![]() |
Festival Kampung Cempluk, Malang / facebook |
'Festival Kampung Cempluk' hari ke-1
Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog dan Dosen UM)
Tulisan ini hanyalah narasi singkat mengenai ‘ritus manusuk sima’,
yang disimuulasi-kan sebagai salah satu butir kegiatan, yaitu sesi
kegiatan pertama yang berupa Kirab Budaya, dalam rangka Festival
Kampung Cempluk VII tahun 2016. Kirab yang tematik sebagaimana ini
barulah diselenggarakan pada tahun ini, yang pada tahun-tahun sebelumnya
(festival I-VI) belum dilaksanakan. Dengan hadirnya tema ini, maka
Festival Kamung Cempluk menjadi ki-an sarat makna, yang dilakukan dengan
mengeksplorasi khasanah budaya lokalnya. Semoga pada perhelatan tahun
mendatang (2017), kirab tematik ini dapat lebih disempurnakan.
A. Kalisongo, Desa Perdikan Masa Lampau
Desa Kalisongo, yang konon bernama ‘Palakan’ adalah salah sebuah desa
perdikan (sima, swatantra) yang diangerahkan (winaranugrahaken) oleh
Rajarsi Jigjaya – nama lengkap menurut Prasasti Sirah Keting (1204 M)
adalah “Jayawarsa Digjaya Sastraptabhu’ – kepada sejumlah desa (thani)
yang berada di sebelah timur (sakarida) G. Kawi. Pengubahan status Thani
Palakan dari desa biasa menjadi desa perdikan dikukuhkan lewat maklumat
(charter) ra-ja (sabdhanata), yang kemudian disuratkan (tunulis)
menjadi prasasti, yaitu prasasti berbahan tembaga (tamraprasasti)
Ukirnegara atau Pamotoh bertarikh Saka 1120 (1198 Masehi).
Pengu-kuhannya diwakili oleh Dyah Limpa, yang kala itu menjabat sebagai
‘Rakryan Pamotoh’, yang berkedudukan di Gasek (kini nama suatu dusun
pada Kelurahan Karangbesuki Kota Malang, dekat Candi Badut). Prosesi
penetapannya melalui sutu ritus, yang dinamai ‘manusuk sima’.
B. Ritus Manusuk Sima Thani Palakan (Kalasanga)
1. Perangkat Upacara
Sebagai suatu upacara keagamaan (rite), ritus manusuk sima membutuhkan
perlengkap-an ritual dan sesajian. Perlengkapan ritual utama berupa: (1)
Sang Hyang Watu TĂȘas atau Sang Hyang Watu Sima, dan (2) Sang Hyang
Kulumpang. Bentuk Sang Hyang Watu TĂȘas menyeru-pai Lingga, namun hanya
terdiri atas dua bagian (dwibhaga), yaitu empat persegi dan silindris.
Adapun Sang Hyang Kalumpang menyerupai bentuk Uoni. Kedua perangkat
upacara ini nan-tinya satukan, dengan menancapkan (manusuk) Sang Hyang
Watu Teas ke lobang Sang Hyang Kalumpang, menyerupa integrasi
Lingga-Yoni. Watu teas-kalumpang adalah perangkat utama ritus ini,
sehingga usai upacara para hadirin menyembah Sang Hyang Watu Sima.
Prosesi inilah yang diistilahi dengan ‘manusuk sima’ atau lengkapnya
‘susuk teas kalumpang tinanam ning kudur’. Yang dimasud dengan ‘kudur’
dalam konteks ini adalah tempat padamana ritus manu-suk sima
diselenggarakan, yang juga diistilahi dengan ‘witana’, karenanya
pemimpin upacara disebut ‘Sang Makudur’.
2. Korban dan Sesajian
Ada dua perangkat korban pada ritus manusuk sima, yaitu: (1) ayam
(hayam), dan (2) telor (hanlu). Dalam ritus ini, telor dibanting tepat
pada Sang Hyang Watu Sima (Watu Teas), yang diislahi dengan
‘mamantingaken hantlu i Sang Htang Watu Sima”. Adapun ayam dipo-tong
(disembelih) dengan menggunakan Sang Hyang Kalumpung sebagai pelandas
potong, yang diistilahi dengan ‘manetek gulu ning hayam linandasaken ing
susuk Kalumpang’. Makna yang terkandung di dalam prosesi ini adalah
simbilisasi dari suatu ikar (keputusan raja) terait dengan penetapan
sima, pada hakekatnya berkenaan dengan pebgubahan satus suatu desa atau
sebudang bidang tanah dari yang semlua berstatus ‘biasa’ menjadi
berstatus ‘perdikan’. Ikrar ini diharapkan bersiaf abad, tak dilanggar
apalagi dibatalkan, karena masa laku keputusan ini adalah lintas
generasi. Membating telor adalah ibarat pecahnya telor, seingga tak
mungkin diu-tuhkan kembali, yang diistilahi dengan ‘kadi lwirnikang
hantlĂș remuk satasirna ...(seperti telur yang telah remuk
berkeping-keping)”. Adapun memotong leher ayam sebagai ibarat mengenai
tewasnya ayam – lantaran disembelih, yang tidak mungkin dihidupkan
kembali ‘kadyaganing hayam pjah tan waluy mahurip (tubuh ayam yang telah
mati yang tidak dapat kembali hidup lagi)’.
Keniscayaan ikrar juga
digambarkan dengan kalimat ‘kadi pamnah sang hyang brahma tumunuĂź ikang
kayu saka gĂȘgöngan hilang geseng tanpa hamban hawu kerir (seperti api
mem-bakar kayu, karena apinya besar maka kayu terbakar semua dan abunya
hilang tertiup angin)’. Terkait itu, pasca membanting telor dan memotong
leher ayam, dilakukan pula tindakan sim-bolik ‘menabur abu’.
Sesajian yang dipersembahan berupa makanan, yang dilakukan dalam bentuk
kenduri sebelum manusuk sima dan membungkus untuk dibawa pulang
(mem-berkat) sisa makanan yang dikendurikan. Untuk itulah, maka para
peserta upacara menambah lembar daun pisang, sebagai wadah sisa makanan
yang telah dikendurikan. Penganan ini adalah sesajian (banten), yang
dipersembahankan kepada dewata yang diharapkan menjadi pelindung sang
hyang sima. Sesajian lainnya berupa derma, yang itu barang-barang
pemberian (pasek-pasek) yang berikan kepada perwakilan dari desa-desa
tetangga (wanua tpi siring), yang diundang hadir sebagai saksi dalam
mementum perubahan status desa atau sebidang tanah dari satutus ‘biasa’
menjadi ‘sima;. Hal ini ibarat balas jasa atas kesaksiannya, dan
sekaligus espresi ‘pemberian (derma, danaunia) kepada pihak lain yang
telah berjasa kepadanya.
3. Mantra dan Sapata
Doa dan
mantra adalah hal penting dalam upacara keagamaan. Pembacaan mantra juga
dilakukan di dalam ritus manusuk sima. Selain mantra diucapkan pula
sumpah serapah, semacam kutukann (sapata) yang tijukan kepada siapa saja
yang melanggar ketentuan di dalam kutusan raja (sabdanata) tersebut.
Mantra dan sapata tersebut diucapkan oleh Sang Makudur, yang bertindak
sebagai pemimpin upacara. Sapata adalah salah satu bentuk ‘sangsi’
terhadap pihak pelanggar hukum, karena isi prasasti pada hakekatnya
adalah kodeks hukum yang perlu untuk ditaati, dan bagi pelanggar,
pengganggu, atau pengusiknya pada kemudian hari bakal ditimpai sangsi.
Hanya saja, dalam konteks ini sangsi tersebut bersifat ‘religio-magis’,
dalam bentuk kutukan (sapata) dengan menggunakan kata-kata ancaman yang
mengerikan dan permohon-an kepada dewata untuk tutut melindungi isi
keputusan (isi prasasti) itu.
Manakala sapata diucapkan dengan
lantang – supaya didengar oleh seluruh hadirin, bersamaan itu abu
ditaburkan. Kalimat ancaman yang mengerikan itu antara lain adalah
‘pan-ca mahapataka’, yaitu lima jenis petaka atau kesengsaraan pada
sepanjang masa, seperti: (a) dibelah kepalanya (blah kapalanya), (b)
disobek perut dan ususnya (sbitaken wtangnya rantan usunya), (c)
dikeluarkan isi perutnya (wtuaken dalamannya), (d) dimakan hati maupun
dagingnya (duduk hatinya pangan dagingnya), serta (e) diminum darahnya
(inum rahnya) oleh para mahluk halus. Selain itu, dinyatakan agar mereka
dimasukkan ke dalam neraka jahanam (mahĂąrorawa) dan direbus di dalam
kawah Sang Yama (tibĂĄkan ing mahĂąrorawa klĂąn i kawah Sang Yama). Selain
itu disampaikan harapan hegatif yang semoga bakal me-nimpanya, sperti
disambar petir (glap), dipatuk ular, dimakan harimau (mong), dicaplok
buaya (wuhaya), dsb.
4. Tata Urutan Kegiatan Ritus
Upacara manusuk sima meliputi serangkaian kegiatan. Dalam hal ini
terdapat kegiatan kategori: (1) pelengkap upacara, yaitu ragam kegiatan
yang menjadikan upacara lengkap, jika tidak maka upacara itu menjadi
tidak sempurna bahkan ‘batal’. serta (2) penyemarak upacara, yaitu ragam
kegiatan yamg dimaksudkan untuk menyemarakkan upacara, yang disajikan
pas-ca kegiatan inti (ritus). Kegiatan ini tidak berkenaan dengan syah
tidaknya atau sempurnanya suatu upacara, namun semata untuk memeriahkan
atau menyemarakkannya. Ragam kegiatan pelengkap upacara meliputi
bagian-bagian (komponen) integral sebagai berikut: (1) pemberi-an
pasek-pasek, (2) meletakkan sesajian untuk upacara di witana, (3) makan
minum bersama, (4) melakukan aktifitas yang diistilahli denggan
‘makawitha dan makamwang’, yakni kegiat-an pembukaan (awit), yang
dikakukan dengan mengucapkan maklumat raja (keputusan yang berkenaan
dengan penetapan desa/tanah sima), (5) duduk bersama dengan mengililingi
Sang Hyang Watu Sima dan Sang Hyang Kalumpang, (6) memotong leher ayam
dengan beralaskan Sang Hyang Kalumpang, (7) membating telor ke Sang
Hyang Watu Sima, (8) menancapkan (manusuk) Sang Hyang Watu Sima ke
lobang Sang Hyang Kalumpang, (9) menyembah pada Sang Hyang Watu Teas
(Watu Sima) dan Sang Hyang Watu Kalumpang, (10) pengucapan sa-pata
secara lantang disertai dengan penaburan abu, (11) mengililingi
Kalumpang dan Watu Sima dengan urutan para pelaku sebagai berikut: (a)
di sebelah timur adalah wakil desa yang ditetapkan sebagai sima
(diwakili oleh rama-rena, yaitu kepala desa dan istrinya), (b) sebelah
selatan adalah Sang Wahuta Patih dan para wakil dari wanua tpi siring,
(c) sebelah barat ada-lah Sang Wahuta, Hyang Kudur, Sang Tuha Mamuan
Wuwus, (d) sebelah utara adalah para Pamgat (pemutus perkara, pertugas
peradilan), adapan (e) pada titik sentrum (tengah) berupa witana –
padamana Sang Hyang Watu Teas (Watu Sima) dan Sang Hyang Kalumpang
berada.
Kegiatan selanjunya masuk dalam kategori ‘penyemarak
upacara’, yang dikaukan pa-da pasca ritus manusuk sima, baik pada siang
hari – makala ritus diselenggarakan – maupun pada malam harinya, yang
antara lain berupa: (1) para paserta menambah lembar daun pisang untuk
membungkus sisa makanan yang telah dikendurikan, dan (2) penyajiakan
aneka seni-pertunjukan sebagai ekspresi suka-cita seperti pementasan
tari (mangigel), pertunjukan lawak (mabanyol), pertunjukan topeng
(matapukan), pertunjukan wayang (mawayang) yang biasa-nya mementaskan
lakom suci (mawayang buat hyang), pertunjukan teater dengan lakon dari
wiracarita Ramayana atau Mahabarata, serta aneka hiburan lain.
D. Personil Kirab-Budaya Manusuk Sima
Iring-iringan peserta kirab budaya adalah sebagai berikut: (1)
pengusung tandu, yang terdiri atas empat orang menandu kalumpang (Sang
Hyang Watu Lumpang) dan dua orang menandu watu sima (Sang Hyang Watu
TĂȘas, Sang Hyang Watu Sima), (2) Sang Makudur, yang bakal bertindak
sebagai pemimpin ritus manusuik sima; (3) Rakryan patang juru, yaitu
empat orang rakryan (para memimpin pemerintahan setingkat watak atau
watek), yang di dalam ritus hal ini bertindak mewakili Rajarasi Jigjaya
(Digwijayasastraprabhu) – penguasa kerajaan Pangjalu, yaitu: (a) Dyah
Limpa, yang berkedudukan di Gasek, (b) Dyah Mget, (c) Dyah Duhet
(toponimi arkhais ‘Duhet’ mengingatkan kepada ‘Dusun Duwet’ Kelurahan
Pisangcandi), dan (d) Dyah Tamani, yang dalam penetapan sima untuk
peristiwa ini adalah sejumlah desa (thani) di areal watak Pamotoh ini,
sehingga Dyah Limpa lah yang bertindak membacakan maklumat (sabdanata)
dari Rajarsi Jigjaya; (4) Pimpinan thani atau semacam ‘kepala desa
(rama)’ beserta istrinya (rena), sebagai pihak yang memperoleh
waranugraha (anugerah) status perdikan (sima, swatantra). (5) Sang
Wahuta Patih dan para saksi, yang terdiri atas empat hingga delapan
orang warga desa tetangga (wanua tpi siring) yang diundang hadir sebagai
saksi dalam ritus manusuk sima thani Kalisanga; (6) Sang Wahuta, Hyang
Kudur, Sang Tuha Mamuan Wuwus dan para Pamgat, (7) Seorang penari, yang
mengiringi ritus manu-suk sima dalam kondisi trance; serta (8) warga
thani Kalisanga.
Para personil kirab-budaya temaitik ini menuju
ke waitana (kudur), dan selanujutnya melakukan ritus ‘simulatif’ yang
bertema ‘manusuk sima thani Kalisanga’. Tata urutan penye-lenggaraan
ritus sebagaimana telah dipaparkan pada alinea terdahulu, demikian pula
maksud dan maknanya. Sesi ini merupakan sesi terakhir dan sekaligus
puncak dari Kirab-Budaya pada Festival Kamplung Cempluk VII pada hari
Selasa siang, 20 September 2016. Semoga menjadi sajian yang unik,
menarik dan bermakna. Salam budaya “Nusantarajayati’.
PATEMBAYAN CITRALEKHA,
Sengkaling 20 September 2016
Sengkaling 20 September 2016
Catatan: melengkapi tulisan yang telah diunggah di FB oleh Joko Laksono PutroSUMUK
(Sumber : Akun Facebook Dwi Cahyono).