Susastra Kakawin Ramayana, Tonggak Waktu Awal Perpuisian Jawa Lama

 


Selamat "Hari Puisi Nasional" 28-4-21

SUSASTRA KAKAWIN RAMAYANA, TONGGAK WAKTU  AWAL PERPUISIAN JAWA LAMA

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Sejarahwan Nusantara)

 

     Dengan puisi aku bernyanyi

     Sampai senja umurku nanti

     Dengan puisi aku bercinta

     Dibatas cakrawala


     Dengan puisi aku mengenang

     Lama nian dia akan datang

     Dengan puisi aku menangis

     Jarum waktu bila kejam mengiris


     Dengan puisi aku mengutuk

     Nafas jaman yang busuk

     Dengan puisi aku berdo'a

     Perkenankanlah kiranya

(Lirik Lagu " Dengan Puisi Aku", oleh : Bimbo)

A. Susastra Berbentuk "Puisi Tertua" di Jawa

Secara garis besar, susastra pada lintas masa dikategorikan menjadi : (a) puisi dan (b) prosa. Kategorisasi dua yang demikian juga terdapat dalam susastra Jawa Lama pada Masa Hindu- Buddha. Susastra yang berjenis puisi berupa : (a) kakawin dan (b) kidung. Adapun yang ber- jenis prosa disebut dengan "gancaran". Kedua jenis suasatra tersebut hadir di Jawa pada Ma- sa Hindu-Buddha sejak pemerinrahan kerajaan Mataram di era Balitung (899-911 M.), ditandai dengan penterjemahan kitab "Ramayana" karya Walmiki dari bahasa Sanskreta ke dalam baha- sa Jawa Kuna. Kakawin Ramayana boleh dibi- lang sebagai "adikakawin" karena merupakan kakawin yang pertama, yang terpanjang, dan sekaligus yang terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa. 

Selain Ramayana dialihaksarakan (transkripsi) dan alihbahasakan (translasi) ke dalam aksa- ra dan bahasa lokal Jawa Kuna, dalam masa yang sama kakawin Ramayana dialihwahana- kan dari susastra tekstual ke dalam susastra visual dalam bentuk relief candi. Relief cerita "Ramayana" kedapatan dipahatkan pada pagar langkan sisi dalam candi induk Ciwa dan pada candi induk Brahma di kompleks percandian Prambanan. Adapun pagar langkan sisi dalam dari candi Wisnu dipahati dengan relief cerita "Kresnayana". Baik cerita "Ramayana" ataupun "Kresnayana" sama-sama ditokohi oleh awatara Dewa Wisnu, yaitu awatara dari Wisnu sebagai Rama dalam ceri-ta "Ramayana" serta awatara  Wisnu sebagai Kresna dalam cerita "Kresnaya- na". Hal ini serupa dengan yang terpahat pada candi yang lebih muda (medio abad XIV M), yaitu di  candi Penataran, dimana pada teras I dipahatkan relief cerita "Ramayana" -- tepatnya versi Bhatikawya yang berjudul "Ravanawadha", dan teras II dipahati relief cerita "Kresnayana". 

Pada konteks Masa Mataram, epos Ramayana hadir dalam bentuk susastra tekstual "kakawin Ramayana" dan susastra visual berupa "relief Ramayana", tepatnya di era pemerintahan raja Balitung (akhir abad IX hingga awal abad X M). Kakawin dan relief cerita. Ramayana itu hadir pada masa yang sama  Hal ini berbeda dengan susastra epik Kresnayana, dimana susastra vi- sualnya dalam bentuk relief candi hadir lebih awal daripada susastra tekstualnya yang ber-  bentuk "Kakawin Kresnayana," -- yang digubah, dialihaksarakan serta alihbahasakan ke dalam aksara dan bahasa Jawa Kuna oleh pu Triguna pada era pemerintahan Warsajaya di kerajaan Pangjalu (Kadiri) kurang lebih tahun 1104 M. Oleh karena itu maka waktu penulisan Kakawin Ramayana (permulaan abad X M) cukup alasan untuk dijadikan sebagai "momentum (tonggak waktu) mula" kesejarahan susastra Nusantara yang  berbentuk puisi". Semenjak itu dan masa- masa susudahnya hadirlah susastra Nusantara yang berjenis puisi, yaitu "kakawin". Bahkan ter- hitung sejak masa Majapahit hadir pula susas- tra Jawa lama berbentuk puisi lainnya, yaitu su- sastra "kidung". 


B. Perpuisian Jawa, dari Kakawin, Kidung hingga Macapat

Sebagai susastra yang benbentuk puisi, kaka- win adalah puisi yang dinyanyikan. Penyanyian dimungkinkan, karena  kakwin memiliki "guru laghu" sebagai petunjuk penyanyian. Guru la- ghu adalah panjang pendek suku kata dan pola mengenai selang-seling huruf hidup pada suku kata terakhir dari suatu tembang atau kakawin. Guru laghu terdiri atas : kata Sanskreta "guru", yang berarti : panjang, serta kata "laghu" yang ber- arti : pendek. Guru laghu yang merupakan bunyi vokal pada suku kata di akhir baris men- jadi aturan penting di dalam susastra kakawin (tembang). Sebagai suasastra brrbentuk puisi, kakawin merupakan susastra pengaruh budaya asing, yaitu susastra dari India. Kebanyakan ka- kawin di Nusantara mempergunakan bahasa "Jawa Kuna". Secara etimologis kata "kakawin" berasal dari istilah Sanskrit "jawi" yang berati : penyair', dan ditambahi afiks Jawa Kuna "-ka" dan "-an", yang menunjuk pada : karya seorang penyair, atau syair (puisi) karya penyair.

Hal itu berbeda dengan susastra kidung, yang merupakan susastra berbentuk puisi dan uga dapat dinyanyikan sebagai produk susastra asli Nusantara yang baru hadir di masa Majapahit dengan bahasa "Jawa Pertengahan". Bahkan, petunjuk penyanyian di dalam susastra kidung lebih rinci daripada kakawin. Oleh karena, sela- in memiliki "guru laghu" juga dilengkapi dengan "guru wilangan", yiatu jumlah suku kata setiap baris. Pada masa yang lebih muda lagi, yaitu di masa Kasultanan Mataram, hadirlah bentuk su-  sastra berbentuk puisi yang juga "dapat dinya- nyikan" berupa "Tambang Macapat". Susastra macapat inilah yang kini masih eksis di dalam kesuastra Jawa, termasuk tradisi pembacaan- nya secara periodik yang dinamai "mocopatan".  

Susastra berbentuk puisi yang dinamai "maca- pat" memiliki petunjuk penyanyian yang lebih kompleks. Selain miliki (a) guru laghu dan (b) guru wilangan, macapat juga dilperengkapi de- ngan (c)  "guru gatra",  yaitu banyaknya jumlah larik/baris dalam satu bait. Terkait dengan ki- dung, menurut P.J. Zoetmulder (1983) pembe- da utama antara kidung tembang tengahan dengan tembang macapat adalah dalam hal perangkaian bait menjadi pupuh .Macapat ada- lah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap baitnya memiliki baris kalimat yang disebut de- ngan "gatra", setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata yang disebut "guru wilangan" terten- tu, serta berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut "guru laghu". Biasanya kata "macapat" diartikan : maca papat-papat (membaca empat- empat), yaiitu : cara membaca terjalin tiap em- pat suku kata. Namun, ini bukan satu-satunya arti, karena pada prakteknya tidak semua tem- bang macapat bisa dinyanyikan empat-empat suku kata.


C. Perpuisian Jawa yang "Menyejarah"

Paparan ringkas di atas memberi kita gambar- an bahwa perpuisian Jawa memiliki perjalanan panjang. Paling tidak, telah menempuh kurun waktu lebih dari satu milenium (abad X hingga XXI M). Perpuisian Jawa lama menghadirkan khasanah susastra yang berupa : (a) kakawin, (b) kidung, maupun (c) macapat. Sayang seka- li pada masa sekarang susastra kakawin dan kidung tembang tengahan telah tidak dikenal. Berbeda halnya dengan di Bali, dimana kaka- win, kidung dan geguritan masih lestari seba- gau bagian dari kelengkapan ritual pada yad- nya Hindu. Selain macapat, di Jawa masa kini 

terdapat susastra dalam bentuk puisi berbaha- sa Jawa Baru, yang dinamai "geguritan". Ada pula syair Jawa lainnya, yang disebut "parikan", yaitu salah satu jenis puisi Jawa modern yang menyerupai pantun Melayu, baik dalam hal wu- jud spasial maupun pola rimanya. Susastra be- rupa geguritan yang berkembang dari tembang itu mempunyai beberapa bentuk yang berbeda. Dalam bentuk awal, geguritan berwujud nyanyi- an yang memiliki sanjak tertentu.

Susastra yang berbentuk puisi juga kedapatan dalam susastra-susastra etnik Nusantara lain- nya. Pada susatra Melayu misalnya, terdapat syair, pantun, karmina (pantun kilat atau pan- tun dua seuntai), seloka (pantun berkait atau pantun berantai, yang mempunyai beberapa bait saling sambung-menyambung, gurindam, dan talibun (puisi lama semacam pantun). De- mkianlah kilas paparan mengenai perpuisian Jawa, yang bukan saja telah menyejarah, na- mun sejakigus kaya serta beragam. Semoga tulisan yang meski ringkas dan bersahaja ini, yang sengaja ditulis dalam rangka "Hari Puisi Nasional" tanggal 28 April dapat memberikan kefaedahan Nuwun.

Sangkaling, 28 April 2021

Griyaja CITRALEKHA

(Sumber: M. Dwi Cahyono)