KOLAK, PENGANAN TAKJIL KHAS NUSANTARA PEMBUKA PUASA RAMADHAN

Ilustrasi : bukumasakan.com
Oleh: M, Dwi Cahyono
(Peneliti & Akademisi UM)
A. Kuliner Takjil Khas Buka Puasa Ramadhan
Sesungguhnya, apapun penganan (kuliner) bisa saja disantap kapanpun dan dimanapun, tergantung siapa pengkonsumsinya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa karena alasan atau pertimbangan tertentu, maka suatu kuliner dirasakan sebagai lebih pas (tepat) apabila dikonsumsi di suatu waktu atau pada suatu peristiwa. Selain itu, terdapat kuliner yang dominan dikonsumsi atau hanya didapati di daerah tertentu. Itulah yang melatari mengapa muncul sebutan ‘kuliner khas’, baik khas dalam hubungannya dengan area (daerah) ataupun khas dalam waku. Kuliner yang ‘khas dalam waktu’, misalnya adalah ‘Kuliner Khas Ramadhan’, yaitu penganan tertentu yang lazim dikonsumsi selama bulan Ramadhan (Bulan Puasa), khususya dikonsumsi ketika buka puasa. Peristiwa makan tatkala berbuka puasa memang acap lebih mengesankan ketimbang pada peristiwa makan sahur. Oleh sebab itu, kuliner khas Ramadhan banyak yang berkenaan dengan makanan untuk berbuka puasa, atau disebut singkat dengan ‘kuliner khas buka puasa’.
Terdapat dua macam makanan yang dikonsumsi ketika berbuka puasa: (a) kudapan, yaitu ‘makan kecil’, baik berupa makanan atau minuman tertentu yang tak membuat kenyang total pengkonsumsi; (b) makan besar, yaitu makanan – bisa juga ditambah dengan minuman – dalam jumlah lebih banyak dan mengenyangkan. Macam yang pertama acapkali dinamai ‘takjil", sehingga terdapat sebutan ‘takjilan’ untuk makanan/minuman tertentu yang dikonsumsi ketika berbuka puasa. Pada umumnya, takjil dikonsumsi lebih awal daripada makan besar dalam berbuka puasa. Bahkan, antara pengkonsumsian keduanya ada yang memberi jeda waktu cukup lama.
Asal kata ‘takjil’ adalah istilah dalam Bahasa Arab : t’ajil, yang dalam konteks berbuka puasa akar kata darinya adalah : ajjala. Perkataan yu’ajjilyu berarati: menyegerakan atau memperepat, yang pada konteks berbuka puasa adalah menseyogyakan untuk segera berbuka. Hadist Nabi riwayat Muttafah Alaih memuat kalimat ‘La yazalunn asu bikhairin ma’ajjaluuhul fithra’’, yang artinya: manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka (puasa). Kata ‘ajjil dari ya’ajjilyu itu kemudian menjadi ta’jil (takjil) dalam pelafalan lokal Nusantara. Dengan demikian, etimilogi ‘takjil’ berkenaan dengan tindakkan (perbuatan), yaitu perbuatan yang musti dilakukan dengan segera atau dengan cepat, yakni mengkonsumsi makanan atau minuman begitu tiba waktu buka puasa. Oleh kerena itu, ada baiknya penggunaannya dirangkai dengan kata ‘penganan , makanan, atau kuliner’, yakni menjadi ‘penganan takjil, makanan takjil, kuliner takjil’, dalam arti kuliner penyegera buka puasa.
Pengartian kata ‘takjil’ yang menunjuk kepada makanan itu berkenaan dengan hal apa yang dikonsumsi guna mempercepat buka puasa. Oleh karena ‘makan besar’ membutuhkan waktu untuk penyiapan, dan belum tentu siap dimanapun pelaku puasa berada, maka dibutuhkan macam penganan tertentu yang dapat dibawa kemana-mana, awet, tak terlalu besar, dan dengan relatif cepat bisa dikonsumsi apabila tiba waktu berbuka puasa. Di Arab dan di kawasan Timur-Tengah, penganan demikian adalah kurma. Namun, penganan takjil bukan semata-mata kurma. Malahan, setiap daerah mempunyai penganan yang khas untuk takjil. Salah satu penganan takjil khas Jawa adalah ‘kolak’.
B. Kolak, Kuliner Kuno yang Dinimati Lintas Masa
Bilamana kolak mulai dikenal oleh manusia Jawa? Tidak mudah untuk menjawab, namun bukan juga tidak mungkin untuk dapat dijawab. Vatian sebutan‘kolak" adalah ‘kulak, kolok, kolek, dsb’. Istilah yang boleh jadi lebih tua daripadanya adalah ‘kolah’, atau repetisinya menjadi ‘kula-kulah’, yang menunjuk pada makanan tertentu (Zoetmulder, 1995:530). Istilah ini antara lain dijumpai dalam Kakawin Bhomakawya (82.43), yang disurat pada Masa Majaphit, dalam suatu kalimat ‘kesyan ikang limas, kula-kulah, kela-kela, kalupan’. Jelaslah bahwa kulah (kula-kula) adalah makanan, sebab disebut bersamaan atas sederatan dengan kuliner-kuliner lain, seperti kela-kela (makanan yang dimasak), kalupan (lup : diantara makanan), maupun wadah makanan (limas) (Zoetmulder, 1995: 447, 483, 598, 617). Dalam perkembangannya, istilah ‘kulah’ mengalami perubahan pelafaltan menjadi ‘kolak’ – penggantian vokal ‘u’ menjadi ‘o’ serta konsonan ‘h’ menjadi ‘k’.
Dalam bahasa Jawa Baru dan Indonesia, istilah ini juga dikenal dalam kaitan dengan wadah atau takar air. Oleh karena itu, sesungguhnya yang terpenting dalam penganan kolak adalah ‘kuah’nya, yaitu adonan matang yang terdiri dari air dicampur santan, gula (baik gula arean, gula kelapa, gula siwalan ataupun gula putih), sedikit garam, serta kelengkapan penyedap lain seperti daun pandan, vanili, nangka, dsb. Apabila benar bahwa nama ‘kolak’ berasal dari kata ‘kulah’ yang diberitakan di dalam susastra lama, berarti setidaknya penganan ini telah dikenal semenjak Masa Majaphit dan diminati hingga kini, bahkan makin variatif dari waktu ke waktu. Kolak bukan hanya makanan favorit bagi anak-anak, namun orang lintas usia pun meminatinya.
Sebagai penganan tradisional, kolak adalah ‘setengah makanan setengah minuman’, lantaran tidak hanya melulu kuah, namun ada komponen makanan yang dimasukkan ke dalamnya, seperti pisang, ketela atau pohong, kolang-kaling, bubur atau jenang, kacang hijau, ketan hitam, srabi, roti, cendol/dawet, cincau, daging biji salak, waluh, bligo, dsb. Oleh sebab itu, muncul banyak varian sebutan untuk kolak, tergantung pada apa kompnen campurnya. Di lingkungan rumah tangga, konon kolak bukan penganan sehari-hari, melainkan hanya dibuat lantas dihidangkan pada waktu, dalam perstiwa atau untuk tujuan tertentu. Tentulah bila kini ada warung atau pedagang keliling yang secara khusus menjual aneka kolak setiap hari, maka hal ini merupakan fenomena ekonomi baru, yang menjadikan kolak pada mulanya sebagai makanan khusus bergeser menjadi makanan umum, yang dapat dibeli dan dikonsumsi oleh siapapun sehari-hari.
C. Penganan Pembuka Khas Buka Puasa Ramadhan
Kekhususan penyajian penganan kolak antara lain tergambar pada kolak sebagai penganan takjil khas dalam berbuka puasa di Bulan Ramadhan. Kalaupun ada puasa-puasa yang dilaksanakan selain di Bulan Ramadhan atau puasa di hari-hari tertentu (misalnya: ‘Senin-Kamis’), naman di luar momentum puasa Ramadhan penganan kolak cederung tidak dihadirkan sebagai penganan takjil. Berbeda dengan ketika Puasa Ramadhan, ada banyak keluarga memasak sendiri penganan kolak dengan varian komponen campurnya. Begitu pula, para penjual penganan takjil menjajakan banyak pilihan menu kolak diantara kuliner jualannya.
Dahulu ketika ragam es buah, aneka sirup dan mimuan ringan lain belum menjadi pilihan bagi penganan buka puasa, kolak, rujak gobet (rujak uyup), bandrek, sarakbah dsb. adalah ragam penganan tradisional Nusantara yang hampir selalu disajikan di lingkungan keluarga. Namun kini, di daerah perkotaan – khususnya pada keluarga sibuk, yang tidak sempat membuat penganan kolak, kehadiranya digantikan oleh minuman yang lebih siap saji, yaitu sirup atau sebelumnya limun. Kendati demikian, sirup/.limun belum mampu menggantikan kolak sebagai ‘ikon penganan takjl berbuka puasa Ramadhan’.
Penyajian penganan takjil yang berupa kolak, telah generatif atau lintas waktu dalam kaitan dengan ritus tahunan Puasa Ramadhan. Penganan kolak, baik yang dimasak sendiri atau dibeli, dijadikan semacam ‘menu wajib’ berbuka puasa. Jika tidak tersedia kolak, apapun variannya, dirasakan ‘ada yang kurang’ dalam kelengkapan menu berbuka puasa. Kalaupun penganan takjil berbuka puasa ada beberapa pilihan, maka kolak lah yang cenderung dipilih dan dikonsumsi lebih awal ketimbang penganan-penganan lainnya.
Bagi orang Jawa, jika pun diberikan pilihan ‘kurma ataukah kolak’ untuk dikonsumsi pertama kali ketika berbuka puasa, maka pilihannya bukan dijatuhkan kepada kurma. Lantaran kurma merupakan "makanan asing", yang bagaimanapun tetap asing rasa di lidah, dan tidak menyegarkan tenggorokan. Rasa kolak yang terbilang enak-legit dan berkuah-menyegarkan, mejadikan kolak tepat dipilih untuk memasok karbohidrat yang berkurang selama berpuasa dan lebih daripada itu segera menyirnakan rasa dahaga lantaran seharian tidak meminum air. Demikanlah kolak adalah penganan khas sekaligus lokal Jawa yang dari masa ke masa mampu bertahan sebagai penganan pembuka tatkala berbuka puasa di Bulan Ramadhan. Semoga kelak penganan kolak ~ yang merupakan khasanah kuliner tradisional di bhumi Nusantara ~ tak lekang dalam mengahadapi para pesaing di kancah kekulineran masa kini dan mendatang. Dengan teknik memasak yang benar dan kemasan sajian yang menarik, bukan tidak mungkin kolak menjadi penganan pilihan.
Saya berhadap, kendatipun tulisan ini hanya mengenai perihal kecil, yakni ‘kolak sebagai penangan takjil pembuka puasa Ramadhan’ yang khas Nusantara, namun dapat memberi secercah pencerah kepada khalayak pembaca. Sebagai pamungkas kalam, disampaikan salam kuliner bhumiputra ‘bhojananusantarajayati’, dan selamat menyantap kolak tatkala berbuka puasa besok dan hari-hari selanjutnya. Nuwun.
PATEMBAYAN CITRALEKHA, 27 Mei 2017.
(sumber Dwi Cahyono)