SIRATAN MAKNA LAMBANG ‘TUNAS KELAPA’ DAN NAMA ‘PRAJAMUDAKARANA’ DALAM JATIDIRI PRAMUKA INDONESIA

Ilustrasi / deviantart.com
Oleh: M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Dosen UM)

Nama ‘Pramuka” dan lambang gerakan Pramuka ‘tunas kelapa’ telah begitu familer di dalam diri manusia Indonesia. Bahkan, sedari masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Namun demikian, pernahkah dipertanyakan: mengapa Kepanduan Nasional Indonesia ini mengambil nama ‘Pramuka’ dan menjadikan ‘tunas kelapa’ sebagai lambangnya. Tulisan ini merupakan suatu telaah guna mengungkap siratan makna di balik nama dan lambang itu. Sudah barang tentu, pemaknaan pada tulisan ini diwarnai oleh pemahaman dari diri penulis, yang bisa jadi berbeda dengan pemaknaan yang konon dihayati oleh pemberi nama dan pembuat lambang tersebut. Atau boleh jadi berlainan pula dengan pemaknaan oleh para pembaca. Jikalaupun berbeda, maka tak apalah kiranya, setidak-tidaknya pemaknaan ini boleh dijadikan sebagai alternasi pemaknaan, yang siapa tahu bisa menambah pemahaman buat khalayak tentangnya.

A. Tunas Buah Kelapa sebagai ‘Muasal yang Bermakna’
Mengapakah ‘tunas kelapa’ dipilih sebagai simbol Kepanduan Nasional Indonesia?
Pohon kelapa yang tinggi-menjulang (nglercir) serta tegak-kokoh dalam menghadapi terpaan angin, sejatinya bermuasal dari tunas yang tumbuh-berkembang dari cikal buah kelapa. Diameter batang pohon kelapa yang tinggi menjulang itu sebenarnya terbilang tidak besar. Namun demikian, terbukti sanggup menyangga rimbunan dedaunan dan sekian janjang buah di penghujung atasnya. Begitu pula, meski akarnya kecil-kecil dan tidak panjang menghujam dalam ke tanah – kategori ‘akar serabut’, namun dengan tangguh mampu menahan terpaan kencang angin laut ataupun angin gunung. Dari bagian cikal yang kecil pada buah yang juga kecil ukurannya, tahap demi tahap tumbuh-berkembang pohon kelapa yang tinggi menjulang. Dari semula buah yang sebuah jumlahnya, akhirnya menjadi sumber produksi dari banyak buah kelapa manakala tanaman keras ini berada pada usia produktif.

Buah kelapa tidak hanya dikonsumsi oleh pemilik pohon kelapa bersangkutan, namun didistribusikan serta didayagunakan oleh orang/pihak lain hingga ke luar daerah, bahkan ke pulau-pulau seberang. Buah kepala karenanya dijadikan sebagai perumpaan untuk ‘mobilitas manusia’, khususnya bagi para perantau. yakni “seseorang bisa saja lahir dan tumbuh besar di suatu tempat (daerah), namun ketika telah tumbuh besar (dewasa) boleh jadi keberadaannya jauh dari tempat kelahirannya’. Kelapa bagaikan 'sang raja kelana', yang demikian luas daya jangkau geraknya.

Daging buah kelapa bukanlah satu-satuya unsur yang bermanfaat darinya. Tempurung buah kelapa (bathok), sabut buah kepala (sepet), air buah kepala, nira kelapa (legen), batang pohon kepala (glugu), daun kelapa (blarak), manggar dan mayang kelapa, pelepah daun kelapa adalah unsur-unsur anatomi kelapa yang memberi banyak manfaat untuk beragam kegunaan, Bahkan, bluluk kepala dan daun kepala kering yang telah jatuh sekalipun tetap ada unsur manfaatnya. Hulu-hilir kelapa memberi kemanfaatan bagi manusia, baik ketika kelapa itu masih berusia produktif atau manakala kelapa pada pasca-usia produktifnya.

Bagi Indonesia, yang merupakan negara agraris sekaligus Negera Kepulauan dengan banyak kawasan pantai, kepala (njiur, nyu, ampel, klopo) adalah tumbuhan ikonik yang acap dihubungkan dengannya. Perkataan maupun gambaran ‘nyiur melambai’ familier dengan negeri ini. Sesunggunya, kelapa tidak melulu tumbuh di kawasan pesisiran. Di daerah-daerah pedalamam, kelapa juga kedapatan sebagai tanaman endemik. Desa/dusun dengan unsur nama ‘ampel (kelapa) dan klopo;, antara lain ‘Ampel (Ngampel), Ampel Dento, Ampel Gading, Kelapa Dua, dsb.’ terdapat di berbagai daerah. Begitu pula, penganan yang disedapkan dengan santan kelapa dan gula dari nira kelapa (gulo-klopo) menjadi ciri dominnan dari kuliner Nusantara. Oleh sebab itu beragam bahan penyedap makanan diistilahi dengan ‘plapah (palapah –> palapa+h)’, dimana istilah ‘palapa’ dekat sekali dengan kata ‘kalapa’. Sumpah Mapatih Gajahmada dalam rangka integrasi Nusantara pun menggunakan kalimat sasanti ‘Hamukti Palapa’. Umbul-umbul berwarna merah-putih juga mendapat sebutan ‘umbul gulo-klopo’, dimana gula (gulo) direlasikan dengan warna merah dan kelapa (klopo) dengan warna putih.

Cikal dari buah kelapa merupakan muasa dari tanaman kelapa, dan dengan demikian menjadi muasal dari banyak kegunaan yang dikontribusikan oleh kelapa. Oleh karena itu, dapat difahami jka muasal dari segala yang ada dinamai ‘cikal bakal’, yakni cikal sebagai ‘bakal (permulaan)’ dari sesuatu. Sosok Pramuka – yang identik dengan usia/generasi muda (kepemudaan) oleh karenanya tepat apabila disimbolkan dengan tunas yang tumbuh dari bagian cikal pada buah kelapa. Generasi muda yang ibarat tunah kelapa itu kelak diharap seperti pohon kelapa yang tumbuh-berkembang sebagai pribadi yang tangguh dalam mengahadapi tantangan kehidupan serta kontributif bagi beragam kemanfaatan hidup, sebagaimana diteladankan oleh pohon kepala ketika telah tumbuh dewasa.

Pemilihan tunas kelapa sebagai lambang Pramuka terkait dengan peristiwa yang terjadi pada tanggal 9 Maret 1961, yang diperingati sebagai ‘Hari Tunas Gerakan Pramuka’. Ketika itu, Presiden Soekarno/ Mandataris MPRS mengumpulkan tokoh-tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan Indonesia di Istana Negara. Dalam podatonya, Presiden mengungkapkan bahwa kepanduan yang ada harus diperbaharui, metode dan aktivitas pendidikan harus diganti, seluruh organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi ‘Pramuka’. Kata ‘tunas’ tersebut divisualkan sebagai ‘Lambang Pramuka’, yang diwujudkan sebagai ‘Tunas Kelapa’. Anak-anak dan pemuda – yang menjadi sasaran utama Gerakan Pramuka – diibartakan sebagai ‘tunas buah kelapa’, atau diistiahi sebagai ‘prajamuda’.

B. Prajamudakarana ‘Spiprit Keprajaan’ Generasi Muda Indonesia
Atas dasar pertimbangan apa ‘Prajamudakarana’ dijadikan nama sekaligus sasanti bagi Kepanduan Nasional Indonesia?

Pramuka yang merupakan akronim dari perkataan ‘praja (PRA)-muda (MU)-karana(KA)’ dijadikan sebagai nama dan sekaligus menyiratkan sasanti Kepanduan Nasional Indonesia. Sebagai sebuah perkataan, Prajamudakarana adalah istilah-istilah Sanskrit dan Jawa Baru atau Melayu, yaitu tiga kata berturutan yang diintegrasikan menjadi sebagai sebuah perkataan: (1) praja, (2) muda, dan (3) karana. Kata ‘praja’ secara harafiah antara lain berarti: anak cucu, orang-orang, sanak keluarga, suku bangsa, bangsa, rakyat (Zoetmulder, 1995: 838). Dalam konteks ini, alternatif arti darinya adalah orang atau warga bangsa tertentu. Dikatan tertentu, karena memiliki spesifikasi, yang dibatasi oleh kata ‘muda’. Kata ‘muda’ dalam konteks ini kiranya bukan diambil dari istilah ‘mudha’ dalam bahasa Sanskreta, yang justru berati: pandir, bodoh, tolol, tidak bijaksana, dungu (Zoetmulder, 1995: 676). Melainkan dari kata ‘muda’ dalam bahasa Jawa Baru, yang berati: muda – seperti dalam Bahasa Melayu atau Indonesia yang antara lain menujuk pada orang yang belum sampai setengah umur (KBBI, 2002:757). 

Adapun kata ‘karana’ merupakan istilah Sanskreta, yang secara harafiah antara lain berati: tindakan membuat, daya upaya. Pramuka diartikan sebagai: orang muda yang suka berdaya upaya (berkarya). Keatifan dengan demikian merupakan ciri khas dari pemuda yang menjadi anggota Pramuka, yakni aktif berdaya upaya untuk kebaikan.

Sebagai suatu nama, sebenarnya sebutan ‘Pramuka’ tersebut baru digunakan di Indonesia pada 9 Maret 1961, sebagai sebutan terhadap peleburan seluruh organisasi kepanduan di Indonesia. Sebelumnya, yang dipakai adalah ‘Pandu’, dan gerakan darinya dinamai ‘Gerakan Kepanduan Indonesia’. Kata ‘pandu’ sangat boleh jadi merupakan kata serapan dari istilah dalam Bahasa Belanda ‘Padvinders’. Di dalam Bahasa Inggris – sebagaimana dipakai oleh ‘Bapak Pandu Dunia’ Baden Powell – adalah istilah ‘Scout’. Sebutan ‘Padvinders’ pertama kali digunakan di Indonesia tahun 1912, sebutan bagi embrio organisasi cabang Kepanduan Dunia di Hindia-Belanda, dengan nama "Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO)”. Kata ‘padvinders’ yang diikuti atau didahului oleh kata nama ‘Indonesische (Indonesia)’ pertama kali digunakan tahun 1923, sebagai nama Gerakan Kepanduan di Jakarta, yaitu ‘Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO)’. Lantas pada tahun 1926 perkataan seperti ini dipakai untuk menamai peleburan gerakan kepanduan di Bandung dan Jakarta, dengan nama ‘Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (NPO)’.

Kata ‘pandu’ juga terdapat sebagai kosa kata dalam Bahasa Indonseia, yang secara harafiah berarti: (1) petunjuk jalan, perintis jalan; (2) mualim (di kapal); (3) kapal pentunjuk jalan (di pelabuhan); atau (4) anggota perkumpulan pemuda yang berpakaian khusus, bertujuan mendididik anggotanya agar menjadi orang yang berjiwa ksatria, gagah berani, dan suka menolong sesama makhluk (KBBI, 1992: 821). Pada arti 1-3, arti kata ‘pandu’ mengarah pada petunjuk atau perintis jalan; dan jika menunjuk kepada orang, yang bersangkutan mengemban tugas untuk membuat perjalanan kapal berada di jalan (lintasan) yang benar. Sedangkan dalam arti terakhir, organisasi atau gerakan kepanduan merupakan wahana pendidikan untuk membentuk pribadi yang baik, yakni prinadi yang berjiwa ksatria, gagah berani dan suka menolong.

Hal ini sejalan dasardharma Pramuka, yang memuat tentang pengharapan untuk menjadikan anggota Pramuka sebagai pribadi yang baik, yang diindikatori oleh: (1) taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) cinta alam, dan kasih sayang sesama manusia; (3) patriot yang sopan dan kesatria; (4) patuh, dan suka bermusyawarah; (5) rela menolong dan tabah, (6) rajin, terampil dan gembira; (7) hemat, cermat dan bersahaja; (8) disiplin, berani dan setia; (9) bertanggung jawab dan dapat dipercaya; (10) suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Untuk membentuk pribadi yang demikan, Gerakan Pramuka berlandaskan prinsip-prinsip dasar: (a) iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) peduli terhadap bangsa, dan tanah air, sesama hidup dan alam seisinya; (c) peduli terhadap dirinya pribad; serta (d) taat kepada Kode Kehormatan Pramuka. Sebagai pribadi yang baik, maka dalam menjalan hidupnya, anggota Pramuka hendaknya menjadi pandu bagi tanah airnya (Indonesia), seperti tergambar dalam ‘Syair lagu Hymne Pramuka’ : Kami Pramuka Indoesia // Manusia pancasila // satyaku kudharmakan, dharmaku kubaktikan // agar jaya, Indonesia, Indonesia // tanah air ku // kami jadi pandumu. Satya yang didharmakan dan dibaktikan oleh Pramuka diekspresikan ke dalam ‘tiga janji (trisatya)’-nya, bahwa demi kehormatannya, anggota Pramuka berjanji untuk bersungguh-sunguh: (a) menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila; (b) menolong sesama hidup, dan mempersiapkan diri/ikut serta membangun masyarakat; (c) menepati dasadharma.

Sebagai kata jadian, ‘kepanduan’ menujuk kepada gerakan untuk menjadikan anggota-anggotanya sebagai pribadi yang baik, dan mampu berperan atau kontributif sebagai penunjuk atau perintis ke jalan kehidupan yang baik pula. Untuk misi itu, maka Gerakan Pramuka bertujuan untuk membentuk pribadi yang: (a) memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, berkecakapan hidup, sehat jasmani, dan rohani; serta (b) menjadi warga negara yang berjiwa Pancasila, setia, dan patuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, yang dapat membangun dirinya sendiri secara mandiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangun-an bangsa dan negara, memiliki kepedulian terhadap sesama hidup, dan alam lingkungan.

Kontribusi peran kepanduan tergambar dalam resolusi Konferensi Kepanduan Sedunia pada tahun 1924 di Kopenhagen, Denmark, bahwa organisasi yang menyelenggarakan kepanduan di suatu negara haruslah menyesuaikan pendidikannya idengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pada negara manupun di dunia, organisasi kepanduan harus membina, dan mengembangkan rasa persaudaraan, dan persahabatan antara sesama Pandu, dan sesama manusia, tanpa membedakan kepercaan/ gama, golongan, tingkat, suku dan bangsa. Oleh karena itu, kepanduan hendaknya dipergunakan dimana saja untuk mendidik anak-anak dari bangsa apa saja.

Nama ‘Pandu’ juga didapati dalam wiracarita Mahabarata, yaitu sebagai nama [ketika usia muda] dari Yudhistira (Puntodewo), putera sulung (pambarep) diantara lima orang anak pada keluarga Pandawa, yang populer denga sebutan ‘Pendowo Limo’. Sebagai putra sulung, yang menjadi raja utama pada Kerajaan Amarta (Ngamerto), Pandu menampilkan citra diri yang baik, yang patut untuk diteladani dalam kapasitasnya sebagai pengemban amanah pucuk tertinggi pengelola kerajaan (kaprajan). Citra diri yang baik dari tokoh Pandu itu tergambar pula dalam perkataan ‘Pandudewanata’, yakni Pandu yang bertindak sebagai nata (raja) yang memperoleh amanah dari dewata (dewa) untuk menjadi pemimpin. Ibarat Dewa Indra sebagai raja dari sekalaian para dewa. Sebagai nama, ‘pandu’ inilah yang pada periode awal kelahiran Pramuka dijadikan nama baginya, yakni penamaan yang boleh jadi mendapat inspirasi dari citra diri Pandu (Yudhistira muda). Kebijakan dan kearifan tokoh Pandu dalam konteks ini hendaknya menjadi teladan bagi para anggota Pramuka Indonesia.

C. Kilas Sejarah Kepanduan
1. Kilas Sejarah Kepaduan Dunia
Kepanduan bukan hanya ada di Indonesia, melainkan terdapat di penjuru dunia. Sejarah kepaduan dimulai dari Lord Robert Baden Powell (1857-1941), yang dijuluki ‘Bapak Pandu Sedunia’. Perkenalan pertamanya pada kecakapan kepanduan adalah kecakapan memburu dan memasak hewan di hutan yang berdekatan. Masa liburan banyak dihabiskannya dengan melakukan ekspedisi pelayaran atau bermain kano dengan saudara-saudaranya. Setelah menamatkan sekolah di Charterhouse, Baden Powell bertugas di Angkatan Darat Inggris (1876-1910), yang menempatkannya di India dan Afrika.
Ketika menjalani profesi kemiliteran itu, dia berkesempatan untuk saling berlatih serta mengasah kemahiran kepanduannya dengan raja Zulu bernama Dinizulu pada awal 1880-an di provinsi Natal, Afrika Selatan, padamana resimennya ditempatkan. Pada tahun 1896 Baden-Powell ditugaskan ke Matabele di Rhodesia Selatan sebagai Kepala Staf. Disanalah untuk kali pertama ia bertemu dengan Frederick Russell Burnham, seorang Amerika yang membantu Inggris di Afrika Selatan, yang nantinya menjadi sahabat karib yang memberinya banyak inspirasi.

Keberadaannya di Afrika memberi pengalaman yang sangat penting, karena pada saat itu ia banyak mendapat inspirasi untuk membuat sistem pendidikan kepanduan. F. Russell Burnham mengajarinya woodcraft, suatu keahlian yang memberikan inspirasi untuk menyusun program/kurikulum dan kode kehormatan kepanduan. Suatu keahlian yang menjadi cikal bakal dari apa yang kini sering disebut ‘Ketrampilan Kepanduan’. Kala itu kali pertama Baden Powell mengenakan topi khasnya, yang bentuknya menyerupai topi koboi, sebagai pengenal dan hingga kini masih dikenakan oleh anggota kepanduan di seluruh dunia. Disitu pula dia menerima sangkakala (terompet) kudu, suatu waditra yang nantinya ditiup setiap pagi guna membangunkan peserta Perkemahan Kepanduan yang pertama di Kepulauan Brownsea, Inggris. Pada pengalamanya dalam bidang militer, setiap anggota pasukan mendapatkan ‘bedge penghargaan’ berbentuk jarum kompas yang dikombinasikan dengan ujung anak panah. Bedge ini bentuknya mirip dengan ‘fleur de lis’, yakni sebuah logo yang hingga kini dipakai sebagai Logo Organisasi Kepanduan di banyak negara di dunia. Baden-Powell, adiknya (Agnes Baden-Powell) dan istrinya (Olave St. Clair Soames) sangat aktif memberi bimbingan terhadap Gerakan Kepanduan dan Kepanduan Putri.

Beberapa buku bertema kepanduan ditulisnya. Mula-mula buku kecil berjudul “Aids to Scouting”, yang membicarakan tentang pengintaian dan pelatihan pandu di Afrika. Buku ini banyak bibaca oleh anak laki-laki. Sekembalinya ke Inggris, ia melihat ‘Aids to Scouting’ telah populer dan banyak dipergunakan oleh para guru untuk mendidik muridnya dan juga para pemuda yang aktif di dalam organisasi. Oleh karena itu, ia diminta untuk menuliskan ulang buku ‘Aids to Scouting’ agar mudah dipahami oleh anak muda, utamanya oleh anggota Boys’ Brigade – suatu orgaisasi kepemudaan besar dan bernuansa militer. Buku itu nantinya diberijudul ‘Scouting for Boys (1908)’, yang mula-mula terbit dalam 6 (enam) jilid dan diperuntukkan bagi para pembaca remaja.
Pada tahun 1906 seorang keturunan Inggris-Kanada yang tinggal di Amerika Serikat bernama Ernest Thompson Seton mengirimkan ke Baden-Powell sebuah buku karyanya ‘The Birchbark Roll of the Woodcraft Indians’.E.T. Seton sering mengadakan pertemuan denganya, dan menyusun rencana untuk gerakan pemuda.
 
Pertemuannya dengan Seton itu mendorongnya untuk menuliskan kembali bukunya ‘Aids to Scouting’ dengan versi baru, yang diberi judul ‘Boy's Patrols’ sebagai buku petunjuk kepanduan bagi para muda ketika itu. Untuk menguji ide-idenya, maka Boden Powell mengadakan perkemahan untuk 21 pemuda dari berbagai lapisan masyarakat selama seminggu penuh di Kepulauan Brownsea, Inggris, dimulai tanggal 21 Agustus 1907. Metode organisasinya, yang sekarang dikenal dengan sistem patroli (patrol system), menjadi kunci pelatihan kepanduan yang dilakukannya. Sistem ini mengharuskan para pemuda untuk membentuk beberapa kelompok kecil dan kemudian menunjuk salah seorang di antara mereka untuk menjadi ketua kelompok tersebut. Setelah bukunya diterbitkan dan perkemahan yang dilakukannya berjalan dengan sukses, selanjutnya Baden-Powell pergi untuk sebuah tur yang direncanakan oleh Arthur Pearson untuk mempromosikan pemikirannya ke seluruh Inggris. Dari pemikirannya tersebut dibuatlah sebuah buku berjudul ‘Scouting for Boys (1908)’, yang dikenal sebagai buku panduan kepramukaan (Boy Scout Handbook).

Buku ‘Scouting for Boys’ tidak sekadar merupakan penulisan ulang terhadap buku “Aids to Scouting” yang banyak berisi materi kemiliteran. Dalam buku ini aspek-aspek kemiliteran diperkecil dan digantikan dengan teknik-teknik non-militer – terutama teknik survival, seperti pioneering dan penjelajahan. Baden Powell juga memasukkan prinsip edukasi yang inovatif, yang disebut dengan ‘Scout Method (metode kepramukaan)’. Bahkan ia juga berkreasi dengan membuat game-game yang menarik, sebagai sarana pendidikan mental. Pada tahun yang sama, buku itu dicetak dalam bentuk satu buku utuh. Sampai saat ini, buku tersebut menempati peringkat ke empat dalam daftar buku bestseller dunia sepanjang masa. Berkat buku itu, mulanya Baden-Powell diminta menjadi pembina organisasi The Boys’ Brigade, yang didirikan oleh William A. Smith. Kemudian, karena popularitasnya semakin meningkat, dan tulisannya tentang mengenaI petualangan-petualangan di alam terbuka kian banyak serta diminati, maka banyak pemuda tergerak membentuk kelompok kepanduan dan Baden-Powell “kebanjiran order” untuk menjadi pembinanya. Mulai saat itulah suatu ‘Gerakan Kepanduan (Scout Movement)’ berkembang dengan pesat.

Tergambar bahwa Baden Powell dari pengalamannya dalam bidang militer lantas bergerak dengan mempelajari materi-materi non-militer, yang bisa dijadikan bahan pelajaran pada kepanduan. Selama menulis bukunya, ia melakukan uji gagasan, antara lain melalui perjalanan berkemah, yang kemudian dianggap sebagai awal dari kegiatan kepanduan. Apa yang diihasilkan oleh Baden Powel adalah siklus yang terdiri atas mata rantai : penimbaan inspirasi dari pengalaman nyata--> formulasi gagasan/konsep --> uji gagasan dalam kegiatan prakttis --> penyempurnaan gagasan, dan seterusnya. Dengan cara demikian, maka gagasannya menjadi petunjuk teknis yang aplikable dan berdayaguna.
Kanak-kanak remaja membentuk apa yang dinamai "Scout Troops" secara spontan, maka terbentuk gerakan kepanduan yang berdiri tanpa sengaja. Mulanya di tingkat nasional, dan kemudian memasuki tingkat internasional. Gerakan pramuka berkembang seiring dengan Boys’ Brigade. Suatu pertemuan untuk semua pramuka pun diadakan di Crystal Palace London pada 1908, dalam mana Baden-Powell menemukan gerakan Pandu Puteri yang pertama. Pandu Puteri kemudian didirikan pada tahun 1910 di bawah pengawasan saudara perempuannya, yaitu Agnes Baden-Powell.

Walau dia sebenarnya Baden Powel dapat menjadi Panglima Tertinggi dalam bidang kemeliteran, namun dengan menuruti nasihat raja Edward VII yang mengusulkan agar ia lebih banyak melayano negeranya dengan memajukan gerakan kepanduan maka ia memuutuskan untuk berhenti dari tentara pada tahun 1910 dengan pangkat Letnan Jendral. Peristiwa penting dalam dirinya dan kepanduan yang digalangnya terjadi pada Januari 1912, tatkala Baden Powell bertemu dengan calon isterinya yang usianya jauh lebih muda (antara 23 dan 55 tahun), yaitu Olave Soames di atas kapal penumpang (Arcadia) dalam perjalanan ke New York untuk memulai Lawatan Kepanduan Dunia.
Baden-Powell dianugerahi gelar ‘Baronet’ pada tahun 1922, dan bergelar Baron Baden-Powell dari Gilwell dalam County Essex pada tahun 1929. Taman Gilwell merupakan tempat latihan Pemimpin Kepanduan Internasional. Baden-Powell dianugerahi ‘Order of Merit’ dalam sistem penghormatan Inggris pada tahun 1937 dan 28 gelar lainnya dari negara-negara asing. Dibawah usaha gigihnya itu, berkembanglah pergerakan kepanduan dunia. Pada tahun 1922 telah tercatat lebih dari sejuta kepanduan di 32 negara. Bahkan pada tahun 1939 meningkat tajam hingga melebihi 3,3 juta orang. Baden-Powell meninggal pada 8 Januari 1941, dimakamkan di pemakaman St. Peter, Nyeri, dekat Gunung Kenya. Pergerakan Kepanduan dan Kepanduan Puteri merayakan 22 Februari sebagai ‘Hari B-P’’, yakni tanggal lahir bersama dari Robert dan Olave Baden-Powell, sebagai peringatan terhadap jasa Ketua Pramuka dan Ketua Pandu Puteri Dunia tersebut.
2. Kilas Sejarah Kepanduan Indonesia

Sebagai organisasi dan gerakan, sesungguhnya kepanduan telah hadir di bumi Indonesia semenjak Masa Kolonial. Embrio dari Organisasi Kepanduan dimulai oleh adanya cabang Kepanduan Dunia di Hindia-Belanda, yang mengambil nama "Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO)” pada tahun 1912. Ketika pecah Perang Dunia I, Orgnasiasi Kepanduan ini memiliki kwartir besar sendiri, yang lalu berganti nama menjadi “Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV)’ tahun 1916. Selain Organisasi Kepanduan yang diprakarsai oleh Kolonialis Belanda itu, ada pula Organisasi Kepanduan yang diprakarsai oleh bangsa Indonesia, yaitu ‘Javaansche Padvinders Organisatie (JPO)’, yang berdiri atas prakarsa dari S.P. Mangkunegara VII tahun 1916. Kendati embrio dalam bentuk Organisasi Kepanduan telah ada semenjak tahun 1912, namun sebagai suatu Gerakan Kepanduan, titik waktu mulanya baru tahun 1923, yang ditandai oleh berdirinya NPO di Bandung. Pada tahun yang sama di Jakarta didirikan ‘Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO)’. Lalu tiga tahun kemudian (1926), kedua organisasi yang merupakan cikal-bakal kepaduan Indonesia ini meleburkan diri menjadi satu, dengan nama ‘Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (NPO)’.
Kenyataan sejarah tersebut menunjukkan bahwa pemuda memiliki "saham" yang besar dalam pergerakan kemerdekaan dan berkembangnya pendidikan kepanduan nasional Indonesia.

Dalam perkembangan pendidikan kepanduan itu, tampak adanya dorongan dan semangat untuk bersatu, namun terdapat pula gejala adanya kemauan berorganisasi yang berbhinneka. Kepanduan itu tumbuh-berkembang senapas dengan Pergerakan Nasional, seperti diperlihatkan oleh adanya sejumlah organisasi kepanduan yang dimotori oleh organisasi pergerakan antara lain Padvinder Muhammadiyah yang pada 1920 berganti nama menjadi "Hizbul Wathan (HW)’, Nationale Padvinderij yang didirikan oleh Budi Utomo, Syarikat Islam Afdeling Padvinderij yang didirikan oleh Syarikat Islam – kemudian berganti nama menjadi "Syarikat Islam Afdeling Pandu (SIAP)", Nationale Islamietische Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB), dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) didirikan oleh Pemuda Indonesia.

Hasrat bersatu bagi organisasi kepanduan di Indonesia itu tampak oleh mulai terbentuknya PAPI (Persaudaraan Antara Pandu Indonesia), yang merupakan federasi Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS pada 23 Mei 1928. Namun, federasi ini tidak mampu bertahan lama, karena adanya niat membangun fusi dari organisasi-organisasi kepanduan. Terbukti, pada tahun 1930 berdiri Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), yang dirintis oleh tokoh-tokoh dari Jong Java, dengan memfusikan Padvinders/ Pandu Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS (JJP-Jong Java Padvinderij), dan PK-Pandu Kebangsaan). PAPI kemudian berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) pada April 1938.

Pada fenomena sebaliknya, dalam kurun waktu tahun 1928-1935 bermunculan gerakan kepanduan Indonesia, baik yang bernafaskan kebangsaan maupun keagamaan. Kepanduan yang bernafaskan kebangsaan antara lain Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), Sinar Pandu Kita (SPK) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI). Kepanduan yang bernapaskan keagamaan adalah Pandu Ansor, Al Wathoni, Hiszbul Wathan, Kepanduan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma (Kristen), Kepandu-an Azas Katolik Indonesia (KAKI), dan Kepanduan Masehi Indonesia (KMI). Untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia BPPKI membuat rencana "All Indonesian Jamboree". Rencana ini mengalami beberapa perubahan, baik dalam hal waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan. Akhirya disepakati untuk menganti namanya menjadi "Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem" atau disingkat dengan ‘PERKINO’, dan dilaksanakan di Yogyakarta pada 19-23 Juli 1941.P

Pada Masa Pendudukan Jepang partai dan organisasi rakyat Indonesia, termasuk gerakan kepanduan, dilarang berdiri. Namun demikian, upaya menyelenggarakan PERKINO II tetap dilakukan. Bukan hanya itu, semangat kepanduan tetap menyala. Oleh karena itu, sebulan sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, beberapa tokoh kepanduan berkumpul di Yogyakarta. Mereka bersepakat: (a) membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja, (b) membentuk sebuah wadah organisasi kepanduan untuk seluruh bangsa Indonesia, dan (c) segera mengadakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia. Kongres dilaksanakan 27-29 Desember 1945 di Surakarta, dan berhasil membentuk ‘Pandu Rakyat Indonesia’. Perkumpulan ini didukung oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan oleh "Janji Ikatan Sakti". Pemerintah RI mengakui sebagai satu-satunya organisasi kepanduan, yang secara legal-formal ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/ Bag. A tertanggal 1 Febrauari 1947.

Beberapa tahun pasca Kemerdekaan RI adalah tahun-tahun sulit yang dihadapi oleh Pandu Rakyat Indonesia karena terjadi serbuan Belanda. Bahkan, pada peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1948, yakni ketika diadakan api unggun di halaman gedung Pegangsaan Timur 56, Jakarta, senjata Belanda mengancam dan memaksa Soeprapto menghadap Tuhan. Beliau pun gugur sebagai Pandu, sebagai patriot yang membuktikan cintanya pada negara, tanah air dan bangsanya. Di daerah yang diduduki Belanda, Pandu Rakyat dilarang berdiri. Keadaan ini mendorong berdirinya perkumpulan lain seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), Kepanduan Indonesia Muda (KIM). Masa perjuangan bersenjata untuk mempertahankan RI merupakan pengabdian bagi para anggota pergerakan kepanduan di Indonesia, Pada waktu itu Pandu Rakyat Indonesia mengadakan Kongres II di Yogyakarta pada 20-22 Januari 1950.

Kongres ini memutuskan untuk menerima konsepsi baru, yaitu memberikan kesempatan kepada golongan khusus untuk menghidupakan kembali bekas organisasinya masing-masing. Terbukalah kesempatan bahwa Pandu Rakyat Indonesia bukanlah satu-satunya organisasi kepanduan di Indonesia. Keputusan Menteri PP dan K nomor 2344/Kab. tertanggal 6 September 1951 mencabut pengakuan pemerintah No. 93/Bag. A tertanggal 1 Februari 1947 yang menyatakan bahwa Pandu Rakyat Indonesia adalah satu-satunya wadah kepanduan di Indonesia. Namun, sepuluh hari pasca keputusan Menteri Nomor 2334/ Kab. itu, wakil-wakil organisasi kepanduan menyelenggarakan konfersensi di Jakarta pada 16 September 1951.

Konfrensi memutuskan berdirinya Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO) sebagai suatu federasi. Pada 1953 Ipindo berhasil menjadi anggota kepanduan sedunia. Ipindo merupakan federasi bagi organisasi kepanduan putera, sedangkan bagi organisasi puteri terdapat dua federasi, yaitu: (a) PKPI (Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia), dan )b) POPPINDO (Persatuan Organisasi Pandu Puteri Indonesia). Kedua federasi ini pernah bersama-sama menyambut singgahnya Lady Baden-Powell ke Indonesia, dalam perjalanan ke Australia. Dalam peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI ke-10 Ipindo menyelenggarakan Jambore Nasional di Ragunan, Jakarta pada 10-20 Agustus 1955.
IPINDO sebagai wadah pelaksana kegiatan kepanduan merasa perlu menyelenggarakan seminar agar diperoleh gambaran mengenai upaya untuk menjamin kemurnian dan kelestarian hidup kepanduan. Seminar diadakan di Tugu, Bogor pada Januari 1957, dan menghasilkan rumusan yang diharapkan dapat dijadikan acuan bagi setiap gerakan kepanduan di Indonesia. Dengan demikian diharapkan kepanduan yang ada dapat dipersatukan. Setahun kemudian (November 1958), Departemen PP dan K mengadakan seminar di Ciloto, Bogor dengan topik "Penasionalan Kepanduan". Apabila Jambore untuk putera dilaksanakan di Ragunan, maka PKPI menyelenggarakan perkemahan besar untuk pandu puteri yang disebut ‘Desa Semanggi’ di Ciputat pada tahun 1959. Pada tahun ini juga IPINDO mengirim kontingen ke Jambore Dunia di MT. Makiling, Filipina.

Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, tanggal 3 Desember 1960 tentang ‘Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana’, Pasal 330. C. menyatakan bahwa dasar pendidikan di bidang kepan-duan adalah Pancasila. Penertiban terhadap kepanduan (Pasal 741) maupun pendidikan kepanduan agar diintensifkan, dan menyetujui rencana Pemerintah untuk mendirikan Pramuka (Pasal 349 Ayat 30). Kepanduan supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden Powell (Lampiran C Ayat 8). Ketetapan itu memberi kewajiban agar Pemerintah melaksanakannya. Karena itu Pesiden/Mandataris MPRS pada 9 Maret 1961 mengumpulkan para tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan Indonesia di Istana Negara.

Dalam podatonya Presiden mengungkapkan bahwa kepanduan yang ada harus diperbaharui, metode dan aktivitas pendidikan harus diganti, seluruh organisasi kepanduan yang ada dilebur jadi satu menjadi apa yang dinamai ‘Pramuka’. Untuk itulah, Presiden menunjuk panitia yang terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, Menteri P dan K Prof. Prijono, Menteri Pertanian Dr.A. Azis Saleh, dan Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa Achmadi. Panitia membutuhkan pengesahan, dan dilegalkan dengan Kepres RI No, 112 tertanggal tanggal 5 April 1961 tentang ‘Panitia Pembantu Pelaksana Pembentukan Gerakan Pramuka’ dengan susunan keanggotaan seperti yang disebut oleh Presiden dalam pidatonya pada tanggal 9 Maret 1961. Peristiwa tanggal 9 Maret 1961 ini diperingati sebagai ‘HARI TUNAS GERAKAN PRAMUKA’’.

Terdapat perbedaan sebutan atau tugas panitia yang termuat dalam pidato Presiden dan Keputusan Presiden tersebut. Masih pada bulan April itu juga, keluar Kepres RI No. 121 Tahun 1961 tertanggal 11 April 1961 tentang ‘Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka’, dengan anggota panitia mendapat penambahan: Sri Sultan (HB IX), Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, Achmadi dan Muljadi Djojo Martono (Menteri Sosial). Panitia inilah yang kemudian mengolah ‘Anggaran Dasar Gerakan Pramuka’ sebagai Lampiran Kepres R.I, No. 238 tentang ‘Gerakan Pramuka’ tertanggal 20 Mei 1961, yang menyatakan bahwasanya Gerakan Pramuka merupakan satu-satunya orgaisasi kepanduan yang mengemban tugas menyelenggarakan pendidikan kepanduan bagi anak-anak Indonesia.
Kebijakan dalam Kepres R.I. No. 238 Tahun 1961 itu berkebalikan dengan ketentuan hukum yang lebih mutakhir, yakni Undang-Undang No. 12 tentang “Gerakan Pramuka’ tertanggal 26 Oktober 2010, yang menetapkan bahwa Pramuka bukan lagi merupakan satu-satunya organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan. Organisasi-organisasi profesi pun juga diperkenankan untuk menyelenggarakan kegiatan kepramukaan. Suatu keputusan yang kembali kepada kebijakan pemerintah sebelum tahun 1961. Memang, semenjak lama pun perihal 'satu-satunya atau bukan satu-satunya" itu adalah ruang polemik di dalam kepanduan di Indonesia, Terlepas dari itu, momentum 20 Mei 1961 tersebut disebut sebagai ‘HARI PERMULAAN TAHUN KERJA’.

Pernyataan para wakil organisasi kepanduan di Indonesia yang dengan ikhlas meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka dilaksanakan di Istana Olahraga Senayan Jakarta tanggal 30 Juli 1961. Peristiwa ini disebut sebagai ‘HARI IKRAR GERAKAN PRAMUKA’. Secara resmi ‘Gerakan Pramuka’ diperkenalkan kepada seluruh rakyat Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1961. Bukan hanya di Ibukota negara Jakarta, namun juga di tempat-tempat penting lainnya di Indonesia serempak melakukannya.

Di Istana Negara Jakarta misalnya, sekitar 10.000 anggota Gerakan Pramuka mengadakan Apel Besar, yang diikuti dengan pawai pembangunan serta defile di depan Presiden sdan dilanjut dengan arak-arakan berkeliling Kota Jakarta. Sebelum kegiatan pawai/defile, Presiden melantik anggota Mapinas, Kwarnas dan Kwarnari, di Istana negara, dan menyampaikan anugerah tanda penghargaan dan kehormatan berupa Panji Gerakan Kepanduan Nasional Indonesia (Keppres No.448 Tahun 1961) yang diterimakan kepada Ketua Kwartir Nasional, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Momentum perkenalan pada 14 Agustus 1961 tesebut kemudian disebut “HARI PRAMUKA’, yang setiap tahunnya diperingati oleh seluruh jajaran dan anggota Gerakan Pramuka. Pendirian gerakan ini sedikit-banyak diilhami oleh Kamsomol di Uni Soviet.

Ada empat penanggalan antara bulan Maret – Agustus dalam tahun 1961 yang berhubungan dengan Pramuka, yaitu: (1) tanggal tanggal 9 Maret 1961, yang diperingati sebagai ‘HARI TUNAS GERAKAN PRAMUKA’’; (2) tanggal 20 Mei 1961 yang disebut sebagai ‘HARI PERMULAAN TAHUN KERJA’; (3) tanggal 30 Juli 1961 yang disebut ‘HARI IKRAR GERAKAN PRAMUKA’; dan (4) tanggal 14 Agustus 1961 yang disebut “HARI PRAMUKA’. Tahun 1961, lebih dari seperempat abad yang lalu, merupakan tarikh yang penting terkait dengan proses kelahiran Pramuka Indonesia, sebagai formulasi berwatak (berkarakter) Indonesia atas Kepanduan Dunia.Berkata cara pandang Soekarno yang nasionalis sejati itu, maka kepanduan Indonesia 'tak sekedar membebek' Kepanduan Dunia yang dibidani oleh Baden Powell di Inggris.

Digahayu Pramuka Indonesia ke-55 pada 14 Agustus 2016.
'Salam Pramuka,
Tepuk Pramuka'.

Semoga tulisan bersahaja ini bermakna buat adik-adik Pramuka,
Kak Dwi, Sengkaling 16 Agustus 2016 
(sumber, facebook Dwi Cahyono).