KONSEPSI KULTURAL POHON BERINGIN DI TITIK SETRUM ALON-ALON JAWA : Masih Adakah dan Perlukah Kau Kini?

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Dosen UM)
Sumber foto ilustrasi : www.youtube.com
Sebagai realitas budaya yang telah ada semenjak masa Hindu-Buddha, konsep alun-alun tidak lepas dari kosmologi Hindu dan Buddha, yakni konsepsi tentang relasi makro dan mikro-kosmos. Menurut doktrin Brahma pusat jagad raya (cosmic axis) adalah Gunung Meru, yang pada puncaknya terletak istana para dewa, yang dirajai oleh Dewa Indra, dan karenanya dinamai ‘Kaindran’ (Geldern, 1985: 4). Kerajaan (karajyan, nagara) dari makhluk manusia adalah replika atau bentuk mikro dari Kaindran. Raja sebagai penguasa dunia (cakravartin) bersemayam di istana (kadatwan)nya, yang terletak di pusat dunia.

Secara simbolik pusat dari dunia digambarkan sebagai tanah lapang dengan pohon kehidupan/keabadian (kalpataru atau kalpawreksa) berada di bagian tengahnya, yang diwujudkan sebagai pohon beringin (pohon = taru, wreksa, keinginan = kalpa) dan dikelilingi atau dikurung oleh pagar berbangun bundar (ringin-kurung) pada titik pusat alun-alun yang berbangun persegi.

Selaras dengan konsepsi kosmologis itu, struktur tata kota tradisonal di Jawa terdiri atas suatu lapangan luas, yang ditengahya ditanami sebuah atau dua buah pohon beringin (Santoso, 1984:75). Delapan pohon beringin lainnya ditanam di bagian tengah dari keempat sisinya dan di tiap-tiap sudutnya. Dengan demikian hadir formula simbolik ‘mancapat’, yaitu (4) + 1 atau (4 x 2) + 1, yang menggambarkan empat atau delapan mata angin dan sebuah titik sentrum.

Pohon beringin yang adalah Jawanisasi dari pohon suci kalpataru merupakan komponen fisis-alamiah, yang secara simbolik bermakna pelindung bagi keabadian kerajaan dan pemerintahan yang berada di bawahnya, adalah unsur penting pada struktur arsitektural alun-alun klasik Jawa. Lapangan luas itulah yang oleh masyarakat Jawa semenjak dulu, setidaknya sejak abad XI, dinamai ‘alun-alun’.

Alun-alun disilang oleh dua macam garis sumbu (axis), yaitu: (1) garis sumbu timur – barat, dan (2) utara – selatan, dengan titik persilangan berupa ringin-kurung di bagian tengah alun-alun. Secara simbolik garis axis timur barat menggambartan sumbu vertikal, bermakna hubungan manusia dan Illahinya. Sisi barat mendapat muatan positif (pahala), dan karenanya tempat ibadah (masjid, gereja) ditempatkan di sisi barat. Areal di belakang Masigid Agung (Masjid Jami') acap dinamai "Kampung Kauman", yang sering betdekatan atau menyatu dengan Kampung Arab. Suatu klaster di pusat kota yang menyandang karakter religis. Sebaliknya, sisi timur diberikan muatan negatif (dosa), sehingga penjara ditempatkan di sisi timur.

Axis utara-selatan melambangkan sumbu horisontal, yang dimaknai hubungan antar manusia. Sisi utara menggambarkan relasi ‘kawulo-gusti’, yakni rakyat dengan penguasa, sehingga di daerah pedalaman Jawa pendopo kabupaten lazim ditempatkan di sisi utara. Oleh karena tempat kediaman dari penguasa (raja, bupati) berada di sisi utara alun-alun, maka dapat difahami bila bangunan tunggu bagi orang-orang yang hendak menghadap penguasa (paseban) ditempatkan di sisi utara. Selain paseban, di bagian utara alun-alun terdapat ruang terbuka, yang terkadang digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mengekspresikan aksi protesnya kepada sang penguasa dengan berjemur diri (pepe). Suatu klaster di pusat kota yang berfungsi administratif-pemerintahan.

Sisi selatan menggambarkan hubungan antar manusia dalam hal transaksi ekonomi, tepatnya antara penjual dengan pembeli yang berlansung di pasar. Oleh karenannya, pasar besar lazim kedapatan di sebelah selatan alun-alun. Di sekitar pasar inilah lazim terdapat permukiman warga Tiong Hoa, yang lazin dinamai "Pecinan ( Chinase Camp). Salah satu klaster di pusat kota yang menyandang fungsi ekonomik.

Gambaran rinci sebagaimana telah dipaparkan diatas belum secara eksplisit diperoleh informasinya di dalam sumber tertulis masa Hindu-Buddha. Yang berhasil didapatkan hanya sebatas informasi bahwa alun-alun merupakan tanah lapang yang luas berbangun segi empat, berlokasi di depan bale manguntur beserta bale witana pada bagian tengahnya. Gambaran ke arah itu paling tidak baru diperoleh datanya pada masa kasultanan Islam. Pada sisi barat alun-alun Kasultanan Demak misalnya, tegak berdiri masjid agung. Masjid agung dari kasultanan Mataram semasa pemerintahan Sultan Agung di Imogiri maupun masjid agung Kasepuhan di Cirebon pun berada di sisi barat alun-alun.

Pada masa yang lebih kemudian, setidak-tidaknya sejak abad ke-18 dan sesudahnya, kompleksitas alun-alun sebagaimana telah dipaparkan di atas didapati bukti fisiknya. Bukan hanya di areal alun-alun kerajaan, namun juga pada alun-alun kabupaten di sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemerintahan daerah adalah kepanjangan tangan sekaligus bentuk mikro dari pemerintahan kerajaan. Oleh karena itu, budaya pemerintahan di keraton, tidak terkeculai tata letak dari bangunan-bangunan utama di pusat pemerintahan, dihadirkan pula dalam bentuk replika duplikatif.
Dari waktu ke waktu banyak Alon-alon mendapat ‘bedah wajah (face off)’ dan mengalami diversifikasi fungsi. Beberapa fungsi baru disematkan padanya, seperti fungsi alun-alun sebagai areal parkir, tempat berdirinya arsitektur permanen (kantor, pos, kios, gazebo, kursi taman bahkan mini tribun, kolam air mancur, dsb.). Pasar asongan dan sentra kuliner pun dipaksakan hadir di areal dalam Alon-alon untuk memberi fungsi ekonomik padanya.

Dalam pengubahan bentuk itu, pohon beringn di tengah Alon-alon -- termasuk pagar keliling untuk 'Ringin Kurung' -- adalah komponen integral Alon-alon yang acap menjadi korban peniadaan. Keberadaannya digantikan oleh kolam air mancur, monumen atau tugu, tiang bendera, roda putar raksasa mainan, dsb. Pohon beringin dipandang tidak penting lagi, tak elok berada di tengah Alon-alon, atau dinilai sebagai "tidak modern".

Bukan hanya beringin di titik sentrum yang disirnakan, pohon-pohon beringin yang ditanam di perjuru mata angin pada areal Alon-alon tak pelak dihabisi dan diganti dengan komponen baru dengan fungsi baru (parikiran, pos polisi, gazebo, dsb.). Demikianlah, Alon-alon Jawa yang konon berkonsepsi kosmologis, kini diubah secara konseptual hanya sekedar menjadi taman kota (city park). Alon-alon tak lagi simbolik kultural, namun cukup dengan artistik dan rekreatif saja.

Menyeruak alasan pembenar dengan menyatakan ‘syah-syah saja’ mengubah bentuk dan mendiversikan fungsinya Alaon-alon kapan pun dikehendaki oleh pemegang otoritas kota. Posisi strategis Alun-alun di pusat kota dan keinginan untuk menorehkan jasa terkenangankan dengan melakukan pengubahan atas bentuk fisiknya adalah faktor internal-eksternal yang turut mendinamisasi sosok fisik Alun-alun. Wal hasil, alon-alon menjadi obyek kepentingan dan pencitraan penguasa.

Alangkah eloknya apabila niatan baik untuk menrevitalisasi Alon-alon disertai dengan kesadaran bahw Alun-alun adalah pusaka saujana (paduan pusaka-budaya dan pusaka-alam), dan karenanya diperlukan kehati-hatian dalam mengelola.. Kata kuncinya, dalam bina ulang Alun-alon seyogianya aspek konservasi (kelestaran) dan preservasi (pemeliharaan) lebih dikedepankan daripada sekedar renovasi untuk menghadirkan kebaharuan.
Salam bijak budaya.
Nuwun.
Sengkaling, 24 Agustus 2016
(Sumber : akun facebook Dwi Cahyono)