KARAKTER PALEO-EKOLOGIS DAERAH BATU

Ilustrasi : Batu lor Brantas / jmcom
Batu Dilingkung Gunung Dilintas Sungai dalam Perspektif Historis
Oleh: M. Dwi Cahyono
(Akademisi & Arkeolog)
A. Batu Dilingkung Gunung
Ketika Kala Plestosen (kala Plestosen Bawah dan Plestosen Atas) daerah Batu hingga Malang adalah sutau ‘cekungan dalam terisi air’ – ada yang menyebut dengan ‘Danau Purba Malang’, yang terbentuk oleh apitan gunung-gunung dan pegunungan: (a) Pegunungan Kapur Selatan di bagian selatan, (b) Gunung Kawi dan Kelud di barat, (c) kompleks Gunung Anjasmoro, Welirang dan Arjuna di timur-laut dan utara, serta (d) kompleks Gunung Tengger di timur (Bemmelen, 1949: 550-551, 571). Gunung-gunung itu pada mulanya merupakan gunung berapi aktif (vulkano). Namun, jelang Akhir Kala Pleistosen beberapa gunung berapi purba di Jawa seperti Gunung Arjuna, Anjasmoro, Penangungan dan Kawi telah tidak lagi aktif. Berarti, kala itu di sekitar Batu hanya tinggal Gunung Welirang yang masih berstatus ‘aktif’, sehingga menjelang permulaan Holosen itu lembah Batu mulai memungkinkan untuk dapat dibudidayakan sebagai area pertanian. Peristiwa ini terakslerasi oleh terbentuknya hutan tropis di lereng Gunung Arjuno dan Kawi, yang pada awal Kala Holosen keduanya telah tidak aktif. Setelah terbentuk hutan tropis, disusul oleh terbentuknya lapisan humus, dan seterusnya muncul beberapa mata air maupun sungai.
Salah satu sungai purba yang terdapat di daerah Batu adalah Brantas, yang sumber air (tuk)nya berasal dari vulkan tua Anjasmoro (termasuk dalam generasi pertama). Airnya mengalir melintasi daerah vulkan Arjuno, yang masuk dalam vulkan generasi kedua. Lapisan humus, sumber air dan sungai tersebut menjadi penyubur tanah di Malangraya. Peristiwa ini sekaligus menjadi picu bagi terben-tuknya pemukiman awal di daerah Batu, yang berbasiskan pencaharian agraris.
Sisi utara, barat maupun selatan Kota Batu terdapat beberapa gunung dan bukit (anak gunung). seperti: (a) pada sisi utara terletak Gunung Weliarang, yang nama arkhaisnya ‘Ardi Kumukus’; (b) pada sisi barat bagian utara terletak Gunung Anjasmoro, dan di sisi selatan terdapat Gunung Kawi; (c) sisi selatan merupakan lereng timur Bukit Panderman, sebagai salah satu ‘anak’ Gunung Kawi; dan (4) pada sisi timur bagian tengah terletak Bukit Wukir, dan di bagian utaranya terda-pat Bukit Cendana. Menilik persebaran gunung-gunung dan bukit-bukit itu pada penjuru wilayah Kota Batu, cukuplah alasan untuk menyatakan ‘Batu Dilingkung Gunung’. 
Dalam hubungan dengan batas wilayah Kota Batu, gunung dan bukit di sisi barat, selatan dan timur itu seolah menjadi ‘batas alamiah’ wilayah Kota Batu terhadap Kabupaten Malang dan Jombang sebagai tetangga daerahnya. Adapun Gunung Anjasmoro dan Welirang yang terletak di sub-area utara menjadi batas wilayahnya dengan Kabupaten Mojokerto. Keberadaan bukit-bukit dan gunung-gunung itu menjadi dasar untuk menyebut Batu sebagai ‘Kota Gunung’, dalam arti kota yang terletak di dataran tinggi berlatar gunung/bukit. Demikianlah, gunung dan bukit menjadi landmark atau petanda fisis-alamiah khas bagi Kota Batu.
Dalam keberadaan sekarang, gunung-gunung yang melingkungi berstatus sebagai gunung berapi mati (Kawi dan Anjasmoro) dan istirahat (Welirang). Pada masa lampau, gunung-gunung itu merupakan gunung berapi aktif, yang berulang kali mengalami eksplosi dan erupsi. Jejaknya sebagai gunung berapi aktif di masa lalu diindikatori oleh adanya batuan beku luar, baik yang berada di batang aliran sungai (dinamai ‘batu andesit’) maupun di permukaan tanah pada lereng gunung-gunung itu. Analisis sejarah geologi oleh R.W. van Bemellen (1949) menyuguhkan realitas adanya perubahan status Gunung Kawi dan Anjasmoro dari aktif menjadi mati pada jelang Akhir Kala Pleistosen. Bentang geografi berbatu vulkanik, yang kini menjadi wilayah Kota Batu, menjadi latar untuk menami daerah ini dengan ‘Batu’. Memang, tidak sedikit kata ‘batu’ atau kata-kata sinonimnya dalam Bahasa Jawa, seperti watu dan selo, yang dijadikan unsur nama (toponimi) untuk dusun, desa, kecamatan, dan daerah (kota/kabupaten). Salah sebuah diantaranya adalah toponimi ‘Batu’, atau dalam pengucapan medok menjadi ‘mBatu’.
Sebagai toponimi, ‘batu’ atau kata jadiannya ‘batu+an (batwan)’ didapati dalam sumber-sumber data tekstual Masa Hindu-Buddha, baik prasasti maupun susastra. Nama ‘Batwan’ misalnya, kali pertama disebut dalam prasasti tembaga (tamraprasasti) Kubu-Kubu, yang ditulis atas perintah dari Rakai Watukura Dyah Balitung tahun 827 Saka (17 Oktober 905 Masehi). Prasasti Kubu-Kubu berjum-lah enam lempeng, yaitu lempeng 1, 3, 4, 5, 6, dan 7. Lempeng 1b dan 5b dari prasasti Kerajaan Mataram yang terawal di Jawa Timur ini memberitakan tentang penetapan sebidang tanah tegalan (tgal) pada desa (wanwa) Kubu-kubu sebagai perdikan (sima, swatantra) atas jasa Rakryan Hujung bernama ‘Dyah Mangarak’ dan Rakryan Mahuta Rakai Majawutan yang membatu Balitung ketika menyerang Batan, sehingga Batan dapat ditaklukkannya (Boechari, SNI, I, 1984:138, PKMN, 1985:156). Salah seorang diantara lima belas pemuka desa (rama) dari desa-desa yang bertentangga (wanwa tpi siring) dengan Desa Kubu-kubu diundang sebagai saksi dalam ritus sima tersebut, diantaranya adalah rama asal Desa Batwan.
Nama ‘Batwan’ kembali terdapat di prasasti batu (linggoprasasti) Gulung-gulung atau Lawajati dari sub-area timur Kecamatan Singosari. Prasasti bertarikh 929 Masehi yang ditulis atas perintah Pu Sindok (Sri Isana) ini juga menyebut Batwan sebagai salah sebuah wanua tpi siring dari Desa Gulung-gulung. Selain itu, nama ‘Batwan’ didapati dalam susastra Nagarakratagama (78.5). Bahkan, dalam kakawin yang selesai disurat tahun 1365 Masehi semasa pemerintahan Hayam Wuruk ini dinyatakan adanya dua desa yang namanya serupa, yaitu: (1) Batwan, dan (2) Batu. Keduanya merupakan ‘desa perdikan’ bagi wangsa Wisnu. Batwan dan Batu jelas merupakan dua desa berbeda, yang bisa jadi berdekatan satu sama lain.
Toponimi ‘Batu’ juga dijumpai dalam Prasasti Jiu II (1486 Masehi), yang memberitakan mengenai ‘deseng Batu’ (desa ing Batu), sebgai salah satu diantara sejumlah desa sima yang dianugerahkan Sri Giringrawardhana dan diperuntukkan bagi bangun-an suci Trailokyapuri. Dimungkinkan lokasi candi berada di daerah Pacet Kabupaten Mojokerto. Berdasarkan lokasi Desa Jiu pada wilayah Pacet, bila benar bawa desa perdikan Batu berlokasi di daerah Batu sekarang, berarti desa kuno Batu merupakan desa sima yang letaknya paling selatan untuk bangunan suci Trailokyapuri. Pertanyaan selanjutya adalah pada lokasi mana di daerah Batu desa kuno Batwan dan Batu terse-but berada?
Secara geomofologis wilayah Batu bisa dipilah menjadi dua bagian dengan mengikuti aliran Bangawan Brantas yang bermata air di Desa Sumber Brantas pada lereng timur Bukit Biru. Pembagian wilayah dengan menggunakan batas natural berupa aliran sungai ini menjadi pemahaman umum warga Batu sejak amat lama, yang membedakan wilayah Batu menjadi dua, yaitu: (1) sub-area Batu utara (Lor Bratas), kini meliputi seluruh wilayah Kecamatan Bumiaji dan sebagian wilayah Kecamatan Junrejo, dan (1) sub-area selatan (Kidul Brantas), kini meliputi seluruh wilayah Kecamatan Kota dan sebagian wilayah Kecamatan Junrejo. Desa kuno Batu boleh jadi berada di Lor Brantas. khususnya pada Desa Bumiaji, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, nama ‘bumiaji’’ merupakan bentukan dari dua kata, yaitu ‘bhumi’ dan ‘haji (raja, penguasa vasal, pemerintah)’, yang menunjuk lepada desa yang mendapat anunegarah (waranugraha) dari raja (haji) berupa status ‘perdikan (sima)’. Kedua, dalam legenda lokal dikenal tokoh ‘Mbah Mbatu’, dengan makam bercorak Islam pada Desa Bumiaji, yang merupakan pesyiar Islam di Desa Bumiaji dan desa-desa lian sekitarnya pada sub-area utara Brantas.
Bila desa kuno Batu berada di Lor Btantas, maka bisa jadi desa kuno Batwan terletak di Kidul Brantas. Desa kono Batu yang semenjak masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (medio abad XVI Masehi) menyandang status ‘perdikan (sima)’, pada masa pemerintahan Girindrawarddhana (akhir abad XV Masehi) dikukuhkan ulang sebagai desa sima. Dengan kata lain, desa kuno Batu menyandang status ‘perdikan’ dalam lintas masa. Bersama dengan Batwan, dua desa kuno yang berada di wilayah Batu ini telah amat lama menjadi area permukiman, yang konon pemuka masyarakatnya pernah diundang hadir pada penetapan desa perdikan Kubu-Kubu tahun 905 dan Desa Gulung-gulung tahun 929 Masehi. Demikianlah kedua desa kuno yang sama-sama bernama atau mengandung unsur nama ‘batu’ ini adalah desa arkhis yang cukup maju pada jamannya, sehingga layak menyandang status ‘perdikan’. Latar pemakain unsur toponimi ‘batu’ sebab baik di utara (lor) ataupun selatan (kidul) Brantas -- dimana kedua desa kono itu berada, unsur fisis-alamiah darinya berupa batu vulkanik terbilang kaya.
B. Batu Dilintas Sungai
Batu merupakan suatu daerah yang dibelah oleh aliran Sungai Brantas, dan sekaligus menjadi ‘daerah pangkal’ dari aliranya. Mata air (tuk) Brantas berada di daerah Batu, yaitu: (1) di lereng timur Bukit Biru (anak Gunung Anjasmoro), dan (2) di lembah sisi selatan Gunung Welirang. Dengan demikian ditilik dari mata airnya, pangkal Sungai Brantas adalah dua buah anak sungai yang masing-masing bermata air di gunung yang berlainan. Anak sungai yang bermata air di lembah Gunung Anjasmoro dinamai ‘Kali Lanang’. Kata ‘Lanang (laki-laki)’ mengindikasi-kan unsur maskulin. Dinamai demikian, boleh jadi untuk membedakannya dengan anak sungai lain yang berindikasi unsur feminin, yang mata airnya di lereng Bukit Biru (anak Gunung Anjasmoro).
Atas dasar indikasi maskulin dan feminin itu, bila sungai yang berindikasi masukulin dinamai ‘Kali Lanang’, maka anak sungai yang berindikasi feminin bisa dinamai ‘Kali Wedok’. Bila benar demikian, maka pangkal Brantas yang bermata air di lereng Gunung Anjasmoro, tepatnya Dusun Jurang Kuali Desa Sumber Brantas Kecamatan Bumiaji, dapat dinamai ‘Brantas Wedok’. Sedangkan yang bermata air pada lembah Gunung Welirang, bisa disebut ‘Brantas Lanang’ – suatu sebutan yang tergambar pada toponimi ‘Kali Lanang’.
Kedua kali yang menjadi pangkal Brantas ini bertemu, dan aliran keduanya bersatu menjadi sebuah batang sungai yang lebih besar di Desa Torongrejo Kecamatan Bumiaji, yang dinamai ‘Bangawan Brantas’. Wilayah Batu dengan demikian merupakan pangkal atau mata air (tuk, (sumber) Brantas, dan karenanya masuk kategori sub-DAS Hulu Brantas. Keberadaannya di areal sumber dari Sungai Brantas itu terabadikan dalam nama desa (toponimi) di daerah Batu, yang merupakan salah satu lokasi mata airnya, yaitu Desa ‘Sumber Brantas’.
Sungai Brantas yang merupakan sungai terpanjang kedua di wilayah Jawa Timur (340 Km) -- setelah Bengawan Solo (519 Km). Sungai ini masuk dalam kategori ‘sungai purba’. Cukup alasan dikategorikan sebagai ‘sungai purba’, karena Brantas terbentuk menjelang Awal Kala Kolosen, utamanya setelah terbentuknya hutan tropis, yang disusul oleh terbentuknya lapisan humus. Seterusnya muncul beberapa mata air dan sungai. Salah satu diantaranya adalah Bangawan Brantas. Percabangannya pada pangkal aliran, yang dinamai ‘Brantas Wedok’, mula-mula mengalir dari mata airnya di sub-area utara Kota Batu ke arah selatan melintasi wilayah Kecamatan Bumiaji. Di perbatasan dengan wilayah Kecamatan Kota, aliran Brantas berbelok ke timur lantaran membentur kaki Bukit Panderman. Demikian pula percabangan yang sebuah lainnya, yakni Kali Lanang (Brantas Lanang), juga mengalir dari tuk-nya di lembah Welirang ke arah selatan hingga bertemu dengan aliran Brantas (barat-timur) pada Dusun Torong Tutup di lembah sisi barat Bukit Cerndono.
Berkat pertemuan Brantas Lanang dan Brantas Wedok, batang alir Brantas mengalami peningkatan signifikan, baik lebar aliran maupun debit airnya. Batang air Brantas susungguhnya adalah fusi dari kedua cabang sungai itu, yang mengalir barat-timur di lembah antara Bukit Wukir dan Cendono. Unsur toponimi ”Lanang’ dan ‘Wedok’ dari cabang Brantas di sub-DAS Hulu itu mengingatkan kita kepada Bengawan Solo yang terbentuk dari Bengawan Solo Lanang dan Wedok, ataupun pada contoh kasus Kali Laor Lanang dan Laor Wedok.
Secara religis penyatuan dua unsur kosmik tersebut, yaitu unsur femimin (Brantas Wedok) dan unsur maskulin (Brantas Lanang atau Kali Lanang), membuahkan ‘daya tertinggi’, yakni fertilitas (daya penyubur). Brantas karenya diyakini sebagai sungai suci (holy river) sejak dari hulunya, yang mengandung daya penyubur bagi banyak daerah di Jawa Timur. Tempat dimana keduanya bertemu (tempuran) itu dipandang sebagai lokasi yang berbahaya (wingit), sehingga di tempat ini ditempatkan media upacara keagamaan untuk menetralkan ‘bahaya gaib’ yang berupa arca Ganesa dalam fungsi khususnya sebagai ‘vicneswara (peniada bahaya)’.
Pada sebelah timur Bukit Cendono, alirannya kembali mengalami perubah-an ke arah utara-selatan. Setelah sampai di Dusun Kajang pada Mojorejo – dekat Punden Kajang (nama arkhais ‘Mananjung’), terjadi lagi perubahan aliran menjadi barat-timur. Seterusnya Brantas mengalir melewati wilayah Kabupaten Malang di Kecamatan Dau, lantas Kota Malang. Tergambar bahwa di wilayah Batu, sungai ini mengalami tiga kali perubahan aliran, lantaran membentur tebing terjal. Oleh ka-rena Brantas mengalir di lembah antara dari tanah-tanah yang membukit, maka terdapat jeda tinggi antara permukaan air sungai dan permukaan tanah di lembah-lembahnya, sehingga aliran Brantas di daerah Batu nyaris tak dapat dimanfaatkan sebagai pemasok air untuk irigasi – kecuali pada sebelah timur bukit Wukir, yang dilakukan dengan membuat dam besar guna mengairi persawahan Desa Pendem.
Boleh dibilang bahwa di daerah Batu hanya terdapat satu sungai besar, yaitu Brantas. Kalaupun ada beberapa sungai lain, itu hanyalah sungai-sungai kecil, yang berasal dari mata-mata air yang tersebar di penjuru wilayah Batu, yang kemudian bermuara ke Brantas Wedok dan Kali Lanang atau fungsi dari keduanya. Seperti Kali Metro dan Kali Putih yang bermuara ke Brantas Wedok di sekitar kelokannya (utara-selatan ke barat-timur). Debit air Brantas di percabangan maupun batang utamanya tidak konstan sepanjang tahun. Tergatung pasokan dari air hujan dan sumber-sumber airnya, sehingga menyerupai sungai orografis. Debit air Brantas di daerah Batu menentukan debit air Brantas pada batang alirannya baik di wilayah Kecamatan Dau dan Kota Malang hingga di Kutho Bedah – ketika Brantas mendapat tambahan pasokkan air yang besar dari Kali Bango dan Amprong.
Semula terdapat 111 sumber air di daerah Batu. Sekitar 30% diantaranya berada di Kecamatan Bumiaji – termasuk tiga sumber yang utama, yaitu Gemulo di Desa Bulukerto, Binangun di Desa Bumiaji, dan Banyuning di Desa Punten. Dalam hal sumber air, Daerah Batu berperan vital, lantaran daerah ini sebagai penyimpan dan sekaligus pemasok air bagi Sungai Brantas dan kebutuhan akan air bersih bagi daerah-daerah tetangga (Kota dan Kabupaten Malang). Dari daerah Batu lah aliran air Brantas bermula, dan selanjutnya aliran Brantas melewati 15 daerah di Jawa Timur. Namun sayang, pada tahun 2005 ditemukan sebanyak 53 sumber air yang berada dalam kondisi mengkawatirkan, yaitu mati hingga nyaris mati, dam sisanya (58 sumber air) mengalami penurunan debit. Pada Mei 2009 jumlahnya meningkat menjadi 57 sumber air (51,35% dari 111 sumber air), dan hingga April 2013 yang ‘raib’ bertambah menjadi 60 buah. Kondisi itu antara lain disebabkan oleh ulah para investor yang berinvestasi disektor perhotelan dan villa serta obyek wisata lain yang tumbuh menjamur di Kota wisata Batu. Selain itu lantaran alih fungsi lahan dan peru-bahan dari kawasan konservasi menjadi kawasan terbangun.
C. Penutup
Demikian sekilas paparan tentang Paleo-ekologi Daerah Batu yang berkarakter lokal. selaras dengan karaternya itu, maka Kota Batu mengembangjan diri sebegai Daerah Pertanian -- khususbya untuk komuditas perkebunan -- dan pariwisata. Keduanya dijadikan sebagai pilar perekonomian daerah.. Semoga membuahkan faedah.Salam budaya, 'mBatujayati'.
Nuwun.

PATEMBAYAN CITRALEKHA
Sengkaling, 13 Januari 20175