(Sejarahwan & Akademisi)
A. Pembentukan dan Penghapusan Pemeritahan Tingkat Kawedanan
1. Batasan Istilah ‘Kawedanan’
Kawedanan’ merupakan kata jadian dalam Bahasa Jawa, dengan kata dasar
‘wedana (ka-wedana-an)’. Secara harafiah berarti: wilayah administrasi
kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan,
yang berlaku pada masa Hindia Belanda hingga bebe-rapa tahun setelah
kemerdekaan RI. Birokrasi pemerintah tingkat kawedanan ini dipakai di
beberapa provinsi. Misalnya di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemimpin
kawedanan disebut ‘wedana’, yang di wilayah Kalimantan dipanggil ‘kiai’.
Wedana adalah ‘subdistrict within a kabupaten’ atau ‘residence
of the subdistrict officer’. Dengan perkataan lain, wedana adalah
pembantu pimpinan wilayah Daerah Tingkat II (Kabupaten), membawahkan
beberapa camat; atau merupakan pembantu bupati yang berkedudukan lebih
tinggi dari camat. Kantor atau rumah wedana dinamai ‘kawedanan’.
Bilamanakah kawedanan mulai diberkakukan di bumi Indonesia?
2. Jabatan ‘Waddhana’ pada Masa Hindu-Buddha
Dalam birokrasi pemerintahan Jawa pada Masa Hindu-Buddha terdapat suatu
jabatan yang sebutannya amat dekat dengan kata ‘wedana’ atau ‘wedono’,
yaitu ‘wadana’ atau varian penulisannya ‘waddhana’. Menurut P,J,
Zoetmulder dalam ‘Kamus Jawa Kuna-Indonesia’, kata ‘wadana’ diartikan
sebagai: ketua, kepala (1995: 1363), tanpa penjelasan mengenai seberapa
besar luas kekuasaan atau kekuasaan pada bidang apa yang dibawahinya.
Kata ini antara lain didapati dalam kakawin Nagarakretagama (88.1,
88.2, 89.3) dan Tantri Kamandaka (22). Tantri Kamandaka menyebut
perkataan ‘...... para mantri, para wadana ....’. Jabatan ‘mantri’
terbilang cukup tinggi di Masa Hindu-Buddha, yang kemungkinan menunjuk
pada: penasihat raja, menteri, pejabat tinggi atau pemuka di istana,
perwira (Zoetmulder, 1995: 647). Apabila menilik bahwa jabatan ‘wadana’
dalam teks tersebut disebut setelah jabatan ‘mantri’, tergambar bahwa
wadana adalah jabatan yang cukup tinggi.
Hal ini berbeda dengan
penyebut-an kata ‘waddhana’ di dalam Prasasti Katiden I (antara 24 Maret
dan 22 April 1392 Masehi) koleksi Museum Nasuonal Jakarta (No.
Inventaris E65) lempeng 1.a baris ke-1, yang memuat kalimat: ‘Itu supaya
diketahui penduduk di sekelurahan (salurah) Katiḍen, demikian pula para
waddhana di Lumpang ......”. Tergambar di dalam prasasti ini jabatan
‘waddhana’ tidak begitu tinggi, karena di Lumpang – barangkali Lumpang
merupakan suatu desa (thani, lurah), atau terluas sebagai watak –
terdapat beberapa (diistilahi dengan ‘para’) waddhana. Bila merupakan
peabat sipil, maka kedudukan waddhana di berada bawah rakryan. Namun,
jika merupakan pejabat militer, maka jabatan wadhana adalah perwira
rendah, yang memimpin satuan ketenta-raan kecil.
3. Jabatan ‘Wedana Bupati’ pada Era Mataram Islam
Pada era Mataram Islam, misalnya ketika masa pemerintahan Sultan Agung,
wedana merupakan pejabat di wilayah Mancanagara Wetan ataupun Kulon.
Susastra ‘Pustaka Raja Purwa’ menyatakan bahwa daerah-daerah di
mancanegera dikepalai oleh seorang atau lebih bupati. Para bupati
mancanagara berada dibawah pengawasan seorang wedana bupati
man-canagara. Tergambar bahwa kedudukan wedana lebih tinggi daripada
bupati.
Contoh, pada tahun 1677 Mas Tumapel – saudara sepupu dari
Panembahan Mas Giri – yang semula menjabat sebagai bupati di Gresik,
selanjutnya diangkat menjadi ‘wedana bupati mancanagara’ dengan
kedudukan di Jipang yang terkenal dengan nama ‘Adipati di Jipang’ untuk
mengepalai serta mengkoordinasikan bupati-bupati di mancanagara. Contoh
lain adalah pengangkatan Tumeng-Surawijaya diangkat menjadi wedana
bupati mancanagara wetan pada tahun 1709.
4. Jabatan ‘Wedana’ pada Masa Penjajahan
Inggris dan Hindia-Belanda
Inggris dan Hindia-Belanda
Kedudukan wedana menjadi lebih rendah dari bupati pada masa
Imperalisme Inggris di Jawa. Pada abad ke-19, Daendels membagi Jawa
menjadi 9 (sembilan) prefektur. Masing-masing dipimpin oleh seorang
“prefek”. Bupati ditempatkan sebagai pejabat pemerintahan di kabupaten,
dibawah prefek. Pada masa kekuasaan Inggris di bawah Letnan Gubernur Th.
S. Raffles (1811-1816) diperkenalkan istilah ‘keresidenan’ sebagai
pengganti landdrost-ambt bikinan Daendels.
Residen mengepalai
keresidenan. Jawa dibagi menjadi 16 keresidenan. Raffles juga
memperkenalkan jabatan “wedana”, yang mengepalai distrik. Antara abad
ke-19 hingga tahun 1942, para pejabat pemerintah tersebut tergabung
dalam birokrasi tradisional (pangreh praja) hasil rekayasa dari
Pemerintah Kolonial.
Para pejabat pangreh praja adalah kaum
menak. Misalnya, menak di Kabupaten Bandung terbagi atas dua golongan,
yaitul (a) menak paseban (paseban = tempat menyerahkan seba atau upeti),
dan (b) menak kaum (qaum = tempat kediaman penghulu berserta
bawahannya, seperti naib, kalipah, imam, bilal/modin, dsb). Menak
paseban terdiri dari bupati yang mempinyai seorang pembantu bupati –
disebut “patih”, yang bertugas mengkoordinasikan birokrasi bupati di
ibukota kabupaten. Tugas pribadinya adalah memegang administrasi
persawahan, utamamya sawah milik bupati di seluruh penjuru kabupaten,
jalan-jalan, jembatan-jembatan, rumah serta bangunan milik kabupaten.
Patih membawahi wedana, yang bertugas di daerah, tepatnya di distrik.
Pada awalnya yang diangkat menjadi patih dan wedana adalah para kerabat
dekat bupati. Pelaksanaan kerja di lapangan dilakukan oleh tenaga kerja
wajib (heerendieust), dan pembiayaannya ditanggung oleh para wedana yang
mengambilnya dari kekayaan daerah-daerah.
Sebelum
diberlakukannya Decentralisatie Wet (Undang-Undang Desentralisasi) pada
tahun 1903, sistem pemerintahan Hindia-Belanda bersifat setralistik
mutlak, dimana Gubernur Jendral – yang berada dibawah Menteri Jajahan di
Negara Induk – langsung ditempatkan di bawah Ratu Belanda.
Pemerintah
Pusat membentuk satuan-satuan pemerintah bawahan di ba-wah
penguasa-penguasa yang ditunjuk mengontrol wilayah-wilayah yang
ditentukan, terdiri atas: (a) Residen (2) Asistem Residen, (3)
Controleur, (4) Bupati (Regent), (5) Wedana (hoft district), dan (6)
Asisten Wedana. Kesemuanya dalam hubungan hirarkis-komando, Seluruh
satuan-satuan pemerintahan bawahan itu dalam litertur Eropa disebut
‘local state gouverment (wilayah administrasi)’.
Pada akhir abad
ke-19 terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem politik di
negara-negara Eropa, termasuk juga di Negeri Belanda, yang berdampak
signifikan pada pemerintahan di Hindia-Belanda. Salah satu dampaknya
adalah diberlakukannya Decen-tralisatie Wet tahun 1903, yang di dalamnya
mengatur hubungan pusat-daerah. Dalam UU ini Pemerintah Pusat
mengontrol secara efektif kesatua pemerintahan di wilayah bawahannya,
de-ngan pertimbangan yang menjalankan pemerintahan adalah pejabatnya
yang ditempatkan di daerah, baik Residen, Asisten Residen, Kontrolir,
Bupati, Wedana maupun Asisten Wedana.
5. Keberadaan ‘Wedana’ dan Penghapusannya
pada Masa Kemerdekaan RI
pada Masa Kemerdekaan RI
Model pemerintahan yang demikian tak banyak berubah meski Indonesia
telah mema-suki kemerdekaannya. Perubahan baru terjadi pada tahun 1965,
ketika keluar UU No. 18 tentang ‘Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah’, yang
menstrukturkan Pemerintahan Daerah sebagai hanya terdiri atas daerah
otonom saja.
Asas ‘dekonsentrasi’ menjadi pelengkap bagi pelaksanaan
asas ‘otonomi’ dan medehewind tidak diwujudkan dalam pembentukan wilayah
administrasi. Oleh kerena itu, wilayah administrasi pemerintahan yang
berupa Karesidenan dan Kawedanan dihapus berdasarkan Peraturan Presiden
No. 22 tahun 1963 tentang ‘Pengha-pusan Karesidenan dan Kawdanan’.
Semenjak itu, hapusalah Kawedanan dalam jejang birokrasi pemnerintahan
di Indonesia. Pada masa kini, posisi Kawedanan yang telah dihapus
tersebut di beberapa tempat diisi oleh pejabat yang disebut ‘Pembantu
Bupati’ yang tidak memiliki kewenangan pengambilan keputusan. Wilayah
kerjanya disebut ‘Wilayah Pembantu Bupati',
.
B. Kondisi dan Solusi Pelestarian Bangunan Eks Kawedanan
.
B. Kondisi dan Solusi Pelestarian Bangunan Eks Kawedanan
1. Gambaran Umum Kondisi Bangunan Eks
Kawedanan Sebagai jabatan yang telah ada semenjak masa Hindu-Buddha hingga ke masa-masa sesudahnya, tentu terdapat kantor atau rumah tinggal wedana yang dinamai ‘kawedaan’ yang berusia tua. Beberapa kawedanan yang dibangun sejak Masa Hidia-Belanda masih tertinggal hingga kini. Bangunan kawedanan yang kebanyakan beragaya arsitektur Indis, yakni paduan antara seni-bangun Eropa - Jawa, lantaran telah mengalami disfungsi dari fungsinya semula sejak tahun 1963, maka memiliki sejumlah kemugkinan keberadaan, antara lain: (1) cukup lestari, walaupun dialihfungsikan menjadi kantor suatu instusi, namun tanpa banyak disertai dengan pengubahan bentuk bangunan; (2) mengalami perubahan sebagian dari keseluruhan ba-ngunannya, guna menyesuaikan dengan fungsi barunya atau selera resitektur dari institusi yang menempatinya, (3) dalam keadaan rusak di sebagian bangunannya, sebab yang dimanfaatkan hanya sebagian dari keseluhan bangunannya, sedangkan sebagian lainnya diterlantarkan, (4) mengalami kerusakan cukup hingga sangat parah, kerena telah tidak lagi digunakan sebagai kantor atau peruntukan lain, atau (5) dirobohkan dan bekas keberadaannya didirikan bangun-an baru sama sekali.
Kawedanan Sebagai jabatan yang telah ada semenjak masa Hindu-Buddha hingga ke masa-masa sesudahnya, tentu terdapat kantor atau rumah tinggal wedana yang dinamai ‘kawedaan’ yang berusia tua. Beberapa kawedanan yang dibangun sejak Masa Hidia-Belanda masih tertinggal hingga kini. Bangunan kawedanan yang kebanyakan beragaya arsitektur Indis, yakni paduan antara seni-bangun Eropa - Jawa, lantaran telah mengalami disfungsi dari fungsinya semula sejak tahun 1963, maka memiliki sejumlah kemugkinan keberadaan, antara lain: (1) cukup lestari, walaupun dialihfungsikan menjadi kantor suatu instusi, namun tanpa banyak disertai dengan pengubahan bentuk bangunan; (2) mengalami perubahan sebagian dari keseluruhan ba-ngunannya, guna menyesuaikan dengan fungsi barunya atau selera resitektur dari institusi yang menempatinya, (3) dalam keadaan rusak di sebagian bangunannya, sebab yang dimanfaatkan hanya sebagian dari keseluhan bangunannya, sedangkan sebagian lainnya diterlantarkan, (4) mengalami kerusakan cukup hingga sangat parah, kerena telah tidak lagi digunakan sebagai kantor atau peruntukan lain, atau (5) dirobohkan dan bekas keberadaannya didirikan bangun-an baru sama sekali.
Menilik usia, kelangkaan dan fungsi pentingnya di masa lalu,
bangunan-bengunan eks kawedanan yang tersisa tersebut masuk dalam
kategori ‘BCB’, yang berdasarkan UU No. 11 tahun 2010 wajib untuk
dilestarikan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit dari
bangunan beserta lahannya yang merupakan ‘aset pemerintah daerah’ itu
berada dalam kondiisi tidak lestari. Selain lantaran faktor usia, latar
kerusakannya antara lain: (a) alih penggunaan dari semula sebagai kantor
kawedanan dan/atau rumah dinas wedana ke institusi lain dengan beda
fungsi atau peruntukan, yang berkonsekuensi pada pengubahan sebagian
dari keseluruhan bangunannya, (b) tidak lagi difungsikan sebagai kantor
intitusi tertentu atau beruntuan lain da-lam waktu lama, sehinga tidak
terpelihara dan mengalami kerusakan cukup bahkan amat parah, (c) kurang
kedulian pemerintah daerah setempat teradap kelestarian, bahkan
memutuskan un-tuk mengahupuskan dari aset daerah, padahal bangunan dan
lahannya merupakan BCB.
Menyadari akan kondisinya itu, maka
perlu segera dilakukan pelestarian, dengan melakukan perlidungan,
pemeliharaan dan restorasi. Kendati dilakukan alih fungsi, namun
kelestariannya sebagai Bangunan Cagar Budaya perlu dikedepankan. Oleh
karena merupakan bangunan dan lahan aset Pemerintah Daerah (Pemda), maka
upaya tersebut semestinya dilakukan oleh pihak Pemda. Pilihan
pemnberian fungsi-fungsi baru terhadapnya musti disertai pertimbangan
bahwa fungsi baru tersebut tidak menyebabkan pengubahan akeaslian
bangunan, telebih lagi penghan-curan sebagaian atau keseluruhan
bangunannya. Hal demikian tak terkecuali perlu dilakukan segera terhadap
bangunan eks kawedanan di wilayah Kabupaten Gresik, yang diprakarsi
oleh Pemerintah Kabupeten Gresik.
2. Solusi Pelestarian terhadap Eks Bangunan
Cagar Budaya Kawedanan
Cagar Budaya Kawedanan
Semua daerah yang beretuk Kanupaten tentu memiliki aset pemerintah yang
berupa eks bangunan kewedanan dan lahannhya, telah semestinya Pemkab
bersangktan melakukan upaya pelestarian sesuai kondisinya kini dan latar
kerusakan yang terjadi padanya. Banyak diantara bangunan eks kawedanan
tersebut mempelihatkan corak arsitektur Indis yang kuat, sehingga masuk
dalam ketegori Bangunan Cagar Budaya. Dalam keberadaannya sebagai
bangunan yang statusnya atau berindikasi ‘BCB’, maka perlu segera
dilestarikan.
Untuk keperluan itu, pertama bila belum ditetapkan
sebagai BCB, maka perlu mendaftarkan sebagai BCB. Dan selanjutnya
menyusun rencana pelestarian serta merealisasikan rencana pelestarian
tersebut. Hal ini meng-ingat bahwa dalam kondisi sekarang sebagian dari
keseluruhan bangunan tersebut mengalami kerusakkan cukup parah. Selain
itu acapkali mendapat penambahan komponen bangunan baru, yang tidak
sesuai dengan bentuknya semula.
Oleh karenanya penambahan baru itu perlu
untuk tanggalkan dan dikembalikan ke bentuk semula. Sebagai bangunan
yang setelah didaftarkan berstatus ‘BCB’, maka perlulah kehatian-hatian
dalam merancang desain, yang lebih diarahkan pada restorasi (pemugaran)
dan revitalisasi (penguatan) daripada kecenderungan pada renovasi
(perombakan), sesuai dengan asas pelestarian.
Lataran telah tidak
lagi berfungsi sebagai kantor atau rumah dinas wedana, maka tidak ada
pilihan lain bangunan eks kawedanan itu musti dialih fungsikan. Bila tak
memiliki fungsi apapun, bangunan itu justru rentan mengalam kerusakan
dan kemudian roboh.
Dengan alasan telah rusak, terlebih bila sudah
roboh, maka ada alasan untuk meratakan dengan tanah. Modus demikian acap
diterapkan untuk BCB yang sengaja ingin dimusnahkan. Yang prinsip,
apapun fungsi-fungsi baru yang dikenakan kepadanya, kelestarian dari
bangunan eks kewedanan perlu dikedapankan. Pengawalan terhadap
kelestariannya perlu dilibati oleh khalayak luas. Tak bisa mengandalkan
peran pemerintah semata sebagai pemilik BCB eks kawedanan, namun peran
dari Peduli Budaya (perorangan ataupun komunitas) dan Tenaga Ahli Cagar
Budaya (TACB) justru lebih bisa diandalkan.
Untuk maksud itu,
perlu dilakukan beberapa langkah bertahap berkelanjutan, yaitu: (1)
mendokumentasi dan menginventarisasi bangunan-bangunan eks kawedanan di
suatu daerah; (b) mengindetifikasikan kondisi riilnya, termasuk latar
kerusakan dan kelestariannya; (3) mendaftarkannya sebagai Bangunan
ataupun Situs Cagar Budaya; (4) menyusun rencana aksi pelestariannya,
dan (5) melaksanakan pelestarian terhadapnya sesuai dengan kondisi,
latar permasalahan dan kaidah-kaidah pelestarian yang diatur dalam UU
No.11 tahun 2011 dan [bila telah dimiliki oleh daerah bersangkutan]
perlu pula disesuikan dengan Perda Cagar Budaya. Senyampang masih ada –
meski tinggal sebagian dari keseluruhan bangunan kawedanan yang dulu
pernah terdapat di suatu daerah, maka upaya itu perlu disegerakan, sebab
secara psikologis jika suatu bangungan telah mengalami disfungsi dari
fungsinya semula, maka cenderung untuk dimusnahkan dan diganti dengan
bangunan baru untuk fungsi yang baru pula. Atau bisa jadi,
ujung-ujungnya bakal ditukar guling,
C. Pengharapan
Semoga
tulisan ringkas ini membuahkan faedah. Setidaknya membuka kesadaran dan
memicu arah perkahtian kita kepada bengunan-bangunan eks kawedanan yang
pada saat ini telah lebih dari setengah abad mengalami keterputusan
fungsi dari fungsinya semula sebagai kantor dan/ atau rumah dinas wedana
(kawedanan). Arah perhatian serupa semestinya ditujukan pada eks
karesidenan dan kepatihan, yang juga telah mengalamiu disfungsi.
Jika bukan oleh kita, lalu kepada siapa lagi bhakti budaya itu musti disandangkan dan diamanahkan.
Salam budaya ‘Nusantarajayati’.
Nuwun.
Salam budaya ‘Nusantarajayati’.
Nuwun.
PATEMBAYAN CITRALEKHA,
Sengkaling, 4 Desember 2016.(Dwi Cahyono).
Sengkaling, 4 Desember 2016.(Dwi Cahyono).