Ilustrasi / sumber : jelajahkampung.com |
Oleh : M. Dwi Cahyono
(Arkeolog & Dosen UM)
A. Alienasi Historis, Ironi Pembejaran Sejarah
W.S. Rendra dalam ‘Sajak Seonggok Jagung’ yang dimuat pada buku kupulan
puisinya ‘Potret Pembangunan dalam Pusisi’, 1975, menembakkan kata-kata
sindiran tajam terhadap ironitas pendidikan di negeri ini, yang
ironisnya justru menjadikan subyek didik terasing (teralienasi) di
lingkungannya sendiri. Berikut kutipan (sitat) beberapa bait sajaknya:
..................................
Seonggok jagung dikamar
Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku
Dan tidak dari kehidupan
Yang tidak terlatih dalam metode
Dan hanya penuh hafalan kesimpulan
Yang hanya terlatih sebagai pemakai
Tetapi kurang latihan bebas berkarya
Pendidikan telah memisahkanya dari kehidupanya
..................................
Seonggok jagung dikamar
Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku
Dan tidak dari kehidupan
Yang tidak terlatih dalam metode
Dan hanya penuh hafalan kesimpulan
Yang hanya terlatih sebagai pemakai
Tetapi kurang latihan bebas berkarya
Pendidikan telah memisahkanya dari kehidupanya
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalanya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalanya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja?
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“disini aku merasa asing dan sepi"
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja?
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“disini aku merasa asing dan sepi"
Belajar sejarah dimaksudkan agar seseorang tahu, faham, dan syukur
apabila mampu memetik makna atau teladan bijak dari peristiwa-peristiwa
masa lamapau. Atau dengan perkataan lain, agar ‘melek sejarah’.
Bukan
hanya melek terhadap sejarah daerah-daerah lain, sejarah negara-negara
atau bangsa-bangsa lain yang nota bene jauh darinya, namun lebih utama
dari itu adalah melek terhadap sejarahnya sendiri, terhadap sejarah
daerahnya sendiri.
Apabila tidak, dengan meminjam perkataan Rendra di
dalam sajak itu, pembelajaran sejarah di sekolah justru jadikan
pembelajar (siswa) terpisah dari kehidupannya (.......,,,,’memisahkannya
dari kehidupannya’), atau menyebabkannya‘......... asing ditengah
keyataan persoalannya’, sehingga ‘............. disini aku merasa asing
dan sepi’. Suatu gambaran tentang keterasingan (alienasi) anak bangsa
atas pendidikan yang telah diterimanya di sekolah. Tanpa terkecuali,
keterasingan demikian bukan tidak mungkin melanda Pendidikan Sejarah di
sekolah. Suatu ‘ironitas kesejarahan (historical ironic)’ yang patut
dihindari dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Bagaimana cara agar
para siswa melek terhadap sejarah daerahnya sendiri?’.
Jawabnya
sederhana – meski tak mudah dalam penerapannya, yaitu dengan menyajikan
materi Sejarah Daerah atau Sejarah Lokal secara proporsional di sekolah.
Sebenarnya, terdapat ‘ruang kurikulum’ untuk itu. yaitu Pembelajaran
Sejarah dengan muatan lokal (local contains)’, yang diakronimkan dengan
‘mulok”, berupa kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan ciri khas dan potensi suatu daerah, termasuk
keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam
mata pelajaran yang ada. Istilah ‘muatan’ atau kata jadiannya, yaitu
‘dimuatkan’, dalam prakteknya hanya sekedar dimuatkan, disisipkan atau
dititipkan’ ke dalam materi ajar Sejarah Nasional. Mustinya diposisikan
sebagai bagian integral dan sama pentingnya dengan materi Sejarah
Nasional, serta proporsional bagi khasanah sejarah suatu daerah.
Proporsional dalam arti sesuai dengan luasan dan kedalaman, urgensi
peran, dan siratan makna dalam sejarah lokal bersangkutan. Tidak
dipungkiri terdapat sejarah lokal di suatu daerah yang lebih
historiografis lantaran mempumyai ragam sumber data, lebih luas dan
lebih multi-aspek paparannya, maupun lebih besar gambaran perannya dalam
konteks sejarah nasional ataupun regional apabila dibandingkan dengan
sejarah lokal di daerah lain untuk kurun waktu tertentu. Misalnya,
sejarah lokal Masa Hindu-Buddha di Malang – yang pada masa itu pernah
menjadi pusat pemerintahan (kadatwan) dari beberapa kerajaan
(Kanjuruhan, Mataram era Isanavamsa, Singhasari dan Sengguruh maupun
vasal terbesar di masa Kadiri dan Majapahit) – tentulah mempumyai
paparan sejarah yang luas dan multi-aspek, lebih besar peran sejarahnya,
dan lebih historiografis apabila dibandingkan dengan sejarah lokal pada
Masa Hindu-Budda di Pacitan, Bondowoso dan Ngawi. Namun sebaliknya,
untuk sejarah lokal pada Zaman Prasejarah, daerah Pacitan, Bondowoso dan
Ngawi mempunyai hal-hal lebih apabila dibadingkan dengan Malang.
B. Pembelajaran dan Praktikum Riset Sejarah Lokal
Pembelajaran sejarah dengan ‘mulok’ dalam sejumlah hal menghadapi
kesulitan, antara lain : (a) terbatasnya sumber data masa lalu di suatu
daerah; (b) belum adanya buku ‘Sejarah Daerah’ di daerah bersangkutan –
kalaupun ada, tingkat akurasinya rendah; (c) guru kurang atau bahkan tak
banyak mengetahui dan memahami jejak historis-arkelogis di daerahnya,
(d) pihak sekolah kurang memberi keleluasaan kepada guru-siswa untuk
melaksanakan studi esploratif terhadap sumber-sumber data sejarah lokal
di luar sekolah, (e) tidak terdapat LKS atau buku penunjang (suplement
book) tentang Sejarah Lokal di sekolah, dan (f) kurangnya pemahaman guru
akan konsep dan metodologi penelitian sejarah lokal untuk Praktikum
Sejarah bagi siswa. Padahal, butir-butir itu merupakan prasyarat bagi
terlaksananya pembelajaran dam praktikum penelitian Sejarah Lokal dengan
baik.
Menyikapi persoalan diatas, berikut beberapa upaya awal
yang memungkinkan pembelajaran Sejarah Lokal bisa dilaksanakan dengan
baik, yaitu: (a) inventarisasi dan dokumentasi oleh tim ahli terhadap
tinggalan sejarah, arkeologi, paleo-ekologi, dan tradisi lisan yang
dapat dijadikan sumber-sumber data bagi penulisan dan pembelajaran
sejarah dengan mulok, (b) penulisan dan penerbitan buku Sejarah Daerah –
oleh Tim Ahli, yang kelak dijadikan referensi akurat bagi penulisan
buku penunjang dan LKS untuk pembelajaran sejarah dengan mulok, (c)
peningkatan pengetahuan dan pemahaman guru terhadap jejak-jejak
historis-arkologis dan relasinya dengan lingkungan sekitarnya, (d)
pemberian kesempatan (keleluasaan) oleh sekolah terhadap guru-siswa
untuk melaksanakan pembelajaran dan praktikum peneltian Sejarah Lokal
dalam ‘studi eksploratif’ terhadap sumber data sejarah lokal di luar
sekolah, yaitu di situs sejarah-arkeologi, (e) menyusun LKS dan buku
penunjang Sejarah Lokal yang tersedia di sekolah, (f) peningkatan
pemahaman konseptual dan ketrampilan metodologis bagi riset Sejarah
Lokal dalam Praktikum Sejarah Lokal bagi siswa. Butir-butir solusi itu
mengambarkan bahwa penanganan terhadap persoalan pembalajaran dan riset
Sejarah Lokal tak cukup melibatkan guru dan sekolah, namun sebagian
merupakan ranah dari Tenaga Ahli dan Pemerintah Daerah.
Upaya-upaya diatas adalah ikhtiar untuk menjadikan pembelajar Sejarah
agar tidak teralienasi dari sejarah daerah sendiri. Pada masa sekarang,
pembelajaran Sejarah Lokal dipermudah oleh adanya informasi mengenai
tidak sedikit peninggalan sejarah, arkeologi maupun tradisi lisan yang
telah diunggah di media sosial (medsos) oleh para peduli dan pemerhati
sejarah/arkeologi yang dengan inisiatifnya sendiri melakukan pelacakan
(blusukan, kluthusan, hunting) ke jejak-jejak budaya masa lampau yang
telah dikenal atau bahkan sebelumnya tidak dipublikasi. Selain itu, di
sejumlah daerah dilaksanakan berbagai event yang berkenaan dengan ajar
budaya dan Sejarah Daerah oleh komunitas pegiat atau peduli sejarah dan
budaya, Sayang sekali, sejauh ini tak cukup banyak Guru Sejarah yang
telah menjalin akses terhadap peluang baik itu.
Kenyataan lain
adalah adanya sejumlah daerah yang telah memfasilitasi penuisan buku
Sejarah Daerah. Namun demikian, kenyataan pula bahwa sejauh ini tidak
sedikit daerah – yang padahal mempumyai cukup banyak tinggalan sejarah,
arkeologi, paleo-ekologi dan tradisi lisan – masih belum tergerak untuk
menuliskan dan menerbitkan Buku Sejarah Daerah-nya. Terkait dengan
pembelajaran dan praktikum riset Sejarah Lokal bagi siswa, seyogianya
Pemerintah Daerah yang belum memiliki buku Sejarah Daerah untuk
menuliskan dan meneribitakan buku Sejarah Daerah-nya, dan selanjutnya
Dinas Pendidikan (Diknas) atau Dinas Pendidikan-Kebudayaan (Dikbud)
menindaklanjutinya dengan menyusun buku penunjang dan KLS dengan
mereferensi buku Sejarah Daerah menurut jenjang pendidikan (SD, SMP,
SMA/SMK).
Ada baiknya pula, Diknas/Dikbud di daerah via MGMP Sejarah
menyelenggarakan workshop Sejarah Lokal bagi para guru sejarah. Materi
workshop meliputi: (a) Penyusunan LKS Sejarah Lokal, (b) pelatihan
praktikum riset Sejarah Lokal, dan (c) simulasi Pengajaran Sejarah
Lokal.
C. Relasional Sejarah Lokal – Sejarah Nasional
Pembelajaran Sejarah Lokal tidak dihadirkan sebagai mata ajar
tersendiri, melainkan disajikan dalam kerangka Pembelajaran Sejarah.
Oleh kerana itu, perlu dicermati di bagian-bagian mana dalam Kurikulum
Pembelajaran Sejarah yang berpeluang diberikan mulok. Mengingat bahwa
pembelajaran berada di dalam kerangka Pembelajaran Sejarah, maka
peristiwa sejarah di ruang lokal tersebut direlasikan dengan
peristiwa-peristiwa dalam lingkup Sejarah Nasional, Sejarah Regional
atau bahkan Sejarah Dunia. Namun demikian bisa juga terjadi bahwa
relasional tidak atau kurang dapat dijelaskan diantaranya.
Minimal penjelasan relasional dibuat terhadap sejarah lokal dari
daerah-daerah yang terdekat dengannya. Misalnuya, relasi-historis antar
situs, antar desa/kampung, atau antar daerah. Hal itu memang tidak mudah
dilakukan oleh guru sajarah, terlebih bila tidak memiliki pemahaman
yang komprehensif mengenai sejarah daerahnya atau sejarah wilayahnya.
Contoh tentang relasi historis antar areal lokal adalah: Kutaraja (kini
‘Kuthobedah’) Singhasari (kini ‘Singosari’) Pelabuhan Pasuran dan
Hujung Galah dalam konteks relokasi kadatwan Tumapel terkait dengan
doktrin politik-eksternal kerajaan Singhasari yang dinamai
“Cakrawalmadala Jawa’ dan ‘Cakrawalamandala Nusantara’ semasa
pemerintahan Wisnuwarddhana dan Kretanegara (paro kedua abad XIII
Masehi), yang untuk kepentungan dibutuhkan akses ke Jalur Simpang Selat
Madura.
Penyajian Sejarah Lokal dalam relasinya dengan Sejarah
Nasional diberi penjelasan sebagai berikut. Jordan menyatakan bahwa
salah satu karteristik Sejarah Lokal Modern adalah semakin kurang
terlokalisasikan. Sejarah Lokal makin bersifat ‘melebar’, menuju ke arah
perbandingan-perbandingan yang meluas. Begitu pula dasar-dasar
acuannya. Bidang perhatian kian mengarah ke lingkup regional bahkan
antar regional. Hal ini berarti sejarah lokal pada dasarnya bukanlah
studi sejarah yang terisolasi. Eksistensi Sejarah Lokal disamping
Sejarah Nasional dilukiskan dengan: yang kecil kurang dapat dimengerti
tanpa memperhatikan keseluruhan yang besar, dan sebaliknya.
Sejalan itu, Teuku Ibrahim Alfian mengidentifikasikan relasi Sejarah
Lokal-Sejarah Nasional sebagai berikut: (a) pertulisan suatu lokaliti,
baik besar maupun kecil, tidak dapat dipisahkan dari faktor luar yang
turut mempengaruhi; (b) aspek nasional maupun internasional tercermin
dalam dinamika lokal; (c) peristiwa Sejarah Lokal hanya bisa difahami
dengan baik manakala dihubungkan dengan dimensi Sejarah Nasional; (d)
peristiwa lokal-nasional hanya bisa dengan baik dimengerti bila ditarik
ke dalam ‘perspektif makro-mikro’-nya; (d) perkembangan sejarah pada
tingkat nasional lebih tampak realitasnya di tingkat lokal. Wasino
(2009:2) memberikan penjelasan tambahan: (e) Sejarah Lokal adalah
sejarah yang posisi kewilayahannya berada di bawah Sejarah Nasional; (f)
Sejarah Nasional ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang ekstra lokal,
yaitu oleh perimbangan kekuatan pada tahap nasional dan tekanan dari
kekuatan internasional.
Menurut F.A. Soetjipto tingkat
keterkaitan Sejarah Nasional dan Sejarah Lokal berbeda-beda. Sejarah
Nasional memberi penekanan telaah pada gambaran yang lebih luas dan
menyeluruh lingkungan bangsa dengan tidak memberi perhatikan pada
detail-detail peristiwa lokal, kecuali apabila hal itu memang diperlukan
untuk mendukung gambaran dalam rangkaian Sejarah Nasional. Sedangkan
dalam Sejarah Lokal, perhatian utama justru peristiwa-peristiwa di
lingkungan sekitar pada suatu lokalitas sebagai suatu kebulatan, dan
menempatkan Sejarah Nasional sebagai latar belakang dari
peristiwa-peristiwa khusus di lokalitas tersebut. Perbedaan
lokal-nasional bukanlah terletak pada tingkat abstraksi dan
generalisasinya – semakin nasional semakin kurang detailnya, tetapi pada
orientasinya. Bila sejarah nasional menuntut problematik yang menuju
integrasi dari berbagai lokalitas, sejarah lokal tidak memerlukan ini.
Masalah lokal adalah ‘masalah lokal’, dan segala soal berkisar pada
dirinya. Oleh karena itu, semestinya Sejarah Nasional tidak difahami
semata sebagai ‘akumulasi atau gabungan’ dari peristiwa-peristiwa di
tingkat lokal atau kepentingan satu dua lokal yang strategis, mengingat
bahwa tiap-tiap lokalitas mempumyai realitas kesejarahannya sendiri dan
hanya dimengerti dalam rangka lokalitas itu. Selain itu Wasino (2009:2)
menyatakan: tak semua Sejarah Lokal mempunyai relasi dengan Sejarah
Nasional. Sejarah lokal bisa mencakup peristiwa-peristiwa yang memiliki
kaitan dengan Sejarah Nasional maupun peristiwa khas lokal yang tidak
berelasi dengan peristiwa-peristiwa yang lebih luas seperti nasional,
regional atau internasional.
Sejarah lokal seringkali pula
dipahami sebagai bagian sejarah nasional. Hal ini dilatarbelakangi oleh
pandangan bahwa Studi Sejarah Lokal dibutuhkan untuk memperoleh
bahan-bahan bagi penyusunan Sejarah Nasional. Namun demikian apabila
tidak tepat dilsakukan, pada akhirnya hanya menghasilkan Sejarah
Nasional versi lokal. Fakta lainnya adalah realitas di daerah bisa
berubah-ubah. Terkadang peristiwa nasional yang penting dalam kategori
Sejarah Nasional justru tidak mempunyai arti apa-apa pada Sejarah Lokal.
D. Ambiguitas Batas Keluasan ‘Lokal’ dalam Sejarah Lokal
Definisi umum sejarah (history) adalah masa lampau umat manusia. Setiap
bangsa memiliki sejarahnya sendiri-sendiri, sesuai dengan perkembangan
budaya, sosial, ekonomi dan politik dari bangsa bersangkutan. Sejarah
Indonesia adalah Sejarah Nasional Bangsa Indonesia, yang meliputi
seluruh jaman atau masa dan seluruh daerah yang bernama ‘Republik
Indonesia’. Mengingat cakupan areanya itu, maka selain Sejarah Nasional
terdapat pula istilah di dalam Ilmu Sejarah untuk areal lebuh kecil,
yang dinamai ‘Sejarah Lokal’.
Sejarah mencakup segala peristiwa
di masa lampau, yang terjadi dalam ruang dan pada waktu. Waktu (time)
dan ruang (space, spatial) adalah dua aspek yang dapat digunakan untuk
membuat kategorisasi sejarah. Aspek waktu, tepatnya lapis-lapis masa
(time layers), bisa dijadikan parameter untuk memformulasikan
periodisasi (pembabakan, pengkerangkaan) sejarah, yakni pengelompokan
dan penataurutan peristiwa-peristiwa sejarah dalam kelompok atau kurun
waktu menurut kerangka tertentu. Adapun aspek spasial (keruangan) dapat
dijadikan parameter untuk mengelompokan peristiwa-peristiwa sejarah
menurut keluasan ruang dimana peristiwa masa silam itu berlangsung.
Dalam ‘Arkeologi Keruangan (Spatial Archaeology)’, keberadaan artefak
masa lalu di dalam ruang dikelompokkan menjadi: (a) Arkeologi-keruangan
tingkat makro, (b) Arekologi-keruangan tingkat meso atau semi-makro atau
semi-mikro, dan (c) Arkeologi-keruangan tingkat mikro. Peringkat makro,
meso dan mikro dapat pula diterapkan untuk ketegorisasi sejarah, dengan
sebutan : (a) sejarah-makro (macro-history), (b) sejarah-meso
(meso-history), dan (c) sejarah-mikro (micro-hitory). Catatan: dalam
kategorisasi Sejarah tak dikenal ‘sejarah-meso’.
Kategorisasi
sejarah menurut aspek keruangan menggunakan pula sebutan: (a) Sejarah
Dunia/Internasional (Word/International-History), (b) Sejarah-Regional
(Regional-History), (c) Sejarah-Nasional (National-History), dan (d)
Sejarah-Lokal (Local-History). Sejarah Lokal dapat disejajarkan dengan
‘mikro-histori (sejarah-mikro)’. Pada tulisan ini dipakai sebutan
‘Sejarah Lokal’ dalam pengertian kurang-lebih sama dengan
‘sejarah-mikro’. Gambaran Sejarah Lokal sebagai ‘mikro-histori’ itu
tidak sedikit kegunaannya untuk melengkapi dan memperjelas gambaran
keaktifan kemanusiaan warga bangsa Indonesia seluruhnya dalam Sejarah
Indonesia. Yang relatif lebih statis daripada itu adalah kategorisasi
secara sosio-kultural.
Lingkup historis dapat dibedakan menjadi
yang bersifat meluas disebut ‘dimensi makro’, adapun yang sempit dan
terbatas lingkupnya dinamai ‘dimensi mikro’. Melihat peristiwa sejarah
dengan mempergunakan dimensi-makro mengandung anggapan yang menjadikan
kesatuan lingkungan sejarah sebagai kesatuan studi yang lebih bermakna
dan lebih utuh. Sebaliknya sejarawan praktis, yang biasa melakukan
kegiatan di lapangan dan tanpa terikat metode spekulatif, terbiasa
berhadapan langsung dengan sumber sejarah yang tidak tersusun. Mereka
lebih melihat kesatuan lapangan studi sejarah yang dapat dipahami
(intelligible) itu sebagai berada dalam lingkungan sejarah-mikro.
Lingkungan sejarah mikro mempunyai dinamika sejarahnya sendiri, yaitu
pada realitas-realitas yang bersifat khusus (unik). Pemikiran yang
demikian ditegaskan oleh Taufik Abdullah bahwa betapapun tingginya
keuniversalan umat manusia, perhatian kepada hal-hal yang partikultural
dan khusus akan lebih memperjelas sasaran Ilmu Sejarah, yaitu pergumulan
umat manusia dan realitasnya”. Berdasar pemikiran ini tergambar bahwa
studi sejarah mikro memiliki dasar-dasar yang kuat untuk dikembangkan
menjadi Studi Sejarah yang otonom.
Secara hariah kata ‘lokal
(local)’ antara lain berarti setempat, terjadi (berlaku, ada, dst.) di
suatu tempat, tidak merata (KBBI, 2002:680). Kata ‘lokal’ bisa juga
diartikan sebagai bagian dari lingkungan atau areal yang lebih luas.
Kata ‘lokal’ sering disinonimkan dengan ‘daerah’, yang secara harafiah
antara lain berarti lingkungan pemerintah, wilayah; tempat sekeliling
atau yang termasuk di lingkungann suatu kota; tempat di suatu lingkungan
yang sama keaadaannya (KBBI, 2002:228). Istilah ini menunjuk pada
lingkungan geografis tertentu. Selain itu, istilah ‘daerah’ cenderung
dihubungkan dengan pembagian teritorial administratif-politis. Dalam
administrasi pemerintahan terdapat dua peringkat daerah, yaitu: (a)
propinsi – dahulu disebut ‘Daerah Tingkat I’, dan (b) kota/kabupaten –
konon ‘Daerah Tingkat II’.
Dari sudut arealnya, lingkup daerah
‘dapat diperluas’ dan ‘dipersempit’, yaitu seluas wilayah propinsi atau
bisa juga seluas kota/kabupaten, bahkan penyempitannya bisa diteruskan
hingga seluas desa.
Selain itu terdapat pengertian yang ambigu
pada penggunaan istilah ‘daerah’ untuk memberikan gambaran sejarah
sebuah daerah, yaitu pengertian ‘daerah’ sebagai: (a) kesatuan
teritorial atau unit administratif, dan (b) kesatuan etnis-kultural.
Daerah sebagai kesatuan unit teritorial atau administratif senantiasa
berhubungan dengan aspek politik. Terdapat jenjang-jenjang tertentu atau
hirarki untuk bisa disebut ‘daerah’, misalnya kabupaten, propinsi, dst.
Dalam pengertian politik, “daerah” merupakan subordinat dari “pusat’
atau ‘nasional”. Sedangkan daerah sebagai unit etnis-kultural berkaitan
dengan “kelompok masyarakat” yang dinamis, dalam artian terus mengalami
perubahan. Tiap-tiap etnis menjadi satu kesatuan historis tersendiri
dan mempunyai konsep mengenai masa lampau yang unik. Demikianlah, batas
keluasan areal dari ‘lokal’ dan ‘daerah’ sukar untuk ditentukan secara
definitif, sehingga sulit pula untuk dapat merumuskan seberapa luas
areal jangkau dari apa yang disebut ‘Sejarah Lokal’.
Sebenarnya,
luas-sempitnya daerah atau lokalitas bukan ukuran untuk menyatakan
penting atau tidaknya daerah dari sudut sejarah. Bisa saja suatu daerah
yang kecil atau sempit lebih penting sejarahnya daripada daerah lain
yang berwilayah lebih luas.. Oleh karena kata ‘lokal’ dan ‘daerah’
dipandang bersinomim arti, maka ‘Sejarah Lokal” dan ‘Sejarah Daerah’
difahami sebagai dua perkataan yang bersejajar pengertian. Di Indonesia
Sejarah Lokal dikenal juga dengan sebutan ‘Sejarah Daerah’. Kedua
istilah itu acap digunakan berganti-ganti tanpa penjelasan secara tegas.
Sebaliknya, Taufik Abdulah (1979) tidak setuju ‘lokal’ disamakan dengan
‘daerah’ – Sejarah Lokal disamakan dengan Sejarah Daerah, karena daerah
indentik dengan konsep politik. Seyogianya dalam kajian sejarah
digunakan istilah ‘lokal’ – yaitu menjadi ‘Sejarah Lokal’, yang lebih
netral serta tidak berkonotasi politis.
Sebagai salah sebuah
kategori sejarah, Sejarah Lokal mendasarkan pada segi geografis, yaitu
lingkungan, wilayah, atau lokalitas. Dengan demikian maka Sejarah Lokal
dapat dinyatakan sebagai bentuk penulisan sejarah dalam ‘lingkup yang
terbatas’, yang meliputi lokalitas tertentu (Widja, 1989:13).
Keterbatasan lingkupnya itu biasanya dikaitkan dengan unsur wilayah
(spatial). Menurut Taufik Abdulah (1982), batasan keluasan area untuk
apa yang dimaksud dengan ‘tempat, wilayah atau ‘lokalitas’ tersebut
ditentukan oleh perjanjian dari penulis Sejarah Lokal bersangkutan
terhadap khalayak.
Penekanan Sejarah Lokal adalah pada peristiwa
sejarah di lokalitas tertentu, sebagai bagian daripada unit sejarah
bangsa, atau lebih tepat adalah negara. Sejalan dengan itu, Wasino
(2009:2) mengemukakan bahwa Sejarah Lokal sebagai sejarah yang posisi
kewilayahannya berada di bawah Sejarah Nasional. Namun demikian, bukan
berarti bahwa semua Sejarah Lokal mempunyai keterkaitan dengan Sejarah
Nasional. Sejarah lokal dapat mencakup peristiwa-peristiwa yang memiliki
keterkaitan dengan Sejarah Nasional maupun peristiwa-peristiwa khas
lokal yang tidak berelasi dengan peristiwa yang lebih luas seperti
nasional, regional, atau internasional.
Dalam pengertian
obyektif, Sejarah Lokal adalah suatu proses perkembangan aktivitas
manusia di daerah tertentu, pada lingkungan geografis tertentu, yang
dari sudut arealnya dapat diperluas atau bisa juga dipersempit
(Sutjipto, 1970:36). Perspektif ini menekanan pada pengertian letak
geografis. Untuk konteks Sejarah Indonesia, Sejarah Lokal adalah sejarah
yang terjadi di daerah tertentu dalam wilayah Indonesia. Sedangkan
dalam pengertian subyektif, Sejarah Lokal adalah uraian atau cerita
mengenai keaktifan kemanusiaan di daerah tertentu. Sejarawan Inggris
Jordan mengemukakan bahwa sejarah lokal adalah sejarah tentang asal usul
pertumbuhan, kernunduran dan kejatuhan suatu kelompok masyarakat lokal.
Sejauh ini belum terdapat rumusan yang memuaskan tentang ‘apa
Sejarah Lokal?’. Sejarawan Inggris H.P.R. Finberg menyatakan ‘......
tidak ditemukakan definisi Sejarah Lokal secara eksplisit’. Menyikapi
itu, Taufik Abdullah (1982) mencoba untuk mendifinisikan Sejarah Lokal
sebagai peristiwa masa lampau yang terjadi di tingkat lokal, yang
batasannya dibuat atas kesepakatan atau perjanjian penulis sejarah.
Batasan lokal berkenaan dengan aspek geografis, berupa tempat tinggal
suku bangsa, kota kecil, atau desa. Luasan suatu rungan dikatakan
‘lokal’ bila menujuk pada tempat tertentu atau berwujud lokalitas, yang
berupa kampung, desa hingga daerah dan wilayah. Pendek kata, Sejarah
Lokal berhubungan dengan unsur wilayah (spatial). Sejarah lokal
mengandung arti suatu tempat atau lokasi tertentu serta waktu yang
tertentu pula, padamana peristiwa masa lampau terjadi.
Sejarah
lokal dapat berupa sejarah desa tertentu, kota tertentu, keluarga
tertentu, atau organisasi daerah tertentu di suatu komunitas. Ada pula
yang mendefinisikan Sejarah Lokal sebagai sejarah daerah tertentu, yang
disitilahi dengan ‘Sejarah Daerah’ oleh R. Moh. Ali (2005:155). Dalam
hal pembabakan,
Pembabakan Sejarah Lokal tidak musti sama dengan
pembabakan pada Sejarah Nasional. P.D. Jordan menyatakan bahwa
disamping sebutan ‘Sejarah Lokal (Local History)’, di Negara-negara
Barat terdapat sebutan lain, yaitu “Neighborhood History’ atau
‘Community History’, yang diartikan dengan “the entire range of
possibilities in a person’s immediate envi-ronment”. Sejarah Lokal tidak
hanya mendasarkan pada ruang lingkup spasial – seperti desa, kota,
kabupaten dan propinsi, melainkan juga pada pranata sosial dan unit
budayanya. Sejarah Lokal dengan demikian meliputi seluruh lingkungan,
yang dapat berwujud kesatuan wilayah seperti desa, kecamatan, kabupaten
dan satuan wilayah lain, atau berupa anasir sosial-budaya yang ada di
lingkungan tersebut.
Unsur sosial-budaya dapat berupa keluarga,
pola pemukiman, mobilitas sosial, pasar, teknologi pertanian, lembaga
pemerintahan setempat, dsb. Pernyataan Jordan tersebut dijadikan bahan
oleh I Gde Widja (1989) untuk mendefinisikan Sejarah Lokal sebagai studi
mengenai kehidupan masyarakat atau komunitas khusus dari lingkungan
tertentu dalam dinamika perkembangan berbagai aspek kehidupan. Jelas
bahwa Sejarah Lokal adalah bidang sejarah yang bersifat geografis, yang
mendasarkan pada unit kecil seperti daerah, kampung, desa, komunitas
atau kelompok masyarakat tertentu (Abdullah, 1994:52).
Aspek
kultural yang mencerminkan unit lokalitas, sebagaimana tergam-bar dalam
perkembangan sejarahnya, adalah pula aspek terkaji di dalam Sejarah
Lokal. Oleh karena itu cukup alasan untuk menyatakan Sejarah Lokal
sebagai studi mengenai kehidupan masyarakat masa lalu, khususnya
komunitas pada lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam dinmika
perkembangan berbagai aspek kehidupan. Terkait itu, Taufik Abdulah
mendefiniskan Sejarah Lokal sebagai sejarah daerah-daerah etnis-kultural
yang berada di suatu lokalitas dan sebagian wilayah Republik Indonesia.
Dalam pengkajianya, selain menggunakan pendekatan luas areal,
waktu dan tema berserta aspek-aspeknya, analisis Sejarah Lokal perlu
pula menggunakan pendekatan multidimensional.
Dalam
pengertian-pengertian sebagaimana terpapar diatas tergambarlah bahwa
Sejarah Lokal berkenaan dengan kisah masa lalu dari kelompok masyarakat
tertentu di daerah geografis yang terbatas atau di lokasi yang kecil,
yaitu desa hingga kota tertentu. Oleh karenanya, studi Sejarah Lokal
memusatkan perhatian kepada kehidupan masyarakat, khususnya komunitas di
lingkugan sekitar dalam dinamika berbagai aspek kehidupan manusia di
masa lampau. Sejarah Lokal tidak senantiasa membicarakan tentang sejarah
lokal tradisional, semisal babad, hikayat, lontara, tambo, atau
lainnya, melainkan sejarah yang mengkisahkan regionalitas, kedaerahan
secara batasan-batasan tertentu, misalnya melalui batasan geografis atau
keberadaan suku yang mendiami tempat tersebut. Memang, tak dapat
dipungkiri bahwa dalam Sejarah Lokal terdapat apa yang disebut ‘‘babad,
riwayat, hikayat, lontara, tambo, dsb.’, yang berisi asal usul daerah
tertentu. Kebanyakan penulis sejarah lokal jenis ini sekedar menulis
untuk memberi informasi mengenai asal-usul daerah, yang dalam
penulisannya prinsip penggunaan sumber yang sesuai terkadamg diabaikan.
Semoga tulisan bersahaja ini membuahkan kegunaan.
Salam sejarah, "Jasmerah'.
Nueun.
Salam sejarah, "Jasmerah'.
Nueun.
Sengkaling, 26 Agustus 2016
(Sumber : Facebook Dwi Cahyono)