![]() |
Ilustrasi / deviantart.com |
Oleh: M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Dosen UM)
Nama ‘Pramuka” dan lambang gerakan
Pramuka ‘tunas kelapa’ telah begitu familer di dalam diri manusia
Indonesia. Bahkan, sedari masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Namun
demikian, pernahkah dipertanyakan: mengapa Kepanduan Nasional Indonesia
ini mengambil nama ‘Pramuka’ dan menjadikan ‘tunas kelapa’ sebagai
lambangnya. Tulisan ini merupakan suatu telaah guna mengungkap siratan
makna di balik nama dan lambang itu. Sudah barang tentu, pemaknaan pada
tulisan ini diwarnai oleh pemahaman dari diri penulis, yang bisa jadi
berbeda dengan pemaknaan yang konon dihayati oleh pemberi nama dan
pembuat lambang tersebut. Atau boleh jadi berlainan pula dengan
pemaknaan oleh para pembaca. Jikalaupun berbeda, maka tak apalah
kiranya, setidak-tidaknya pemaknaan ini boleh dijadikan sebagai
alternasi pemaknaan, yang siapa tahu bisa menambah pemahaman buat
khalayak tentangnya.
A. Tunas Buah Kelapa sebagai ‘Muasal yang Bermakna’
Mengapakah ‘tunas kelapa’ dipilih sebagai simbol Kepanduan Nasional Indonesia?
Pohon kelapa yang tinggi-menjulang (nglercir) serta tegak-kokoh dalam
menghadapi terpaan angin, sejatinya bermuasal dari tunas yang
tumbuh-berkembang dari cikal buah kelapa. Diameter batang pohon kelapa
yang tinggi menjulang itu sebenarnya terbilang tidak besar. Namun
demikian, terbukti sanggup menyangga rimbunan dedaunan dan sekian
janjang buah di penghujung atasnya. Begitu pula, meski akarnya
kecil-kecil dan tidak panjang menghujam dalam ke tanah – kategori ‘akar
serabut’, namun dengan tangguh mampu menahan terpaan kencang angin laut
ataupun angin gunung. Dari bagian cikal yang kecil pada buah yang juga
kecil ukurannya, tahap demi tahap tumbuh-berkembang pohon kelapa yang
tinggi menjulang. Dari semula buah yang sebuah jumlahnya, akhirnya
menjadi sumber produksi dari banyak buah kelapa manakala tanaman keras
ini berada pada usia produktif.
Buah kelapa tidak hanya
dikonsumsi oleh pemilik pohon kelapa bersangkutan, namun didistribusikan
serta didayagunakan oleh orang/pihak lain hingga ke luar daerah, bahkan
ke pulau-pulau seberang. Buah kepala karenanya dijadikan sebagai
perumpaan untuk ‘mobilitas manusia’, khususnya bagi para perantau. yakni
“seseorang bisa saja lahir dan tumbuh besar di suatu tempat (daerah),
namun ketika telah tumbuh besar (dewasa) boleh jadi keberadaannya jauh
dari tempat kelahirannya’. Kelapa bagaikan 'sang raja kelana', yang
demikian luas daya jangkau geraknya.
Daging buah kelapa bukanlah
satu-satuya unsur yang bermanfaat darinya. Tempurung buah kelapa
(bathok), sabut buah kepala (sepet), air buah kepala, nira kelapa
(legen), batang pohon kepala (glugu), daun kelapa (blarak), manggar dan
mayang kelapa, pelepah daun kelapa adalah unsur-unsur anatomi kelapa
yang memberi banyak manfaat untuk beragam kegunaan, Bahkan, bluluk
kepala dan daun kepala kering yang telah jatuh sekalipun tetap ada unsur
manfaatnya. Hulu-hilir kelapa memberi kemanfaatan bagi manusia, baik
ketika kelapa itu masih berusia produktif atau manakala kelapa pada
pasca-usia produktifnya.
Bagi Indonesia, yang merupakan
negara agraris sekaligus Negera Kepulauan dengan banyak kawasan pantai,
kepala (njiur, nyu, ampel, klopo) adalah tumbuhan ikonik yang acap
dihubungkan dengannya. Perkataan maupun gambaran ‘nyiur melambai’
familier dengan negeri ini. Sesunggunya, kelapa tidak melulu tumbuh di
kawasan pesisiran. Di daerah-daerah pedalamam, kelapa juga kedapatan
sebagai tanaman endemik. Desa/dusun dengan unsur nama ‘ampel (kelapa)
dan klopo;, antara lain ‘Ampel (Ngampel), Ampel Dento, Ampel Gading,
Kelapa Dua, dsb.’ terdapat di berbagai daerah. Begitu pula, penganan
yang disedapkan dengan santan kelapa dan gula dari nira kelapa
(gulo-klopo) menjadi ciri dominnan dari kuliner Nusantara. Oleh sebab
itu beragam bahan penyedap makanan diistilahi dengan ‘plapah (palapah
–> palapa+h)’, dimana istilah ‘palapa’ dekat sekali dengan kata
‘kalapa’. Sumpah Mapatih Gajahmada dalam rangka integrasi Nusantara pun
menggunakan kalimat sasanti ‘Hamukti Palapa’. Umbul-umbul berwarna
merah-putih juga mendapat sebutan ‘umbul gulo-klopo’, dimana gula (gulo)
direlasikan dengan warna merah dan kelapa (klopo) dengan warna putih.
Cikal dari buah kelapa merupakan muasa dari tanaman kelapa, dan dengan
demikian menjadi muasal dari banyak kegunaan yang dikontribusikan oleh
kelapa. Oleh karena itu, dapat difahami jka muasal dari segala yang ada
dinamai ‘cikal bakal’, yakni cikal sebagai ‘bakal (permulaan)’ dari
sesuatu. Sosok Pramuka – yang identik dengan usia/generasi muda
(kepemudaan) oleh karenanya tepat apabila disimbolkan dengan tunas yang
tumbuh dari bagian cikal pada buah kelapa. Generasi muda yang ibarat
tunah kelapa itu kelak diharap seperti pohon kelapa yang
tumbuh-berkembang sebagai pribadi yang tangguh dalam mengahadapi
tantangan kehidupan serta kontributif bagi beragam kemanfaatan hidup,
sebagaimana diteladankan oleh pohon kepala ketika telah tumbuh dewasa.
Pemilihan tunas kelapa sebagai lambang Pramuka terkait dengan peristiwa
yang terjadi pada tanggal 9 Maret 1961, yang diperingati sebagai ‘Hari
Tunas Gerakan Pramuka’. Ketika itu, Presiden Soekarno/ Mandataris MPRS
mengumpulkan tokoh-tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan Indonesia di
Istana Negara. Dalam podatonya, Presiden mengungkapkan bahwa kepanduan
yang ada harus diperbaharui, metode dan aktivitas pendidikan harus
diganti, seluruh organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi
‘Pramuka’. Kata ‘tunas’ tersebut divisualkan sebagai ‘Lambang Pramuka’,
yang diwujudkan sebagai ‘Tunas Kelapa’. Anak-anak dan pemuda – yang
menjadi sasaran utama Gerakan Pramuka – diibartakan sebagai ‘tunas buah
kelapa’, atau diistiahi sebagai ‘prajamuda’.
B. Prajamudakarana ‘Spiprit Keprajaan’ Generasi Muda Indonesia
Atas dasar pertimbangan apa ‘Prajamudakarana’ dijadikan nama sekaligus sasanti bagi Kepanduan Nasional Indonesia?
Pramuka yang merupakan akronim dari perkataan ‘praja (PRA)-muda
(MU)-karana(KA)’ dijadikan sebagai nama dan sekaligus menyiratkan
sasanti Kepanduan Nasional Indonesia. Sebagai sebuah perkataan,
Prajamudakarana adalah istilah-istilah Sanskrit dan Jawa Baru atau
Melayu, yaitu tiga kata berturutan yang diintegrasikan menjadi sebagai
sebuah perkataan: (1) praja, (2) muda, dan (3) karana. Kata ‘praja’
secara harafiah antara lain berarti: anak cucu, orang-orang, sanak
keluarga, suku bangsa, bangsa, rakyat (Zoetmulder, 1995: 838). Dalam
konteks ini, alternatif arti darinya adalah orang atau warga bangsa
tertentu. Dikatan tertentu, karena memiliki spesifikasi, yang dibatasi
oleh kata ‘muda’. Kata ‘muda’ dalam konteks ini kiranya bukan diambil
dari istilah ‘mudha’ dalam bahasa Sanskreta, yang justru berati: pandir,
bodoh, tolol, tidak bijaksana, dungu (Zoetmulder, 1995: 676). Melainkan
dari kata ‘muda’ dalam bahasa Jawa Baru, yang berati: muda – seperti
dalam Bahasa Melayu atau Indonesia yang antara lain menujuk pada orang
yang belum sampai setengah umur (KBBI, 2002:757).
Adapun kata ‘karana’
merupakan istilah Sanskreta, yang secara harafiah antara lain berati:
tindakan membuat, daya upaya. Pramuka diartikan sebagai: orang muda yang
suka berdaya upaya (berkarya). Keatifan dengan demikian merupakan ciri
khas dari pemuda yang menjadi anggota Pramuka, yakni aktif berdaya upaya
untuk kebaikan.
Sebagai suatu nama, sebenarnya sebutan
‘Pramuka’ tersebut baru digunakan di Indonesia pada 9 Maret 1961,
sebagai sebutan terhadap peleburan seluruh organisasi kepanduan di
Indonesia. Sebelumnya, yang dipakai adalah ‘Pandu’, dan gerakan darinya
dinamai ‘Gerakan Kepanduan Indonesia’. Kata ‘pandu’ sangat boleh jadi
merupakan kata serapan dari istilah dalam Bahasa Belanda ‘Padvinders’.
Di dalam Bahasa Inggris – sebagaimana dipakai oleh ‘Bapak Pandu Dunia’
Baden Powell – adalah istilah ‘Scout’. Sebutan ‘Padvinders’ pertama kali
digunakan di Indonesia tahun 1912, sebutan bagi embrio organisasi
cabang Kepanduan Dunia di Hindia-Belanda, dengan nama "Nederlandsche
Padvinders Organisatie (NPO)”. Kata ‘padvinders’ yang diikuti atau
didahului oleh kata nama ‘Indonesische (Indonesia)’ pertama kali
digunakan tahun 1923, sebagai nama Gerakan Kepanduan di Jakarta, yaitu
‘Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO)’. Lantas pada tahun
1926 perkataan seperti ini dipakai untuk menamai peleburan gerakan
kepanduan di Bandung dan Jakarta, dengan nama ‘Indonesische Nationale
Padvinderij Organisatie (NPO)’.
Kata ‘pandu’ juga terdapat
sebagai kosa kata dalam Bahasa Indonseia, yang secara harafiah berarti:
(1) petunjuk jalan, perintis jalan; (2) mualim (di kapal); (3) kapal
pentunjuk jalan (di pelabuhan); atau (4) anggota perkumpulan pemuda yang
berpakaian khusus, bertujuan mendididik anggotanya agar menjadi orang
yang berjiwa ksatria, gagah berani, dan suka menolong sesama makhluk
(KBBI, 1992: 821). Pada arti 1-3, arti kata ‘pandu’ mengarah pada
petunjuk atau perintis jalan; dan jika menunjuk kepada orang, yang
bersangkutan mengemban tugas untuk membuat perjalanan kapal berada di
jalan (lintasan) yang benar. Sedangkan dalam arti terakhir, organisasi
atau gerakan kepanduan merupakan wahana pendidikan untuk membentuk
pribadi yang baik, yakni prinadi yang berjiwa ksatria, gagah berani dan
suka menolong.
Hal ini sejalan dasardharma Pramuka, yang memuat
tentang pengharapan untuk menjadikan anggota Pramuka sebagai pribadi
yang baik, yang diindikatori oleh: (1) taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(2) cinta alam, dan kasih sayang sesama manusia; (3) patriot yang sopan
dan kesatria; (4) patuh, dan suka bermusyawarah; (5) rela menolong dan
tabah, (6) rajin, terampil dan gembira; (7) hemat, cermat dan bersahaja;
(8) disiplin, berani dan setia; (9) bertanggung jawab dan dapat
dipercaya; (10) suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Untuk
membentuk pribadi yang demikan, Gerakan Pramuka berlandaskan
prinsip-prinsip dasar: (a) iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(b) peduli terhadap bangsa, dan tanah air, sesama hidup dan alam
seisinya; (c) peduli terhadap dirinya pribad; serta (d) taat kepada Kode
Kehormatan Pramuka. Sebagai pribadi yang baik, maka dalam menjalan
hidupnya, anggota Pramuka hendaknya menjadi pandu bagi tanah airnya
(Indonesia), seperti tergambar dalam ‘Syair lagu Hymne Pramuka’ : Kami
Pramuka Indoesia // Manusia pancasila // satyaku kudharmakan, dharmaku
kubaktikan // agar jaya, Indonesia, Indonesia // tanah air ku // kami
jadi pandumu. Satya yang didharmakan dan dibaktikan oleh Pramuka
diekspresikan ke dalam ‘tiga janji (trisatya)’-nya, bahwa demi
kehormatannya, anggota Pramuka berjanji untuk bersungguh-sunguh: (a)
menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, mengamalkan Pancasila; (b) menolong sesama hidup, dan
mempersiapkan diri/ikut serta membangun masyarakat; (c) menepati
dasadharma.
Sebagai kata jadian, ‘kepanduan’ menujuk kepada
gerakan untuk menjadikan anggota-anggotanya sebagai pribadi yang baik,
dan mampu berperan atau kontributif sebagai penunjuk atau perintis ke
jalan kehidupan yang baik pula. Untuk misi itu, maka Gerakan Pramuka
bertujuan untuk membentuk pribadi yang: (a) memiliki kepribadian yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum,
disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, berkecakapan
hidup, sehat jasmani, dan rohani; serta (b) menjadi warga negara yang
berjiwa Pancasila, setia, dan patuh kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia serta menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, yang
dapat membangun dirinya sendiri secara mandiri serta bersama-sama
bertanggungjawab atas pembangun-an bangsa dan negara, memiliki
kepedulian terhadap sesama hidup, dan alam lingkungan.
Kontribusi peran kepanduan tergambar dalam resolusi Konferensi Kepanduan
Sedunia pada tahun 1924 di Kopenhagen, Denmark, bahwa organisasi yang
menyelenggarakan kepanduan di suatu negara haruslah menyesuaikan
pendidikannya idengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara. Pada negara manupun di dunia, organisasi kepanduan
harus membina, dan mengembangkan rasa persaudaraan, dan persahabatan
antara sesama Pandu, dan sesama manusia, tanpa membedakan kepercaan/
gama, golongan, tingkat, suku dan bangsa. Oleh karena itu, kepanduan
hendaknya dipergunakan dimana saja untuk mendidik anak-anak dari bangsa
apa saja.
Nama ‘Pandu’ juga didapati dalam wiracarita Mahabarata,
yaitu sebagai nama [ketika usia muda] dari Yudhistira (Puntodewo),
putera sulung (pambarep) diantara lima orang anak pada keluarga Pandawa,
yang populer denga sebutan ‘Pendowo Limo’. Sebagai putra sulung, yang
menjadi raja utama pada Kerajaan Amarta (Ngamerto), Pandu menampilkan
citra diri yang baik, yang patut untuk diteladani dalam kapasitasnya
sebagai pengemban amanah pucuk tertinggi pengelola kerajaan (kaprajan).
Citra diri yang baik dari tokoh Pandu itu tergambar pula dalam perkataan
‘Pandudewanata’, yakni Pandu yang bertindak sebagai nata (raja) yang
memperoleh amanah dari dewata (dewa) untuk menjadi pemimpin. Ibarat Dewa
Indra sebagai raja dari sekalaian para dewa. Sebagai nama, ‘pandu’
inilah yang pada periode awal kelahiran Pramuka dijadikan nama baginya,
yakni penamaan yang boleh jadi mendapat inspirasi dari citra diri Pandu
(Yudhistira muda). Kebijakan dan kearifan tokoh Pandu dalam konteks ini
hendaknya menjadi teladan bagi para anggota Pramuka Indonesia.
C. Kilas Sejarah Kepanduan
1. Kilas Sejarah Kepaduan Dunia
Kepanduan bukan hanya ada di Indonesia, melainkan terdapat di penjuru
dunia. Sejarah kepaduan dimulai dari Lord Robert Baden Powell
(1857-1941), yang dijuluki ‘Bapak Pandu Sedunia’. Perkenalan pertamanya
pada kecakapan kepanduan adalah kecakapan memburu dan memasak hewan di
hutan yang berdekatan. Masa liburan banyak dihabiskannya dengan
melakukan ekspedisi pelayaran atau bermain kano dengan
saudara-saudaranya. Setelah menamatkan sekolah di Charterhouse, Baden
Powell bertugas di Angkatan Darat Inggris (1876-1910), yang
menempatkannya di India dan Afrika.
Ketika menjalani profesi kemiliteran itu, dia berkesempatan untuk saling berlatih serta mengasah kemahiran kepanduannya dengan raja Zulu bernama Dinizulu pada awal 1880-an di provinsi Natal, Afrika Selatan, padamana resimennya ditempatkan. Pada tahun 1896 Baden-Powell ditugaskan ke Matabele di Rhodesia Selatan sebagai Kepala Staf. Disanalah untuk kali pertama ia bertemu dengan Frederick Russell Burnham, seorang Amerika yang membantu Inggris di Afrika Selatan, yang nantinya menjadi sahabat karib yang memberinya banyak inspirasi.
Ketika menjalani profesi kemiliteran itu, dia berkesempatan untuk saling berlatih serta mengasah kemahiran kepanduannya dengan raja Zulu bernama Dinizulu pada awal 1880-an di provinsi Natal, Afrika Selatan, padamana resimennya ditempatkan. Pada tahun 1896 Baden-Powell ditugaskan ke Matabele di Rhodesia Selatan sebagai Kepala Staf. Disanalah untuk kali pertama ia bertemu dengan Frederick Russell Burnham, seorang Amerika yang membantu Inggris di Afrika Selatan, yang nantinya menjadi sahabat karib yang memberinya banyak inspirasi.
Keberadaannya di Afrika memberi
pengalaman yang sangat penting, karena pada saat itu ia banyak mendapat
inspirasi untuk membuat sistem pendidikan kepanduan. F. Russell Burnham
mengajarinya woodcraft, suatu keahlian yang memberikan inspirasi untuk
menyusun program/kurikulum dan kode kehormatan kepanduan. Suatu keahlian
yang menjadi cikal bakal dari apa yang kini sering disebut ‘Ketrampilan
Kepanduan’. Kala itu kali pertama Baden Powell mengenakan topi khasnya,
yang bentuknya menyerupai topi koboi, sebagai pengenal dan hingga kini
masih dikenakan oleh anggota kepanduan di seluruh dunia. Disitu pula dia
menerima sangkakala (terompet) kudu, suatu waditra yang nantinya ditiup
setiap pagi guna membangunkan peserta Perkemahan Kepanduan yang pertama
di Kepulauan Brownsea, Inggris. Pada pengalamanya dalam bidang militer,
setiap anggota pasukan mendapatkan ‘bedge penghargaan’ berbentuk jarum
kompas yang dikombinasikan dengan ujung anak panah. Bedge ini bentuknya
mirip dengan ‘fleur de lis’, yakni sebuah logo yang hingga kini dipakai
sebagai Logo Organisasi Kepanduan di banyak negara di dunia.
Baden-Powell, adiknya (Agnes Baden-Powell) dan istrinya (Olave St. Clair
Soames) sangat aktif memberi bimbingan terhadap Gerakan Kepanduan dan
Kepanduan Putri.
Beberapa buku bertema kepanduan ditulisnya.
Mula-mula buku kecil berjudul “Aids to Scouting”, yang membicarakan
tentang pengintaian dan pelatihan pandu di Afrika. Buku ini banyak
bibaca oleh anak laki-laki. Sekembalinya ke Inggris, ia melihat ‘Aids to
Scouting’ telah populer dan banyak dipergunakan oleh para guru untuk
mendidik muridnya dan juga para pemuda yang aktif di dalam organisasi.
Oleh karena itu, ia diminta untuk menuliskan ulang buku ‘Aids to
Scouting’ agar mudah dipahami oleh anak muda, utamanya oleh anggota
Boys’ Brigade – suatu orgaisasi kepemudaan besar dan bernuansa militer.
Buku itu nantinya diberijudul ‘Scouting for Boys (1908)’, yang mula-mula
terbit dalam 6 (enam) jilid dan diperuntukkan bagi para pembaca remaja.
Pada tahun 1906 seorang keturunan Inggris-Kanada yang tinggal
di Amerika Serikat bernama Ernest Thompson Seton mengirimkan ke
Baden-Powell sebuah buku karyanya ‘The Birchbark Roll of the Woodcraft
Indians’.E.T. Seton sering mengadakan pertemuan denganya, dan menyusun
rencana untuk gerakan pemuda.
Pertemuannya dengan Seton itu
mendorongnya untuk menuliskan kembali bukunya ‘Aids to Scouting’ dengan
versi baru, yang diberi judul ‘Boy's Patrols’ sebagai buku petunjuk
kepanduan bagi para muda ketika itu. Untuk menguji ide-idenya, maka
Boden Powell mengadakan perkemahan untuk 21 pemuda dari berbagai lapisan
masyarakat selama seminggu penuh di Kepulauan Brownsea, Inggris,
dimulai tanggal 21 Agustus 1907. Metode organisasinya, yang sekarang
dikenal dengan sistem patroli (patrol system), menjadi kunci pelatihan
kepanduan yang dilakukannya. Sistem ini mengharuskan para pemuda untuk
membentuk beberapa kelompok kecil dan kemudian menunjuk salah seorang di
antara mereka untuk menjadi ketua kelompok tersebut. Setelah bukunya
diterbitkan dan perkemahan yang dilakukannya berjalan dengan sukses,
selanjutnya Baden-Powell pergi untuk sebuah tur yang direncanakan oleh
Arthur Pearson untuk mempromosikan pemikirannya ke seluruh Inggris. Dari
pemikirannya tersebut dibuatlah sebuah buku berjudul ‘Scouting for Boys
(1908)’, yang dikenal sebagai buku panduan kepramukaan (Boy Scout
Handbook).
Buku ‘Scouting for Boys’ tidak sekadar merupakan
penulisan ulang terhadap buku “Aids to Scouting” yang banyak berisi
materi kemiliteran. Dalam buku ini aspek-aspek kemiliteran diperkecil
dan digantikan dengan teknik-teknik non-militer – terutama teknik
survival, seperti pioneering dan penjelajahan. Baden Powell juga
memasukkan prinsip edukasi yang inovatif, yang disebut dengan ‘Scout
Method (metode kepramukaan)’. Bahkan ia juga berkreasi dengan membuat
game-game yang menarik, sebagai sarana pendidikan mental. Pada tahun
yang sama, buku itu dicetak dalam bentuk satu buku utuh. Sampai saat
ini, buku tersebut menempati peringkat ke empat dalam daftar buku
bestseller dunia sepanjang masa. Berkat buku itu, mulanya Baden-Powell
diminta menjadi pembina organisasi The Boys’ Brigade, yang didirikan
oleh William A. Smith. Kemudian, karena popularitasnya semakin
meningkat, dan tulisannya tentang mengenaI petualangan-petualangan di
alam terbuka kian banyak serta diminati, maka banyak pemuda tergerak
membentuk kelompok kepanduan dan Baden-Powell “kebanjiran order” untuk
menjadi pembinanya. Mulai saat itulah suatu ‘Gerakan Kepanduan (Scout
Movement)’ berkembang dengan pesat.
Tergambar bahwa Baden Powell
dari pengalamannya dalam bidang militer lantas bergerak dengan
mempelajari materi-materi non-militer, yang bisa dijadikan bahan
pelajaran pada kepanduan. Selama menulis bukunya, ia melakukan uji
gagasan, antara lain melalui perjalanan berkemah, yang kemudian dianggap
sebagai awal dari kegiatan kepanduan. Apa yang diihasilkan oleh Baden
Powel adalah siklus yang terdiri atas mata rantai : penimbaan inspirasi
dari pengalaman nyata--> formulasi gagasan/konsep --> uji gagasan
dalam kegiatan prakttis --> penyempurnaan gagasan, dan seterusnya.
Dengan cara demikian, maka gagasannya menjadi petunjuk teknis yang
aplikable dan berdayaguna.
Kanak-kanak remaja membentuk apa yang
dinamai "Scout Troops" secara spontan, maka terbentuk gerakan kepanduan
yang berdiri tanpa sengaja. Mulanya di tingkat nasional, dan kemudian
memasuki tingkat internasional. Gerakan pramuka berkembang seiring
dengan Boys’ Brigade. Suatu pertemuan untuk semua pramuka pun diadakan
di Crystal Palace London pada 1908, dalam mana Baden-Powell menemukan
gerakan Pandu Puteri yang pertama. Pandu Puteri kemudian didirikan pada
tahun 1910 di bawah pengawasan saudara perempuannya, yaitu Agnes
Baden-Powell.
Walau dia sebenarnya Baden Powel dapat menjadi
Panglima Tertinggi dalam bidang kemeliteran, namun dengan menuruti
nasihat raja Edward VII yang mengusulkan agar ia lebih banyak melayano
negeranya dengan memajukan gerakan kepanduan maka ia memuutuskan untuk
berhenti dari tentara pada tahun 1910 dengan pangkat Letnan Jendral.
Peristiwa penting dalam dirinya dan kepanduan yang digalangnya terjadi
pada Januari 1912, tatkala Baden Powell bertemu dengan calon isterinya
yang usianya jauh lebih muda (antara 23 dan 55 tahun), yaitu Olave
Soames di atas kapal penumpang (Arcadia) dalam perjalanan ke New York
untuk memulai Lawatan Kepanduan Dunia.
Baden-Powell dianugerahi
gelar ‘Baronet’ pada tahun 1922, dan bergelar Baron Baden-Powell dari
Gilwell dalam County Essex pada tahun 1929. Taman Gilwell merupakan
tempat latihan Pemimpin Kepanduan Internasional. Baden-Powell
dianugerahi ‘Order of Merit’ dalam sistem penghormatan Inggris pada
tahun 1937 dan 28 gelar lainnya dari negara-negara asing. Dibawah usaha
gigihnya itu, berkembanglah pergerakan kepanduan dunia. Pada tahun 1922
telah tercatat lebih dari sejuta kepanduan di 32 negara. Bahkan pada
tahun 1939 meningkat tajam hingga melebihi 3,3 juta orang. Baden-Powell
meninggal pada 8 Januari 1941, dimakamkan di pemakaman St. Peter, Nyeri,
dekat Gunung Kenya. Pergerakan Kepanduan dan Kepanduan Puteri merayakan
22 Februari sebagai ‘Hari B-P’’, yakni tanggal lahir bersama dari
Robert dan Olave Baden-Powell, sebagai peringatan terhadap jasa Ketua
Pramuka dan Ketua Pandu Puteri Dunia tersebut.
2. Kilas Sejarah Kepanduan Indonesia
Sebagai organisasi dan gerakan, sesungguhnya kepanduan telah hadir di
bumi Indonesia semenjak Masa Kolonial. Embrio dari Organisasi Kepanduan
dimulai oleh adanya cabang Kepanduan Dunia di Hindia-Belanda, yang
mengambil nama "Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO)” pada tahun
1912. Ketika pecah Perang Dunia I, Orgnasiasi Kepanduan ini memiliki
kwartir besar sendiri, yang lalu berganti nama menjadi
“Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV)’ tahun 1916. Selain
Organisasi Kepanduan yang diprakarsai oleh Kolonialis Belanda itu, ada
pula Organisasi Kepanduan yang diprakarsai oleh bangsa Indonesia, yaitu
‘Javaansche Padvinders Organisatie (JPO)’, yang berdiri atas prakarsa
dari S.P. Mangkunegara VII tahun 1916. Kendati embrio dalam bentuk
Organisasi Kepanduan telah ada semenjak tahun 1912, namun sebagai suatu
Gerakan Kepanduan, titik waktu mulanya baru tahun 1923, yang ditandai
oleh berdirinya NPO di Bandung. Pada tahun yang sama di Jakarta
didirikan ‘Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO)’. Lalu tiga
tahun kemudian (1926), kedua organisasi yang merupakan cikal-bakal
kepaduan Indonesia ini meleburkan diri menjadi satu, dengan nama
‘Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (NPO)’.
Kenyataan sejarah tersebut menunjukkan bahwa pemuda memiliki "saham" yang besar dalam pergerakan kemerdekaan dan berkembangnya pendidikan kepanduan nasional Indonesia.
Kenyataan sejarah tersebut menunjukkan bahwa pemuda memiliki "saham" yang besar dalam pergerakan kemerdekaan dan berkembangnya pendidikan kepanduan nasional Indonesia.
Dalam perkembangan pendidikan kepanduan itu,
tampak adanya dorongan dan semangat untuk bersatu, namun terdapat pula
gejala adanya kemauan berorganisasi yang berbhinneka. Kepanduan itu
tumbuh-berkembang senapas dengan Pergerakan Nasional, seperti
diperlihatkan oleh adanya sejumlah organisasi kepanduan yang dimotori
oleh organisasi pergerakan antara lain Padvinder Muhammadiyah yang pada
1920 berganti nama menjadi "Hizbul Wathan (HW)’, Nationale Padvinderij
yang didirikan oleh Budi Utomo, Syarikat Islam Afdeling Padvinderij yang
didirikan oleh Syarikat Islam – kemudian berganti nama menjadi
"Syarikat Islam Afdeling Pandu (SIAP)", Nationale Islamietische
Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB), dan
Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) didirikan oleh
Pemuda Indonesia.
Hasrat bersatu bagi organisasi kepanduan di
Indonesia itu tampak oleh mulai terbentuknya PAPI (Persaudaraan Antara
Pandu Indonesia), yang merupakan federasi Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP,
NATIPIJ dan PPS pada 23 Mei 1928. Namun, federasi ini tidak mampu
bertahan lama, karena adanya niat membangun fusi dari
organisasi-organisasi kepanduan. Terbukti, pada tahun 1930 berdiri
Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), yang dirintis oleh tokoh-tokoh dari
Jong Java, dengan memfusikan Padvinders/ Pandu Kebangsaan (JJP/PK), INPO
dan PPS (JJP-Jong Java Padvinderij), dan PK-Pandu Kebangsaan). PAPI
kemudian berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia
(BPPKI) pada April 1938.
Pada fenomena sebaliknya, dalam kurun
waktu tahun 1928-1935 bermunculan gerakan kepanduan Indonesia, baik yang
bernafaskan kebangsaan maupun keagamaan. Kepanduan yang bernafaskan
kebangsaan antara lain Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie
Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), Sinar Pandu Kita (SPK) dan
Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI). Kepanduan yang bernapaskan keagamaan
adalah Pandu Ansor, Al Wathoni, Hiszbul Wathan, Kepanduan Islam
Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma
(Kristen), Kepandu-an Azas Katolik Indonesia (KAKI), dan Kepanduan
Masehi Indonesia (KMI). Untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Badan
Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia BPPKI membuat rencana "All
Indonesian Jamboree". Rencana ini mengalami beberapa perubahan, baik
dalam hal waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan. Akhirya disepakati
untuk menganti namanya menjadi "Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem"
atau disingkat dengan ‘PERKINO’, dan dilaksanakan di Yogyakarta pada
19-23 Juli 1941.P
Pada Masa Pendudukan Jepang partai dan
organisasi rakyat Indonesia, termasuk gerakan kepanduan, dilarang
berdiri. Namun demikian, upaya menyelenggarakan PERKINO II tetap
dilakukan. Bukan hanya itu, semangat kepanduan tetap menyala. Oleh
karena itu, sebulan sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, beberapa tokoh
kepanduan berkumpul di Yogyakarta. Mereka bersepakat: (a) membentuk
Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja, (b)
membentuk sebuah wadah organisasi kepanduan untuk seluruh bangsa
Indonesia, dan (c) segera mengadakan Kongres Kesatuan Kepanduan
Indonesia. Kongres dilaksanakan 27-29 Desember 1945 di Surakarta, dan
berhasil membentuk ‘Pandu Rakyat Indonesia’. Perkumpulan ini didukung
oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan oleh "Janji Ikatan
Sakti". Pemerintah RI mengakui sebagai satu-satunya organisasi
kepanduan, yang secara legal-formal ditetapkan dengan keputusan Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/ Bag. A tertanggal 1
Febrauari 1947.
Beberapa tahun pasca Kemerdekaan RI adalah
tahun-tahun sulit yang dihadapi oleh Pandu Rakyat Indonesia karena
terjadi serbuan Belanda. Bahkan, pada peringatan kemerdekaan 17 Agustus
1948, yakni ketika diadakan api unggun di halaman gedung Pegangsaan
Timur 56, Jakarta, senjata Belanda mengancam dan memaksa Soeprapto
menghadap Tuhan. Beliau pun gugur sebagai Pandu, sebagai patriot yang
membuktikan cintanya pada negara, tanah air dan bangsanya. Di daerah
yang diduduki Belanda, Pandu Rakyat dilarang berdiri. Keadaan ini
mendorong berdirinya perkumpulan lain seperti Kepanduan Putera Indonesia
(KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), Kepanduan Indonesia Muda (KIM).
Masa perjuangan bersenjata untuk mempertahankan RI merupakan pengabdian
bagi para anggota pergerakan kepanduan di Indonesia, Pada waktu itu
Pandu Rakyat Indonesia mengadakan Kongres II di Yogyakarta pada 20-22
Januari 1950.
Kongres ini memutuskan untuk menerima konsepsi
baru, yaitu memberikan kesempatan kepada golongan khusus untuk
menghidupakan kembali bekas organisasinya masing-masing. Terbukalah
kesempatan bahwa Pandu Rakyat Indonesia bukanlah satu-satunya organisasi
kepanduan di Indonesia. Keputusan Menteri PP dan K nomor 2344/Kab.
tertanggal 6 September 1951 mencabut pengakuan pemerintah No. 93/Bag. A
tertanggal 1 Februari 1947 yang menyatakan bahwa Pandu Rakyat Indonesia
adalah satu-satunya wadah kepanduan di Indonesia. Namun, sepuluh hari
pasca keputusan Menteri Nomor 2334/ Kab. itu, wakil-wakil organisasi
kepanduan menyelenggarakan konfersensi di Jakarta pada 16 September
1951.
Konfrensi memutuskan berdirinya Ikatan Pandu Indonesia
(IPINDO) sebagai suatu federasi. Pada 1953 Ipindo berhasil menjadi
anggota kepanduan sedunia. Ipindo merupakan federasi bagi organisasi
kepanduan putera, sedangkan bagi organisasi puteri terdapat dua
federasi, yaitu: (a) PKPI (Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia), dan
)b) POPPINDO (Persatuan Organisasi Pandu Puteri Indonesia). Kedua
federasi ini pernah bersama-sama menyambut singgahnya Lady Baden-Powell
ke Indonesia, dalam perjalanan ke Australia. Dalam peringatan Hari
Proklamasi Kemerdekaan RI ke-10 Ipindo menyelenggarakan Jambore Nasional
di Ragunan, Jakarta pada 10-20 Agustus 1955.
IPINDO sebagai
wadah pelaksana kegiatan kepanduan merasa perlu menyelenggarakan seminar
agar diperoleh gambaran mengenai upaya untuk menjamin kemurnian dan
kelestarian hidup kepanduan. Seminar diadakan di Tugu, Bogor pada
Januari 1957, dan menghasilkan rumusan yang diharapkan dapat dijadikan
acuan bagi setiap gerakan kepanduan di Indonesia. Dengan demikian
diharapkan kepanduan yang ada dapat dipersatukan. Setahun kemudian
(November 1958), Departemen PP dan K mengadakan seminar di Ciloto, Bogor
dengan topik "Penasionalan Kepanduan". Apabila Jambore untuk putera
dilaksanakan di Ragunan, maka PKPI menyelenggarakan perkemahan besar
untuk pandu puteri yang disebut ‘Desa Semanggi’ di Ciputat pada tahun
1959. Pada tahun ini juga IPINDO mengirim kontingen ke Jambore Dunia di
MT. Makiling, Filipina.
Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960,
tanggal 3 Desember 1960 tentang ‘Rencana Pembangunan Nasional Semesta
Berencana’, Pasal 330. C. menyatakan bahwa dasar pendidikan di bidang
kepan-duan adalah Pancasila. Penertiban terhadap kepanduan (Pasal 741)
maupun pendidikan kepanduan agar diintensifkan, dan menyetujui rencana
Pemerintah untuk mendirikan Pramuka (Pasal 349 Ayat 30). Kepanduan
supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden Powell (Lampiran C Ayat 8).
Ketetapan itu memberi kewajiban agar Pemerintah melaksanakannya. Karena
itu Pesiden/Mandataris MPRS pada 9 Maret 1961 mengumpulkan para tokoh
dan pemimpin gerakan kepanduan Indonesia di Istana Negara.
Dalam
podatonya Presiden mengungkapkan bahwa kepanduan yang ada harus
diperbaharui, metode dan aktivitas pendidikan harus diganti, seluruh
organisasi kepanduan yang ada dilebur jadi satu menjadi apa yang dinamai
‘Pramuka’. Untuk itulah, Presiden menunjuk panitia yang terdiri atas
Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, Menteri P dan K Prof. Prijono,
Menteri Pertanian Dr.A. Azis Saleh, dan Menteri Transmigrasi, Koperasi
dan Pembangunan Masyarakat Desa Achmadi. Panitia membutuhkan pengesahan,
dan dilegalkan dengan Kepres RI No, 112 tertanggal tanggal 5 April 1961
tentang ‘Panitia Pembantu Pelaksana Pembentukan Gerakan Pramuka’ dengan
susunan keanggotaan seperti yang disebut oleh Presiden dalam pidatonya
pada tanggal 9 Maret 1961. Peristiwa tanggal 9 Maret 1961 ini
diperingati sebagai ‘HARI TUNAS GERAKAN PRAMUKA’’.
Terdapat
perbedaan sebutan atau tugas panitia yang termuat dalam pidato Presiden
dan Keputusan Presiden tersebut. Masih pada bulan April itu juga, keluar
Kepres RI No. 121 Tahun 1961 tertanggal 11 April 1961 tentang ‘Panitia
Pembentukan Gerakan Pramuka’, dengan anggota panitia mendapat
penambahan: Sri Sultan (HB IX), Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh,
Achmadi dan Muljadi Djojo Martono (Menteri Sosial). Panitia inilah yang
kemudian mengolah ‘Anggaran Dasar Gerakan Pramuka’ sebagai Lampiran
Kepres R.I, No. 238 tentang ‘Gerakan Pramuka’ tertanggal 20 Mei 1961,
yang menyatakan bahwasanya Gerakan Pramuka merupakan satu-satunya
orgaisasi kepanduan yang mengemban tugas menyelenggarakan pendidikan
kepanduan bagi anak-anak Indonesia.
Kebijakan dalam Kepres R.I.
No. 238 Tahun 1961 itu berkebalikan dengan ketentuan hukum yang lebih
mutakhir, yakni Undang-Undang No. 12 tentang “Gerakan Pramuka’
tertanggal 26 Oktober 2010, yang menetapkan bahwa Pramuka bukan lagi
merupakan satu-satunya organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan.
Organisasi-organisasi profesi pun juga diperkenankan untuk
menyelenggarakan kegiatan kepramukaan. Suatu keputusan yang kembali
kepada kebijakan pemerintah sebelum tahun 1961. Memang, semenjak lama
pun perihal 'satu-satunya atau bukan satu-satunya" itu adalah ruang
polemik di dalam kepanduan di Indonesia, Terlepas dari itu, momentum 20
Mei 1961 tersebut disebut sebagai ‘HARI PERMULAAN TAHUN KERJA’.
Pernyataan para wakil organisasi kepanduan di Indonesia yang dengan
ikhlas meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka dilaksanakan
di Istana Olahraga Senayan Jakarta tanggal 30 Juli 1961. Peristiwa ini
disebut sebagai ‘HARI IKRAR GERAKAN PRAMUKA’. Secara resmi ‘Gerakan
Pramuka’ diperkenalkan kepada seluruh rakyat Indonesia pada tanggal 14
Agustus 1961. Bukan hanya di Ibukota negara Jakarta, namun juga di
tempat-tempat penting lainnya di Indonesia serempak melakukannya.
Di Istana Negara Jakarta misalnya, sekitar 10.000 anggota Gerakan
Pramuka mengadakan Apel Besar, yang diikuti dengan pawai pembangunan
serta defile di depan Presiden sdan dilanjut dengan arak-arakan
berkeliling Kota Jakarta. Sebelum kegiatan pawai/defile, Presiden
melantik anggota Mapinas, Kwarnas dan Kwarnari, di Istana negara, dan
menyampaikan anugerah tanda penghargaan dan kehormatan berupa Panji
Gerakan Kepanduan Nasional Indonesia (Keppres No.448 Tahun 1961) yang
diterimakan kepada Ketua Kwartir Nasional, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX. Momentum perkenalan pada 14 Agustus 1961 tesebut kemudian disebut
“HARI PRAMUKA’, yang setiap tahunnya diperingati oleh seluruh jajaran
dan anggota Gerakan Pramuka. Pendirian gerakan ini sedikit-banyak
diilhami oleh Kamsomol di Uni Soviet.
Ada empat penanggalan
antara bulan Maret – Agustus dalam tahun 1961 yang berhubungan dengan
Pramuka, yaitu: (1) tanggal tanggal 9 Maret 1961, yang diperingati
sebagai ‘HARI TUNAS GERAKAN PRAMUKA’’; (2) tanggal 20 Mei 1961 yang
disebut sebagai ‘HARI PERMULAAN TAHUN KERJA’; (3) tanggal 30 Juli 1961
yang disebut ‘HARI IKRAR GERAKAN PRAMUKA’; dan (4) tanggal 14 Agustus
1961 yang disebut “HARI PRAMUKA’. Tahun 1961, lebih dari seperempat abad
yang lalu, merupakan tarikh yang penting terkait dengan proses
kelahiran Pramuka Indonesia, sebagai formulasi berwatak (berkarakter)
Indonesia atas Kepanduan Dunia.Berkata cara pandang Soekarno yang
nasionalis sejati itu, maka kepanduan Indonesia 'tak sekedar membebek'
Kepanduan Dunia yang dibidani oleh Baden Powell di Inggris.
Digahayu Pramuka Indonesia ke-55 pada 14 Agustus 2016.
'Salam Pramuka,
Tepuk Pramuka'.
'Salam Pramuka,
Tepuk Pramuka'.
Semoga tulisan bersahaja ini bermakna buat adik-adik Pramuka,
Kak Dwi, Sengkaling 16 Agustus 2016
(sumber, facebook Dwi Cahyono).