Meretas Jalan Menuju "Rekonstruksi Seni Rupa dan Seni Pertunjukkan Arkais" dalam "Festival Jajaghu"


 Oleh : M. Dwi Cahyono

(Sejarahwan & Arkeolog Nusantara)

A. Tak Ada yang Ganjil dan Tak Jelas dari Jajaghu

Apabila orang berkunjung ke Candi Jajaghu (Jago), mungkin merasakan "ganjil" arsitektur candi ini. Kok begitu? Lha iya, candi bentuknya berteras tiga, ada pintu tapa dinding keliling dan tanpa atap. Ada juga sebuah arca fragentaris, tiga kepala-kepala, sebuah pedestal besar sebagai singgasana (asana, berben- tuk "padma" -- dinamai "padmasana") dan sejumlah beloj batu berpelipipit dan beragam hias, yang kini berada di halaman candi. Ada banyak sekali relief pada dinding-dinding komponen bangunannya, tapi banyak pengunjung tak paham apa cerita, pesan, dan nilai yang terkandung.

Sebenarnya, tidak ada yang ganjil dari candi yang resmi menyandang status sebagai "Cagar Budaya Nasional" ini. Bentuknya yang kini kelihatan "ganjil" Itu lantaran Candi Jajaghu hanya tinggal menyiakan puing-puing masa lalu. Demikian pula, relief-relief yang "loh (raya)" pada dinding-dindingnya bukan tak terbaca. Hanya saja, sejauh ini cuma sedikit orang yang mampu membaca, menangkap pesan, dan mebgintruksi nilai serta spirit yang terkandung di dalamnya. Dalam kondisi demikian, apa yang bisa dan musinya kita perbuat serta kontribusikan pada Candi Jajahu? 

B. Kilas Arkeologi-Sejarah Candi Jsjaghu 

Berikut sekilas info historis-arkrologis terhadapnya. 

Bangunan awal Candi Jajahu telah rampung dibuat sekitar tahun 1280 Masehi (1268 + 12 tahun). Pada medio tahun 1400-an, pendharmman salah seorang raja Singhasari, Jayawisnuwarddhana (1248 - 1268 Masehi) ini direnovasi atas perintah dari maharaja Hayamwuruk. Walaupun Candi Jajaghu merupakan pendharmman dari raja Singhasari ke-4 (menurut versi susastra gancaran Paparaton, atau raja ke-3 menurut versi kakawin Nagarakretagama dan teks prasasti Mula-Malurung 1255 Masehi), namun ben- tuk arsitekturnya yang terlihat sekarang adalah hasil renovasi yang konon dipimpin oleh Adityawarnan itu. Komponen arsitektural meliputi : (a) ters I, II dan III, (b) tubuh candi, serta (c) atap berbentuk meru (tumpang). Namun, sayang sekali, kini sebagian besar dari tubuhnya dan keselruhan atapnya telah raib. 

Beruntung diperoleh gambaran utuh dari tubuh dan atap Candi Jajagu dalam sebuah panil relief cerita "Pathayajna", yang terpahat di teras II sisi belakang.  Panil relief ini menggambarkan sebuah bangunan beratap meru (tumpang) susun sebelas. Bentuknya menyerupai atap meru untuk kategori "Kahyangan Jagad" di Nusa Bali. Pelief yang mengilustrasikan suatu kompleks "wanasrama (asrama di dalam hutan)", spesial buat  para pertapa wanita (tapini, tapasi, atau kili). Ketika Partha (nama muda dari Arjuna) yang diiringi oleh dua orang kadeyan-nya meniti perjalanan jauh ke pancak Gunung Indrakila untuk bertapa (matapa),mereka beryiga sempat singgah dan bermalm di  suatu mandala khusus untuk para wanita tersebut. Nah, lantaran candi Jajaghu (Jago) beratap dengan bentuk "tumpang", maka nama desa beserta kecamatan padamana candi Jajaghu berada diberilah nama "Desa dan Kecamatan Tumpang" sub-area timur Kabupaten Malang pada lembah selatan-barat "gunung sucii" Tengger-Semeru. 

C. Kondisi "Miris" Candi Jajaghu Kini

Bukan hanya tubuh candinya yang nyaris raib, na- mum bilik utama (garbhagreha) -nya rusak berat, lantaran konon pernah dibongkar liar oleh pemburu harta karun. Akibatnya, kejam, lantai garbhagreha beserta sumuran (perigi) candi -- yang didasarnya konon terdapat peripih -- mengalami rusak berat. Lantaran itu pula, arca dewa utama (istadewata) di dalam garbhagraha candi Jago, yakni arca Dhyani Boddhisattawa Amogaphasa yang bagian muka seta empat dari delapan tangan (hastabhuja)-nya rompal sebab dirusak oleh vandalis, maka terpaksa dilokasikan ke halaman candi sisi depan-kiri. Begitu pula tiga dari empat kepala kala yang konon ditem- patkan pada ambang pintu (doorpel) penampil dan bilik-bilik candinya direlokasikan pula ke halaman depan candi. Malahan, empat dewata -- sebagai pengiring Dyani Boddhisattwa Amoghapasa, yakni Brekuti, Hayagriwa, Syamatara dan Sudhakumara telah sejak masa Hindia-Belanda direlokasikan ke Museum Batavia (kini "Museum National"). 

Demikianlah, candi pendharnan raja Singhasari ini kini tinggah menyisakan puing-puing purba, yang posisinya diapit oleh jalan dan deretan rumah di sisi-sisinya. Kendati demikian, kesan megah, elok, unik dan artistik dari candi Jajaghu masih tampak. Terlebih lagi, jengkal demi jengkal dinding tearas (I-III) dan sisa tubuh candinya yang full relief cerita (ada enam relief cerita : 1. Tantri, 2. Aridharmma, 3. Kunjarakarna, 4. Parthayajna, 5. Arjunawiwaha dan 6. Krenayana) beserta ragam hiasnya kian menam- bah cantik Candi Jajaghu. Apabila candi ini dibuat rekonstruksinya dengan mengutuhkan arsitekturnya [meskipun cuma rekonstruksi "miniatur-duplikatif") beserta paleo-ekologinya, tentulah sangat menarik, penting dan berfaedah bagi para pengunjung untuk lebih memahami sosok utuh Candi Jajaghu. Pasti bakal pula menarik bila kisah-kisah para beragam relief candi ini tarikan (tari msupun sendra-tari) di- lakokan dalam wayang kulit, atau dituangkan ke dalam narasi videografis. 

D. Kontribusi Seni-Budaya buat Candi Jajaghu

Kami tengah meretas jalan untuk itu, yakni dengan membuat "Festival Jajaghu" pada suatu perhelatan "seni-rupa dan seni pertunjukan arkais Nusantara", Insya Allah di tahun depan. Suatu ajang aktifitas dan kreatifiras seni- budaya, dimana para perupa, arsitek, pekriya, fotografer/videografer, seniman seni pertunjukan (tari, musik, dan teater), penulis, kreator animasi dan 3D, para pegiat sejarah dan budaya, dsb. terbuka untuk turut terlibat bersama. Candi Jsjahu terbuka untuk dires- pin, dieksplirasi, serta dikreasi oleh ragam pelaku cabang-cabang seni-budaya dan penekun IT. 

Semogalah para pihak, siapapun, berkenan untuk memitrainya. Yuk, ayuk  ......., kita "kroyok" Candi Jajaghu. Syukur bila dengan keggiatan itu bisa di- rekomenasikan setorasi dan pentaan ruang Candi Jajaghu, sehingga ke depan menjadi "lebih layak kunjung". Demikian ikhtiar kolaboratif kita, "papa kabhuktihi". Nuwun. 

Sangkaling, 6 September 2020

Griyajar CITRALEKHA

(Sumber: fb Dwi Cahyono)