Ilustrasi Toxic Parents. Edit by Aisyah |
Oleh: Aisyah Salsabila – Mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya
Pola asuh orang tua pada umumnya tidak selalu baik dan benar. Seringkali, orang tua meyakini bahwa mereka pasti telah memberikan pola asuh yang terbaik bagi anaknya. Meskipun begitu, pola asuh yang menurut orang tua baik, belum tentu membuat anak nyaman terhadap pola asuh tersebut.
Secara umum, kategori pola asuh orang tua terhadap anaknya terbagi menjadi dua macam, yaitu positif dan negatif. Pola asuh negatif seringkali terjadi namun sulit untuk disadari. Contoh yang sering ditemui adalah ketika orang tua memberi peringatan kepada anaknya dengan menggunakan nada yang tegas. Menurut orang tua, peringatan tersebut baik, tetapi di sisi lain dapat membuat anak merasa tidak nyaman karena terdapat suatu kata yang mungkin menyakiti anak. Jika hal ini terjadi pada pola asuh orang tua, maka pola asuh tersebut dikategorikan sebagai pola asuh negatif atau yang disebut toxic parents.
Apa itu Toxic Parents?
Toxic parents dapat diartikan sebagai orang tua yang “beracun”, yaitu orang tua yang tidak menghormati dan memperlakukan anaknya dengan baik. Orang tua yang memiliki pola asuh toxic dapat melakukan berbagai kekerasan pada anak, baik melalui fisik maupun psikis yang membuat mental anak terganggu. Hal ini terjadi karena toxic parents adalah perilaku dimana orang tua enggan berkompromi, bertanggung jawab, atau meminta maaf kepada anaknya.
Toxic parents memengaruhi perkembangan karakter anak dari bayi hingga dewasa. Orang tua yang toxic dapat mengubah suatu karakter anak dengan melibatkan aspek kesehatan mentalnya. Indikasi seorang anak yang terkena dampak toxic parents terjadi saat anak beranjak dewasa dan mulai muncul perilaku cemas, perasaan ketakutan, dan rasa tidak aman pada lingkungannya. Ketika anak merasa tidak aman dengan lingkugannya, akan menyebabkan respon emosi tidak sesuai dengan stimulus yang diberikan sehingga anak kesulitan dalam mengekspresikan emosinya. Jika hal ini terjadi berkelanjutan pada pola asuh orang tua yang toxic dapat menimbulkan tingkatan yang lebih berat, yaitu munculnya gangguan kecemasan, fisik, dan depresi pada anak.
Mengapa toxic parents dapat mengubah sikap anak menjadi cemas?
Pada dasarnya, emosi dibagi menjadi dua aspek, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Seorang pionir dalam bidang affective neuroscience menyebutkan daerah subcortical otak mamalia memiliki tujuh emosi dasar, yaitu Seeking (ekspektansi), Fear (kecemasan), Rage (kemarahan), Lust (seksualitas), Care (pengasuhan), Panic/Grief (kesedihan), dan Play (sosialisasi). Toxic parents akan membawa emosi negatif pada anak, yaitu Fear (kecemasan).
Awal mula yang menjadi penyebab anak berperilaku cemas terdapat pada perubahan usia dan pola asuh yang tidak sehat (toxic). Anak yang tumbuh dewasa nantinya akan memiliki trauma pada pengalaman menyakitkan yang pernah didapatkan dari sebelumnya. Trauma ini berhubungan dengan episodic memory yang terus mengingat peristiwa yang telah dialaminya. Ingatan episodik secara eksklusif dikodekan, disimpan, dan diambil kembali oleh Hippocampus. Setelah itu, hippocampus akan mendeteksi memori yang akan dihubungkan dengan emosi.
Tulving pada 1972 memperkenalkan kriteria what-where-when (WWW) untuk mendefinisikan konten memori episodik. Namun, kriteria ini ternyata tidak cukup untuk membedakan ingatan semantik dan ingatan episodik. Kriteria yang dapat membedakan sebuah ingatan episodik dengan ingatan semantik, yaitu memberi kaitan tentang memori episodik berdasarkan kesadaran autonoetik yang dapat menghidupkan kembali secara sadar pengalaman masa lalu. Pada saat seseorang menghidupkan kembali rasa sadar dari pengalaman masa lalu, akan memengaruhi perilaku seseorang di masa depan. Episodic memory termasuk long-term memory karena dapat bertahan dalam waktu yang lama. Episodic memory sangat rentan terhadap perubahan dan kelupaan.
Episodic memory ini pemicu awal dari rasa traumatis pada anak. Rasa traumatis ini terbentuk dari memori traumatik. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa memori pengalaman traumatik menyimpan dengan cara berbeda dari pengalaman non traumatik. Hal ini berkaitan dengan penemuan hasil pemindaian otak bahwa saat memori negatif muncul, terdapat amigdala yang memicu suatu kejadian psikofisiologis dan menyimpan suatu emosi dalam memori. Amigdala yang terletak pada lobus temporal nantinya akan mengirimkan suatu informasi pada hippocampus untuk disampaikan pada area otak lainnya, termasuk hippothalamus (melepaskan hormon) dan thalamus (menyampaikan sinyal motorik dan sensorik).
Setelah itu, amigdala menentukan suatu emosi seperti ketakutan atau kecemasan pada rangsangan lingkungan sekitar dan memicu rasa untuk melawan atau lari. Emosi yang telah ditentukan akan berhubungan dengan memori traumatik atau non traumatik. Berdasarkan hasil temuan dapat memberi pemahaman mengapa proses penyimpanan dan kerja memori traumatik tidak mengikuti aturan yang sama dengan memori non traumatik. Memori traumatik berisi konten tinggi afeksi dan rendah kognisi. Tingginya afeksi menyebabkan anak sulit mengontrol emosi dan berujung stres atau depresi.
Nah, setelah menyimak penjelasan di atas, kita menjadi tahu bahwa pola asuh orang tua yang selalu berharap akan kesempurnaan kepada anak tanpa disadari memicu keadaan fisik dan mental seorang anak. Sebab anak yang mendapatkan pola asuh tidak baik akan mengalami emosi negatif, yaitu kecemasan sehingga anak tidak dapat mengendalikan emosi dan menyebabkan depresi.
Anak tidak dapat mengubah perilaku toxic yang dilakukan oleh orang tua. Tetapi, anak dapat menjauhi sifat cemas pada pola asuh tidak baik dengan cara menyibukkan diri dan menerapkan skema diri positif. Selain itu, orang tua juga harus mengerti terhadap sistematika pola asuh karena dapat memengaruhi fisik dan mental anak di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai pola asuh yang benar dan salah perlu disosialisasikan kepada calon-calon orang tua.
Referensi:
Oktariani, O. (2021). Dampak Toxic Parents dalam Kesehatan Mental Anak. Jurnal Penelitian Pendidikan, Psikologi Dan Kesehatan (J-P3K), 2(3), 215-222. https://doi.org/10.51849/j-p3k.v2i3.107
Tulving, E., & Markowitsch, H.J. (1998). Episodic and declarative memory: Role of the hippocampus. Hippocampus, 8. https://doi.org/10.1002/(SICI)1098-1063(1998)8:3%3C198::AID-HIPO2%3E3.0.CO;2-G
Panksepp, J. (2022). Affective neuroscience of the emotional BrainMind: evolutionary perspectives and implications for understanding depression. Dialogues in clinical neuroscience. https://doi.org/10.31887/DCNS.2010.12.4/jpanksepp