DEWI "IBU" HARITI : DEWI PENYAYANG DAN PELNDUNG ANAK


Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog - Sejarahwan Nusantara)

A. Mitologi Dewi Hariti 

Sayang pada anak adalah tuntunan luhur, yang telah semenjak Masa Hindu-Buddha dajarkan ke publik. Demikian pentingnya kasih-sayang dari orang tua, utamanya ibu terhadap anak-anak, sampai-sampai terdapat Dewata yang mengemban fungsi spesifik sebagai Dewi Penyayang Anak, dengan sebutan De- wi Dewi Hariti -- dalam sebutan lokal Jawa dan Bali adalah "Menbrayut (biar membiak)". 

Uniknya, ada gambaran raut muka yang demonis pada diri Hariti, yakni bertaring, sebagai petanda "buas atau makh- luk pemansa". Mengapa fisiografisnya digambarkan bertaring? Dalam mitologinya Hariti bersama suami  (Pancika) dikisahkan memiliki 500 orang anak. Sea- akan Rahim Hariti menjadi pengharapan bagi selu- ruh calon anak anaknya. Demi menghidupi diri serta janinnya tersebut, Hariti kerap menculik anak-anak orang lain di Rajagirha untuk dibunuh dan dimakan dagingnya. Demikiankah latar kepemangsaannya, yakni memangsa anak-anak orang demi sayangnya kepada anak-anaknya. 


Rakyat Rajagirha mulai resah dan mengadu kepada Buddha, lantaran banyak anak-anak mereka yang hi- lang. Sang Buddha yang maha bijaksana membawa anak bungsu dan sekaligus anak kesayangan Hariti bernama Priyangkara ke sisinya. Alangkah terkejut Hariti saat pulang karena tidak mendapati anak ke- sayangannya di rumah. Hariti bersedih karena harus kehilangan satu diantara lima ratus anaknya. Hariti meminta Buddha untuk iembalikan Priyangkara ke pangkuannya. 

Peristiwa ini menyadarkan perbuatan negatfnya untuk tidak menculik dan memakan anak anak di Rajagirha. Akhirnya, Hariti mulai mengikuti ajaran Buddha, utamanya Dharma Ahimsa (pantang menyakiti dan membinasai makhluk hidup). Sejak saat itu, Hariti berubah menjadi sosok penyayang dan melindungi anak-anak, hingga dkenal sebagai Dewi Kesuburan serta Dewi Pelindung Anak.


B. Jejak Pemujaan Hariti dalam agama Buddha dan Hindu

Sebenarnya, konsepsi Dewi Pelindung dan Penya- yang anak tidak hanya dikenal di dalam Mahayana Buddhisme. Dalam ajaran Hindu, Dewi dikenal de- ngan nama “Men Brayut”. Hingga kini Hariti masih dipuja sebagai "Dewi Ibu" pada penganut agama Buddha, demikian pula Men Brayut masih dipuja sebagai Dewi Ibu pada penganut agama Hindu,  yang arca-arcanya kedapatan di sejumlah pura di Bali. Pada masa lalu (Masa Hindu-Buddha) jejak pemujaan terhadap Dewi Hariti kedapatan sebagai relief candi kedapatan pada Candi Mendut dan Candi Banyunubo dari "sub-periode sisipan" Buddhisme pada masa kerjaan Mataram (akgircabad VIII atau awal abad IX Masehi). Adapun sebagai "Menbrayut"  kedapatan arcanya di berada tempat di Jawa Timur masa Majapahit dan pada beberapa pura tua di pu- lau Bali. Keberadaan Hariti di candi-candi tersebut dimaksudkan untuk menangkal roh-roh jahat yang kerapkali mengganggu anak-anak. Dalam mitologi Hindu, Hariti dimitologikan sebagia istri (sakti) dari Dewa Kuwera (Jambhala) sebagai dewa kekayaan. 

Secara iknografis (baik pada arca ataupun relief candi) digambarkan sebagai seorang wanita (ibu) bersama sejumlah anak. Ada yang tengah berada dipangkuan hendak menetek, ada yang digendong- an, ada yang dalam tuntunan tangannya, dsb. Pada relief Dewi Hariti di Candi Banyunibo Dewi Hariti ha- dir bersama sebelas orang anak (bayi, anak kecil hingga sedikit lebih besar), yang beberapa dianta- ranya tengah memanjat pohon. Adapun pada relief Candi Mendut, Dewi Harit hadir bersama sembilan orang anak, yang diantaranya juga tengah melaku- kan panjat pohn. Paea seni arca, Menbrayut dahulu tidak hanya kedapatan di Bali, namun juga di Jawa  hingga Masa Majahit. Adapun di Pakistan, tepatnya di Peshawar (Gandhara), dijumpai relief Dewi Hariti memangku bayi, yang berasal dari abad II atau III Masehi. 


C. Wanita sebagai Figur Penyayang Anak

Semenjak dahulu, perempuan acapkali digambar- kan bertalian erat dengan anak-anak. Ada pendapat bahwa "naluri keibuan" kaum wanita yang melatari kedekatannya dengan anak. Hal demikian tergam- bar secara relgis lewat diri Dewi Hariti (Menbrayut), yang menjadi teladan mengenai wanita penyayang dan pelindung anak. Dewi Ibu ini telah hadir pada ritual di Jawa sejak akhir abad VIII atau.awal awal abad IX Masehi, serta berlanjut hingga memasuki Masa Majapahit. Bahkan, di lingkungan penganut Buddha dan Hindu masih kedapatan hingga seka- rang Tradisi panjang tersebut memberikan petunjuk bahwa sayang anak telah berurat-akar dalam tradisi sosio-kultura Jawa. 


Pada konteks sekarang, Ibu -- baik ibu kandung, ibu susuan, baby sister, biyung emban, dsb. adalah pa- ra perempuan yang berelasi erat dengan anak-anak. Ada banyak perempuan yang sangat sayang kepa- da anak. Apapun siap dilakukan sang bunda untuk anak-anaknya, yang malahan terkesan sebagai tin- dakan yang altruistik. Gambaran mengenai "sayang anak" hadir secara stilistik pada Tari Bondhan, yaitu tarian yang berasal dari daerah Surakarta, tepatnya Kecamatan Dukun, Salam, Sawangan pada lereng barat Merapi. Tari ini berkisah tentang kasih sayang ibu pada anak bayinya melalui menggendong jarit- nya dengan payung terbuka dengan hati-hati seeta penuh perhatian. Tarian ini mengingatkan kita pada sosok Nyai Bondan Kejawan, yakni pengasuh Dewi Sri (Ibu Kesuburan dalam mitologi Jawa) -- selepas tercipta dari telur yang dikulum naga Antaboga, lalu dititipkan pada keluarga petani, yakni Kyai dan Nyai Bondan Kejawan.


Kendati demikian, tidak juga tertutup kemungkinan ada wanita tertentu bersikap dan berperilaku kejam kepada anak. Beberapa dasawarsa terakhir terpetik berita tentang kekejaman perempuan, termasuk di dalamnya "ibu", terhadap anak, ... naudzubillah min dzaalik (kami/aku berlindung kepada Allah dari hal itu (merujuk pada hal yang buruk). Nuwun.

Sangkaling, 23 Juli 2022

Griyajar CITRQLEKHA 

(Sumber: Fb Dwi Cahyono)