"AJI SAKA", BUKAN SOSOK PERDANA YANG KENALKAN AKSARA KE JAWA


 Selamat "Hari Aksara"

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog dan Sejarahwan Nusantara)

     Ayo bernyanyi hore!

     A, B, C, D, E, F, G

     H, I, J, K, L, M, N

     O, P, Q, R, S, T, U

     V, W, X, Y, Z

     Inilah ABCD

(lirik lagu "Lagu Alfabet”, NN)

A. Hanacaraka adalah Aksara Jawa "Baru"

Abjad "Ha na ca ra ka" merupakan aksara Jawa Baru. Oleh karena "baru" [pada konteks "aksara Jawa Baru"], maka abjad "Ha na ca ra ka" tentu bukan aksara Jawa yang terawal di Jawa. Ber- kenaan itu, Ajisaka yang dilegendakan sebagai "kreator abjad Ha na ca ra ka", dengan demikian bukanlah sosok yang pertama kali perkenalkan aksara kepada masyarakat Jawa. Legenda Ajisaka dalam kaitan dengan keaksaraan Jawa adalah legenda yang baru hadir pada era pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (tahun memerintah 1613-1645), padmana abjad "ha na ca ra ka" itu dicipta. Kisah tragis (sampyuh, mati bersama) dari dua orang ajar (murid) yang taat pada perintah guru yang menjadi latar lahirnya 20 aksara Jawa baru yang terbagi atas empat deret aksara tersebut ada- lah cerita rekaan, yang berfungsi sebagai alat bantu (semacam "jembatan keledai") untuk mudahkan pa- ra pembelajar awal mengenal aksara. Kendatipun demikian, konon masyarakat Jawa yakin bahwa peristiwa yang dikisahkan tersebut riil terjadi. Ada kemungkinan, Aji Saka ada nama samaran "sang kreator" aksara Jawa Baru "ha na ca Ra ka". 

Sebelum aksara "Ha na ca ra ka" diciptakan, telah terdapat aksara yang lebih awal (lebih kuno) di Jawa, yang disebuti dengan abjad "Jawa Kono", atau ada pula yang menamainya dengan aksara "Kawi (istilah Sanskreta "kavi" berarti "pujangga") atau "Abugida". Apabila menilik tata urutnya, bisa juga disebuti dengan aksara "ka kha ga gha ṅa". Aksara yang jumlah totalnya mencapai 47 huruf ini diadaptasi dari aksara Pallawa, yang mengalami evolusi paleografls dari abad ke abad, dari suatu kerajaan ke kerajaan lain pada kurun Masa Hindu- Buddha. Bahkan, mengalami "local development (perkembangan lokal)" di daerah- daerah tertentu sehingga menghadirkan "style local (corak setem- pat)", seperti aksara Semeru Selatan di akhir masa Majapahit. Terdapat juga gaya aksara semasa, seperti "aksara kwadrat" yang kedapatan hadir di era kerajaan Kadiri (Pangjalu) maupun pada era Warnadewawamsa di Bali dalam kurun waktu yang relatif sama (XIi - awal XIII Masehi)

Sebutan "aksara Pallawa" mulanya dipakai oleh arkeolog Belanda, Nicolaas Johannes Krom, ber- dasar asal aksaranya, yaitu dari Dinasti Pallava, yang berkuasa di selatan India (sekitar Madras) antara abad IV-IX  Masehi. Pallawa adalah aksara asing yang pertama kali memasuki Nusantara, dan se- lanjutnya dijadikan sebagai "patron aksara",  yang daripadanya lalu menurunkan aksara- aksara etnik di Nusantara, termasuk aksara Jawa Kuna. Sebenarnya, selain aksara Pallawa, terdapat aksara asal India yang juga hadir di Jawa, yaitu aksara Siddham (lengkapnya Siddhamātṛkā), nama aksara di India Utara untuk menuliskan bahasa Sanskerta. Aksara Siddham diturunkan dari aksara Brahmi via aksara Gupta, yang juga menurunkan aksara Dewa- nagari dan aksara-aksara-aksara Asia lainnya. Yang kedapat- an hadir esidental di Jawa pada "periode sisipan Buddhis" era Sailendrawamsa di Kerajaan Mataram dan era akhir Tumapel (Singhasari).lebih mengarah pada aksara Dewanagari. 

Aksara Jawa Baru (ha na ca ra ka) lebih reduktif dalam hal jumlah aksaranya bila dibanding dengan aksara Jawa Kuna, yaitu 20 : 47. Selain itu, dalam bentuk aksara, tergambar bahwa aksara Jawa Baru tidak memperlihatkan sebagai hasil perkembangan secara evolusioner aksara Pallawa. Dalam hal de- mikian, Aji Saka perlihatkan kontribusi perannya sebagai sosok yang memperkenalkan abjad "ha na ca ca ra ka" kepada masyarakat Jawa yang hidup pada masa Kasultanan Mataram. Aji Saka bukanlah sosok yang memperkenalkan aksara Jawa Kuna terhadap masyarakat Jawa di Masa Hindu-Buddha. Atau lebih tepat dikatakan bahwa Aji Saka adalah "sosok pembaharu' keaksaraan Jawa, dari aksara Jawa Kuna ke aksara Jawa Baru yang lebih sumple (jumlah lebih sedikit dari pada aksara Jawa Kuna), sehingga mudah dipelajari dan digunakan. 

B. Pendahulu Aji Saka Pemerkenal Aksara ke Jawa

1. Jejak Awal Aksara Jawa Kuna

Jika Aji Saka bukan sosok yang kali pertama mem- perkenalkan aksara pada masyarakat Jawa, lantas siapa sosok pertama itu? Sebelum membicarakan perihal itu, ada baiknya dibicarakan terlebih dahulu awal pemakaian Ksara Jawa Kuna. Untuk keperluan itu, dilakukan telisik terhadap sumber data epigrafi (prasasti) di Jawa. Sejauh telah diketemukan, pra- sasti tertua di Jawa yang mempergunakan aksara Jawa Kuna adalah : (1) prasasti Plumpungan atau disebut juga prasasti "Hampran" bertarikh Saja 672 (750 Masehi) ditemukan pada Desa Plumpungan di Salatiga, dan (2) Prasasti Dinoyo I atau disebut juga "Prasasti Kanjuruhan" berartikh Saka 682  (760 Ma- sehi) dari DAS Kali Metro di Malang sebagai prasas- ti tertua di Jawa Timur. 

Tergambarlah bahwa semenjak medio adad VIII Masehi aksara Jawa Kuna sudah mulai digunakan di dalam maklumat resmi kerajaan (prasasti), baik prasasti di Kerajaan Mataram ataupun prasasti Ke- rajaan Kanjuruhan. Kedua prasasti ini tak memakai aksara Pallawa seperti pada prasasti-prasasti yang lebih tua, yakni prasastii Yupa, prasasti Taruma, pra- sasti Sriwijaya ataupun prasasti dari awal kerajaan Mataram. Aksara Jawa Kuna yang dipakai adalah perkembangan paleografis secara adaptif evolusio- ner bercorak lokal Jawa atas aksara Pallawa, yang paling tidak telah mengawali pengaruhnya di antero Nusantara pada abad IV-V Masehi.

Kendatipun kedua prasasti itu (Plumpungan dan Kanjuruhan) telah menggunakan aksara lokal Jawa,   yakni Jawa Kuna, bukan Pallawa, namun bahasa yang dipergunakan masih merupakan bahasa asing (India), yaitu Bahasa Sanskreta. Prasasti di Jawa yang pertama kali memakai bahasa lokal Jawa, yai- tu bahasa Jawa Kuna, adalah Prasasti Sukabhumi atau Harinjimg A yang berartikh Saka Prasasti ini pertama kali dipahat pada tahun saka 726 atau 804 Masihi dari Kabupaten Kediri. Tergambar bahwa pro- ses "Jawansasi" dalam bidang aksara, yaitu adaptasi lokal terhadap aksara Pallawa ke dalam aksara Jawa Kuna berlangsung lebih awal setengah abad daripada dalam bidang bahasa. Adapun pada bidang bahasa, terjadi adaptasi lokal terhadap ba- hasa Sanskreta ke dalam bahasa Jawa Kuna. Kurun penggunaan aksara Jawa Kuna antata medio abad VIII hingga medio abad XVII Masehi (ketika mulai digunakan aksara Jawa Baru), yakni sembilan abad lamanya. 


2. Sosok Perdana Pemerkenal Aksara ke Jawa

Tidaklah mudah untuk dapat mengidentifikasi siapa sosok perdana yang kali pertama memperkenalkan aksara kepada manusia Jawa. Namun, bila menilik bahwa aksara Jawa Kuna diadaptasi pada sekitar abad VIII dari aksara Pallawa yang telah berpenga- ruh di Nusantara semenjak abad IV, maka sosok itu yang bukan tidak mungkin adalah "pembawa aksara Pallawa" dari India Selatan ke Nusantara. Jika benar tokoh itu dari Jambu Dwipa (sebutan arkais untuk "India"), lantas siapakah diriNya? Suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk menelisik ke lorong waktu 1,5 milenium lalu.

Saya jadi teringat pendapat yang disampaikan oleh R.M. Ng. Poerbatjaraka pada disertasinya "Agastya in den Archipel", 1926, bahwa peran kultural dari  Maharsi Agastya (murid atau pebhakta Siwa) tidak hanya berjasa dalam sebarkan pengaruh budaya Hindu dari India Utara ke India Selatan, namun oleh orang-orang yang tinggal di seberang sub-kontinen India -- termasuk pula di Nusantara -- diyakini telah  berjasa memperluas penyebarannya hingga "jauh di luar India". Demikian yakin akan jasa besarnya itu, sampqi-sampai di Asia Tenggara pada abad VII-IX Masehi terdapat pemujaan khusus yang ditujukan kepada Agastya (diistilahi dengan "Agastyapuja"),. misalnya di Kerajaan Kanjuruhan sebagaiman dibe- ritaian dalam Prasasti Dinoyo I (760 Masehi). 

Demikianlah secara mitologis Agastya diyakini se- bagai pembawa atau sosok awal yang perkenalkan anasir Budaya India -- termasuk di dalamnya buda- ya keaksaraan -- ke Jawa semenjak abad IV dan V Masehi. Dalam realitas sosial- budayanya, bisa jadi Agastya menggambarkan para Brahmin asal India Selatan, padamana aksara Pallawa hadir di dalam tradisi literalnya. Ada sejumlah unsur budaya dari India Selatan yang kedapatan berpengaruh di Jawa, baik  un- sur religi, organisasi sosial (sistem kasta dan varna), organisasi pemerintahan bersistem ka- rajyan (kerajaan), arsitektur serta Ikonografi,  sistem pertanggalan, dsb. Dapat difahami apabila  budaya India Selatan cukup kuat pengaruhnya di Nusantara, karena India Selatan adalah bagian sub-kontinen India (Asia Selatan) yang terdekat jaraknya dengan Nusantara. 


C. Tradisi Literal sebagai Pertanda Peradaban

Hampir semua etnik atau bahkan sub-etnik memiliki bahasa etniknya masing-masing. Namun tak semua etnik/sub-etnik yang memiliki bahasa etnik tersebut mempunyai aksara etniknya sendiri. Etnik Jawa mi- salnya, selain memiliki bahasa etnik (bahasa Jawa Kuna, Tengahan, dan Baru) juga mempunyai aksara etnik (aksara Jawa Kuna dan Baru). Ada pendapat yang menyatakan bahwa tradisi literal menjadi cer- min ketinggian budaya (baca "peradaban") suatu masyarakat. Bahkan, indikator mula sejarah di sua- tu tempat diindikatori oleh telah ditemukan sumber daya tekstual -- sebelum ditemukannya, masuk ke  dalam Zaman Prasejara (Nirlekha, nir = belum, dan lekha = aksara). 

Dalam hal "aksara" pada tradisi panjang keaksara- annya, manusia Jawa [pernah dan tengah] memiliki khasanah keaksaraan yang kaya dan beragam, an- tara lain : aksara Pallawa, Jawa Kuna, Jawa Baru, Dewanagari, aksara Kwadrat, aksara Arab  [terma- suk huruf Kufi Timur dan aksara Pegon], maupun aksara Latin [termasuk pula gaya penulisan "Gedrik Miring"] . Tradisi keadaraan di Jawa terbilang amat panjang (sekitar 1,5 milenium), paling tidak sejak abad V Masehi (aksara Pallawa pada prasasti keja- an Taruma) dan seterusnya hingga kini. Khasanah aksaranya yang demikian kaya serta beragam itu adalah aset kultural, yang bukan saja bermanfaat sebagai media komunikasi tekstual, namun juga bisa tradisikan menjadi giat seni kaligrafis pengha- lus jiwa. Ada pendapat bahwa gambaran kejiwaan (kepribadian) seseorang tergambar pada torehan aksara yang dituliskannya secara manual. 

Besyukurlah bahwa kebutaan aksara di Indonesia lambat laun kian berkurang, bahkan kini nyaris tidak ada orang yang buta huruf. Malahan, tidak sedikit seseorang memiliki kemampuan dalam dua hingga tiga aksara. Pada sisi lain, sayang sekali kemampu- an "menyurat aksara halus dan indah" kini banyak berkurang, seiring dengan ditiadakannya mata ajar "Nulis Alus (menulis halus)" di sekolahan. Padahal, menyurat aksara indah (kaligrafis, khot) di sejumlah negara-bangsa yang berpedaban maju (misal Cina, Jepang, Korea, Arab, India, dsb.) manjadi laku tradi- si peradaban yang getol dilestarikan hingga di era modern yang serba digital kini. Tersedianya perang- Kat bantu menyurat, mulai dari mesin ketik tangan (manual) hingga mesin ketik elektronik beserta me- nu pilihan banyak "fond aksara" yang disediakan, yang membuat banyak orang bisa menulis dengan rapi bahkan artistik, namun  bukan oleh "seni aksara hasta karya (karya seni tu lis manual)", melainkan "seni tulis mesin elektronik. 

Demikianlah serba-serbi keaksaraan Jawa dari per- spektif historis, yang sengaja saya dituliskan untuk memaknai "Hari Aksara Internasional", yang jatuh pada tanggal 8 September 2022..Semoga tulisan yang meski bersahaja ini membuahkan kefaedahan, palingtidak bisa menambah pengetahuan mengenai "Sejarah Aksara Jawa". Nuwun.

Sangkaling, 10 September 2022

Griyajar CITRALEKHA