PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI AGRARIS NUSANTARA MASA HINDU-BUDDHA : Sistem Pertanian Sawah Jawa Era Swasembada

Ilustrasi : ukiran simbol prtanian
Oleh : M. Dwi Cahyono

Kalau ke kota esok pagi
sampaikan salam rinduku.
Katakan padanya,
padi-padi telah kembang.
Ani-ani seluas padang
Roda giling berputar -putar.
Siang malam,
tapi bukan kami punya.

Kalau ke kota esok pagi
sampaikan salam rinduku.
Katakan padanya,
tebu-tebu telah kembang.
Putih-putih seluas padang
Roda lori berputar-putar
Siang malam,
tapi bukan kami punya.

Anak-anak kini telah pandai
menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-byanyi bersama-sama
di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai
menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-nyanyi bersama-sama,
tapi bukan kami punya
tapi bukan kami punya
tapi bukan kami punya

Tanah pusaka tanah yang kaya
Tumpah darahku di sana kuberdiri
Di sana kumengabdi dan
mati dalam cinta yang suci

Kalau ke kota esok pagi
sampaikan salam rinduku.
Katakan padanya ,
nasi tumbuk telah masak.
Kan kutunggu sepanjang hari
Kita makan bersama-sama
berbincang-bincang
Di gubuk sudut dari desa
Di gubuk sudut dari desa
Di gubuk sudut dari desa

(Syair lagu "Salam Dari Desa", Leo Kristi)

A. Tradisi Bertani Sejak Zaman Prasejarah

Salah satu "mutiara" diantara "10 Mutiara [budaya] (Tien Punten)"--  yang menurut J.L. Brandes (1889) telah dimilik oleh manusia purba di Nusantara pra pengaruh budaya India adalah pertanian (agraris) yang beririgasi. Apabila enar demikian itu, tradisi bercocok tanam (bertani) telah riil hadir semenjak Zaman Prasejarah, berbareng dengan gelombang migrasi "Proto Malayu" di Masa Bercocok Tanam, dan semakin berkembang ketika memasuki Masa Perundagian. Dengan kata lain, tradisi bercocok tanan telah meniti perjalan sejarah amat panjang di negeri ini, dan syukur masih bertahan hingga kini meskipun dari waktu ke waktu semakin berkurang kwantitas petani, luasan lahanbpertanian, maupun jumlah produk pertaniannya.

Perangkat hidup yang berupa lumpang baru (stone mortar), yang masuk dalam artefak tradisi megalit, dengan fungsi sebagai alat penumbuk biji-bijian, termasuk biji padi, menjadi pembukti bahwasanya tanaman padi telah dibudidayakan sedari Zaman Prasejarah. Demikian pula, artfek berbentuk "watu dakon (batu berlubang beberapa buah, kelipatan 3, 6 ataupun 12), yang juga termasuk tradisi megalitik, berfungsi dalam kaitan dengan kegiatan bercocok tanam, khususnya untuk jenis pertanian tadah udan (tadah hujan), yaitu sebagai media hitung musim untuk mengawali masa tanam. Dengan demikian, dalam bentuk sederhana, perihal "pranoto mongso" kiranya telah dikenal pada Zaman Prasejarah dan kemudian lebih tersistematisasi  pada masa- masa sesudahnya.

Tradisi bercocok tanam di Zaman Prasejarah itu menjadi "modal internal orang Nusantara untuk mengembangkan pertaniannya labih maju, lebih produktif, dan labih masal ketika memasuki Masa Hindu-Buddha (awal tarikh Masehi hingga awal abad XVI Mesehi). Aset pengetahuan dan teknologi agraris itu boleh dibilang merupakan "aset kultural internal" manusia Nusantara, yang menghantarkan menjadi "Negeri Padi", yang konon "gemah-ripah lijinawi", dan "berswasembada" dalam hal bahan pangan. Jawa khususnya, pernah tampil ke muka sebagai "lumbung padi" Nusantara.

B. Tradisi Bercocok Tanam Masa Hindu- Buddha
1. Jawa, Pulau "Kaya Padi" pada Masa Lalu

Gambaran bahwa dwipa Jawa (Jawa Dwipa, Pulau Jawa) sebagai "pulau kaya padi" dijumpai di dalam prasasti berbahan batu andesit (linggoprasasti), yaitu Canggal, yang ketika ditemukan pecah dua bagian. Pecahan yang kecil didapati di halaman candi Gunung Wukir, dan yang besar ditemukan di desa Canggal di bawah bukit Wukir. Pada prasasti yang disimpan di Museum Nasional Jakarta (No. Inv. D. 4.) dengan angka tahun dituliskan dalam candrasangkala "sruti indria rasa" dan angka 654 Saka (732 Masehi), pada bait ke-7 -- dari 12 bait teksnya -- memuat berita :
       Tersebutlah sebuah pulau indah bernama
       Yava yang tidak tertandingi oleh yang lain,
       yang memiliki biji-bijian berlimpah seperti
       padi dan lainnya, yang terdapat tambang
       emas yang dimiliki oleh para deva.
       (Poerbatjaraka, 1961).
Pulau Jawa digambarkan sebagai amat kaya dan makmur, menghasilkan tambang emas dan padi yang melimpah. Pulau Jawa penuh dengan tempat pemujaan suci, dan utamanya  pemujaan Lingga diatas bukit Stirangga pada tempat yang amat mulia di Kuñjarakuñja pada era pemerintahan raja Sanjaya.

Sebenarnya, jejak arkeologis yang lebih tua telah didapati pada situs Batujaya di daerah Kerawang -- suatu daerah yang konon amat kesohor sebagai "lumbung padi"-nya Jawa Barat. Terbukti dengan terdapatnya kulit padi (sekam) yang dipergunakan sebagai tamper (bahan campur) dalam pembuatan bata -- selain bahan campuran tambah yang berupa pasir (Djakfar, 2010: 77). Ada indikasi bahwa situs Batujaya dibangun di masa kerajaan Taruma dalam dua fase, yaitu :  (1) fase pembangunan pertama pada abad VI-ViI, dan (2) fase pembangunan kedua pada abad VIII- X (pendudukan Tarumanagara oleh kerajaan Sriwijaya). Perihal itu memperkuat tafsir bahwa pada era kerajaan Tarumanega pencaharian agraris telah cukup berkembang  Oleh karena itu, ada kemungkinan penggalian kali Gomati maupun Candrabag yang diberitakan di prasasti Tugu, selain (a) berfungsi sebagai drainase, juga (b) berfungsi irigasi untuk kepentingan pertanian.

Pada prasasti-prasasti masa berikutnya, khususnya sejak era Balitung (899– 911 M.), menyebut adanya anugerah (waranugraga) "tanah sima (perdikan)", yang berupa areal persawahan cukup luas. Hal itu menjadi petunjuk bahwa dalam peradaban Jawa pertanian merupakan pencaharian pokok. Oleh karena itu pula, maka sebutan untuk desa, yang pada sebelum medio abad XI M..dinamai "Wanua (Wanua)", maka terhitung sejak era kerajaan Kadiri (1049-1222 Masehi) dan seterusnya lazim dinamai "thani" -- bagian yang lebih kecil darinya dinamai "anak thani (serupa "dusun" atau "dukuh" sekarang)". Yang utama diantara sejumlah anak thani di suatu desa (thani) diistilahi dengan "dalem thani (serupa dengan yang kini dibanamai "dusun krajan"). Hal itu memberikan gambaran bahwa pada Masa Hindu- Vuddha pertanian dijadikan sebagai "pilar ekonomi pedesaan". Relief-relief candi pun tidak sedikit yang memvisualkan mengenai persawahan. Misal, relief asal Candi Minak Jinggo di Trowulan, gambarkan lanskap pedesaan, yang menampakkan adanya areal persawahan. Bukkti lainnya adalah adanya
Ritus pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai "Dewi Padi".

2  Jenis Lahan Pertanian Masa Hindu-Buddha

Sebagai pulau yang berada di "Ring of Fire", Jawa yang merupakan kawasan vulkanik dan beriklim tropis serta memiliki bantak sumber air dan sungai terbilang memiliki tanah yang subur. Demikian suburnya, hingga Koes Plus di dalam album volume VIII tahun 1973, yaitu pada lagu " Kolam Susu" baratkan kesuburan Nusantara dengan "..... tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Dimanapun batang tananman  ditancapkan, maka di situlah tumbuh pohon  yang memberi kefaedahan. Pada dasarnya, hampir semua tempat yang terdapat di Jawa memungkinkan untuk pembiayaan tanaman, namun perlu ketepatan jenis tanaman yang dibudidayakan dengan kondisi serta model pengerjaan tabahnya. Ada tiga model yang secara turun-rltemurun diterapkan di Jawa, yaitu : (a) bersawah, (b) berladang, dan (c) berkebun. Dengan demikian, terdapat tiga macam lahan pertanian, yaitu : (1) sawah, (2) ladang (tegal), dan (3) kebun. Lahan bertani itu dikelola secara : (a) intensifikasu, ataupun (b) ekstensifikasi.  Ekstensifikasi pertanian  antara lain dilaksanaan dengan melengkapi lahan pertanian dengan instalasi air sebagai "sarana pengairan (irigasi)", sehingga lahan pertanian itu masuk dalam kategori "lahan basah (wet field) ", yang berupa sawah.  Hal itu berbeda dengan ladang dan kebun, yang cenderung berupa lahan kering (dray field).

2.1. Persawahan Masa Hindu-Buddha

Istilah "sawah" di dalam bahasa  Indonesia menunjuk kepada : tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi (KBBI, 2002:1004). Kata "sawah" kedapatan dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, dalam arti yang sama. Istilah ini telah kedapatan dalam Udyogaparwa (51) -- salah sebuah diantara 18 parwa (hastadasaparwa) dari wiracarita Mahabharatta-- yang digubah dalam bentuk prosa berbahasa Jawa Kuna pada akhir abad  X M. pada era pemerintahan Dhammavamsa Tguh (991- 1016  M). Terdapat sejumlah kata jadian yang berkenaan dengan sawah, seperti "[m]asawah, asawa-sawah (bekerja di sawah, beratanam padi di sawah), serta pasawahan (persawahan) (Zoetmulder, 1995:1058). Bisa dikatakan bahwa sawah merupakan bentang area yang produktif, tampat padamana mata pencaharian waga pedesaan dilangsungkan.

Selain disebut dalam susastra, perihal sawah banyak diberitakan oleh prasasti, khususnya sejak era Balitung (899– 911 M.), berkenaan dengan penetapan sebidang sawah sebagai "tanah perdikan (sima)". Ada kalanya, untuk kepentingan itu  dilakukanlah  pembelian sawah dan tanah pagagan. Misal, prasasti Paradah II (943 M ) dari era Sindok (Isana) memberitakan mengenai pembelian sawah dan "pagagan" di Taging pada Desa Paradah sebagai tindakkan  amal Sang Sluk (i punya sang Sluk) guna dijadikan sebagai "sima" dan persembahan kepada Sang Hyang Kamulan. Dalam kaitan itu, ada sebutan "sima sawah".  Selain sawah untuk tanah sima, tanah tegal bisa juga dijadikan sebagai semacam "tanah wakaf" untuk mendirikan bangunan  suci. Hal demikian diberitakan oleh Prasasti Turyyan (929 M.) mengenai penetapan tanah tegalan pada sebelah barat sungai untuk mendirikan bangunan suci.

Ada sawah yang disebut menurut jenis padi yang ditanamnya. Misalnya, bila jenis padi itu adalah "gaga", maka sebutan baginya adalah "sawah pagagan".atau hanya disebut dengan " pagagan" saja. Sebutan ini banyak didapati di berbagai prasasti, yang menjadi petunjuk bahwa konon padi gogo banyak dibudayakan pada masa Hindu-Buddha. Kakawin Nahara- kretagama (88.3) misalnya menyebut kalimat "mukhya nikang gaga sawah asing tinandur ika". Jenis padi gaga memungkinkan untuk ditanam pada, sawah tadah hujan (disebut juga "sawah beran", yakni sawah yang kurang produktif, yang keadaan pencairannya kurang teratur). Kata "gaga" di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan dalam arti :sawah tanpa irigasi, padi tumbuh di tegalan (Zoetmulder, 1999: 263), dengan kata jadian "agama (padi yang tumbuh di tegalan, bekerja di sawah tanpa irigasi), pagagan (sawah-sawah tanpa irigasi)". Padi jenis ini dibudidayakan di lahan kering atau pada daerah yang bercurah hujan rendah, bahkan di bagian teratas dari suatu daerah berlereng yang tidak/kurang mampu menampung air relatif lama. Sawah berada di punggung bukit (geger) misalnya disebut di dalam kitab Lubhdaka (2.6) "..... gegar-geger pasawahanyakrep".

Apabila padi yang ditanam adalah padi ketan, maka sebutan kuno uhtuknya adalah "sawah katetikan", seperti diberitakan dalam prasasti Hanjuk Ladang (937 M) , prasasti Cinggrang (929 M.) yang mentebut kata " ketik",maupun prasast Hering (i934) dan Anjukladang  (937 M.) yang menyebut "sawah kaketikan"  Kata jadian "kaketikan" -- kata dasar (lingga)-nya "ketik" -- mengingatkan kita kepada "wajik klethik", yang dibuat dari beras ketan. Kata "katan" sebagai salah satu jenis pafi-padian telah disebut si dalam susastra Arjunawijaya (31.11),  yang dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan dodol dan wajik "......dodol, wajik sok ketan". Variin sebutannya "laketan", yang menunjuk kepada : beras pulut (Zoetmulder, 1995: 558), sebagaimana disebut di dalam  kakawin Ramayana (17.112, 26.25). Ada tiga macan beras ketan berdasarkan warnanya, yaitu ketan putih, merah dan hitam. Ada juga  "sawah pakarungan (belum bisa diidentifikasi
jenusnya) di Pamuatan, yang disebut  dalam prasasti Cunggrang (929 M.).

Pada masa lampau, desa pertanian dikelilingi oleh -persawahan. Relief lanskap asal Candi Minak Jinggo di Trowulan misalnya, dengan jelas menggambarkan perkampungan yang berada di "kantong" areal pertanian luas. Oleh sebab itu, pada masa lalu lokasi permukiman tak berada di tepi jalan, melainkan masuk ke dalam melintasi areal persawahan yang bisa  diakses lewat jalan desa sebagai percabang- an dari jalan poros. Demikian pula hubungan antar anak desa (anak wanua/thani) di suatu desa terhubung pula oleh jalan-jalan desa yang melintasi areal persawahan. Diantara anak-anak thani di  suatu thani terdapat anak thani utama +dalem thani (bahasa Jawa Baru "krajan"). Pada umumnya, model persebaran anak-anak wanua (thani) di dalam suatu desa berpola "manca lima" dengan formula "4+1", dimana sentrum ditempati oleh dalem thani.

2 2. Ladang (Tgal) Masa Hindu-Buddha

Tegal (sebutan lainnya "ladang dan huma") adalah lahan pertanian kering yang ditanami tanaman musiman atau tahunan seperti padi ladang, palawija (hortikultura), dan letaknya terpisah dengan halaman di sekitar rumah tinggal. Acapkali tegal berupa tanah luas dan serta rata, yang dipergunakan untuk budidaya tanaman tanpa sistem irigasi --  bergantung pada hujan. Istilah ini telah kedapatan dalam bahasa Jawa  Kuna dan Tengahan, dengan penulisan "tgal" atau "tegal", yang berarti : lapangan terbuka, ladang yang tidak diari (Zoeuldet, 1995:1229). Pada kitab Adiparwa (49) disebut adanya Tegal yang berada di tepi asrama "hanacsira wiku kapamggih ing tegal ri tepi ning asrama". Pada umumnya, tegalan adalah tabah yang terbuka, tnpa nanungan. Meski demikian, ada kalanya ditanah tegalan tumbuh tananaman peneduh, seperti beringin (groda) dan wudi (jenis pohon bodhi -- misal wudi jajar) ditanam berjajar, seperti disrebut dalam kitab Calon Arang (@36) "........... henu ikang kategalan tinaneman groda mwang wudi jinajar-jajar nira"

Ladang baru bisa dibuka dengan menebangi pohon hutan menjadi ladang baru. Kakawin Nagarakretagama (82.2) memberitakan ten- tang pembuatan ladang luas pada sejumlah tempat, yang dilakukan dengan membuka hutan di Sagala, Surabaya, Pasuruan, Pajang dan di Tihawangi. Lahan bukaan di Tihawangi dan Surabaya itu diperlengkapi degan sarana gasi, sehingga dapat dijadikan sebagai lahan untuk mtnsnsm padi.
        Sang Nata Singhasari membuka ladang
               luas di daerah Sagala
        Sri Nata Wengker membuka hutan
               Surabaya, Pasuruan, Pajang
        Mendirikan perdikan Budha di Rawi,
                Locanapura, Kapulunfan
       Baginda sendiri membuka ladang Watsari
               di Tigawangi
      (Slamet mulyana, 1979:314).
Bahwa lahan di Tihawangi itu digunakan bagi kepentingan pembudayaan tanaman terbukti oleh adanya relief di dinding candi perwara Tigawang, yang menggambarkan sesorang tengah memikul hasil bumi
.
Kegiatan membuka hutan (istilah Jawa Baru "babad alas") untuk membuat sawah, tegal ataupun kebun acap dilakukan di masa lalu dalam rangka ekstensifikasi pertanian. Selain tergambar pada Nagarakretagama (82.2) itu, prasasti Gulung-gulung (berasal  dariLokjati Kecamatan Singosari) beratarikh Saka 851 (929 M.) pada era pemerintahan Pu Sindok (Sri Isana) memberitakan tentang pembuatan sawah baru, yang dibuka pada areal hutan di Bantaran (alas ing Bantaran). Sawah baru itu dimaksudkan sebagai "tanah wakaf" berupa "sima-sawah) untuk pembiayaan ritus pada bangunan suci (mahaprasada) di Himad dan ritus tahunan di kahyangan Pangawan ketika tiba equinox (posisi edar matahari tepat di garis katulistiwa pada setiap bulan Maret dan September). Sima-sawah itu berada di dalam watak (watek) Hujung, yang diperintah oleh Rakryan Hujung.

2.3. Kebun (Kubwan) Masa Hindu-Buddha

Kata "kebun" dalam bahasa Indonesia adalah istilah serapan dari istilah berbahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, yaitu "kubu". Kata jadiannya "kubwan" atau "kebon" (Zoetmulder, 1995: 525). Istilah ini kedapatan dalam kitab Brahmandapurana (111), Bhomakawya (40. 3), Sutasoma (9.3), Lubhdaka (2.6), maupun Tantupenggekaran (70). Ada juga kebun yang berukuran luas, yang dinamai "kebon agung (kubwan hageng)".Acap pula ada penamaan untuk kebun berdasar padaa tanaman yang dibudidayakan. Misal, kebon kacang (disebut singkat  dengan "pakacangan"), kebon nanas (nsnasan), kebon mangga (pohpohan), dsb. Apabila kebun itu milik raja, maka sebutannya "kebon raja (bonrojo) ", yang biasanya berada di lingkungan pusat pemerintahan, berupa taman asri yang diperelok oleh benungaan, kolam, hewan peliharaan dsb., sehingga acap dinamai "kusuma wicitra (kebun bunga)".

Diantara lahan perkebunan, ada kebun yang dibuka di areal tepian hutan -- dalam sebutan sekarang "kebun thethelan". Kebun demikian konon disebut "talun", yang secara harafiah berarti : kebun baru di tepi hutan (Zoetmulder, 1995: 1188). Misalnya, talun yang berada di tepian hutan Patangtangan -- sebutan hutan "Patangtangan" tercantum dalam Pararaton, yang kini berubah nama jadi "Kayu Tangan"  Kebun baru itu berada di suatu kampung yang masih bernama "Talun", pada bilangan tengah Kota Malang. Pada sejmlah daerah, nama atau unsur nama "talun" masih sering didapati baik sebagai nama kampung, dusun (dukuh), desa, bahkan nama kecamatan. Hal ini menjadi petunjuk bahwa konon daerah itu berada di tepian hutan. Warga yang tinggal di  tepi hutan dulu lazim diaebut "orang (wonng, wwang) Kalang", yang mata pencahariannya mengeksplorasi hasil hutan, berkebun, dan berternak -- acap beternak kerbau, sehingga ada sebutan "kandang Kalang".

3. Pelaku Kegiatan Bercocok Tanam

Pelaku kegiatan bercocok tanam (bertani) adalah "petani". Orang yang perjerjaannya bertani, karena itu di dalam bahasa bahasa Jawa Baru disebut "wong tani" atau disebut juga "among tani". Kata " tani" telah terdapat di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yaitu "thani" -- diserap dari bahasa Sanskerta "sthanin", yang secara harafiah berarti : kekal, abadi, tetap, tempat, daerah, kota atau desa luas, orang desa/dusun, desa, dusun, kam- pung, daerah pedalaman (lawan dari kota), atau ladang (yang diolah serta ditanami) (Zoetmulder, 1995: 1201). Kata jadiannya " athani (dari pedusunan, orang desa, dengan dusun-dusun, luar kota), atatanen (bertani). Kitab Pararaton (1) menyebut kaitan antara kegiatan bertani dengan sawah "anulahaken atatanen maring sawah".

Istilah "thani" di masa lalu tidak hanya dipakai untuk menyebut mata pencaharian bercocok tanam dan para pelakunya, namun juga untuk menamai desa. Mulanya (sebelum abad XI- XIII) desa disebut dengan "wanua (wanua)", dengan satuan administratif yang lebih kecil dalam suatu wanua dinamai "anak wanua". Namun, sejak era kerajaan Kadiri (1049-1222 M) dinamai "thani", dengan satuan yang lebih kecil dalam suatu thani dinamai "anak thani". Humlahnya bervariasi -- umumnya menurut formula " 4+1 (manca lima)". Anak thani yang utama diantaranya dinamai "dalem thani (kini disebut "dusun krajan"). Desa pertanian acap disebut "patanen (varian sebutannyang lebih muda "petanen, ketanen", atau "tanen" saja). Demikian pula kompleks rumah warga desa disebut "thanean", yang di Madura dinamai "tanean lajeng". Sebutan kuno untuk kepala desa adalah "rama (varian sebutannya "rama ni dusun"), dan strinya dinana "rena".

Para pelaku kegiatan agraris di dalam bahasa Indonesia disebut "petani", dan dalam bahasa Jawa Baru disebut "wong tani" atau "among tani". Mereka orang yang bekerja bercocok tanam di lahan miliknya sendiri, atau cuma sebagai buruh di lahan milik orang lain --  oleh karena itu disebut "buruh tani". Kalaupun ia punya lahan sendiri, tidaklah selalu berukuran luas, dan sebaiknya hanya terbatas, sehingga masuk dalam kategori "petani kecil (petani gurem)". Meski "kecil", namun karena jumlah mereka banyak dan adanya rasa persudaraan antar petani (sedulur tani), maka kaum tani merupakab sumber kekuatan besar, menjadi roda pemutar dinamika pedesaan.. Kekuatan itu pada masa Hindu-Buddha termasuk juga " kekuatan militer", sebagaimana tergambar pada sebutan "thani bela (bisa juga disebut "bala thani", yang memunjuk pada : pasukan biasa, prajurit rendahan (Zoetmulder, 1995: 1201), yang boleh jadi merupakan kontribusi kemiliteran dari kaum tani. Itulah sebabnya mengapa sejumlah prasasti memberitakan mengenai anugerah "sima" bagi warga desa lantaran berjasa membantu raja memperoleh kemenangan.

4. Tahapan Kerja dalam Ptoses Bersawah

Bercocok tanam merupakan proses budidaya tanaman dalam suatu kurun waktu,. Bentang kegiatan diawal dari menanam dan berakhir dengan memanen. Diantara dua titik bentang itu ada kegiatan menyanyi. Pada cara bertani sekarang, selain menyiangi ada kegiatan lain, yaitu pemupukan dan pemberantasan hama tanaman. Kegiatan yang paling sibuk adalah di tahap awal, yaitu menanam (tandur), dan di tahap akhir, yakni memanen (panen). Waktu jeda diantara dua tahap tersebut tak sesibuk keduanya, sehingga memungkinkan petani untuk melakukan pekerjaan lain-lain, seperti beternak, merahin, menukang, dsb. Dengan demikian, sesungguhnya Waga desa tidak hanya memiliki pekerjaan tinggal (singgle economic), namun dimungkinkan memiliki pekerjaan ganda (bi-economuc), malahan ada yang mempunyai beberapa pekerjaan sekaligus (poly-econnomic). Para petani yang tinggal tidak jauh dari laut, memanfaatkan waktu antara tanam dan panen itu dengan melaut, sehingga pekerjaannya diistilahi  dengan "mina-tani'.

Oleh karena tanaman yang dibudidayakan itu ditanam pada pemukaan tanah (baca "lahan pertanian"), maka kegiatan terawal adalah mengolah tanah (molah lemah, pada bahasa Jawa Baru ada sebutan "nggulo wenthah"). Konon aktifitas pengolahan tanah itu berupa : mencangkul tanah (Jawa Baru "macul"), membajak tanah (Jawa Kuna dan Tengahan "amaluku, amiluku atau amuluku"), menugal (Jawa Baru "nggejig"). Pada tanah kebun dan tegalan, setelah tanah diolah -- umumnya di akhir musim penghujan, tanaman langsung bisa disemai. Adapun di areal persawahan, sebelum kegiatan tanam (tandur) dilakukan, terlebih dulu dilakukan penggenangan tanah dengan air irigasi (ngelepi). Membajak sawah dilakukan ketika tanah dalam kondisi basah hingga berlumpur. Tidak lama sesudah itu, dilakukan penyemaian benih padi, yang pada bahasa Jawa Kuna dan Tengahan dinamai "angurit", yaitu  : menanam bibit padi (bulir- bulir dalam tanah persemaian) (Zoetmulder, 1995: 1349). Misalnya, kakawin Arjunawijaya (22.5) menyebut ".... wwang makaryanggaru hana mangurit mwang tikang wahu atandur".

Aktifitas menanam semaian padi di dalam bahasa Jawa Baru disebut "tandur", yang di dalam Bahasa Jawa Kuna dan Tengahan disebut "atandur, anandur, atau tinandur".
Kata dasarnya adalah "tandur". Istilah ini juga digunakan untuk menyebut penananan kayu keras (pohon tegalan), seperti disebut pada kakawin Hariwangsa (2.11) "............... kayu kalpapuspa  .,.. tinandur ing natar". Tanaman yang tumbuh karena dinanam oleh karenanya dinamai "tanduran". Varian sebutan darinya adalah "tanem (bahasa Indonesia " tanam"), dengan kata jadian "ananem atau tinanem (menanam)". Adapun tanaman yang ditanam dan kemudian menancap kuat di dalam tanah dinamai 'taneman", jamaknya adalah "tanem- taneman" (Zoetmulder, 1995: 1201). Untuk jenis sawah tadah hujan, aktifitas menanam padi dilakukan di penghujung musim hujan, agar benih padi tertanam itu tumbuh (tuwuh) tanpa harus disirami, karena masih terkena guyuran hujan dan ketika tanah masih dalam kondisi basah.

Ketika tanaman sudah mulai tumbuh, maka kesibukan di lahan pertanian pun berkurang, sehingga petani memiliki cukup waktu untuk melakukan pekerjaan lain srlain bercocok tanam. Kalaupun ada kegiatan yang berkait dengan tanaman budidaya, berupa aktifitas penyiangan, yang telah cukup untuk ditangani oleh petani perempuan dan anak-anak petani. Disamping penyiangan, kini pada jeda antara tanam dan panen dilakukan pemupukan dan pemranrasan hama, yang pada masa lampau bukan merupakan suatu prioritas. Kesibukan pun meningkat jelang memasuki masa panen ketika bulir-bulir padi mulai terisi, yakni fase siaga bahkan perang melawan hama tikus dan burung. Saatnya "den-den sawah" mulai beraksi. Relief pada Candi Borobudur dengan jelas menggambarkan tentang serangan dari hama tikus terhadap padi yang mulai masa. Terhadap itu, secara bersama-sama petani melakukan pemberatan tikus, dengan apa yang konon disebut "grapyokan tikus".

Puncak dari proses penbudidayaan tanaman adalah tibanya "waktu panen". Suami, istri, anak-anak dan saudara ranai-ramai pergi ke sawah untuk menuai (bahasa Jawa Baru " derep") padi. Kemungkinan istilah "panen" merupakan kata jadian dari "pani+an". Kata dasar "pani" pada sebutan ini dipinjam dari nama jenis pohon yang buah darinya dapat dimakan (bahasa Latin-nya "Pangium edule") (Zoetmulder, 1995: 749). Sejalan itu, panen adalah waktu dimana buah padi telah tiba saatnya untuk dituai, kemudia dimasak dan dimakan. Dengan mempergunakan ani-ani, tangkai padi yang berbuahkan bulir-bulir padi menguning masak dipotong dari batangnya. Dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan tak didapati kata ulang "ani-ani" untuk menyebut alat pemotong tangkai padi, karena mungkin terdapat sebutan lain  Memang, ada istilah "ani", namun menunjuk kepada  : semut jenis khusus (Zoetmulder, 1995; 39). Selah tangkai
berbuah dituai, pekerjaan selanjutnya adalah memotong batang padi tersisa menggunakan sabit (arit). Batang padi terpotong ini dinamai "damen (dami+an").  Setelah damen-damen terkumpul i tu kering lalu dibakar. Terkait itu, kitab Uttarakanda (78) menyebut perkataan "anunwi dami (membakar jerami). Sebagian lainnya dibawa pulang untuk makanan ternak atau sebaagai bahan bagi pembuatan atap.

Kegiatan panen (derep) acapkalu melibatkan banyak orang, yakni anggota kekyatga luas dan para tetangga. Keterlibatan mereka pada kegiatan ini mendapat semacam upah kerja, yang di dalam bahasa Jawa Baru diistilahi dengan "bawonan". Istilah itu berasal dari kata  Jawa Kuna dan Tengahan "bawa" yang berarti : membawa (Zoetmulder, 1995: 115), dengan kata jadian "bawa+an (bawan) ", dan kemudian berubah sebutan menjadi " bawon, atau bawonan (bawon+an) ". Terkandung arti bahwa siapa yang terlubat dalam kegiatan pngn itu mendapat semacam "upah kerja" untuk dibawanya pulang.

Selain aktifitas yang bersifat teknis agraris itu, ada beberapa aktifitas relugis berkenaan dengan pertanian. Pada tradisi Jawa terdapat upacara "wiwit" atau "barikan" ketika memulai tanam. Kata Jawa Kuna dan Tengahan "wwit" antara lain berarti : awal, mulai (Zoetmulder, 1995: 1481), yang pada konteks ini berarti : memulai atau mengawali proses budidaya tanaman. Ritus pertanian yang lainnya adalah pemujaan kepada Dewi Sri (sebutan di Bali adalah "Sang Hyang Sri" dan di Sunda "Nyi Pohaji Sang Hyang Sri") atau menggunakan media upacara berupa arca batu atau logam (umumnya perunggu) yang berwujud Dewi Sri. Media upacara lain untuk ritus kesuburan adalah miniatur  lumbung batu dan Lungga- Yoni, yang ditempatkan di areal persawahan. Bahkan, di Bali terdapat tempat peribadatan (baca "pura") khusus untuk kepentingan per- tanian. Lahan pertanian dalam bentuk lalahan basah (wet field) memiliki tempat pemujaan yang disebut "pura empelan", seperti : pura subak, pura Bedugul, pura Ulun Carik, pura Masceti, pura Ulun Siwi dan pura Ulun Danu.
Untuk Lahab kering (dray field) antara lain terdapat pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini, dsb.

Upacara pertanian sebagai tanda syukur juga dilakukan pada pasca panen (upacara lepas panen), yang di Jawa dilaksanakan dengan mengarak "temanten pari (pengantin padi)", yang menggambarkan pasangan Dewi Sri dan Dewa Sedono. Acap pula arca Sri dan Sedono ditempatkan di dalam kamar tengah (senthong tengah), yang dalam istilah Jawa Butrubadalah *Loro Blonyo". Upacara lepas panen itu sering disertai dengan kemeriahan, seperti tergambar pada festival pada setiap awal (tanggal tiga).hingga pada akhir bulan Caitra (Maret-April) di pusat pemerintahan kerajaan (kadatwan) Majapahit, sebagaimana secara pajang-lebar diberitakan oleh kakawin Nagarakretagama (86.1-3, 87.1-3).  Festival lepas panen hingga kini masih mentradisi di lingkungan pedesaan Jawa. Suka cita pasca panen me jadi petunjuk akan posisi penting pertanian sebagai soko guru perekonomian pedesaan di Nusantara dalam lintas masa.

5. Perangkat Kerja dalam Proses Bertani
5.1  Perangkat Pengolahan Tanah

Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan mengunakan alat, yang dinamai "perangkaat pertanian". Pengolahan tanah menggunakan cangkul, kuku, tegal, dan. Pada bahasa Jawa Kuna dan tengahan, cangkul diistilahi dengan "pacul (seperti dalam bahasa Jawa Baru)". Istilah ini didapati di dalam kitab Pararaton (14) "sarapan ing walukune wadung pacule". Pada susastra ini juga disebut alat pertanian yang dinamai "waluku (varian sebutannya "wuluku, wuluku". Kata jadiannya "amaluku (membajak)". Pararaton (6.9, 6.11, 19.26), misalnya kalimat yang  menyebut kegiatan membajak tanah di kebun kacang " amaluku pakacangan". Pada teks ini, tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian, khususnya yang berupa kebun adalah tanaman kacang, sehingga terdapat sebutan "kebun kacang (pakarungan)".

Kata "wuluku" didapati dalam sastra kidung Harsyawijaya (2.80), yang berupa kata jadian "amiluku", dengan kalimat "..... singkalan ing amiluku". Serupa itu, Kidung Ranggalawe (1. 55) menyebut kalimat "......... sisingkalan ing amiluku". Kata jadian "singkalan" pada teks ini berkata dasar "singkal", yang menunjuk pada : bongkahan tanah yang terlempar ke samping oleh bajak (Zoetmulder, 1995:1098). Oleh karena itu pengerjaan tanah (membajak)
hingga terbentuk bongkah-bongkah tanah, di dalam bahasa Jawa Baru dinamai "nyingkal". Secara lebih khusus, kini sebutan "singkal" memunjuk pada salah satu perangkat bajak tanah -- selain luku, brujul dan garu. Istilah garu telah kedapatan dalam bahasa Jawa Tengahan, seperti dikumpai dalam susastra Arjuna Wijaya (22 5) , Kudung Malat (11.3), dan Kifung Ranggalawe (1.118) -- menyebut kalimat "........ sawah malahan mentas ginaru aradin".  Adapun kata "wuluku" didapati pada kitab Bhomakawya (79.29) " ......... wulukune akas agong malandep". Selain menyebut alat membajak tanah, kata "wuluku" juga dipakai untuk menyebut sejata Baladewa dan nama bintang (Lintang Waluku, Orion) - sekelompok bintang yangmenyefupai bajak. Para petani menjadikannya sebagai pedoman mengenai jelang musim penghujan atau musim tanam, pertanda untuk segera melkukan bercocok tanam di sawah. Tiga bintang yang berderet mengeruk serupa dengan waluku itu adalah Alnitak- Alnilam-Mintaka.

Pada sunbercdata artefaktual, aktifitas yang berbentuk membajak tanah telah didapati di dalam relief Stupa Borobudur, yang berarti paling tidak telah ada sejak awal abad VIII M. Selain itu, relief yang gambarkan  membajak tanah didapati di Candi Naga dan Patirthan Dalam di kompleks Candi Penataran dan di Candi Penampilan, meski pada teluef-reluef ini digambarkan secara aneh, yakni binatang penariknya berupa gajah, yuyu ataupun singa. Terlepas dari bagaimana gambarannya, yang terang bahwa pengerjaan tanah adalah tahap pertama dan utama dalam proses bercocok tanam sebelum berlanjut ke penggenangan tanah (Jawa Baru "ngelepi").

Ada pula alat pengerjaan tanah,  yaitu tugal (Jawa Baru "gejig"), berupa tongkat kayu dan sebagainya yang runcing di bagian ujungnya untuk membuat lubang di tanah yang akan ditanami benih. Kegiatan membuat lobang benih pada awal musin tanam ini dinamai "nggejig (menugal)". Cara tanam dengan menggunakan tugal untuk jenis padi gogo adalah cara yang aman, karena benih dapat berada pada kedalaman antara 2-3 cm, pada kelembaban yang cukup setelah lobang tugal itu ditimbuni tanah. Cara tanam dengan tugal ini juga cocok untuk mengantisipasi curah hujan yang tidak menentu. Selain digunakan untuk menanam padi gogo, gejik juga lazim dipakai untuk menanam jagung. Pada bahasa Jawa Kuna vdan Tengahan, kata "gejig" tidak dijumpai, mungkin disebut dengan istilah lain.

5.2. Sarana Pengairan

Untuk jenis lahan basah (wet field), instalasi air untuk membasahi tanah (gelepi) -- pasca membajak tanah --- adalah sarana penting, yang berkenaan dengan irigasi. Saluran air pada permukaan tanah (istilah arkhaisnya "weluran") serta percabangannya (berupa "galrengan") menuju ke lahan garapan adalah fasiltas agraris yang penting. Semenjak masa lalu telah terdapat sistem distrunsi air, yang konon dinamai "subak".. Sebenarnya, sistem subak bukan hanya terdapat atau diawali di Bali. Sebaliknya, boleh jadi sistem ini justru bermula di Jawa, dan kemudian berpengaruh ke Bali dan mentradisi hingga kini. Adapun di Jawa istilah "subak" tidak lagi dikenal.

Pada sumber data prasasti, sebutan "suwak (kini "subak" -- terjadi pertukaran konsonan "W" dengan "B") kedapatan di dalam pasasti Kanutlruhan B atau Wurandubgan bertarikh 943 Masehi (Brandes, OJO, L, 1913: 108-109), yang dikeluarkan oleh Pu Sindok (Sri Isana). Prasasti ini antara lain memberitakan tenrang penetapan sima sawah di Panawijyan. Jenis sawah  "gagagan" Itu mendspat pasokan air yang dikelola dengan sistem subak, seperti tergambar pada kalimat ".... suwakan sajong gaga rwang jong". Kata dasar dari kata jadian "suwakan " Itu adalah "suwak", yang secara harafiah berarti : jenis tanah yang telah diolah dan ditanami (Zoetmulder, 1985: 1164), yakni lahan pertanian yanng mendapat pasokan air dari sarana irigasi yang berbentuk subak.

5.3. Perangkat Panen

Peralatan tradisional yang digunakan untuk memanen padi adalah sabit dan ani-ani. Pada bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, sebutan untuk sabit adalah "arit". Ani-ani digunakan untuk nemotong  tangkai padi berbuah dari batangnya. Batang padibteisa pasca panen dipotong dengan menggunakan sabit (arit). Sejumlah tangkai padi berbuah diikat menjadi gebungan untuk dibawa pulang dengan jalan dipikul oleh petani pria atau ditempatkan ke dalam rinjing untuk selanjutnya digendong oleh petani wanita. Gambaran tentang petani memikut uraian tangkai padi berbuah dapat dikumpai pada relief candi Borobudur, candi perwara Tegowang, dsb. Oleh karena belum cukup kering, maka untuk beberapa hari hasil panen itu dijemur (dipepe), untuk selanjutnya disimpan ke dalam lumbung.

Kata "lumbung" untuk menyebut gudang padi  (Zoetmulder, 1995: 613) itu telah kedapatan di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, antara lain pada kakawin Smaradahana (6.4), Sumanasantaka (28.6, 38.2), Korawasrama (6). Bangunan untuk menyimpan padi juga tergambar pada relief cerita Jataka di candi Borobudur serta cerita Arjunawiwa di goa Selomangleng Tulungagung. Dalam wujud miniatur banyak dijumpai lumbung batu yang konon digunakan sebagai perangkat upacara pertanian. Pada atap miniatur lumbung batu itu acap terdapat unskrpsi pendek bertulis "Sri (Dewi Padi)" atau pahatan berupa sangka (cangkang kerang bersayap), sebagai atribut (laksana) Dewa Wisnu dan sakti (istri)-nya, yaitu Dewi Sri.  Artefak miniatur lumbung batu acap ditemukan di areal persawahan, yang mempertegas fungsi religisnys sebagai media ritus agraris pada berbagai tempat di Nusantara.

C. Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Pertanian
1. Dari Gabah menjadi Beras dan Nasi

Hasil pertanian tak hanya dikonsumsi sendiri (subsistensi), namun sebagian untuk dijual. Setelah dijemur kering, untaian padi terlepas sendiri atau sengaja dilepaskan dari tangkai dengan jalan "digebloki (pukul-pukulkan)" ke alas pukul, sehingga dihasilkan butiran padi yang dinamai "gabah". Istilah "gabah" telah kedapatan dalam bahasa Jawa Kuna. Pada prasasti bertarikh 860 Saka (938 Masehi) misalnya, ada perkataan metafiorik "gabah kasawur". Gabah itu selanjutnya ditumbuk dengan menggunakan lumpang-alu -- jika dalam jumlah yang lebih banyak digunakan lesung-alu -- untuk mengelupas kulit gabah (sekam), sehingga menjadi beras. Sebutan Jawa Kuna dan Tengahan beras juga 'beras (variannya "bras")" (Zoetmulder, 1995: 121, 134), seperti diberitakan oleh Ramayana (25. 111), Sanasantaka (158.7), Arjunawijaya (31. 10 dan 14), Tantri Kediri (64), maupun kitab Kutaramanawa (5).

Pemakaian perangkat penumbuk gabah, yang berupa lumpang telah dimulai sejak zaman Prasejarah. Salah sebuah artefak dari tradisi mmegalitik terkait itu adalah lumpang batu (stone mortar). Penggunaan lumpang batu berlanjut memasuki masa Hindu-Buddha. Selain itu terdapat lumpang kayu, dan untuk menumbuk gabah dalam jumlah yang lebih banyak digunakan lesung kayu. Gabah yang ditumbuk dalam jumlah terbatas, yaitu sesuai kebutuhan keluarga untuk beberapa hari, dan bila telah habis dilakukan prnkmbukkan lagi. Beras tersebut disimpan dalam periuk, yang di Jawa disebut "pedaringan" -- berkata dasar "dari (pa+dari+ng+an)", yang secara harafiah berarti : gua (Zoetmulder, 1995: 197). Wadah beras (pedaringan, penjaringan) itu diibarati dengan ruang gua , untuk memasukkan beras kendalamnya.

Untuk konsumsi keluarga, beras pun dimasak dengan menggunakan dandang (istilah kuno "dang", kata ulangnya "dang-dang"), sehingga memasak beras menjadi nasi dalam bahasa Jawa Baru dinanai "adang". Sebutan Jawa Kuna dan Tengahan untuk nasi adalah "sega", seperti didapati pada kitab Tantupanggelaran (70 dan 71), Tantri Demung (5.35), maupun di Pararaton (6.15). Sebutan lain adalah "sekul"
(dalam bahasa Jawa Baru kata "sekul" adalah istilah krami untuk "sego") . Kata "sekul" lebih sering dan lebih awal digunakan bidanding "sega", seperti disebut dalam kitab Adiparwa (13, 149), Udyogaparwa (92), Ramayana (1. 28, 22.10), Arjunawijaya (31.10), Sutasoma (91.15), Kidung Hasyawijaya (2.40, 2.217), dan Kidung Ranggalawe (1.109). Ada yang menarik, dimana Kidung Harsyawijaya (2. 117) menyebut "sekul sweta (nasi putih) ".

2. Ragam Pemanfaatan Padi

Disampung untuk dikonsumsi sendiri, ada pula padi (baik gabah atau beras) ada pula yang diperjual belikan. Sebutan yang dipakai "madwal atau adol beras" -- kata dasarnya "dwal", dengan kata jadian" "madwal, adol (berjual), dinwal, dinol (menjual)". Dahulu ada pedagang (istilah kuno " baniyaga") khusus yang berjualan beras, yang dalam bahasa Jawa Baru diistilahi dengan "bakul beras". Selain dibawa dengan menggunakan pedati (padati), beras dibawa ke pasar dengan cara dipukul (pinikul datanya), seoerti diberitakan dalam prasasti Turunan (929 M) ".....  yapyan pinikul dagangnya ...... mnga, bras, gula, bsar, kesumba, ... (apabila dipikul dagangannya .... minyak, beras, gula, bsar, kesumba ..) (Nastiti, 2003: 67). Pasar-pasar di daerah pedalaman bayak diperjualbelikan hasil produksi agraris, antara lain beras, sayuran, palawija, buah- buahan, barang kerajinan, dll (Sutjipto, 1970: 139-140). Pada masa Hindu-Buddha hasil pertanian, termasuk padi, sawah ataupun gaga di areal ladang, menjadi komoditi dan merupakan tulang punggung perekonomian kerajaan, yang bahkan dijual hingga ke luar wilayah kerajaannya.

Surplus pertanian di kala lalu memungkinkan bagi Jawa untuk tampil menjadi suatu daerah pengekspor beras  Bahkan, beras Jawa amat dikenal di manca kerajaan.Sistem padi sawah integral di beberapa lembah sungai di bagian tengah dan timur pulau Jawa sungguh efektif untuk menjadikannya seebagai daerah yang berswasembada padangan. Oleh karena itu, apabila kini Indonesia menjadi "pengimpor beras", berarti telah jungkir balik dari erealitas masa lampaunya sebagai negeri pengekspor beras. Yang berarti, "ada yang salah", terjadi dekadensi drastis dalam sistem pertanian di negeri ini  dari waktu ke waktu  Nuwun.

Sangkaling, 14 April 2020
Griya Ajar CITRALEKHA
(Naskah/gbr: m dwi cahyono)