GIRI KEDATON: mengulas dokumen riset terkait jejak-sejarah Sunan Giri

Gbr. Salah satu sisi Giri Kedaton saat ini / Ist


Catatan RedaksI JM: 

Di bawah ini merupakan ulasan sebuah dokumen hasil riset lama yang disimpan di Pesantren Luhur, terkait Giri Kedaton (Gresik, Jatim), dan juga jejak-jejak sejarah Sunan Giri, terutama yang berhubungan dengan asal mula berdirinya Giri Kedaton.

Di tempat lain ada juga sarjana-sarjana Barat seperti H.J. de Graaf dan Samuel Wiselius yang menelitinya pada sisi yang lain, dan menyebut Giri Kedaton sebagai "Kerajaan Ulama" (geestelijke heeren) berpengaruh di Jawa Timur. Namun dokumen ini lebih spesifik dan lengkap.

Akhirnya kita di era sekarang makin menyadari bahwa Giri Kedaton adalah komplek makam tokoh suci, dan juga merupakan situs penting dalam syiar Islam di Jawa Timur. Perjuangan Sunan Giri atau Raden Paku yang basisnya adalah di Giri Kedaton. Di sanalah beliau mengonsolidir jalan dakwahnya, mendidik para santrinya, membangun sumberdaya masyarakat zaman itu dalam ragam peristiwa besar yang menyertainya. Dan kemudian, di sana pula beliau dimakamkan.

Riset ini dahulunya diinisiasi oleh KH. Achmad Mudlor, lalu dikerjakan oleh sebuah tim dalam kurun waktu lebih dari 2 tahun lamanya.

Penasehat tim riset terdapat nama besar seperti cendekiawan muslim Prof. Dr. HM. Koesnoe, SH, yang lebih dikenal sebagai pakar hukum adat; dan juga ada tokoh ulama berpengaruh Kyai H. Usman Mansur.

Dokumen dan arsip riset ini dimiliki Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang (LTPLM).

(Tulisan ini diambil dari situs LTPLM/Jan,12, 2022/ dengan sedikit penyesuaian redaksional).

- - - - - - - - -

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Bagaimana peradaban Islam mulai berkembang di tanah air Indonesia tentulah tidak lepas dari perjuangan para Waliyullah, salah satunya Sunan Giri. Memahami konteks sejarah secara faktual sangatlah penting, dimana sejak era generasi millenial dengan mudahnya teknologi dapat saja mendistorsi sejarah sehingga mengaburkan peristiwa yang sesungguhnya.

Awal mula penelitian ini adalah inisiatif dari Abah Muhdlor.  Ada hal yang sedikit ganjil teramati ketika Abah Mudlor berziarah ke makam Sunan Giri, Gresik. Beliau dikejutkan dengan keberadaan makam muslim Tionghoa yang dikubur di kompleks pemakaman itu. Kondisi demikian memicu keingintahuanya untuk memperoleh informasi lebih jauh tentang kronologi ceritanya. Beliau menemui penjaga makam yang sedang sibuk mengamati hilir mudik para peziarah. Terjadi percakapan santai antar keduanya,

“Ini kuburan siapa, pak?”

“Kuburan Tionghoa yang masuk Islam”

“Masuk Islam di mana?”

“Masuk Islam di sini”

“Lha kok bisa dimakamkan di sini?”

“Begini ceritanya, pak tahun 1970an, ada Tionghoa yang masuk Islam di sini, anak Tionghoa itu kaya raya, tokonya ada dimana-mana. Kemudian Tionghoa itu pulang ke Surabaya, di perjalanan dia tertabrak mobil lalu opname, kondisinya cukup parah. Pada kondisi kritisnya itu si Tionghoa berwasiat seperti  ini pada anaknya,

“Tolong nanti saya dimakamkan di pemakaman Sunan Giri, meskipun habis satu toko tidak apa-apa!

“Karena itu adalah amanah, maka anak-anaknya melaksanakan amanah itu. Sudah barang tentu Tionghoa akan susah dimakamkan di tempat yang dikeramatkan para muslim seperti ini. Akhirnya, mereka menyuap beberapa pihak (oknum -red) yang bisa membantu keinginan ayahnya.”

Abah Mudlor menyimak dengan seksama penjelasan penjaga makam sambil mengamati banyaknya Tionghoa yang lalu lalang berkunjung ke makam saudaranya itu. Etnis China ini datang berjubel setelah menyaksikan beberapa warganya menjadi kaya pasca ziarah ke makam. Spontan pikiran yang muncul di benak Abah Mudlor adalah,

“Wah, jangan-jangan pemakaman ini nanti akan menjadi Gunung Kawi kedua”. Gerak batin ini kemudian dicarikan solusi dengan cara berkunjung dan mengkomunikasikan kekhawatiran beliau pada orang-orang berpengaruh di sekitar Gresik.

Abah Mudlor memberikan pemahaman ke pada mereka. Para pesohor Gresik Mengerti betul apa yang menjadi polemik batin Abah Mudlor. Di  akhir perbincangan, semua sepakat menuntut agar makam Tionghoa dipindah ke lokasi lain. Beliau dan para pesohor Giri menuntut pemindahan makam Tionghoa di pengadilan.

“WAH, JANGAN-JANGAN PEMAKAMAN INI NANTI AKAN MENJADI GUNUNG KAWI KEDUA”. GERAK BATIN INI KEMUDIAN DICARIKAN SOLUSI DENGAN CARA BERKUNJUNG DAN MENGKOMUNIKASIKAN KEKHAWATIRAN BELIAU PADA ORANG-ORANG BERPENGARUH DI SEKITAR GRESIK"

Abah Mudlor melakukan hal itu bukan atas tendensi ras, melainkan murni didorong rasa khawatir jika pemakaman Sunan Giri akan menjadi tempat sesembahan seperti halnya Gunung Kawi, Sudah barang tentu pribadi yang merasa memiliki Sunan Giri sebagai tokoh yang dikeramatkan, merasa tersinggung akan hal itu.

Beberapa alasan bernada sensitif-SARA diutarakan di pengadilan. Tak semudah yang dikira. permasalahan terletak pada kuatnya administrasi pihak Tionghoa di mata hukum. Mereka telah mengurus surat ijin resmi dan menunjukkan bukti yuridisnya satu persatu di depan hakim. Debat alot berlangsung cukup lama namun tak menghasilkan apa-apa. Abah Mudlor beserta para pesohor Giri berada dalam posisi sulit. Persidangan memenangkan posisi pihak tergugat. Abah Mudlor dan rekan-rekannya kembali memutar otak mencari solusi lain untuk memindah makam Tionghoa.

Musyawarah berlangsung di ruang tamu salah seorang pesohor Giri. Satu persatu gagasan muncul dari para peserta musyawarah. Dan semuanya, belum ada yang cukup aplikatif untuk diterapkan. Sebagai jawaban musyawarah siang itu, Abah Mudlor selaku pencetus gagasan Pemindahan makam Tionghoa mencuatkan opini,

“Begini Saja,   bagaimana kalau Saya berangkat ke tempat Pak Nur, Gubernur Jawa Timur, kebetulan beliau adalah orang yang fanatik Agama. Saya akan mengungkapkan kronologi ceritanya beserta alasan-alasan yang membuat kita bersikukuh ingin memindahkan makam Tionghoa, mungkin beliau bisa membantu”

Solusi solutif yang ditawarkan diamini semua pihak. Pagi buta, Abah Mudlor menuju kantor Gubernur Surabaya dengan mengendarai bus. Kebetulan saja  waktu itu yang dicari sedang ada jadwal meeting atau kesibukan kegubernuran lain. Pak Nur sedang duduk asik di kursi putar warna hitam di ruang kerjanya. Abah Mudlor diantarkan sekretaris gubernur ke ruangannya ‘Sambil memersilahkan duduk di ternpat yang sudah disediakan, Pak Nur menanyakan maksud kedatanpan tamunya itu. Perbincangan dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan  identitas dan dilanjutkan ke inti permasalahan,

“Ada kepentingan apa?”

“Begini Pak, saya dan beberapa teman dari Giri Gresik sedang menghadapi permasalahan”

“Permasalahan apa?”

“Ada makam Muslim Tionghoa yang dikuburkan di kompleks pemakaman Sunan Giri”

“Lho, kok bisa?”

Abah Mudlor menceritakan kronologi ceritanya persis dengan yang diceritakan penjaga makam waktu itu. Beliau juga menambahkan alasan tentang motivasi memindahkan makam Tionghoa,

“Saya khawatir pemakaman ini akan menjadi Gunung Kawi kedua Pak, saya Iihat banyak Tionghoa yang mengeramatkan makam saudaranya itu. Mereka datang kesana untuk meminta pesugihan. Saya dan pesohor lain sudah menuntutnya di Pengadilan, akan tetapi kita kalah sebab kita lemah secara hukum.

“Pihak Tionghoa telah mengurus semua administrasi-Yuridis pemakaman, kira-kira bagaimana solusinya pak?”

“Jadi seperti itu”

“Iya pak, selain itu saya juga mengamati banyak terjadi Clash“

“Clash bagaimana?”

“Begini Pak, penduduk setempat banyak menemui Tionghoa melewati masjid memakai sepatu, kan mereka tidak mengerti kalau masjid itu suci, bukankah sebaiknya mereka tidak membawa najis masuk masjid, beberapa pihak Tionghoa ada yang tidak bisa menerima alasan itu, dari sini sering terjadi baku hantam antara penduduk setempat dengan Tionghoa. Kalau pengemis yang berceceran di area makam pastinya suka dengan kedatangan Tionghoa, mereka membawa ayam untuk sesajen sekaligus uang yang banyak”.

“Iya, benar sekali”

Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja dan sesekali memegang jenggot, Pak Nur memikirkan solusi yang harus diambil. Tak berselang lama, muncul pernyataan beliau yang ditunggu-tunggu,

“Begini, saya akan bantu dengan cara mengeluarkan Surat keputusan Gubernur Jawa Timur untuk memindahkan makam Tionghoa. Pihak Gubernur akan memberi ganti rugi sebesar tujuh juta untuk pihak Tionghoa”

“Oh, itu keputusan yang sangat bijak sekali pak, terimakasih kerjasamanya, kami di Giri menunggu info selanjutnya”

Pernyataan terakhir yang diungkapkan Gubemur Jatim membawa nafas lega. Hal lain yang terpikir setelah itu adalah menyusun Sejarah Da’wah Sunan Giri dengan tujuan menyingkap tabir kegelapan yang menyelimuti kejelasan sejarah Sulthon Ainul Yaqin-Sunan Giri, keturunan dan juga para pengikutnya. Dokumentasi sejarah yang terkumpul bertujuan mencegah lenyapnya sejarah penyebar agama Islam di tanah Jawa ini. Gagasan ini dibicarakan kembali dalam musyawarah dengan para pesohor tanah Giri.

Gambar : Susunan Pengurus Lembaga Research Pesantren Luhur Malang dan Susunan Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri (Dokumen ini Diambil dari Naskah Riset)

Realisasi

Realisasi pendapat Abah Mudlor terjadi pada periode kedua Pesantren Luhur, tepatnya tahun 1972. Gagasan ini dikonsep oleh Lembaga Research DPM yang kebetulan koordinatornya adalah beliau. 

Berawal dari gagasan itu, Abah Mudlor bersama pengurus lain membentuk Susunan Pengurus Lembaga Research Islam Malang yang diketuai beliau sendiri. Beberapa pengurus yang terlibat adalah Bukhori Saleh LAS yang menjabat sebagai wakil ketua, Wiyono di posisi sekretaris dan beberapa anggota lain dengan penasehatnya Prof. Dr. Moch. Choesnoe dan Kyai H. Usman Mansur. Semua inisiator diatas berdomisih di Kota Malang. Tentunya perlu anggota yang benar-benar paham medan untuk melakukan Research ini. Abah Mudlor mengontak kembali warga Giri yang sudah aktif bekerjasama memindahkan makam Tionghoa dan mereka menyatakan bersedia. Di Gresik, dibentuk Susunan kepanitiaan dengan nama Susunan Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri yang diketuai oleh Achmad Khoiri Mustajib dengan pelindung TRI PIDA Kebomas.

Gambar : Tim Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur dan Panitia Penelitian Dan Pemugaran Sunan Giri

Gambar : Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri bersama ulama dan tokoh masyarakat Giri, Gresik (Foto diambil pada tahun 1973)

Berdiri dari kiri : Kyai H. Achmad Tarbin Muhajilin, Achmad Ma’sum, H. Gholib, Saikhan, M. Toha, Ikhwan, H. A. Zainuddin Iskandar, Achmad Choiri Mustajib, Abd. Rouf Ikhwan, M. Tauhid Mursalin, Moh. Syakir Sukran, Muallif Syuaib, Abd. Rosyad, Musfik, H. M. Rafii

Duduk dari kiri : H. Azhari, H. Ridwan Masyhadi, Kyai H. M. Basyir, Kyai H. M. Zuhri, H. Badawi, Kyai Masyhud, Kyai H. Abd. Muhit, Kyai H. M. Syukur

Research ini memakan waktu 2,5 tahun. Dana yang diperlukan pastinya tidak sedikit. Salah satu dermawan yang bersedia menyisihkan dananya untuk kepentingan research adalah H. Ridwan, pemilik Toko Emas Persatuan dan termasuk orang terkaya di Gresik.

Gambar : Resepsi Serah Terima Naskah Sejarah Sunan Giri tahun 1973. Ketua Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Malang (Bapak Drs. H Achmad Mudlor) Menyerahkan Naskah Sunan Giri Kepada Ketua Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri (Bapak Ahmad Choiri Mustajib)

Hasil research

Hasil research menunjukan kronologi tersebarnya agama islam  di pulau jawa. Tahap awal kepercayaan yang berkembang adalah animisme-dinamisme disusul Hindu-Budha. Maulana Malik Ibrahim putra Ali Nuril Alim bin Jamaluddin Husein datang ke pulau ini tiga tahun lebih awal dari Raden Rahmatullah. Neneknya yang bernama Jamaluddin Husein memiliki putra yang bernama Ibrahim Al-Ghozi atau biasa disebut Ibrahim Asmoro-ayah Sunan Ampel dan Maulana Ishaq-ayah Sunan Giri.

Berdasar keterangan yang tertera dalam buku AI-Hadlir Al ‘alami Al-Islami, disebutkan bahwa agama Islam tersebar pada pertengahan abad ke-8 di daerah yang bernama Gharizik atau Gresik. Maulana Malik Ibrahim ditemani saudagar-saudagar lain menyebarkan agama Islam dengan cara damai. Kedatangan mereka sama sekali tidak dirasa berbahaya oleh raja Hindu atau Budha di tanah Jawa. Salah satu buktinya tertera dalam Babad Pangeran Diponegoro, “Maksud agama Islam den agama Budha sama benar, yang berbeda ialah peraturan-peraturan mengenai upacara-upacara agama itu. Tetapi hal ini tidak mengapa”. Pernyataan itu disampaikan oleh Brawijaya kepada Sayyid Rahmat dan Sayyid Rahman dari Campa. Sunan Ampel tiga tahun lebih awal berada di tanah Jawa daripada Maulana Ishaq. Telah disadari sulitnya menyebar pengaruh di daerah yang fanatik Hindu-Budha. Didapati beberapa wilayah bagian timur Jawa belum tersentuh ajaran Islam. Maulana Ishaq memutuskan menyusul saudaranya tiga tahun kemudian.

Pertama kali Maulana Ishaq mendarat di daerah Blambangan. Beliau dibingungkan dengan kondisi penduduk setempat yang mayoritas memeluk Hindu-Budha. Beliau bermunajat, memohon kepada Allah agar tujuannya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dipermudah. Do’a itu didengar oleh Allah dengan cara menurunkan wabah penyakit kepada penduduk setempat. Salah satu korbannya adalah putri kesayangan Menak Semboyo, Raja Blambangan. Bermacam usaha telah dilakukan agar putrinya kembali pulih namun hasilnya nihil. Sayembara digelar, barang siapa mampu menyembuhkan putri Menak Semboyo akan mendapat imbalan Yang tak ternilai harganya. Patih Baju Senggoro memandang ke arah Gunung Selangu tempat Maulana Ishaq bersembahyang. Tampak cahaya terang memancar dari gunung itu. Sang patih menceritakan kejadian yang dilihatnya kepada raja. Menak Semboyo memerintahkan anak buahnya mencari tahu ada apa dibalik cahaya yang memendar dari gunung tersebut.

Sesampainya disana, yang ditemui bukanlah cahaya melainkan Maulana Ishaq yang sedang bersembahyang. Anak buah Menak Semboyo memberi warta tentang adanya sayembara kepada Maulana Ishaq. Beliau menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara dengan syarat, jika Maulana Ishaq mampu menyembuhkan putri raja. Maka raja beserta seluruh penduduk Blambangan harus memeluk agama Islam. Alhasil, dengan bantuan Allah SWT, putri Raja Menak Semboyo memperoleh kesembuhannya. Maulana Ishaq lantas menikahi putri Raja Blambangan itu.

Dari pernikahannya, lahir Djokosamudro yang kerap dipanggil dengan sebutan Raden Paku atau Sunan Giri. Disebut Giri sebab kelak tanah yang ditempati menggembleng para santrinya berada diatas sebuah gunung (dalam bahasa sansekerta disebut Giri). Kelahirannya tidak diharapkan oleh sang kakek-Raja Menak semboyo. Ibunya memasukkan bayi Djokosamudro ke dalam peti lalu dibiarkan terseret gelombang laut. Salah seorang saudagar asal Gresik yang berlayar hendak berdagang ke negeri seberang menjumpai peti itu. Ingin ia acuhkan, namun kapal terus berputar pada porosnya dan tak bisa melaju lagi. Peti tersebut mereka pungut dan dibawa ke tempat majikannya di Gresik, Nyi Ageng Pinatih. Wanita ini kemudian menjadi ibu tiri Djokosamudro

Berdasarkan flashback historisnya, wali yang sekaligus pencipta gending asmorondono dan pocung ini berguru kepada Syekh Awwalul Islam di Pasai yakni ayahandanya sendiri. Setelah waktu belajar di Pasai dirasa cukup, Syekh Awwalul Islam memerintahkan beliau untuk kembali ke Giri Gresik dengan membawa segenggam tanah dari Pasai. Tanah ini dicocokkan dengan tanah yang ada di Gresik.

Gambar : Masjid Besar Ainul Yaqin Sunan Giri yang dibangun Oleh Haji M Ya’qud Penghulu Rekso Astono Giri, Tahun 1857 M

Pertama kalinya

Pertama kalinya Sunan Giri mendatangi Gunung Lepit, lalu mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah gunung itu, sama sekali tak sama. Kemudian beliau pergi mendaki Gunung Wangkai Mahesa atau Gunung Batang untuk mencari sumber air namun tak berhasil. Putra angkat Nyi Ageng Pinatih ini menuju Desa Beji dengan tujuan mencari sumber air sebagai pengobat dahaga. Disana beliau tidak menemui timba untuk mengambil air. Alhasil, Raden Paku menggulingkan sumur itu yang hingga saat ini berada dalam kondisi miring. Kejadian ini berdasarkan bukti sejarah yang ada tercatat pada bunyi candra sengkolo (penanggalan kuna) Sinong Muir:  toya milipasucining ratu yang berarti tahun 1402 Saka (1402 + 78 = 1480 Masehi)

Sunan Giri bermunajat meminta petunjuk Tuhan dengan bersemedi selama 40 hari di Gunung Wangkai Mahesa atau Gunung Batang. Tujuannya adalah agar diberi petunjuk dimana kiranya keberadaan tanah itu. Empat puluh hari berlalu, Sunan Giri berhenti bermunajat lalu naik ke Gunung Sari. Ditempat ini beliau melihat ke arah Ampel Surapringgo lalu melepas pandang ke arah barat. Di sebelah kanannya tampak kilatan sinar memancar dari arah gunung Sekar Kedaton. Dengan karomahnya, Sunan Giri seketika terbang menuju gunung tersebut. Bersama dengan Khodimnya (Syekh Koja dan Syekh Grigis), Sunan Giri mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah yang ada di Gunung Sekar Kedaton, tepatnya di daerah Sidomukti. Kedua tanah tersebut sama, baik dari warna maupun baunya. Di tempat ini Sunan Giri mendirikan masjid sekaligus kampus untuk menggembleng para santri. Peristiwa tersebut terjadi tercatat pada bunyi Candra Sengkolo Jowi Sinong Muir: tinggali luhur dodi ratu, atau tahun 1403 Saka (1403 + 78 = 1481 Masehi).

Gambar : Tim Riset dan Panitia berfoto di depan pintu gerbang makam sunan giri. Tampak dua patung naga yang berada di depan pintu gerbang

Setelah mendirikan kampus, para santri Sunan Giri mengalami kesulitan untuk mendapatkan air. Beliau lantas mengajak para santri untuk bermunajat pada Allah agar memperoleh petunjuk lokasi sumber air. Ticlak lama setelah itu, sumber air diketahui berada di timur laut Gunung Sekar Kedaton. Sunan Giri memerintahkan untuk menggali tanah sesuai dengan petunjuk yang sudah di dapat. Memang benar, lubang galian itu mengucurkan air cukup deras. Telaga ini lantas diberi nama Telaga Pegat. Proses penemuan Telaga Pegat ditandai dengan candra sengkala lain yang berbunyi telaga pegat padusoning wong atau tahun 1401 Saka (1401 + 78 = 1479 Masehi).

Para santri Sunan Giri yang berasal dari Pati (Jawa Tengah) sedikit kecewa sebab mereka tidak terlibat dalam proses penggalian Telaga Pegat. Tidak ada niat diskriminasi, akan tetapi mereka memang datang setelah penggalian. Mereka masih dalam perjalanan menuju Sekar Kedaton ketika penggalian berlangsung.

Sunan Giri tidak ingin mengecewakan niat baik para santrinya itu. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk menggali satu telaga lagi yang dinamai Telaga Kembar. Telaga ini selesai di gali pada tahun saka Sinom Milir suci rurup tats kabeh atau tahun 1406 Saka (1406 + 78 = 1488 Masehi).

Prabu Satmoto

Prabu Satmoto, Nama lain dari Djokosamudro menggembleng para santrinya di Gunung Sekar Kedaton. Ini adalah penemuan baru Lembaga Research beserta Panitia Pemugaran Makam Sunan Giri. Gunung ini merupakan Kampus Sunan Giri yang asli dan belum terkuak keberadaannya sebelumnya. Beberapa tulisan yang terpahat di gunung memakai Bahasa Kawi. Untuk menerjemahkannya, tim Research Sunan Giri mendatangkan ahli bahasa Kawi asal Solo, Komari.


Gambar : Foto situs giri kedaton sebelum pemugaran (Diambil oleh Tim riset Pesantren Luhur Islam Pada Tahun 1970 an )

Selain tulisan yang terpahat di Gunung Sekar Kedaton, beberapa sumber sejarah juga ditemukan utamanya dalam bentuk buku. Abah Mudlor beserta anggota Tim Research menggali beberapa tempat sesuai petunjuk yang tertera dalam buku yang diterjemahkan Komari. Buku itu semacam peta wilayah yang menunjukkan lokasi bangunan. Berpuluh tahun Gunung Sekar Kedaton tak dirawat dan tidak pula disadari keberadaanya oleh penduduk setempat. Kondisi bangunan Yang tertutup gundukan tanah akhirnya digali. Salah satu bekas bangunan Yang tampak adalah Masjid Sekar Kedaton. Masjid ini dipugar mewah setelah kegiatan Research selesai.

Disebutkan pula dalam buku itu terdapat pemakaman. Setelah digali, pemakaman tersebut hanyalah persembunyian pembunuh para Bupati Gresik pada zaman Belanda. Pada masa penjajahan, ada pembunuh gelap bupati yang tidak terdeteksi identitasnya sampai sekarang. Untuk mengelabuhi penduduk, ia membangun kuburan imajiner sebagai tempat persembunyian. Isu atau (mungkin) fakta pembunuhan misterius ini menimbulkan resah penduduk setempat yang berujung pada tidak adanya warga Gresik yang berani mencalonkan diri sebagai bupati. Kabupaten ini berubah menjadi kawedanan. Baru setelah Belanda kembali ke negara asalnya dan kondisi dirasa aman, Gresik kembali menjadi kabupaten.

Gambar : Tasyakuran Bersama yang dihadiri Tim Lembaga Riset Pesantren Luhur Malang, Panitia Penelitian dan Pemugaran Makam Sunan Giri, dan Para Tokoh Ulama serta Tokoh  Masyarakat

Sekar kedaton adalah bukti sejarah Sunan Giri dalam menggembleng santri-santrinya sekaligus berda’wah mensyi’arkan agama. Kepedulian dan rasa antusias tim Research dalam menyumbangkan tenaga dan pikirannya adalah hal yang luar biasa hebatnya. Tanpa penelitian yang dilakukan, mungkin saja artefak-artefak sejarah Sunan Giri masih terpendam bahkan akan hilang seiring dinamika zaman. Saat ini Para pembaca muslim cukup menikmati perjuangan waliyullah, Sunan Giri, dalam buku Sejarah Dakwah Sunan Giri yang terbit bulan Agustus 1974. Kerja keras yang memberi maslahah bagi umat. Abah Mudlor, selaku inisiator Research Sunan Giri dielu-elukan warga Giri atas jasanya.

SEKAR KEDATON ADALAH BUKTI SEJARAH SUNAN GIRI DALAM MENGGEMBLENG SANTRI-SANTRINYA SEKALIGUS BERDA’WAH MENSYI’ARKAN AGAMA. KEPEDULIAN DAN RASA ANTUSIAS TIM RESEARCH DALAM MENYUMBANGKAN TENAGA DAN PIKIRANNYA ADALAH HAL YANG LUAR BIASA HEBATNYA

Gambar : Bendahara umum Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri, H. Ridwan Mashadi, Mengikuti Proses Pemugaran

Tim Research

Lembaga Riset Pesantren Luhur Islam Malang menguak kampus Sunan Giri yang asli ini melalui tulisan yang terpahat di gunung memakai bahasa Kawi. Beberapa sumber sejarah lain yang ditemukan adalah sebuah buku, dari situlah Abah Mudlor beserta Tim Research menggali beberapa tempat yang tertera dalam buku yang berbentuk peta tersebut. dari penggalian bangunan yang sesuai lokasi di peta, terdapat penemuan bekas Masjid Kedaton, dan menginisiasi pemugaran setelah research selesai. Sekar Kedaton adalah bukti sejarah dakwah perjuangan Sunan Giri dengan mensyiarkan agama Islam melalui pendidikan pesantren. Tanpa adanya riset ini mungkin artefak sejarah tersebut masih terpendam atau bahkan tenggelam oleh zaman. Dan hal ini pun tidak terlepas dari peran Abah Mudlor, selaku inisiator diadakannya riset tersebut.

Gambar : Proses Tahapan Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri

Tak dipungkiri bahwa Pengaruh Lembaga Riset Pesantren Luhur Islam dalam upaya pemugaran lokasi Pesantren Sunan Giri sangatlah besar. Karena lembaga inilah yang menginisiasi terlaksananya pemugaran ini. Dengan bantuan masyarakat sekitar makam Sunan Giri, Pemerintah Kota Gersik, Lembaga Riset Islam Malang dan pihak-pihak terkait lainnya, pengumpulan dan pendokumentasian fakta sejarah yang hampir dilupakan dapat diungkap kembali.

KARENA LEMBAGA INILAH YANG MENGINISIASI TERLAKSANANYA PEMUGARAN INI. DENGAN BANTUAN MASYARAKAT SEKITAR MAKAM SUNAN GIRI, PEMERINTAH KOTA GERSIK, LEMBAGA RISET ISLAM MALANG DAN PIHAK-PIHAK TERKAIT LAINNYA, PENGUMPULAN DAN PENDOKUMENTASIAN FAKTA SEJARAH YANG HAMPIR DILUPAKAN DAPAT DIUNGKAP KEMBALI.


Gambar : Keris Suro Angon Angon yang  dipegang Kyai H Badawi, sampai sekarang Masih Tersimpan di Dalam Cungkup Makam Sunan Giri

Selain hal tersebut, asal mula sejarah gambar Wali Songo didapat oleh Prof. Dr. Moch. Koesnoe selaku guru besar Faculty of Law di Universitas Leiden Belanda dan juga penasehat Lembaga Riset Pesantren Luhur Islam Malang. Setelah perbincangan dengan abah Mudlor, beliau sepakat untuk membawa potret gambar wali yang terdapat di Museum Netherland. Hasil foto tersebut diserahkan kepada tim riset, baru setelahnya dapat digandakan dan gambar Wali Songo mulai tersebar luas di Indonesia.

HASIL FOTO WALI 9 TERSEBUT DISERAHKAN KEPADA TIM RISET, BARU SETELAHNYA DAPAT DIGANDAKAN DAN GAMBAR WALI SONGO MULAI TERSEBAR LUAS DI INDONESIA.

Hasil dari riset Sunan Giri ini terdokumentasi dalam buku ilmiah terbitan Lembaga Riset Pesantren Luhur Islam dengan Judul “Sejarah Perjuangan dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri” dengan adanya buku ini tentunya warisan luhur bangsa Indonesia terjaga kelestariannya dan dapat dijadikan sebagai ibroh yang menjadikan umat manusia menjadi lebih baik di masa depan (des)(msam).

Gambar : Prasasti Giri Kedaton, Yang ditandatangani Oleh Ketua Riset, Prof . Dr.  Kyai H. Achmad Mudlor, SH.

Gambar : Foto Giri Kedaton Tampak Sekarang 

Sumber Rujukan :

Kasdi, A. 2005. Kepurbakalaan Sunan Giri (Sosok Akulturasi Kebudayaan Indonesia Asli, Hindu-Budha dan Islam Abad 15-16). Unesa University Press: Surabaya

Sholicha, L. 2011. Mujtahid, Mujaddid, Mujahid (Percikan Perjalanan Spiritualitas dan Intelektualitas Profesor Dr. Kyai H Achmad Mudlor, SH). Pustaka Luhur. UNISLA Press. Lamongan

Sunyoto, A. 2016. Atlas Walisongo (Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah). Pustaka IIman. Depok

Lembaga Research Islam Pesantren Luhur Malang, “Sejarah dan Da’wah Islamiyah Sunan Giri” (Gresik : Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri, 1973). hlm 37. 

Tim Penyusun Buku Sejarah Hari Jadi Kota Gresik. 1991. KOTA GRESIK Sebuah Perspekstif Sejarah dan Hari Jadi. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II : Gresik.

(Sumber: LTPLM)