KONDISI BANGUNAN CAGAR BUDAYA EKS KAWEDAN DAN UPAYA PELESTARIANNYA

Ilustrasi / fb-dc
Oleh: M. Dwi Cahyono
(Sejarahwan & Akademisi)

A. Pembentukan dan Penghapusan Pemeritahan Tingkat Kawedanan
 
1. Batasan Istilah ‘Kawedanan’
Kawedanan’ merupakan kata jadian dalam Bahasa Jawa, dengan kata dasar ‘wedana (ka-wedana-an)’. Secara harafiah berarti: wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan, yang berlaku pada masa Hindia Belanda hingga bebe-rapa tahun setelah kemerdekaan RI. Birokrasi pemerintah tingkat kawedanan ini dipakai di beberapa provinsi. Misalnya di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemimpin kawedanan disebut ‘wedana’, yang di wilayah Kalimantan dipanggil ‘kiai’. 

Wedana adalah ‘subdistrict within a kabupaten’ atau ‘residence of the subdistrict officer’. Dengan perkataan lain, wedana adalah pembantu pimpinan wilayah Daerah Tingkat II (Kabupaten), membawahkan beberapa camat; atau merupakan pembantu bupati yang berkedudukan lebih tinggi dari camat. Kantor atau rumah wedana dinamai ‘kawedanan’. Bilamanakah kawedanan mulai diberkakukan di bumi Indonesia?

2. Jabatan ‘Waddhana’ pada Masa Hindu-Buddha
Dalam birokrasi pemerintahan Jawa pada Masa Hindu-Buddha terdapat suatu jabatan yang sebutannya amat dekat dengan kata ‘wedana’ atau ‘wedono’, yaitu ‘wadana’ atau varian penulisannya ‘waddhana’. Menurut P,J, Zoetmulder dalam ‘Kamus Jawa Kuna-Indonesia’, kata ‘wadana’ diartikan sebagai: ketua, kepala (1995: 1363), tanpa penjelasan mengenai seberapa besar luas kekuasaan atau kekuasaan pada bidang apa yang dibawahinya.

Kata ini antara lain didapati dalam kakawin Nagarakretagama (88.1, 88.2, 89.3) dan Tantri Kamandaka (22). Tantri Kamandaka menyebut perkataan ‘...... para mantri, para wadana ....’. Jabatan ‘mantri’ terbilang cukup tinggi di Masa Hindu-Buddha, yang kemungkinan menunjuk pada: penasihat raja, menteri, pejabat tinggi atau pemuka di istana, perwira (Zoetmulder, 1995: 647). Apabila menilik bahwa jabatan ‘wadana’ dalam teks tersebut disebut setelah jabatan ‘mantri’, tergambar bahwa wadana adalah jabatan yang cukup tinggi.

Hal ini berbeda dengan penyebut-an kata ‘waddhana’ di dalam Prasasti Katiden I (antara 24 Maret dan 22 April 1392 Masehi) koleksi Museum Nasuonal Jakarta (No. Inventaris E65) lempeng 1.a baris ke-1, yang memuat kalimat: ‘Itu supaya diketahui penduduk di sekelurahan (salurah) Katiḍen, demikian pula para waddhana di Lumpang ......”. Tergambar di dalam prasasti ini jabatan ‘waddhana’ tidak begitu tinggi, karena di Lumpang – barangkali Lumpang merupakan suatu desa (thani, lurah), atau terluas sebagai watak – terdapat beberapa (diistilahi dengan ‘para’) waddhana. Bila merupakan peabat sipil, maka kedudukan waddhana di berada bawah rakryan. Namun, jika merupakan pejabat militer, maka jabatan wadhana adalah perwira rendah, yang memimpin satuan ketenta-raan kecil.

3. Jabatan ‘Wedana Bupati’ pada Era Mataram Islam
 Pada era Mataram Islam, misalnya ketika masa pemerintahan Sultan Agung, wedana merupakan pejabat di wilayah Mancanagara Wetan ataupun Kulon. Susastra ‘Pustaka Raja Purwa’ menyatakan bahwa daerah-daerah di mancanegera dikepalai oleh seorang atau lebih bupati. Para bupati mancanagara berada dibawah pengawasan seorang wedana bupati man-canagara. Tergambar bahwa kedudukan wedana lebih tinggi daripada bupati.

Contoh, pada tahun 1677 Mas Tumapel – saudara sepupu dari Panembahan Mas Giri – yang semula menjabat sebagai bupati di Gresik, selanjutnya diangkat menjadi ‘wedana bupati mancanagara’ dengan kedudukan di Jipang yang terkenal dengan nama ‘Adipati di Jipang’ untuk mengepalai serta mengkoordinasikan bupati-bupati di mancanagara. Contoh lain adalah pengangkatan Tumeng-Surawijaya diangkat menjadi wedana bupati mancanagara wetan pada tahun 1709.

4. Jabatan ‘Wedana’ pada Masa Penjajahan
Inggris dan Hindia-Belanda
Kedudukan wedana menjadi lebih rendah dari bupati pada masa Imperalisme Inggris di Jawa. Pada abad ke-19, Daendels membagi Jawa menjadi 9 (sembilan) prefektur. Masing-masing dipimpin oleh seorang “prefek”. Bupati ditempatkan sebagai pejabat pemerintahan di kabupaten, dibawah prefek. Pada masa kekuasaan Inggris di bawah Letnan Gubernur Th. S. Raffles (1811-1816) diperkenalkan istilah ‘keresidenan’ sebagai pengganti landdrost-ambt bikinan Daendels. 

Residen mengepalai keresidenan. Jawa dibagi menjadi 16 keresidenan. Raffles juga memperkenalkan jabatan “wedana”, yang mengepalai distrik. Antara abad ke-19 hingga tahun 1942, para pejabat pemerintah tersebut tergabung dalam birokrasi tradisional (pangreh praja) hasil rekayasa dari Pemerintah Kolonial.

Para pejabat pangreh praja adalah kaum menak. Misalnya, menak di Kabupaten Bandung terbagi atas dua golongan, yaitul (a) menak paseban (paseban = tempat menyerahkan seba atau upeti), dan (b) menak kaum (qaum = tempat kediaman penghulu berserta bawahannya, seperti naib, kalipah, imam, bilal/modin, dsb). Menak paseban terdiri dari bupati yang mempinyai seorang pembantu bupati – disebut “patih”, yang bertugas mengkoordinasikan birokrasi bupati di ibukota kabupaten. Tugas pribadinya adalah memegang administrasi persawahan, utamamya sawah milik bupati di seluruh penjuru kabupaten, jalan-jalan, jembatan-jembatan, rumah serta bangunan milik kabupaten. Patih membawahi wedana, yang bertugas di daerah, tepatnya di distrik. 

Pada awalnya yang diangkat menjadi patih dan wedana adalah para kerabat dekat bupati. Pelaksanaan kerja di lapangan dilakukan oleh tenaga kerja wajib (heerendieust), dan pembiayaannya ditanggung oleh para wedana yang mengambilnya dari kekayaan daerah-daerah.
Sebelum diberlakukannya Decentralisatie Wet (Undang-Undang Desentralisasi) pada tahun 1903, sistem pemerintahan Hindia-Belanda bersifat setralistik mutlak, dimana Gubernur Jendral – yang berada dibawah Menteri Jajahan di Negara Induk – langsung ditempatkan di bawah Ratu Belanda. 

Pemerintah Pusat membentuk satuan-satuan pemerintah bawahan di ba-wah penguasa-penguasa yang ditunjuk mengontrol wilayah-wilayah yang ditentukan, terdiri atas: (a) Residen (2) Asistem Residen, (3) Controleur, (4) Bupati (Regent), (5) Wedana (hoft district), dan (6) Asisten Wedana. Kesemuanya dalam hubungan hirarkis-komando, Seluruh satuan-satuan pemerintahan bawahan itu dalam litertur Eropa disebut ‘local state gouverment (wilayah administrasi)’.

Pada akhir abad ke-19 terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem politik di negara-negara Eropa, termasuk juga di Negeri Belanda, yang berdampak signifikan pada pemerintahan di Hindia-Belanda. Salah satu dampaknya adalah diberlakukannya Decen-tralisatie Wet tahun 1903, yang di dalamnya mengatur hubungan pusat-daerah. Dalam UU ini Pemerintah Pusat mengontrol secara efektif kesatua pemerintahan di wilayah bawahannya, de-ngan pertimbangan yang menjalankan pemerintahan adalah pejabatnya yang ditempatkan di daerah, baik Residen, Asisten Residen, Kontrolir, Bupati, Wedana maupun Asisten Wedana.

5. Keberadaan ‘Wedana’ dan Penghapusannya
pada Masa Kemerdekaan RI
Model pemerintahan yang demikian tak banyak berubah meski Indonesia telah mema-suki kemerdekaannya. Perubahan baru terjadi pada tahun 1965, ketika keluar UU No. 18 tentang ‘Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah’, yang menstrukturkan Pemerintahan Daerah sebagai hanya terdiri atas daerah otonom saja. 

Asas ‘dekonsentrasi’ menjadi pelengkap bagi pelaksanaan asas ‘otonomi’ dan medehewind tidak diwujudkan dalam pembentukan wilayah administrasi. Oleh kerena itu, wilayah administrasi pemerintahan yang berupa Karesidenan dan Kawedanan dihapus berdasarkan Peraturan Presiden No. 22 tahun 1963 tentang ‘Pengha-pusan Karesidenan dan Kawdanan’. Semenjak itu, hapusalah Kawedanan dalam jejang birokrasi pemnerintahan di Indonesia. Pada masa kini, posisi Kawedanan yang telah dihapus tersebut di beberapa tempat diisi oleh pejabat yang disebut ‘Pembantu Bupati’ yang tidak memiliki kewenangan pengambilan keputusan. Wilayah kerjanya disebut ‘Wilayah Pembantu Bupati',
.
B. Kondisi dan Solusi Pelestarian Bangunan Eks Kawedanan
 
1. Gambaran Umum Kondisi Bangunan Eks
Kawedanan Sebagai jabatan yang telah ada semenjak masa Hindu-Buddha hingga ke masa-masa sesudahnya, tentu terdapat kantor atau rumah tinggal wedana yang dinamai ‘kawedaan’ yang berusia tua. Beberapa kawedanan yang dibangun sejak Masa Hidia-Belanda masih tertinggal hingga kini. Bangunan kawedanan yang kebanyakan beragaya arsitektur Indis, yakni paduan antara seni-bangun Eropa - Jawa, lantaran telah mengalami disfungsi dari fungsinya semula sejak tahun 1963, maka memiliki sejumlah kemugkinan keberadaan, antara lain: (1) cukup lestari, walaupun dialihfungsikan menjadi kantor suatu instusi, namun tanpa banyak disertai dengan pengubahan bentuk bangunan; (2) mengalami perubahan sebagian dari keseluruhan ba-ngunannya, guna menyesuaikan dengan fungsi barunya atau selera resitektur dari institusi yang menempatinya, (3) dalam keadaan rusak di sebagian bangunannya, sebab yang dimanfaatkan hanya sebagian dari keseluhan bangunannya, sedangkan sebagian lainnya diterlantarkan, (4) mengalami kerusakan cukup hingga sangat parah, kerena telah tidak lagi digunakan sebagai kantor atau peruntukan lain, atau (5) dirobohkan dan bekas keberadaannya didirikan bangun-an baru sama sekali.

Menilik usia, kelangkaan dan fungsi pentingnya di masa lalu, bangunan-bengunan eks kawedanan yang tersisa tersebut masuk dalam kategori ‘BCB’, yang berdasarkan UU No. 11 tahun 2010 wajib untuk dilestarikan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit dari bangunan beserta lahannya yang merupakan ‘aset pemerintah daerah’ itu berada dalam kondiisi tidak lestari. Selain lantaran faktor usia, latar kerusakannya antara lain: (a) alih penggunaan dari semula sebagai kantor kawedanan dan/atau rumah dinas wedana ke institusi lain dengan beda fungsi atau peruntukan, yang berkonsekuensi pada pengubahan sebagian dari keseluruhan bangunannya, (b) tidak lagi difungsikan sebagai kantor intitusi tertentu atau beruntuan lain da-lam waktu lama, sehinga tidak terpelihara dan mengalami kerusakan cukup bahkan amat parah, (c) kurang kedulian pemerintah daerah setempat teradap kelestarian, bahkan memutuskan un-tuk mengahupuskan dari aset daerah, padahal bangunan dan lahannya merupakan BCB.
Menyadari akan kondisinya itu, maka perlu segera dilakukan pelestarian, dengan melakukan perlidungan, pemeliharaan dan restorasi. Kendati dilakukan alih fungsi, namun kelestariannya sebagai Bangunan Cagar Budaya perlu dikedepankan. Oleh karena merupakan bangunan dan lahan aset Pemerintah Daerah (Pemda), maka upaya tersebut semestinya dilakukan oleh pihak Pemda. Pilihan pemnberian fungsi-fungsi baru terhadapnya musti disertai pertimbangan bahwa fungsi baru tersebut tidak menyebabkan pengubahan akeaslian bangunan, telebih lagi penghan-curan sebagaian atau keseluruhan bangunannya. Hal demikian tak terkecuali perlu dilakukan segera terhadap bangunan eks kawedanan di wilayah Kabupaten Gresik, yang diprakarsi oleh Pemerintah Kabupeten Gresik.

2. Solusi Pelestarian terhadap Eks Bangunan
Cagar Budaya Kawedanan
Semua daerah yang beretuk Kanupaten tentu memiliki aset pemerintah yang berupa eks bangunan kewedanan dan lahannhya, telah semestinya Pemkab bersangktan melakukan upaya pelestarian sesuai kondisinya kini dan latar kerusakan yang terjadi padanya. Banyak diantara bangunan eks kawedanan tersebut mempelihatkan corak arsitektur Indis yang kuat, sehingga masuk dalam ketegori Bangunan Cagar Budaya. Dalam keberadaannya sebagai bangunan yang statusnya atau berindikasi ‘BCB’, maka perlu segera dilestarikan.

Untuk keperluan itu, pertama bila belum ditetapkan sebagai BCB, maka perlu mendaftarkan sebagai BCB. Dan selanjutnya menyusun rencana pelestarian serta merealisasikan rencana pelestarian tersebut. Hal ini meng-ingat bahwa dalam kondisi sekarang sebagian dari keseluruhan bangunan tersebut mengalami kerusakkan cukup parah. Selain itu acapkali mendapat penambahan komponen bangunan baru, yang tidak sesuai dengan bentuknya semula. 

Oleh karenanya penambahan baru itu perlu untuk tanggalkan dan dikembalikan ke bentuk semula. Sebagai bangunan yang setelah didaftarkan berstatus ‘BCB’, maka perlulah kehatian-hatian dalam merancang desain, yang lebih diarahkan pada restorasi (pemugaran) dan revitalisasi (penguatan) daripada kecenderungan pada renovasi (perombakan), sesuai dengan asas pelestarian.
Lataran telah tidak lagi berfungsi sebagai kantor atau rumah dinas wedana, maka tidak ada pilihan lain bangunan eks kawedanan itu musti dialih fungsikan. Bila tak memiliki fungsi apapun, bangunan itu justru rentan mengalam kerusakan dan kemudian roboh. 

Dengan alasan telah rusak, terlebih bila sudah roboh, maka ada alasan untuk meratakan dengan tanah. Modus demikian acap diterapkan untuk BCB yang sengaja ingin dimusnahkan. Yang prinsip, apapun fungsi-fungsi baru yang dikenakan kepadanya, kelestarian dari bangunan eks kewedanan perlu dikedapankan. Pengawalan terhadap kelestariannya perlu dilibati oleh khalayak luas. Tak bisa mengandalkan peran pemerintah semata sebagai pemilik BCB eks kawedanan, namun peran dari Peduli Budaya (perorangan ataupun komunitas) dan Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) justru lebih bisa diandalkan.

Untuk maksud itu, perlu dilakukan beberapa langkah bertahap berkelanjutan, yaitu: (1) mendokumentasi dan menginventarisasi bangunan-bangunan eks kawedanan di suatu daerah; (b) mengindetifikasikan kondisi riilnya, termasuk latar kerusakan dan kelestariannya; (3) mendaftarkannya sebagai Bangunan ataupun Situs Cagar Budaya; (4) menyusun rencana aksi pelestariannya, dan (5) melaksanakan pelestarian terhadapnya sesuai dengan kondisi, latar permasalahan dan kaidah-kaidah pelestarian yang diatur dalam UU No.11 tahun 2011 dan [bila telah dimiliki oleh daerah bersangkutan] perlu pula disesuikan dengan Perda Cagar Budaya. Senyampang masih ada – meski tinggal sebagian dari keseluruhan bangunan kawedanan yang dulu pernah terdapat di suatu daerah, maka upaya itu perlu disegerakan, sebab secara psikologis jika suatu bangungan telah mengalami disfungsi dari fungsinya semula, maka cenderung untuk dimusnahkan dan diganti dengan bangunan baru untuk fungsi yang baru pula. Atau bisa jadi, ujung-ujungnya bakal ditukar guling,

C. Pengharapan
Semoga tulisan ringkas ini membuahkan faedah. Setidaknya membuka kesadaran dan memicu arah perkahtian kita kepada bengunan-bangunan eks kawedanan yang pada saat ini telah lebih dari setengah abad mengalami keterputusan fungsi dari fungsinya semula sebagai kantor dan/ atau rumah dinas wedana (kawedanan). Arah perhatian serupa semestinya ditujukan pada eks karesidenan dan kepatihan, yang juga telah mengalamiu disfungsi.

Jika bukan oleh kita, lalu kepada siapa lagi bhakti budaya itu musti disandangkan dan diamanahkan.
Salam budaya ‘Nusantarajayati’.
Nuwun.
PATEMBAYAN CITRALEKHA,
Sengkaling, 4 Desember 2016.(Dwi Cahyono).