MENGINTIP EKSOTIKA "BALE KAMBANG" DI ISTANA LANGKHA PADA RELIEF RAMAYANA CANDI PENATARAN : Citra Arsitektural Bale Kambang Era Majapahit

 


Oleh : M. Dwi Cahyono

(Arkeolog & Sejarahwan Nusantara)

     Ceritane wayang Jawi

     Ing projo Ngalengkodirojo

     Rahwono rojo arane

     Gawe geger nyolong Shinto

     Anoman cancut tumandhang

     Ngalengko wis dadi awu

     Kobong gedhe jeroning projo

     Ceritane wayang Romoyono

     Ing negoro Ngalengkodirojo

     Ratu buto Rahwono rojo

     Gawe geger nyolong dewi Shinto

     .......................

(Syair lagu "Anoman Obong", Waljinah) 


A. Arti Sebutan "Bale Kambang"

Sebutan "bale kambang" mungkin pernah anda dengar. Di sub-area Malang Selatan, terdapat pantai wisata dengan nama "Bale Kambang". Demi mendengar nama tersebut, orang bisa menyangka bahwa sebutan "bale kambang" berarti bentuk pantai tertentu. Padahal, sejati- nya bale kembang adalah sebutan arsitektural. Apabila benar merupakan sebutan arsitektural, maka pertanyaannya adalah "bagaimanakah gambaran bentuk pokok bale kambang"? Beri- kut telisik menurut tinjauan kebahasaan dan kosmologi kuno terhadap Bale Kambang 

Pada bahasa Jawa Kuna danb Jawa Tengahan terdapat istilah "bale", yang menunjuk kepada : bangunan terbuka (selalu dari kayu ataupun bambu), balai, pavilion, bangsal (Zoetmulser, 1995: 101). Bangunan yang demikian tergam- bar di dalam kisah pewayangan Jawa "Bale Sigala-Gala", dimana Pandawa dan Kurawa terlibat dalam per- mainan dadu. Arsitektural bale di dalam kisah ini tergambar pada relief cerita "Parthayajna" di teras II Candi Jago sisi selatan, yang berupa bangunan terbuka beru- kuran cukup besar. Adapun istilah  "kambang" adalah kata jadian dengan kata dasar (lingga) "ambang (ka + ambang)", yang secara harafiah berar- ti : apung, terapung, mengambang pada permukaan air. Sebutan ini juga kedapatan se- bagai salah satu kosa kata di dalam bahasa Indonesia, namun dengan penu- lisan "balai kambang". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2002), dalam arti bangunan yang didirikan di tengah kolam dan sebagai- nya (tempat) bersenang senang dsb.).

Sebenarnya, bangunan besar (bale) itu tidaklah mengapung di permukaan air kolam, melainkan cuma dikelilingi oleh air kolam, sebab tempat berdirinya bale adalah fondasi tanah, seperti gunung berada di suatu pulau pada tengah laut. Menilik tata arsitektural bale kambang se- bagaimana tergambar pada arti penamaannya tersebut, ada konsepsi kosmologis yang diisti- lahi "tasik ardi", yaitu gunung (ardi) yang berada di suatu pulau dikelilingi laut. Gambaran tasik ardi bisa dijumpai di situs Banten Lama. Pada arsitektur lama di Jawa, Bali, Lombok maupun di Cirebon, arsitektur dengan konsep "tasik ar- di" acap dijumpai, diantaranya berbentuk bale kambang. Bangunan besar (bale) berbahan ka- yu dengan konstruksi berpanggung merupakan simbol dari gunung (ardi), yakni Meru. Fondasi tanah padamana bale berdiri, secara simbolik menggambarkan pulau (dwipa) -- yang dalam kosmologi India lama dinamai "Jambudwipa". Ada- pun kolam yang mengelilinginya secara simbolik menggambarkan laut (tasik). Terda- pat konsepsi relasional "gunung-laut (segoro- gunung) pada bale kambang masa lampau.


B. Bale Kambang pada Relief Ramayana pada Candi Penataran

Sebagai salah satu komponen bangunan yang berada di kompleks keraton (kadatwan, keda- ton), bale kambang bukanlah bangunan biasa yang bersifat profan. Melainkan ada sifat sa- kralnya, karena dibuat dengan latar konsepsi kosmologis. Pada masa Hindu-Buddha, arsi- tekstur demikian kedapatan, dan bukan tidak mungkin pada kedaton Majapahit. Relief yang dengan jelas menggambarkan bale kambang di dalam relief cerita "Ramayana" teras I candi in- duk Penataran sisi selatan itu kemungkinan  di- inspirasi oleh bale kambang yang ada kala itu, yaitu pada masa keemasan (golden periode) Majapahit medio abad XIV Masehi. 


1. Konteks Pengkisahan

Pada kisah "Ramayana" versi "Ravanawadha di Candi Penataran, relief bale kambang tersebut berada di kompleks keraton Alengka (Langkha, yang dalam sebutan bahasa Jawa Baru dina- mai "Ngalengkodirojo"). Latar peristiwa peng- gambarannya adalah terbakarnya bangunan  keraton negeri Langkha oleh api yang disulut- kan ke ekor Hanoman -- dalam pewayangan Jawa masuk lakon "Anoman Obong". Untuk menyelamatkan diri akibat kebakaran hebat yang melalap atap sirap dan dinding kayu is- tana Langkha, bergegas Rahwana memmbawa lari para istri dan seisi istana ke areal berair, ya- itu ke sekitar bale kambang. Rahwana tampil siaga dengan pedang panjang di tangannya.  Sementara para wanita terlihat ketakutan. Ada alas- an untuk mengevakuasi ke areal berair, yakni supaya terhindar dari merembetnya api yang telah membakar bangunan utama keraton Langkha. 

Keraton Langkha terletak di suatu pulau pada seberang selatan dari sub-kontinen India, yaitu Pulau Sri Langka, yang kini merupakan wilayah negara Sri Langka (dahulu dikenal pula dengan "Ceylon", berasal dari kata "sea land"). Lokasi is- tana Langkha (Langkhapura), tempat dimana Dewi Sita disekap oleh Rahwana, berada disini. Atas petunjuk dari burung besar Jathayu, kera putih Hanoman pun menelisik keberadaan Sita di istana Langkha. Nanun, Kehadiran Hanoman sempat ketahuan. Dalam suatu pertempuran se- ngit panglima Indrajit lontarkan panah ular (dalam pewayangan Jawa disebut "panah ran- te"), dan berhasil melilit tubuh Hanoman. Pah- lawan Kera Putih yang tengah mengemban tu- gas sebagai "duta" di dalam lakon "Hanoman Duto" itu selanjutnya dibakar, dengan menyulut ekornya. Beruntung Hanoman berhasil untuk melepaskan diri dari lilitan panah ular, dan se- gera melesat ke atap istana dengan ekor yang terbakar. Sontak api menyulut atap bangunan istana, yang sangat mungkin berbahan sirap. Kobaran api melalap bangunan istana, yang membuat panik seisi keraton. 


2. Gambaran Arsitektural Bale Kambang di Istana Langkha

Bale Kambang kedataon Alengka digambarkan berbentuk bujur sangkar dengan ukuran besar. Pada tengah kolam terdapat tanah yang diting- gikan, padamana bale yang berupa bangunan terbuka dan berkonstruksi rumah panggung betiang empat (ada pula bale yang lebih besar dengan jumlah tiang 6, 8, dan bahkan 12 buah) yang berdiri kokoh (disangga oleh umpak) itu berada. Di msing-masing sisi dinding kolam, yang dilengkapi dengan pelipit- pelipit hias, berderet 5 buah pancuran air (jaladwara), yang mengucurkan air mengisi kolam. Apabila jarak antar pan-curan air itu 3 m, berarti ukuran sisi- sisi kolam adalah 18 m (bila jaraknya 2,5 M, maka ukuran sisi-suki kolam adalah 15 m), yang berarti terbilang besar. Kurang jelas ben- tuk ujung jaladwara-nya, namun tergambarkan berupa batu berukir. 

Tanaman teratai maupun angsa tampak meng- isi kolam. Terlihat jelas angsa-angsa yang te- ngah asyik berenang, seolah tidak hirau pada istana yang tengah terbakar. Pada masa lalu  keindahan taman air tergambar pada mekarnya bunga-bunga teratai yang menyembul di per- mukaan air kolam. Keindahannya diperkuat oleh angsa-angsa yang hidup di perairan kolam sekeling bale kambang. Konon angsa (hamsa) dipandang sebagai binatang yang cantik (artis- tik) selain merak (mrak, mayura) -- di Lombok ada taman air kuno dengan nama "Mayura". De- mikianlah, selain bermakna kosmologis, taman air bale kambang juga merupa- kan komponen arsitektural pemerindah kompleks istana raja dan kediaman para bangsawa tempo dulu. 

Acapkali bangunan keputrian (keputen) terletak di sekitar bale kambang, yang berwujud "taman sari". Pada taman sari istana Langkha itu Dewi Sita disekap oleh Rahwana. Dalam kepanikan para penghuni istana, Hanoman dapat leluasa memeriksa dimana tempat khusus Dewi Sita disekap. Pada akhir cerita relief "Ramayana" di candi Pentaran itu, kera Hanoman digambarkan berhasil menemui Sita, lantas menghaturkan cincin (karah) yang dititipkan oleh Rama pada Hanoman untuk diberikan kepada Sita, sebagai pertanda bahwa cinta kasihnya tak sirna walau Rama dan Sita terpisah tempat oleh Selat Sri Langkha di peng- hujung selatan India Raya. 


C. Beberapa Relief Bale Ksmbang dan Urgensinya

Memang, tak banyak relief candi yang meng- gambarkan tentang bale kambang. Walau ada sejumlah relief yang menggambarkan perairan, namun tidak semua berwujud bale kambang. Ada yang berupa telaga (Telaga Pager misal- nya, di relief Panji pada punden berundak Ken- dalisodo di Gunung Penanggungan), patirthan (misaln relief Krenayana di teras II Penataran), dsb. Sejauh telah diketahui ada dua relief candi yang menggambarkan bale kambang. Selain pada relief cerita "Ramayana" candi Penataran, ada relief bale kambang pada deretan rilief di batur Candi Jawi sisi utara. 

Kedua relief bale kambang pada masa lampau itu, yakni masa Hindu-Buddha, tepatnya di ma- sa keemasan Majapahit, memiliki arti penting. Karena sejauh ini belum diperoleh peninggalan arkeologis lengkap yang berupa bale kambang. Da- lam hal demikian, relief bale kambang itu bisa dijadikan sebagai sumber data artefaktual (sumber data visual) guna melengkapi deskrip- si bale kambang dalam sumber data tekstual (susastra lama). Bila menilik adanya sejumlah tempat (desa, kampung, areal tertentu) di Jawa dengan nama (toponimi) "bale kambang", ter- gambar bahwa dulu bangunan bale kambang kedapatan di sejumlah tempat. Demikian pula, pada beberapa susastra tekstual serta tradisi lisan, perihal bale kambang acap hadir mengisi khasanah arsitektur Jawa.

Demikian sekilas gambaran tentang jejak bale kambang diJawa pada keemasan Majapahit. Bale kambang tidak hanya hadir pada masa Hindu-Buddha, namun hadir pula pada masa perkembangan Islam. Semoga tulisan ringkas dan bersahaja ini dapat menambah khasanah pengetahuan budaya Nusantara pada masa lampau bagi para pembaca yang budiman. Nuwun.

Plandaan TA, senja 6 Juli 2021

Omahpunjer CITRALEKHA