NARASINGHADEWI, RELIEF ANTROPOMORFIS MANUSIA SETENGAH SINGA DI CANDI JAGO

SumberFoto : Dwi Cahyono

Kado "Ultah Arema", 11 Agustus 2022

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog - Sejarahwan Nusantara)

Makhluk mithologis ini digambarkan dalam wujud "antropomorfis", setengah manusia (nara) setengah pula binatang (singha). Indikator kebinatangannya tampak sangat jelas pada tepak kaki dan ekornya. Adapun mulai dari pusar, dada hingga kepalanya bercirikan manusia. Tidak diragukan bahwa jenis kelaminnya adalah wanita. Kepalanya mengenakan mahkota, dan lehernya berkalung (hara) bersusun dua, yang menandakan bahwa ia adalah seseorang dengan kelas sosial tinggi. Suatuseni pahat yang unik, yang cuma kedapatan di Candi Jajaghu. Apa dan siapa figur unik itu?

Relief tersebut terpahatkan di suatu panil pada te- ras II Candi Jajaghu (Jago), tepatnya di sisi utara depan, dekat dengan tangga penghubung teras I dan II. Meskipun keberadaannya dalam deretan panil-panil relief cerita "Parthayajna", numun bukan merupakan bagian atau salah satu adegan di dalam cerita tentang Partha (nama muda dari Arjuna) ini. Lantas, siapa gerangan sosok yang digambarkan sebagai manusia setengah singa berjenis kelamin wanita itu. Apakah dia adalah gambaran simbolik dari istri Narasinghamurti (partner raja Sminingrat atau Wisnuwarddhana dalam pemerintahan keraja- an Tumapel)? Sayang sekali, belum dapat diketahui dengan pasti. Benang merahnya, Candi Jago adalah pendharman dari Wisnuwarddhana, raja Tumapel era keemasan (golden periode) yang memegang tampuk kekuasaan bersama dengan Narasingha- murti, yang diibarati "dua naga satu liang". 

Pada Candi Jajaghu sebenarnya figur singa bukan hanya hadir pada relief Narasinghadewi ini. Ada pu- la relief besar berbentuk singa menoleh ke belang- kang, dengan ekor amat panjang dibentuk menjadi sulur-sulur gelung (recalcitrant). Terdapat juga relief yang menggambarkan sepasang singa dalam peran sebagai penjaga gapura. Uniknya, terdapat juga reli- ef yang menggambarkan dua ekor singa bertemu muka. Pertemuan dua kepala singa itu membentuk sebuah kepala, yaitu kepsla kala -- relief serupa juga didapati di batur Candi Jabung. Sementara itu, pada setiap pilaster (tiang semu) pada pojok-pohok kaki candi terdapat pahatan singa dalam posisi berdiri menyangga candi, yang pada candi-candi lainnya digambarkan dalam bentuk makhluk gana. 

Bisa difahami bila figur singa banyak hadir pada ikonografi yang berkenaan dengan jejak budaya daru kerajaan Tumapel. Mengingat bahwa ibu kota kerajaan (kadatwan) ini mempumyai unsur nama "singa", yaitu Singhasari. Begitu pula salah seorang pucuk pimpinan kerajaan Tumapel, partner dari raja Wisnuwarddhana (Smingrqt) memiliki abhisekana- ma "Narasinghamurti". Hingga kini pun toponimi berunsur "singa (singo)" masih digunakan di tlatah Malang, seperti tampak pada nama salah sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Malang, yaitu Ke- camatan "Singorasari" 

Malang yang pada masa berikutnya memiliki ikon singa, terkait dengan sebutan "Singo Edan (Ongis Nade)".Ternyatalah bahwa Malang Raya memiliki akar kesejarahan panjang tentang singa. Nah, se- nyampang jelang tanggal 11 Agustus, selaras de- ngan tulisan ini, disampaikan "selamat ulang tahun" buat para "Arema" ke-35, salam "Satu Jiwa". Malang sungguh-sungguh "Kota Singa". Demi melihat relief tertelaah ini, maka saya pun jadi teringat kepada "Aremanita"  Nuwun. 

Sangkaling, 10 Agustus 2022

Griyajar CITRALEKHA