Peneliti, Sejarahwan Dwi Cahyono / Dok. Dwi Cahyono |
LITERASI SINGHASARI I
Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Dosen UM)
A. Litersi dan Budaya Literasi
Literasi merupakan sebuah
konsep yang memiliki makna kompleks, dinamis, bahkan terus ditafsirkan
dan didefinisikan dengan beragam cara dan sudut pandang. Oleh karena itu
terlebih dahulu perlu diuraikan apa sebenarnya makna dari Istilah
Literasi itu. Secara harafiah, literasi adalah keberaksaraan, yaitu
kemampuan menulis dan membaca. Adapun budaya literasi mempunyai arti
yang lebih luas, yaitu melakukan kebiasaan berfikir, yang diikuti oleh
proses membaca dan menulis, yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam
proses kegiatan tersebut menciptakan karya. Membudayakan atau
membiasakan untuk membaca dan menulis tentulah memerlukan proses,
utamaya jika dalam suatu kelompok masyarakat kebiasaan tersebut belum
ada atau belum terbentuk.
Menurut ‘Kamus Online
Merriam-Webster’, istilah ‘literasi’ berasal dari Bahasa Latin
'literature' yang dalam bahasa Inggris menjadi 'letter'. Literasi adalah
kualitas atau kemampu-an melek huruf/aksara, yang di dalamnya meliputi
kemampuan membaca dan menulis. Lebih dari itu, makna literasi juga
mencakup melek visual, artinya kemampuan untuk mengenali dan memahami
ide-ide yang disampaikan secara visual, seperti adegan, video dan
gambar. National Institute for Literacy mendefinisikan ‘literasi’
sebagai: kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara,
menghitung dan memecahkan permasalahan pada tingkat keahlian yang
diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat". Definisi ini
memaknai literasi dari per-spektif yang lebih kontekstual. Terkandung
makna bahwasa definisi literasi tergantung pada keterampilan yang
dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
Education Development
Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan
baca-tulis. melainkan kemampuan individu untuk menggunakan segenap
potensi dan ketrampilan yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman
bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata, bahkan membaca dunia.
Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat
dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional,
nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman paling umum dari
literasi adalah sepe-rangkat keterampilan nyata - khususnya keterampilan
kognitif membaca dan menulis, terlepas dari konteks dimana keterampilan
itu diperoleh mapun dari siapa memperolehnya. Lebih jauh UNESCO
menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan
merupa-kan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan berliterasi
dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga,
masyarakat.
Saat ini, Istilah Literasi digunakan dalam arti yang
lebih luas, seperti literasi informasi, literasi komputer, literasi
sains, termasuk pula literasi budaya, yang kesemuanya merujuk pada
kompetensi atau kemampuan yang lebih daripada sekedar kemampuan
baca-tulis. Hanya saja, memang pemahaman paling umum mengenai literasi
yaitu kemampuan membaca dan menulis. Seseorang yang melek huruf atau
bisa baca-tulis mampu memahami semua bentuk komunikasi. Implikasi dari
kemampuan literasi yang dia miliki ialah pada pikirannya. Literasi
melibatkan berbagai dasar-dasar kompleks mengenai bahasa. Literasi
memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki
kemampuan literasi jika telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa,
yaitu membaca dan menulis. Jadi, makna dasar literasi sebagai kemampuan
baca-tulis merupakan pintu utama bagi pengembangan makna literasi secara
lebih luas, maka cara yang digunakan untuk mem-peroleh literasi adalah
melalui pendidikan.
Ada banyak cara untuk membentuk budaya
literasi, diantaranya adalah: (1) pendekatan akses fasilitas baca (buku
dan non buku), (2) kemudahan akses untuk mendapatkan bahan baca-an, (3)
murah atau bahkan tanpa biaya (gratis), (4) menyenangkan dengan segala
keramahan, dan (5) keberlanjutan. Sebenarnya upaya itu tidak cukup hanya
dengan lima langkah itu, karena ada penjabaran yang lebih detail. Tak
sekedar ketersediaan fasilitas saja, tapi ada cara bagaima-na menjalin
hubungan antar manusia sehingga hubungan tersebut akan mempengaruhi
bagai-mana suatu kelompok masyarakat bisa menerima dengan baik apa yang
menjadi tujuan kita melakukan gerakan literasi.
B. Meliterasi Budaya Singhasari
Masa Singhasari (1222-1292 Masehi) masuk dalam ‘Periode Sejarah
Nusantara’ Masa Hindu-Buddha. Dimasukkan dalam periode sejarah, karena
periode sejarah ditandai oleh telah adanya sumber data tekstual untuk
merekostruksi sejarah. Pada masa ini telah didapat sumber informmasi
tekstual, baik yang berupa prasasti, susastra maupun cacatan asing, yang
dapat di-jadikan sumber informasi mengenai kesejarahannya. Selain
sumber data tekstual tersebut, ada juga sumber data artefaktual,
ekofaktual maupun oral yang bisa digunakan sebagai sumber data
pelengkap, pembanding atau pemerikasa akurasi data yang diperloleh dari
sumber data tekstu-al. Pendek kata, tradisi literal telah berkembang
pada Masa Singhasari.
Pada sisi lain, sejauh ini riset historis
dan arkeologi mengenai Kerajaan Tumapel atau Singhasari masih belum
memadai, kurang proporsional apabila dibadingkan dengan riset me-ngani
Kerajaan Majapahit, Mataram, Sriwijaya, dan Balidwipamandala. Menyadari
itu, maka Siinghasari baik sebagai suatu lembaga pemerintahan (baca
‘kerajaan’) maupun budaya, yaitu Budaya Singhasari, dipendang perlu
untuk dilitersikan. Lewat upaya ini diharapkan bakal ter-dapat banyak
orang yang memiiki kemampuan untuk dapat membaca, menulis, berbicara dan
memecahkan permasalahan yang berkenaan dengan Singhasari. Untuk itu
perlu digunakan se- genap potensi dan ketrampilan untuk bukan saja
membaca teks mengenai Singhasari, namun lebih dari itu membaca
Singhasari dengan konteks yang mendunia. Dikatakan ‘dalam konteks yang
mendunia’, karena pada jamannya Singhasari bukan hanya berada dalam
percaturan seja-rah Jawa – lewat doktrin politiknya ‘Cakrawalamandala
Jawa’, namun juga dalam percaturan sejarah Nusantara – lewat doktrin
politiknya ‘Cakrawalamanada Nusantara’, maupun perca-turan sejarah
regional Asia. Hal itu dapat dikakukan apabila ditopang oleh penelitian
akademik, dukungan dari institusi di tingkat lokal (daerah) mauppun
nasional.
Literasi Singhasari yang dihelat pada tahun ini (2016)
diharapkan bukan yang perta-ma dan terakhir, dengan pertimbangan budaya
litersi membutuhkan keberlanjutan (continuity). Oleh karena itu,
Literasi Singhasari pada tahun ini tepat untuk disebut ‘Literasi
Singhasari I’, yang pada tahun-tahun sejalanjut ditindaklanjuti dengan
skala yang lebih luas, kajian yang le-bih mendalam, dan lebih banyak
melipatan kompnen masyarakat serta ragam media kegiatan. Perlunya
menggunakan ragam media dalam literasi selaras dengan pengertian litersi
yang tidak saja berkenaan dengan aspek baca-tulis, namun mencakup juga
‘melek visual’, artinya kemam-puan untuk mengenali dan memahami ide-ide
yang disampaikan secara visual, seperti adegan, video dan gambar.
Sejalan dengan itu, pada Literasi Singhasari I ini kegiatan dikemas ke
dalam beragam jenis kegiatan dengan menggunakan ragam bentuk media,
yaitu: (1) Seminar Nasional Sejarah Singhasari di Hotel Solaris hari
Jumat, tanggal 30 September (fullday, pukul 09.00-14,00 WIB) dan 1
Oktober 2016 (setengah hari, pukul 09.00-12,00 WIB), (2) Jelajah Situs
Singhasari, yakni ‘Ajar-Pusaka Budaya’ di Candi Kidal dan Candi Jajaghu
(Jago) Sabtu, 1 Oktober 2016, pukul 13.00-17.30 WIB, serta (3)
Singhasari Performing Art di Candi Jago dengan tema ‘Kalangwan ri
Jajaghu’ Sabtu malam, tanggal 1 0ktober 2016.
Selain itu, dengan
menyadari bahwa kerajaan Singhasari menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan lain di wilayah Nusantara, maka pada tahun ini dijalin
sister heritage (mitreka budaya) bertajuk ‘jalin kemitraan dua nagara
Singha’, yaitu antara Singhasari dan Singaraja’, dengan menjejaringkan
Pemkab Malang dan Buleleng dalam bidang seni-budaya dan pariwisata.
Momentum ini diselanggarakan di Pendopo Kabupaten Malang, Kamis malam,
tanggal 29 September 2016, bersamaan dengan acara Pembukaan Literasi
Singhasari I.
Literasi Singhasari I difasilitasi oleh Pemkab
Malang, dengan leading sector Disbudpar Kab. Malang. Kegiatan
melibatkan Perguruan Tinggi (UM, UNDIKSA dan UI) dan para peduli budaya
di Jawa Timur, Bali dan daerah-daerah lain di Jawa pada sesi Seminar
Nasional, pelajar SMA/SMK di Kec. Tumpang, Pakis, Tajinan dan
Poncokusumo serta para peduli-pecita buda-yang sebagai peserta Ajar
Pusaka-Budaya, dan para pelaku seni di Kota dan Kabupaten Malang dalam
acara Singhasari Performin Art. Jalinan pemerintahan me-libatkan Pemkab
Malang dan Pemkab Buleleng pada sesi ‘Mitreka Budaya’. Tergambar bahwa
kegiatan ini melibatkan lintas pihak, yang berskala nasional.
C. P r o s p e k s i
Sebagai kegiatan di tahun pertama atau tahap rintisan, Literasi
Singhasari I memliki se-jumlah keterbatasan, yang pada perhelatan
tindaklanjut di tahun-tahun mendatang bakal lebih ditingkatkan, baik
dalam hal: (a) butir-butir telaah mengenai ‘multi-aspek Budaya
Singhasari’, dengan lebih banyak lagi melibatkan para pakar yang
berkompeten, (b) penulisan Buku Sejarah Singhasari, (c) menggunkan
wahana dan memprodusi ragam media pembelajaran Sejarah dan Budaya
Singhasari, (d) menjalin kemitraan-budaya (mitreka budaya) dengan
daerah-daerah la-in di Indonesia (seperti: Kab. Darmasraya di Sumbar,
Kab. Kepatang di Kalbar, Kab. Kutai Kartanegara di Kaltim, dsb), dan
negara-negara di Regional Asia (seperti: Malaysia, Thailand, Vietnam,
Cina, India, dsb), yang pada masa lalu memiliki relasi politik, ekonomi
dan budaya dengan Kerajaan Singhasari; serta (e) lebih banyak dan lebuh
luas lagi melibatkan masyarakat Malang Raya untuk berperan sebagai
pelaku dalam Literasi Singhasari. Dengan cara demikian, maka ragam aspek
mengenai Sejarah-Budaya Singhasari bakal tercerahkan, dan gaungnya kian
‘mendunia’.
Semoga kegiatan rintisan ini telah dapat membuahkan
makna, dan lebih dari itu menjadi picu bagi dilakuskannya keguatan
lanjut yang diharapkan akan lebih bermakna. Ada baiknya, kegiatan yang
berkenaan dengan salah sebuah kerajaan terbesar di Nusantara ini
(Sriwijaya, Matara, Singhasari dan Majapahit) dijadikan agenda budaya
Nasional, yang secara lokal meli-batkan pemerintah daerah di Malang
Raya. Yang utama adalah pengharapan bahwa ‘Literasi Singhasari I’ bukan
seperti pepatah ‘sekali berarti setelah itu mati’, sehingga perlu
dijadikan sebagai agenda tahunan yang kian lama kian berakna.
Salam budaya ‘Singhasarijayati’.
PATEMBAYAN CITRALEKHA,
Sengkaling, 27 September 2016
Sengkaling, 27 September 2016
(Sumber: Dwi Cahyono).