menjadi motivasi yang lebih mengede- pan, diantaraanya melalui "saweran". Tidak jarang sajian tarinya kelawat vulgar, bahkan menjurus kepada "porno aksi". Celakanya, sajian tari yang demikian dilakukan dengan menggubah tarian etnik tertentu, yang pada mulanya ditampilkan sebagai ekspresi seni kemasyarakatan (sosio-art). Lebih meng- khawatirkan lagi, tarian yang vulgar dan tidak sepatutnya disajikan secara terbuka dihadapan publik itu turut ditonton oleh anak-anak. Ada pula pra-pria remaja turut terlibat "me-nyawer", seperti yang dilakukan oleh pria dewasa. Pada  media sosial pun, semisal dalam bentuk video yang diunggah ke publik lewat facebook (cerita anda), instagram, tik-tok, YouTube, dsb. 

Demikianlah paparan sekilas tentang jejak ma- sa lampau teledek" yang konon mendapat sebutan "anggoda". Salah satu jenis tarian arkais di Jawa, alias telah menyejarah. Semogalah tulisan yang meski ringkas  ini bisa menambah keluasan pengetahuan para pemerhati dan peminat tari. Nuwun.

Sangkaling, 22 Juni 2022

Griyajar CITRALEKHA

(Sumber: Fb Dwi Cahyono)