BHAYANGKARA, MAKA DAN KESEJARAHAN : Pengawal Negara, Penegak Keamanan dan Ketertiban


Dirgahayu "Bhayangkara" ke-75 

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Sejarahwan Nusantara)

A. Arti dan Makna Sebutan "Bhayangkara"

Sebagaimana dalam Bahasa Sanskreta, pada Bahasa Jawa Kuna dan Tengahan pun terda- pat kebiasaan untuk merangkai lebih satu kata menjadi sebuah perkataan. Kata "bhaya" dan kata "angkara" misalnya dirangkai menjadi satu perkataan "bhayangkara (bhaya + angkara)". Secara harafiah, kata Sanskreta yang diserap ke dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan "bhaya" berarti : bahaya, takut, berbahaya, me- nakutkan (Zoetmulder, 1995: 116). Adapun kata yang berasal dari bahasa Sansekerta "angkara (varian sebutan "ahangkara" atau "ahengkara") dalam arti : konsep kepribadian seseorang, diri yang egoistik (salah satu tingkat dalam evolusi prakreti), egoisme, kebanggaan, congkak, som- bong, mementingkan diri sendiri, kebanggaan, dll; (juga dalam arti yang lebih baik) kepercaya- an pada diri sendiri, yakin, berarti (Zoetmulder, 1995: 15). Terkadang kata "angkara" digabung dengan murka" menjadi kata gabung "angkara murka". 

Selain pengartian diatas, yakni memenggal per- kataan "bhayangkara" menjadi kata "bhaya" dan "angkara", ada pula pengartian "bhayangkara" atau "bhayangkari" sebagai satu kesatuan kata, yang dalam bahasa Sanskreta berarti : hebat, mengetikan), dan pada serapan kedalam baha- sa Jawa Tengahan menunjuk pada : nama ke- satuan pengawal kerajaan (Zoetmulder, 1995: 117). Sebutan ini kedapatan di dalam kakawin Nagarakretagama (9.2, 18.5), Kidung Harsya- wijaya (1.36), kidung Wangbangwideya (3.122) serta Wangbangwideya (A) (3.141), kitab gan- caran Pararaton (bag. VIII) dan Purwadhigama (31.22). 

Pada kakawin Nagarakretagama (9.2), di dalam  konteks pemberitaan tentang deskripsi tentang bagian-bagian keruangan di lingkungan ibukota (kadatwan) Majapahit pada Wilwatikta, perihal bhayangkari disebut dalam kaitan dengan para pangreh praja yang silih berganti menghadap  sang raja :

     Begini keindahan lapangan watangan

         luas bagaikan tak terbatas

     Menteri, bangsawan, pembangu raja

         di Jawa, di deret paling muka

     Bhayangkari tingkat tinggi berjejal

         menyusul di deret yang kedua 

    (Muljana, 2016:343)

Tergambarlah bahwa Bhayangkari adalah salah satu unsur pangrehpraja, yakni prajurit penga- wal kerajaan. Dalam prosesi penghadapan itu, para Bhayangkari tingkat tinggi menempati de- ret paling muka dan di deret ke dua. Sebutan "bhayangkari" maupun "bhayangkara" dalam arti yang sama, bisa dipertukarkan, dan tidak terkait dengan jenis kelamin.

Pada pupuh 18.5, Bhayangkara disebut dalam konteks keberangkatan Hayam Wuruk beserta rombongan dalam tour de inspection ke Nagari Lamajang tahun Saka 1281 (1359 Masehi) :

     Kereta Sri Nata berhias emas dan ratna

          manikam paling belakang

     Jempana-jempana lainnya becadar

          belrdu, meluap gemerlap

     Rapat rampak prajurit pengiring 

          Jenggala Kadiri, Panglarang,

     Sedah, Bhayangkari gemruduk 

           berbondong-bondong naik gajah

           dan kuda 

     (Muljana, 2006: 351)

Dalam  bagian ini, Bhayangkari disebut sebagai prajurit pengiring atau pengawal Sri Nata (raja Hayam Wuruk). Yang pada perjalanan keliling ke Nagari Lamajang dan daerah-daerah sekitar- nya (kini pada Daerah Tapal Kuda) turut serta debgan mengendarai kuda.

Kata "bhayangkara" juga kedapatan sebagai salah satu kosa kata di dalam bahasa Indonesia, yang berarti : pangkat golongan tamtama di dalam kepolisian di bawah bintara, yang mencakupi bhayangkara utama satu, bhayangkara utama dua, bhayangkara utama muda, bhayangkara kepala, bhayangkara satu, dan bhayang- kara dua (KBBI, 2002). Adapun dalam sejarah POLRI (Kepolisian Negara Republik Indonesia) -- yang dikutip dari situs resmi polri.go.id tentang se- jarah POLRI, kata "Bhayangkara" memiliki asal- usul pada era Kerajaan Majapahit. Patih Gajah Mada merupakan anggota sekagus pimpinan pasukan pengamanan kerajaan, yang disebut "Bhayangkara". Pokok tugasmya  melindungi raja dan kerajaan Majapahit. 

Dalam artian diatas, bhaya dan angkara bukan sesuatu yang diinginkan. Bukan pula  kondisi yang hendak diwujudkan, apalagi dikukuhkan. Sebaliknya, merupakan sua-tu kondisi yang perlu disikapi, ditindaki, dan disirnakan, paling tidak diminimalkan. Prajurit bhayangkara dalam arti ini adalah perangkat pangrehpraja sebagai pengawal kerajaan atauoun raja untuk mengha- dapi dan mengatasi ke- bhaya-an (kebahayaan) dan atau keangkaran. Dengan pengharapan, ke- amanan dan keteraturan atau ketertiban sosial dapat nyata terwujud di tengah-tengah masya- rakat. Jadi, tujuan dharmmabhakti-nya bukan- lah ke-bhaya-an dan ke-angkara-an, melainkan untuk menciptakan, merawat atau mejaga kon- disi negara yang aman (keamanan) serta kete- raturan (ketertiban) kehidupan bermasyarakat.  


B. Kesejarahan Pasukan Bhayangkara

1. Cakupan Tugas Prajurit Bhayangkara

Sebagai antisipasi dan reaksi terhadap adanya bhaya dan angkara, semenjak dalu kala penye- lenggara pemerintahan di Jawa (kerajaan atau kasultanan) membentuk suatu pasukan, yang dinamai "Pasukan Bhayangkara". Pasukan ini mengemban tugas menciptakan dan menjaga keamanan di dalam negeri maupun menjamin keberlangsungan keteraturan (ketertiban) di masyarakat. Rasa aman adalah salah satu ke- butuhan dasar manusia. Oleh karena itu, kea- manan musti diciptakan, dikondisikan secara terus-menerus, serta dijaga keberadaannya. Ancaman terhadap keamanan negara dapat berasal dari dalam ataupun dari luar negara, bisa berupa an-caman oleh manusia maupun bencana alam. 

Hal lain yang terkait tugas kebhayangka- raan adalah menciptakan dan menjaga keteraturan atau ketertiban sosial (social order, dalam ba- hasa Sanskreta "rta")  Pada keyakinan lama di masa Hindu-Buddha,  penyebab terjadinya ke- rusakan bahkan kehancuran (pralaya) antara lain adalah adanya penyimpangan dari rta. Bila terjadi penyimpangan dari keteraturan, maka terjadi kekacauan (chaos), dan kekacauan itu menjadi penyebab kerusakan ataupun kehan- curan. Demi terciptanya keteraturan (ketertib- an), maka dibuatlah "tata aturan (law, hukum, peraturan). Untuk itulah, maka dibentuk prajurit bhayangkara, yang antara lain mengemban tu- gas m negakkan aturan -- dalam bahasa hukum diistilahi dengan "law enforcement". 


2. Prajurit Bhayangkara dalam Sumber Data Tekstual 

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, perihal Bhayangkara (varian sebutan "Bhayangkari)" diberitakandalam sumberdata susastra pada era Majapahit, baik yang berbentuk kakawin ataupun kidung. Ada kemungkinan, sebagai kesatuan pangrehpraja, prajurit bhayangkara baru hadir pada masa Majapahit. Yang terang telah kedapatan di masa pemerintahan Hayam Wuruk, sebagaimana disebut di dalam Kakawin Nagarakretagama (pupuh 9.2 dan 18.5). Bisa jadi, awal pembentukannya pada masa peme- rintahan rajaJayanegara. Perihal ini disebutkan sebanyak tiga kali di dalam susastra gancaran (prosa) Pararaton (bag. ViIII), yang menunjuk kepada pasukan pengawal Jajanegara, yang diberi sebutan pasukan "Bhayangkara". Kala itu Gajah Mada menjabat sebagi bekel (pimpinan regu) pada jajaran pasukan elit pengawal raja ini (Padmapuspita, 1966).

Jasa pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada dalam hal pengawalannya terhadap raja terbukti nyata pada peristiwa perlawanan Kuti. Tatkala pasukan Kuti berhasil menduduki ka- datwan (ibukota kerajaan) Majapahit, Gajah Mada beserta satu regu (15 orang pasukan) Bhayangkara pimpinannya berhasil selamatkan raja dengan mengungsikannya ke kediaman buyut Badander. Berkat pasukan Bhayangkara dan dukungan dari para menteri yang setia ke- pada raja serta pengikut buyut Badander, Kuti beserta pasukannya yang menduduki istana berhasil dikalahkan, bahkan Kuti pun tewas dalam serangan pengembalian raja ke tahtanya itu  Semenjak itu, posisi pasukan bhayangkara semakin diperhitungkan, terlebih setelah Gajah Mada mendapat balas jasa yakni dipromosikan sebagai Patih di Kahuripan mendampingi Rani Kahuripan Tribhuwanottunggadewi, kemudian menjadi patih di Daha sepeninggal Aryya Tilam pada tahun 1330 Masehi.

Meski harus bersaing dengan kelompok yang juga elit, yaitu dharmmaputra, yakni tujuh orang pejabat yang diistimewakan berkat jasa mere- ka terhadap Raden Wijaya, namun lambat lain pasukan Bhayangkara berhasil menempatkan dirinya sebagai padukan elit istana. Bukan ti- dak mungkin, Gajah Mada dan pasukan inilah  yang berada di balik suksesi berdarah dari raja Jayanegara ke ratu Tribhuwanottunggadewi, dimana Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara lebih memihak pada Tribhuwanotunggadewi. Posisi pasukan Bhayangkar kian moncer sejak  Gajah Mada diangkat menjadi patih Amangku- bhumi oleh Tribhuwanottunggadewi pada se- kitar tahun 1334 Masehi -- diberitakan pertama kali di dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Tribhuwanottunggadewi (tidak bertarikh, OJO LXXXIV). Oleh karena itu, dapat difahami bila di dalam gambaran Nagarakretagama (9.2 dan 18.5) diatas pasukan Bhayangkara terkesan sebagai padukan elit Majapahit pengawal raja. 

Fungsi pasukan Bhayangkara sebagai peniada bahaya (ancaman baik bagi raja dan kerajaan) mengingatkan kepada fungsi Dewa Ganesya sebagai "vicneswara". Sebagai pipmpinan dari para Gana, yakni prajurit Dewa Siwa, Ganesya mendapat sebutan "Ganapati atau Ganapatys (Gana + pati, kata "pati" menunjuk pada : pim- pinan pasukan)". Gajahmada yang pernah men- jadi pimpinan padukan Bhayangkara tersebut bisa diibaratkan dengan fungsi Ganesya seba- gai "vicneswara". Terkait dengan adanya pasu- kan peniada "bhaya (bahaya)" yang mengacam kerajaan, diperoleh gambaran bahwa pasukan serupa telah didapati embrionya pada masa pemerintahan Wisnuwardhana di Singhasari, dimana Narasinghamurti menjabat se- bagai "Patih Anggabhaya". Kata "bhaya" dalam sebut- an ini menunjuk pada pasukan handal yang dibentuk oleh kerajaan Singhasari dalam ke- rang politik "Cakrawalamandala Jawa" untuk menciptakan stabilitas dan integritas pemerin- tahan di Antero bhumi Jawa di bawah panji kemaharajaan Singhasari.


C. Prajurit Bhayangkara dalam Lintas Masa

Pasukan Bhayangkara embrionya bisa jadi telah ada sejak pemerintahan Wisnuwarddhana, di kerajaan Singhasari, dan lebih perlihatkan sosoknya di masa pemerintahan Jayanegara hingga Hayam Wuruk. Ternyata keberadaannya tak berhenti di masa Hindu-Buddha. Pasukan elit pengawal raja, sultan, ataupun Paspamres (Pasukan Pengawal Presi- den) kedapatan dari masa ke masa. Malahan yang menarik, sebut- an terhadap pasukan ini, yaitu " Bhayangkara", pada masa Kemerdekaan RI dijadikan sebagai sebutan terhadap POLRI dalam fungsinya sebagai "Bhayangkara Negara".

Apabila pada tingkat makro, yaitu pada lingkup negara terdapat "Pasukan Bhayangkara" seba- gai "pangreh projo", pada tingkat mikro, yaitu di lingkup desa, demi menghadapi bahaya itu da- huku pada desa-desa di  Jawa dalam jajaran perangkat desa (pangreh deso) terdapat apa yang dinamai dengan "jogoboyo" (kini disebut "Kaur Keamanan"). Sebutan lain untuknya adalah "Kepetengan", yang berkata dasar "peteng (gelap)". Pada sebut ini, kebahayaan diibarati sebagai "kondisi gelap", sehingga Jogoboyo (Kepetengan) merupakan petugas khusus yang menjadi koordinator untuk menjaga desa terha- dap kebahayaan di desanya menghadapi an- caman manusia (baik ancaman dari dalam ataupun dari luar desa) dan ancaman dari alam (yang berupa bencana alam). Pada perusahaan pun ada satuan keamanan serta ketertiban di  lingkup perusahannya, yang disebut SATPAM. 

Pendek kata, pada lingkungan apapun, baik makro ataupun mikro, fungsi ke-bhayangkaran dibutuhkan demi tercipta dan terpeliharanya keamanan dan ketertiban. Pada waktu yang bertepatan dengan "HARI BHAYANGKARA KE- 75 (1 Juli 1946 - 1 Juli 2021)", saya mengucap- kan "digahayu" pada POLRI, jayalah Bhayang- kara Indonesia. POLRI senantiasa siaga dalam menghadapi bhaya (beboyo) dan angkara demi mewujudkan, memelihara, dan menjaga keamanan negara maupun ketertiban masyarakat. Nuwun. 

Sangkaling, 1 Juli 2021

Griyajar CITRALEKHA