FENOMENA SOSIAL REMANG "PELACURAN" JAWA KUNA

Ilustrasi
Oleh : M. Dwi Cahyono
[Arkeolog dan dosen UM]

A. Pengantar

Bicara mengenai "pelacur" mengingatkan saya pada lagu yang dicipta dan dinyanyikan oleh "biduan tiga zaman", Titiek Puspa, dengan judul tak biasa, yaitu "Kupu-Kupu Malam", pada lebih empat dasawarsa lalu (tahun 1977). Lagu ini terbilang melegenda di blantika musik Tanah Air. Pesonanya tetap dahsyat sampai beberapa dekade berikut. Terbukti, hingga tiga dekade tetap menjadi hit. Beberapa musisi ternama di tanah air turut menyanyikannya. Salah satunya adalah Peterpan, yang melejitkan ulang lewat album kompilasi "From Us to U" tahun 2006. Bahkan, majalah musik ternama "Rolling Stone" menobatkan lagu ini dalam urutan ke-32  "Lagu Terbaik Indonesia Sepanjang Masa". 

Kekuatan dari lagu itu antara lain terletak pada lirik (syair)-nya, yang berkisah tentang seorang wanita yang menjadi "kupu-kupu malam", stlah metaforik untuk "pelacur".

     Ada yang benci dirinya
     Ada yang butuh dirinya
     Ada yang berlutut mencintainya
     Ada pula yang kejam menyiksa dirinya

     Ini hidup wanita si kupu-kupu malam
     Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga
     Bibir senyum kata halus merayu memanja
     Kepada setiap mereka yang datang

     Dosakah yang dia kerjakan?.
     Sucikah mereka yang datang?
     Kadang dia tersenyum dalam tangis
     Kadang dia menangis di dalam senyuman

     O-ho apa yang terjadi terjadilah
     Yang dia tahu Tuhan penyayang umat-Nya
     Oh apa yang terjadi, terjadilah
     Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa

Tak ada vonis terhadap pelaku (kupu-kupu malam, pelacur) dengan menyatakan bahwasanya perilaku sosialnya adalah menyimpang lantaran menjajakan tubuhnya. Titiek seperti hendak perlihatkan bahwa tiada keinginan dari perempuan itu -- sebagaimana halnya para perempuan lainnya -- untuk menjadikan diri sebagai pelacur. Keadaan lah yang memaksa dirinya untuk berbuat demikian. Malahan, lirik lagu tersebut melontarkan pertanyaan :
      Dosakah yang dia kerjakan?
      Sucikah mereka yang datang?
Ada realitas yang sebiknya dari yang tampak sekilas pada perilakunya:
      Kadang dia tersenyum dalam tangis
      Kadang dia menangis di dalam senyuman
Hal berkebalikan pada diri pelacur tergambar pula pada sikap dan tindakkan orang terhadap dirinya:
      Ada yang benci dirinya
      Ada yang butuh dirinya
      Ada yang berlutut mencintainya
      Ada pula yang kejam menyiksavdirinya
Ada ketidakberdayaan pada diri kupu-kupu malam untuk menolak keadaan dirinya, selain pasrah akan nasibnya dan keyakinan terhadap kasih sayang Tuhan kepada umatnya:
     O-ho apa yang terjadi terjadilah
     Yang dia tahu Tuhan penyayang umat-Nya
     Oh apa yang terjadi terjadilah
     Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa
Sementara ada orang lain justru mengecam dirinya, tanpa memberikan solusi riil dan tepat terhadap problema akut yang tengah dihadapinya.

B. Ragam Sebutan buat "Pelacur"

Sebutan "pelacur" hanyalah salah sebuah diantara banyak sekali sebutan untuknya. Bisa jadi ada beda sebutan pada daerah berbeda, meskipun toh sama menunjuk pada pelacur. Demikian pula komunitas tertentu acap membuat sebutan tertentu untuknya, yang kadang berupa istilah metafor, akronim, malah sesuka hati dalam menyebutnya. Menilik banyaknya sebutan buat pelacur, terbesitlah gambaran bahwa sejatinya  banyak orang menaruh perhatian krpada pelacur. Paling tidak tertarik untuk pergunjingkan fenomena yang terdapat dalam lintas masa, lintas area maupun lintas strata itu. Masing-masing masa seakan mempunyai pelacurnya sendiri, tiap daerah memiliki orang- orang yang dengan satu atau lebih alasan menjalani hidupnya sebagai pelacur, bahkan tiap strata sosial ada pelacur untuk stratanya. Dunia pelacuran hadir sebagai suatu benang kusut dalam kompleksitas kehidupan, yang kian rumit sosoknya manakala pelacuran menjelma menjadi sindikasi sosial yang  berada di bawah permukaan ataupun dalam keremangan seperti remang malam dimana pelacuran banyak menempati paro hari.

Diantara banyak sebuatan itu, istilah "pelacur" yang terbanyak dipergunakan dalam Bahasa Indonesia. Secara harafiah, kata dasar "lacur" berarti : (1) malang; celaka; sial; atau menunjuk kepada : (2) buruk laku (KBBI, 2002:623). Kata jadian "pelacur" menunjuk kepada perempuan yang melacur, wanita tuna susila, sundal. Kata kerja "melacur" betarti berbuat lacur, menjual dari sebagai tuna susila atau pelacur. Adapun "pelacuran" berkenaan dengan aktifitas menjual diri sebagai pelacur atau persundalan. Selain itu, kata "lacur" bisa diartikan dengan : air liur, atau lendir. Berkaitan itu, menjual diri menjadi pelacur acap diistilahi dengan "menjual lendir", yang dalam bahasa Jawa Baru disebut "dodol pecret". Menjual diri melalui jasa pelayanan seksual merupakan faktor dominan di dalam pelacuran, sebagaimana tergambar pada kata gabung "melacurkan diri" dalam arti: menjual diri sebagai pelacur, atau persundalan.

Dalam bahasa Jawa Baru kata dasar (tembung linggo) "lacur" juga mempunyai arti : (1) malang, celaka, sial: atau (2) melacur, main perempuan (Mangunsuwito, 2013: 347). Dalam arti yang terakhir, yaitu bermain perempuan, kata jadian "malacur, atau nglacur" bersinonim arti dengan "madon", kata jadian dari "ma+wadon (wadon = wanita, perempuan)", yang menurut pandangan Jawa masuk sebagai salah satu diantara lima tindakan tidak terpuji yang diakronimkan sebagai "molimo (5 mo), yaitu (1) maling (mencuri), (2) madon, (3) mabuk, (4) madat (menggunakan opium atau sejenisnya), dan (5) main (berjudi). Orang yang berbuat "madon (mlacur, nglacur) adalah laki-laki, adapun obyek dari "madon" itu adalah perempuan sundal atau wanita jalang.  Unsur sebutan "sundal" dan "jalang" yang mengikut kata "perempuan atau wanita" bersinonim arti dengan perempuan/wanita lacur.

Dalam bahasa Jawa Tengahan, kata "sundal" telah dikenal, juga dalam arti : perempuan tuna susila (Zoetmulder, 1995: 1146). Sebagaimana kedapatan dalam Kidung Malat (13.39) dalam kalimat "sundal, kedi, papandon". Istilah "kedi" menunjuk pada orang yang dikebiri, atau banci (Zoetmulder, 1995:482). Adapun kata jadian "papadon (pa-pando-an)" atau "papando, papandon, papadon" menunjuk kepada golongan pembantu atau hamba petempuan pada lingkungan istana (Zoetmulder, 1995:745). Dalam konteks kalimat ini tergambar bahwa pada mulanya perempuan sundal meripakan salah satu golongan pelayan istana -- termasuk juga dalam hal layanan seksual. Dalam kosa kata bahasa Indonesia juga terdapat istilah "sundal", yang berarti : (1) buruk kelakuan (tentang perempuan), lacur, jalang: (2) perempuan jalang, pelacur (KBBI, 2002 : 1104).

Terdapat suatu kata gabung "sundal-malam", yang menunjuk kepada tanaman yang bunganya harum di malam hari (Palianthes tuberosa). Dalam Bahasa Jawa Baru, juga terdapat kata gabung "kembang sundel" yang menunjuk pada bunga sedap malam. Dunia pelacuran acapkali menempati bagian waktu "malam" alias  "dunia malam", sehingga pelacur mendapat sebutan "perempuan malam", laksana bunga yang menaebarkan bau harum di malam hari (sundal malam). Oleh karena itu,dapatlah difahami mengapa pelacur diibarati kupu- kupu yang terbang malam hari (kupu- kupu malam) -- lazimnya hewan  elok kupu-kupu terbang pada siang hari. Ada pula binatang lain yang waktu keluarnya malam hari, yaitu lonte, yang juga seringkali dijadikan sebagai istilah metafor untuk pelacur. Iwan Fals dalam syair lagu yang ditulis dan dinyanyikannya menggunakan sebutan "lonte" untuk menggantikan "pelacur".
      ...............
      Lonteku, terima kasih
      Atas pertolonganmu di malam itu
      Lonteku, dekat padaku
      Mari kita lanjutkan cerita hari esok

      Walau kita berjalan dalam dunia hitam
      Benih cinta tak pandang siapa
      Meski semua orang singkirkan kita
      Genggam tangan erat-erat
      Kita melangkah
      .....................

Selain kata "sundal", ada kata lain yang bila dipadu dengan kata "perempuan/wanita" maka bersinonim arti dengan "pelacur", yaitu "jalang". Sebenarnya, secara harafiah, istilah "jalang" itu berarti : (1) tidak dipelihara orang (tentang binatang), luar; atau (2) nakal (tentang perbuatan yang melanggar susila). Namun, apabila istilah ini dijadikan sebagai kata gabung "perempuan jalang", maka menunjuk pada pelacur (KBBI, 2002:453). Berkenaan dengan arti istioah "jalang" sebagai : nakal,, pelacur, acapkali digunakan sebutan "wanita nakal". Perihal wanita jalang ini, Al Kitab menyatakan bahwa pelacuran sebagai profesi yang "asusila'. Amsal 23:27-28 mengajar "Karena perempuan jalang adalah lobang yang dalam, dan perempuan asing adalah sumur yang sempit. Seperti penyamun ia menghadang,  memperbanyak pengkhianat di antara manusia." Oleh sebab itu, maka Allah melarang keterlibatan dalam pelacuran, karena merugikan pria maupun wanita "Karena bibir perempuan jalang menitikkan tetesan madu dan langit- langit mulutnya lebih licin dari pada minyak, tetapi kemudian ia pahit bagai empedu dan tajam seperti pedang yang bermata dua. Kakinya turun menuju maut, dan langkahnya menuju dunia orang mati. Ia tidak menempuh jalan kehidupan, jalannya sesat, tanpa diketahuinya. Sebab itu, hai anak-anak, dengarkanvaku, janganlah kamu menyimpang dari pada perkataan mulutku. Jauhkanlah jalanmu dari pada dia, dan janganlah menghampiri pintu rumahnya (Amsal 5.3-8). Peacuran tidak hanya menghancurkan pernikahan, keluarga maupun hidup pelakunya, melainkan juga roh dan jiwa, sehingga berujung pada kematian jasmani dan rohani. .

Kata arkhais lain untuk pelacur adalah "jalir", yang telah terdapat sebagai kosa kata di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, baik dalam sumber data susastra ataupun prasasti. Secara harafiah "jalir" berarti : pelacur, wanita tuna susila (Zoetmulder, 1995: 408). Kata jadiannya antara lain adalah "kajaliran. (ka- jalir-an)". Istilah ini disebut dalam kakawin Bharattayuddha (29.9), Kidung Sunda (1.64),; Tantri Demung (5.95), dan Nitisastra (4 24)  Dalam kitab Tantri Demung terdapat kalimat "Tan tut sasaneng putry adi si jalir". Tergambar pada kalimat itu bahwa jelaslah jalir berjenis kelamin perempuan (putry) dan berasal dari kalangan rendahan -- terbukti oleh adanya kata sandang "si" di muka kata "jalir. Bahwa jalir berjenis kelamin perempuan diperkuat oleh keterangan di dalam Nitisastra (4.24), yang menempatkan kata "wadu" sebelum kata jadian "kajaliran", seperti di dalam  kalimat "yan lajjeran ikang wadhu ganita wesya kajaliran ikatemah hilang". Kata "wadhu" berarti : temanten perempuan, istri muda, sembarang istri, perempuan, anak perempuan yang lebih muda, istri, atau betina (sembarang binatang) (Zoetmulder, 1995: 1364). Kata jadian "wadon" dalam bahasa Jawa Baru, yang menunjuk kepada perempuan (wanita) berasal dari "wadu/wadhu+an".

Selain dalam sumber data susastra, kata "jalir" juga kedapatan di dalam sumber data prasasti (VG VII. 32f VIa dan OJO 37.9), yang menyebut perkataan "juru jalir", yang sangat mungkin menunjuk kepada : pengawas pelacuran (Zoetmulder, 1995: 408, 431). Unsur sebutan "juru (ketua, kepala, atau pimpinan) dalam "juru jalir' menunjuk kepada jabatan dalam adminstrasi pemerintahan, yang di dalam konteks ini adalah salah satu petugas "pemungut pajak" dalam kelompok 'mangilala drewya haji". Sangat mungkin sebutan "juru jalir" menunjuk pada petugas di dalam birokrasi pemerintahan kerajaan dengan tugas  : menarik atau memungut pajak. Gambaran demikian diperoleh dalam sumber data prasasti dimana juru jalur acap tercantum sederet dengan para petugas pemungut pajak untuk profesi-profesi lain, seperti "tuhan judi (ketua para penjudi), tuhan hunyjeman (ketua dari kelompok orang berstatus sosial khusus -- kemungkinsn rendah mutunya, misra hino (campuran -- diantara wqtek i jro atau mangilala drewya haji) ........".

Dalam konteks sebutan itu, penyandang jabatan "tuhan (tuha) dan juru" merupakan pemimpin dari kelompok profesi yang sejenis, dan mengemban tugas untuk menarik pajak profesi di kelompoknya. Oleh karena itu selain menjadi pengawas pelacuran, boleh jadi isekaligus adalah pimpinan atau pemilik rumah bordil -- kini dikenal dengan sebutan 'germo, atau mucikari'". Kata Jawa Baru "germo" mungkin berasal dari kata Jawa Kuna dan Jawa Tengahan "grarma", yang secara harafiah sebenarnya istilah ini berarti : tempat yang dihuni, desa, orang banyak (Zoetmulder, 1995:308). Apabila benar demikian, di dalam konteks pelacuran kata "grama" menunjuk pada tempat pelacuran atau "kajaliran" (kini lazim disebut dengqn "lokalisasi" atau "kompleks"). Bisa jadi, mula arti istilah "germo" adalah : pemilik atau penguasa tempat pelacuran (ka-jalir-an). Dalam  bahasa Indonesia terdapat istilah "germo", yang berrarti  : (1) pemburu, (2) induk semang bagi perempuan pelacur, atau nalahann mucikari (KBBI, 2002: 359). Germo adalah apa yang konon dinamai "juru jalir" tersebut.

Meski masih debatebel, ada yang mengartikan kata Jawa Kuna dan Jawa Tengahan "dayang" sebagai : (1) betina (pada binatang), atau (2) wanitta tuna susila (Zoetmulder, 1995:  206;  Boechari, 1990 : 140). Dalam arti kedua itu, kata "dayang" kedapatan di dalam prasasti Baru (1030 Nasehi), Gadhakuti (1042 Mesehi), dan Hantang (1235 Masehi). Istilah ini acap disebut sederetan dengan kata "hunjeman, nambi, jenggi, dan pujut", yang menunjuk kepada  para hamba sahaya di lingkungan istana, dengan spesifikasi para pelayan istana yang berkulit hitam. Hal serupa juga tergambar di dalam bahasa Jawa Baru, dimana kata "dayang" menunjuk kepada abdi dalam atau pelayan istana, khususnya yang berjenis kelamin perempuan.

Sebutan arkhais lain yang juga berkenaan dengan pelacur adalah kata Jawa Kuna dan Jawa Tengahan  "lanji", secara harafiah berart : berzina, tuna susila, tergila-gila pada wanita atau lelaki (Zoetmulder, 1995:572). Istilah ini dijumpai di dalam kakawin Ramayana (25.76), Sarasamuccaya (49), Slokantara (84.24), dan Tantri Kadiri (1.35, 1 64). Dalam arti berzina atau berhubungan seks dengan laki-kaki selain suaminya, terdapat kata "clor" atau "celor" atau "crol", yang memuat arti : (1) palsu, curang, (2) bertindak tolol, atau (3) tempat sirih (Zoetmulder, 1995:177). Istilah ini antara lain  kedapatan dalam Kidung Ranggalawe (7.97), Tantri Demung (5.82b), Sudhamala (13, 1.4). Kata "clor" dalam arti : curang, berlaku serong (berselingkuh). Hal ini tergambar di dalam Kidung Sudalamala(1.3), yang memuat suatu kalimat "Sri Huma clor ring lakine", yakni gambaran perilaku serong Dewi Uma, yakni stri (sakti) Siwa terhadap suaminya, dengan telah membagi "bedak pupurnya" kepada laki-laki lain. Lantaran tindakan serongnya yang ketahuan, maka Siwa men-sapata-i (mengutuk) Dewi Uma menjadi raksasi bernama "Ra Nini" dan menurunkan dari Kaindran ke Kseta Gandanayu ke dunia.maya -- seperti digambarkan dalam relief cerita Sudhamala di Candi Tegawangi dan Candi Sukuh.

Ada sebutan lain untuk laku serong atau tindakkan perzinaan, yaitu "paradara". Namun, istilah ini lebih berekenaan dengan perbuatan serong dari laki-laki terhadap perempuan yang telah bersuami. Oleh karena itu, secara harafiah istilah ini berarti : istri orang lain (Nastiti, 2026 : 204). Dalam teks kitab perundang-undangan Agama yang dibicarakan oleh J.V.G. Jonker (1885), perihal ini masuk ke dalam pasal-pasal ketentuan hukum, yang melakukannya dikenai sangsi, berupa denda hingga hukuman mati (bunuh) sesuai dengan berat ringan para kasusnya. Sedangkan pada istilah "clor", pelaku serong itu adalah wanita yang telah bersuami. Demikianlah, inisiator dari serong hati bisa pria ataupun wanita. Bahkan, makhluk setingkat dewatapun bisa terlibat di dalamnya.

Apakah kata dasar"lacur" dari "pelacur, melacur, pelacuran, dsb " berasal dari "clor" atau "celor" ini? Bisa jadi demikian, dengan penjekasan kata "celor" berubah sebutan menjadi "calur", dan kemudian terjadi pertukaran kionsonan "c" dan "l" menjadi "lacur". Apabila benar demikian, berarti dalam arti luas atau pada mulanya berbuat lacur (melacur) adalah tindakan seksual antara seorang pria dan wanita di luar hubungan suami-istri yang syah, atau semacam praktek perzinahan, yang sekarang lazim disebut dengan "perselingkuhan". Jadi, pelacuran tak senantiasa berupa menjual diri dalam bentuk jasa layanan seksual, ataupun transaksi seksual yang belatar ekonomi.

C . Ragam Jenis Pelacuran

Gambaran yang diperoleh dari ragam sebutan lama berkenaan dengan pelacuran di bagian atas (butir B) adalah bahwa pelacuran tak hanya sebatas pada apa yang kini diistilahi dengan "PSK (Pekerja Seks Komersial)", yaitu praktek pelacuran atau prostitusi dalam bentuk penjualan jasa seks atau hubungan seks untuk mendapatkan imbalan uang. Tak semua tindakan pelacuran punya motif komersial. Perilaku serong (clor, lenji, paradara, madon, selingkuh, atau perzinahan) konon masuk  dalam kategori perilaku melacur, yang motifnya bisa saja suka sama suka dan tanpa ada transaksi komersial. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada pula praktik pelacuran yang bermotif kamersial seperti dilakukan oleh para "jalir'" yang berada di bawah kuasa "juru jalir", yang dikenai pungutan pajak atas perolehan finansial dari pelayanan jasa seksualnya. Dengan demikian, secara garis besar pelacuran kuno Jawa dapat dikelompokkan secara menjadi : (a) pelacuran non- komersial, dan (b) pelacuran komersial

1. Pelacuran Non-Komersial
1.1. Pelacuran Non-Komersial Berpamrih

Perilaku seksual yang dilakukan dengan seorang yang bukan suami syahnya, tanpa disertai dengan perkawinan (kawiwahan) adalah praktik "pelacuran terselubung". Motifnya tidak untuk mendapatkan imbalan finansial secara transaksional langsung, walau sesungguhnya sedikit-banyak masih punya pamrih tertentu, seperti : naiknya status atau gengsi sosial, tercukupinya kebutuhan ataupun kesejahteraan hidup, memperoleh anak keturunan darah mulia (darah biru, diistilahi "trahing kusmo, rembesing madu"), perolehan hadiah atau anugerah (waranugraha), dsb. Selain itu, terdapat juga yang semata dilakukan dengan motivasi religis, sebagai pengejawantahan atas kebhaktian keiilahiannya, sehingga ada sebutan "pelacuran keagamaan". Untuk memudahkan paparan dan pembahasan, lebih rinci pelacuran Non-Komersial dikelompokkan  ke dalam: (a)  Pelacuran Non-Komersial Berpamrih, dan (b) Pelacuran Non-Komersial Berbhakti.

Ada batas "hablur" antara pelacuran dan apa yang diistilahi dengan "istri simpanan, bini gelap, gundik" atau yang sejenisnya. Wanita yang disebut dengan "gundik adalah : istri tidak resmi, selir, perempuan piaraan (bini gelap) (KBBI, 2002: 375). Istilah ini merupakan kata serapan dari Bahasa Jawa Baru, dengan arti yang sama, yaitu : istri tidak syah, selir (Mangunduwito, 2013: 298). Istilah ini kedapatan dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, yang menunjuk kepada : pembantu perempuan (Zoetmulder, 1995: 317), sebagaimana disebut dalam kitab Wirataparwa (19), kakawin Hariwangsa (1.14) Bhomakawya (23.4), Sumanasantaka (10.6 dan 111.4) dan Arjunawijaya (3.1). Konon gundik diberikan tempat tinggal tersendir, yang dinamai "kagundikan", yang bersinonim arti dengan istilah "kadyahan". Boleh jadi, semula gundik merupakan perempuan pembantu, yang kemudian dijadikan istri simpanan (bini gelap), tanpa perkawinan syah, yang biasa disebut dengan "bini haji (selir)".

Pada Era Kemonarkhian acapkali terjadi praktik
perseliran. Terdapat pandangan bahwa selir, yang diistilahi dengan  "bini haji, stri jarahan, stri triman, dan gundik" merupakan wujud lain dari prostitusi" di lingkungan dalam (watek i jro) istana dan tempat kediaman bangsawan atau hartawan. Harta-benda, kekayaan, kemewahan, tahta atau jabatan bagii anak dari selir yang di dalam dirinya mengalir "darah biru" sang raja atau bangsawan dipandang sebagai "wujud lain transaksi seksual", yakni pamrih di balik perkawinannya. Pandangan yang berbeda menyatakan bahwa "perseliran tidak sama dengan pelacuran". Relasi antara selir dengan raja atau bangsawan ataupun pria yang memperistrinya adalah hubungan suka sama suka, tanpa paksa, dan tak ada transaksi finansial secara langsung. Bahwa ada "pamrih di balik perkawinan" merupakan hal wajar dalam memilih pasangan hidup, antara lain dengan mempertimbangkan "bobot, bibit, dan bebed". Demikian pula dengan para wanita yang dijadikan istri sementara oleh raja atau bangsawan lewat gandarwawiwaha. Meski hanya selir, bukan stri parameswari, namun hubungan raja-selir adalah hubungan suami-istri, hubungan dalam lingkungan keluarga batih yang tak transaksional semata.

Raja mempunyai kekuasaan penuh untuk dapat menguasai apa saja yang terdapat di bumi dalam wilayah kekuasaannya, Termasuk juga berkuasa atas warga perempuannya. Perihal itu tercermin oleh banyaknya selir yang dimiliki raja. Beberapa selir adalah puteri bangsawan, yang diserahkan kepada raja sebagai tanda setia. Sebagian lagi adalah persembahan dari kerajaan lain. Ada juga selir yang adalah wanita rampasan (stri jarahan) dari daerah atau kerajaan yang ditaklukkan. Bisa jadi selir berasal dari keluarga yang bermaksud agar sanak keturunannya mempunyai keterkaitan dengan ganeologi istana, supaya mendapatkan "trahing kusuma, rembesing madu". Bangsawan diibaratkan sebagai bunga (kusuma) dan madu. Mendapatkan garis keturunan daripadanya adalah memperoleh "trahnya bunga" dan "rembesannya madu". Oleh karena itu tak sedikit rakyat jelata yang rela menawarkan anak perempuannya kepada raja untuk dijadikan selir, dengan pengharapan kelak bisa memiliki keturunan yang lebih baik. Memang, sebagian selir raja itu dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja.

Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al. (1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakatnya. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir adalah ekspresi kejantanan atau maskulinitas seorang laki-laki. Pada sisi lain, mempersembahkan saudara atau bisa juga anak perempuannya pada bupati atau pejabat tinggi di dalam wilayah kekuasaannya adalah tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar serta memperluas kekuasaan, seperti tercermin dalam tindakan mengadakan "perkawinan politik", meski hanya sebatas sebagai "istri selir". Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Perempuan yang dijadikan sebagai selir berasal dari daerah-daerah tertentu yang dikenal banyak memiliki wanita cantik yang memikat hati untuk memenuhi kebutuhan akan perempuan bagi pihak kerajaan. Oleh karena itu di dalam lingkungan istana terdapat bangunan khusus yang dipergunakan untuk tempat menampung para selir raja.

Status gundik di dalam lembaga perkawinan adalah "belum nikah". Oleh karena itu, adalah pengharapan bahwa kelak tuannya jatuh cinta pada dirinya dan hubungan asmaranya berakhir dengan pernikahan (kawiwahan, pasangjiwan). Kakawin Kresnayana (10.10) misalnya, mengkisahkan tentang sejumlah gundik yang diketuai seorang dayang di tempat tinggal para gundik (pagundikan) yang kepadanya  diajarkan piawu dalam bernyanyi, cara berbicara, dan berbahasa Sanskreta agar tuannya jatuh cinta kepada dirinya dan kemudian menikahinya. Selain itu, ia musti tampil cantik dengan rajin berhias dan berbedak (ahyas ahawu-hawu) agar kecantikkanya mampu memgundang gairah seksual. Memang, dalam susastra kuno di Asia Tenggara , termasuk susastra Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, cukup jelas perlihatkan bahwa kaum wanita memainkan peran aktif dalam bercumbu maupun bermain cinta (Reid, 1992: 168). Menurut gambaran Scott (1606: 173), orang Jawa sangat penuh birahi, pria maupun wanitanya. Hubungan seksual pra- perkawinan tidak begitu dikecam, dan keperawanan dari kaum wanita serta keperjakaan kaum pria pada saat perkawinan tidak diharapkan.

Pemanpilan sensual dan tindakkan etotis acapkali digambarkan dalam susastra tekstal dan susastra visual (relief candi) oleh wanita guna mengundang birahi kaum pria. Dalam kakawin dan relief candi, hapsari Suprabha dan Tilotama tampil sensual dan melakukan tindakan erotis untuk dapat menggoda keteguhan Arjuna dalam tapa. Adegan "menggoda" juga divisualkan dalam relief "Samudramantana (Amretamantana)" di tubuh miniatur Candi Ampel Gading B -- kini menjadi benda koleks dii Museum Trowulan -- yang menggambarkan wanita penari (sebagai jelmaan Dewa Indra) guna mengalihkan perhatian para raksasa yang tengah berpesta pora merayakan keberhasilan mendapatkan kamandalu berisi tirtha Amreta. Oleh karenanya, tarian darinya disebuti dengan "anggoda", yang mengingatkan pada tarian ronggeng (tledek, tandak, atau sindiir) yang tampil sensual dengan gerakan tarinya yang erotis. Suprabha, Tilotama dan penari "anggoda" itu memang bukan pelacur, namun gaya penampilan dan gerak tubuhnya mengundang nafsu birahi.

Pada lingkungan istana terdapat para wanita cantik yang sengaja didatangkan dari daerah untuk antara lain memberikan layanan seksual bagi warga dalam istana (wargga i jro). Kakawin Nagarakretagama (17.2) misalnya memberi keterangan mengenai adanya gadis- gadis cantik yang didatangkan dari seluruh pelosok Kadiri dan Jenggala. Para gadis cantik dikumpulkan bersama demgan para wanita rampasan (stri jarahan). Pada lingkungan istana meteka bukan hanya dijadikan sebagai pelayan istana untuk aneka kebutuhan praktis keseharian, namun sekaligus untuk membetikan layanan nafsu seksual. Istilah Jawa Kuna dan Jawa Tengahan untuk budak adalah "hulun" atau "ulun", yang secara harafiah berarti: budak, orang jaminan, hamba, abdi pelayan, menjadi abdi. Adapun lawan kata darinya adalah "hadyan", berarti : orang dari status tinggi, raja/permaisuri, tuan, orang berpangkat atau tinggi derajadnya (Zoetmulder, 2995:326, 367).

Raja maupun keluarganya nembutuhkan layanan seksual dari budak tertentu diantara tidak sedikit hamba sahaya di lingkungan istana. Hal denikian dimungkinkan, karena raja, keluarga raja maupun orang-orang terltentu memperoleh hak istimewa, seperti diperbolekan untuk (a) menggauli anak-anak gadis (angjanah rare), (b) menggauli pembantu atau pelayan istana (angjamah kawula), atau bahkan (c) angjamah stri larangan (wanita larangan : wanira telah menikah, wanita yang bertunangan, maupun wanita yang berserah diri ke dalam bidang religi). Raja dan para nangsawan dalam hak istemewanya itu boleh menikahi dayang (arabya dayang), bahkan menikahi wanita larangan (arabya stri).

Sebutan lainnya yang searti dengan "gundik" adalah "bondan", yakni suatu kategori bagi pembantu atau pelayan (Zoetmulder, 1995: 129). Suatu istilah yang dekati dengan sebutan "bondon" di dalam bahasa Sunda, yang menunjuk kepada pelacur. Ada pula suatu sebutan dalam bahasa Jawa Tengahan, yaitu "pando", yang menunjuk pada : golongan pembantu, hamba wanita di istana (Zoetmulder, 1995: 745). Kata jadiannya adalah "papando, papandon", atau "papadon". Di dalam kidung Malat (13.39), kata jadiannya lebih banyak menjadi "papandon", yang disebut sederet dengan "sundel (pelacur)" dan "kedi (banci, laki-laki dikebiri)". Terkadang, pelayan istana  tak hanya melayani kebutuhan rumah tangga istana atau keluarga bangsawan, namun ada diantaranya yang dikehendaki oleh tuannya untuk pula melayani kebutuhan seksualnya. Diantara mereka itu adalah wanita yang berstatus sebagai budak.

Perlakuan terhadap perempuan sebagai "barang dagangan" konon hadir terselubung dalam praktik perbudakan. Perempuan bukan hanya diperbudak secara fisis, namun dijadikan pula sebagai budak seks. Raja-raja di Bali masa lalu misalnya, bisa melacurkan para janda yang tidak lagi diterima oleh keluarganya. Para janda dari kasta rendah, tanpa adanya dukungan yang kuat dari anggota keluarga, maka secara otomatis menjadi milik raja. Mereka yang lolos seleksi bisa dijadikan sebagai dayang istana. Namun, apabila raja memutuskan untuk tidak mengambil dan memasukkannya ke dalam lingkungan istana, maka ia akan dikirim ke luar kota untuk dijadikan sebagai pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI, dalam Hull; 1997:3). Entah dia berada di luar atau di dalam istana, yang tidak jauh berbeda adalah dalam hal memberikan pelayanan seksual

Lelaki dari nagara manca yang pergi merantau ke Nusantara juga membutuhkan budak perempuan  untuk dikawini. Pada masa Hindu-Buddha terdapat kelompok sosial dari negara manca, yang diistilah dengan "wargga kilalan". Lelaki asing bujang atau ysng datang tanpa membawa istri itu bisa jadi mengambil satu atau lebih budak wanita. Bukan cuma untuk membantu dalam mrnangani keperluan praktis di lingkungan rumah tangga, namun juga untuk memenuhi hasrat seksualnya. Bila beruntung, dianta para budak perempuan tersebut ada yang dijadikan sebagai "gundik".Gambaran demikian berlangsung terus hingga awal Masa Kolonial. Para lelaki asing di Batavia berkebnamgsaan Belanda, Arab, Tiong Hoa ataupun Melayu membutuhkan budak untuk dikawini, sebab di Batavia hampir tidak terdapat wanita Belanda, Tionghoa dan Arab asli", demikian tulis Adolof Heuken SJ dalam bukunya "Historical Sites of Jakarta", 2007. Merurut Anthony Reid (1992: 177-1778) perkawinan yang bersifat sementara kala itu menjadi sarana dominan untuk mengatasi besarnya arus pedagang asing yang setiap tahun berkunjung ke pelabuhan-pelabuhan besar Asia Tengara. Para wanita dan gadis muda menunjukkan dirinya, sementara pedagang asing dapat memilih yang paling berkenan di hatinya. Si wanita malayaninya siang hari sebagai pelayan, dan malam hari sebagai istri.

Awalnya harga budak ditentukan oleh usia dan tenaga saja. Namun pada abad ke-18, harga jual budak perempuan muda harganya dua sampai tiga kali lipat harga budak lelaki. Hal itu terjadi karena adanya banyakp permintaan akan budak wanita, terutama dari kalangan pebisnis Tionghoa. Budak perempuan dibutuhkan untuk pemuas kebutuhan biologisnya dan untuk mengatur rumah tangga. Orang-orang Tionghoa cenderung tidak pilih-pilih budak perempuan. Namun, orang Eropa lebih memilih budak dari Nias dan Bali sebagai budak favorit. Seorang gadis Nias yang cantik dan sehat musalnya dihargai sekira seribu dollar. Kepemilikan akan budak di kalangan orang Belanda menjadi gengsi dan menjadi tolak ukur akan kejayaan dan kemakmuran.
.
Pada Masa Hindu-Buddha budak tak hanya berasal dari Nusantara sendiri, namun terdapat juga budak dari negeri yang jauh. Menurut kroniek Cina pada tahun 813 (atau 815) datang utusan dari kerajaan Holing  yang berlokasi di Shepo (translir Cina untuk "Jawa") kepada kaisar Tang dengan memberikan hadiah berupa burung kakak tua beraneka warna, burung pi'n-chia (?), empat budak Seng qi (translir Cina untuk "Jenggi"), dll. Kaisar sungguh berkenan hati, dan karenanya memberi augerah kehormatan kepada utusan itu. Jenggi adalah orang berkulit hitam, yang berasal dari Afrika Selatan dan Afriks Timur, yaitu dari Zanzibar dan Etiopia, sebagai "budak beliann" (Zoetmulder, 1995:421). Sebutan "Jenggi" terdapat di dalam sumber data susastea maupun prasasti, seperti kakawin Sumanasantaka (112.8), 141.15), Kesnayana (35.10), dan tercantum dalan daftar abdi pada prasasti Jawa bertarikh 860 Masehi, dengan sebutan "hulun jenggi". Para budak Jenggi tersebut dikirim dari Afrika ke Jawa, bahkan ada yang lalu dikirim ke China. Berita ini memiliki kesesuaian dengan pemberitaan Ibn Lakis bahwa pada tahun 945M tiba kapal-kapal yang dinaiki oleh orang Wak-wak di Sofala pada permukiman Orang Zenggi/Jenggi (Mozambik). Orang Wak-wak disebut berasal dari kepulauan yang berhadapan dengan China. Kata “Wak-wak” boleh jadi berasal dari kata "Jawak (Jawa)". Orang Wak-wak telah menempuh pelayaran selama satu tahun untuk sampai ke tempat Orang Zenggi guna untuk mencari barang barang seperti gading gajah, cula badak, kulit penyu, emas, perak. Pelabuhan Sofala berdiri pada abad ke-8 Masehi. Memelihara hamba sahaya berkulit hitam, bahkan menggaulinya, diyakini membawa daya lindung magis terhadap kerajaan dan menanbah kekuatan magis bagi mereka yang mensanggamainya..

Gambaran mengenai janda yang dijadikan sebagai "budak seks (pelacur)" itu mengingatkan kepada sebutan "balon" bagi pelacur di dalam bahasa Arek. Sebutan "balon" dalam konteks ini amat mungkin berasal dari bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yaitu "balu (bisa juga disebut 'walu', walu-walu')", dalam arti : pelacur, atau anak tiri (Zoetmulder, 1995: 192, 1378). Kata jadiannya adalah 'balu+an' -- samdhi dalam 'balwan')", yang disebut "balon" pada bahasa Jawa Baru. Konon di sub-area timur Kota Malang, paling tidak hingga 1990-an, ada tempat pelacuran di pada pemakaman Tiong Hoa (bong pay) Kutho Bedah dan Kedungluncing pads kampung Kebalen (ka-Bali-an). Menilik adanya toponimi "Kebalen" itu, boleh jadi konon Kebalen merupakan permukiman perantau Bali, diantaranya adalah orang-orang Bali yang dijadikan sebagai budak, temasuk janda yang dijadikan sebagai pelacur. Kebalen berada di sekitar sentra ekonomi lama pada Pecinan Besar lengkap dengan pergudangan, pasar, stasiun KA, dimana budak dan pelacur hadir di dalamnya

1 2. Pelacuran Non-Komersial Berbhakti

Salah satu kategori pelacuran adalah yang disebut "pelacuran keagamaan", yaitu suatu  persetubuhan yang dilakukan dalam rangka upacara ritual yang keramat (KBBI, 2002: 623). Sebutan dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan untuk itu adalah "dasi", yaitu istilah serapan dari bahasa Sanskreta, yang berarti : budak perempuan, pelayan wanita. Terdapat kata gabung "hina dasi", yang menjadi petunjuk bahwa yang dilakukan dinilai "hina", yakni pelayan hina, pelayan dengan kedudukan rendah (Zoetmuder, 1995:203, 357), yang bisa jadi adalah "pelayanan seksual". Istilah "dasi" disebut dalam kitab Adiparwa (107), Kidung Ranggalawe (2.35, 4.68), Abhimanyuwiwaha (4.19, 12.3)) dan Tantri Kadiri (4.71). Kata yang mirip artinya dengan itu adalah "dasih", yang berarti: pelayan, bercinta, bersimpati.

Kata "dasi" di India acaplali digabung dengan kata "deva" menjadi "devadasi", yang menunjuk kepada gadis-gadis yang "mendedikasikan dirinya" untuk pemujaan dan pelayanan kepada dewa atau kuil sepanjang hidupnya. Mereka mendedikasikan diri untuk pekerjaan seks dengan "mengatasnamakan agama", yang diwujudkan ke dalam ritus upacara Pottukattu. Tata cara pelaksanaannya mirip dengan ritus pernikahan. Pada awalnya istilah itu mengacu kepada perempuan dari kasta tinggi yang memberi pelayanan pada kuil. Wanita devadasi diyakinkan bahwa apa yang mereka lakukan bertujuan untuk melayani dewata. Konsepsi keyakinannya adalah bahwa Yellamma, yakni Dewi Kesuburan menurut agama Hindu, akan melindungi dirinya. Devadasi dipercayai sebagai bentuk pengabdian terhadap para dewa. Para wanita devadasi oleh karenanya memulai kehidupannya dari kuil

Pada masa Pemerintahan Kolonial Inggris di India,  praktik devadasi digunakan untuk para wanita dari segala kasta. Para wanita tersebut dipersembahkan untuk pemujaan dan pelayanan kepada dewa. Oleh sebab itu, secara harfiah kata gabung "devadasi" ldiartikan: sebagai : hamba dewata. Tradisi ini pada akhirnya mengalami pemelecengan, yaitu memberi penekanan kepada keperawanan yang dilelang di desa-desa, dijual kepada penawar tertinggi,, yang acap dimengkan oleh orang-orang berkasta tinggi. Jika sudah sepakat, maka gadis dewadasi tersebut diboyong ke rumah pembelinya, dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai "semacan pelacur". Jasaya digunakan sebagai pemuas nafsu. Dengan dinikahi oleh orang kaya, maka ia menghabiskan waktunya untuk mengasah keterampilan diri,. Namun bukan ketrampilan dalam melaksanakan tugas sebagai ibu rumah tangga, melainkan ketrampilan lainnya, termasuk ketempilan dalam layanan asmara. Dari suaminya itu diperoleh anak, yang kepadanya juga diajarkan mengenai keterampilan dalam bermusik atau menari. Seringkali terjadi, suaminya memiliki istri yang lain, yang melaksanakan tugas sebagai ibu rumah tangga.

Bekerja sebagai "devadasi" adalah memberikan seluruh hidupnya semata untuk melayani tanpa diperbolehkan untuk menikah. Malahan, ada dari mereka yang mendapatkannperlakuan yang amat tidak manusiawi, dengan perlakuan seperti budak. Mereka diperlakukan apa saja sesuai kemauan si pemilik atau tuannya, tak terkecuali sebagai "budak seks". Setelah tidak lagi dianggap menarik sebagai pekerja seks, mereka pun bertahan hidup dengan menjadi jogathis atau mengemis di dekat kuil atau candi , dan sudah tidak bernilai lagi. Kebayakan prelaku devadasi berasal dari strata sosial (kasta) yang paling rendah. Sistem devadasi dipandang sebagai sarana orang tua keluarga miskin untuk dapat melepaskan beban dari anak perempuannya. Agama sebagai "penghibur" dirinya, dan uang yang diperoleh untuk dibagi.

Devadasi juga disebut dalam beberapa istilah lokal, antara lainn "jogini, basivi, matangi, nailis, muralis, venkatasani, theradiyan", dan di Eropa terkadang digunakan istilah "bayadere". Nama "dewadasi" juga dijadikan sebagai nama suatu wilayah pada Distrik Koppal, Karnataka.Daerah ini dinamai demikian, lantaran sistem Devadasi terdapat di Karnataka, kemudian diteruskan di Maharashtra dan Andhra Pradesh dan Tamil Nadu. Pada wilayah Dewadasi keperawanan gadis dilelang kepada orang-orang berkasta tinggi.Jika sudah sepakat, maka gadis itupun diboyong ke rumah pembeli. Gadis dewadasi menghabiskan sisa hidupnya sebagai "pelacur". Perekayasaan yang mengatasnamakan agama ini membuat mereka tiak memiliki pilihan untuk bisa dipiilih. Mereka bahkan lebih memilih untuk mati jika sudah merasa tidak kuat lagi menghadappi penyiksaan yang diasakannya. Harga dirinya tak dihargai sebagai manusia. Masa depannya seperti tak memiliki arah yang pasti. Dengan menggunakan pengaruh atas nama agama dilakukan ekspoitasi teerhadap kaum  berkasta rendah yang dianggap hina dan kotor. Kemiskinan yang membodohkan merupakan salah sebuah menyebab seseorang menjadi devadasi. Disamping itu, persekongkolan antara kaum foedal dan kaum pendeta juga turut andil dalam praktik devadasi. Wanita devadasi menghadapi kehidupannya yang menyedihkan dalam nama agama, dan merasa tidak bisa lepas karena menyangkut apa yang diyakininya.

Selama Inggris memerintah, raja-raja di India yang menjadi pelindung kuil menjadi kurang berkuasa. Akibatnya, devadasi dibiarkan tanpa bantuan dan perlindungan. Para reformis mulai melarang tradisi devadasi dengan alasan bahwa devadasi adalah bentuk prostitusi. Pada sisi lain, oendapat kolonial itu secara keras ditentang oleh beberapa kelompok dan organisasi di India dan akademisi barat,. Hal itu dianggap sebagai bentuk ketidakmampuan pihak Britania untuk bisa membedakan gadis-gadis yang menari di jalanan untuk pelacuran dan gadis-gadis yang berbhakti secara spiritual kepada dewa-dewi sehingga terjadilah semacam perampasan sosio- ekonomi. Pada tahun 1982, sistem pelelangan bagi gadis khas Devadas sudah dilarang di seluruh India. Namun demikian, faktany praktik itu masih marak dilaksanakan.

Sejauh ini belum diperoleh data yang pasti apakah praktek devadasi sebagaimana halnya di India itu pernah berlangsung di Nusantara pada masa Hindu Buddha. Kata "dasi" dijumpai dalam sumberdata tekstual, namun kata gabung "deva + dasi" belum pernah didapati. Alih-alih, yang dijumpai adalah kata gabung "hina + dasi". Apakah kata "hina-dasi". ini bersinomim arti dengan "deva-dasi" menurut sebutan di India? Secara harafiah, kata gabung " dewadasi" beda atau malahan berkebalikan arti dengan kata gabung "hinadasi". Namun demikian, yang ak kalah menarik dan penting untuk dicermati adalah bahwa kata-kata yang di India dipakai untuk menyebut pratik yang serupa dengan devadasi, yaitu kata "yogini", ternyata kedapatan pula dalam sumberdata tekstual di Jawa masa lalu, meskipun tidak mengindikasikan praktik pelacuran, melainkan sebutan untuk yogi wanita. Walaupunnkata gabung "devadasi" belum kedapati di dalam sumberdata tekstual, namun muncul suatu pertanyaan "Apakah pengiriman para gadis oleh raja ataupun penguasa daerrah untuk dijual sebagai budak seks ke pusat- pusat keuasaan di Jawa masa lalu tersebut bukan merupakan bentuk praktik "hinadasi" sebagaimana istilahnya didapatkan dalam teks-teks kuno.

2. Pelacuran Komersial-Transaksional

Besar kemukinan semenjak masa Hindu-Buddha pelacuran telah dijadikan "profesi khusus" oleh wanita tertentu, yang berkontribusi ekonomik lewat jasa pelayanan seks komersial. Pelacur mendapat uang ataupun barang sebagai "imbal jasa" atas layanan seksualnya. Oleh karena itu, bisa difahami bila ada sejumlah prasasti yang menyebut kata gabung "juru jalir". Kata "juru" menunjuk pada : kepala, pimpinan, ketua (dari divisi militer atau administratif, kelompok, atau kejuruan). Dalam konteks "juru kalir", bisa jadi  terdapat sejumlah (sekelompok) perempuan yang berprofesi sebagai pelacur (jalir), yang dikelola atau berada di bawah pengawasan seorang "ketua (juru)", atau semacam "mucikari" alias "germo" dalam sebutan sekarang. Jika kata "juru" menunjuk pada : petugas pemungut pajak dalam kelompok "mangilala drwyahaji", hal ini menjadi petunjuk adanya "pekerja seks komersial (PSK)', yang pendapatannya dari jasa pelayanan seksual dikenai pungutan pajak oleh pemerintah kerajaan (Zoetmulder, 1995: 408, 431).

Ada kemungjunan pelacurab pada masa Hindu- Buddha tidak berkeliaran di jalanann(kini dinamai "pelacur jananan, bunga trotoar, dsb."), melainkan berada di tempat tertentu, yakninsemacam "rumah pelcuran", sehingga mudah dilakukan pengawasan. Tempat-tempat tertentu yang ramai, seperti tempat pembentian kendaraan atau tempat bongkar-muat barang (dulu dinamai "koplakan") acapkali memiliki rumah pelacuran atau rumah bordil, yang berada dibawah pengelolaan dari germo (mucikari) -- boleh jadi konon dinamai dengan "juru jalir". Perihal juru jalir kedapatan di dalam prasasti Sarangan (851 Saka = 929 Madehi) berasal dari Mojjokerto, yang ditulis atas perintah dari Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok Sri Isana Wikramottunggadewa sisi depan (voorzijde) baris ke-9 menyebut kata gabung 'juru jalir" bersama dengan para pimpinan (juru, tuha) lain seperti "tuha dagang, juru gusali, tuha tuha judi, tuha hunjaman", dsb. Serupa itu diinformasikan daoam Prasasti Garaman pada era pemerintahan Mapanji Garasakan dari Kerajaan Janggala yang bertarikh Saks 975 Saka (1053 Masehi) dan lebih awal lagi di sisi belakang (verso) Prasasti Waharu I yang bertarikh Saka 795 Saka (873 Maseh).

Seberapa banyak pelacur komersial pada masa Hindu-Buddha? Tidak diperoleh data tentang jumlah pastinya. Namun, merujuk pendapat A. Reid (1992: 179), sebelum abad XVI Masehi, pelacuran lebih langka apabila dibandingkan dengan "perkawinan sementara" dan pegundikan. Tapi pada penghujung abad XVI, pelacuran mulai bermunculan di kota- kota besar. Dalam banyak kasus, yang menjadi pelacur itu adalah budak- budak perempuan milik raja atau bsngsawan. Jika raja, bangsawan, kaum hartawan ataupun pedagang manca cenderung untuk melakukan perkawinan sementara, memiliki selir atau gundik, maka di luar mereka -- yang tak cukuo berharta dan tidak memiliki hak istimewa -- lebih memilih untuk melacur, dengan perimbangan biaya menghidupi banyaki istri dan anak-anak dari selir lebih tinggi daripada melacur. Begitu pula para istri merasa lebih nyama apabila suaminys melacur daripada musti memadunya, sehingga muncullah suatu ungkapan "lebih baik suami membeli "sate (melacur)" daripada kembali ke rumah dengan menuntun "kambing betina (itri madu, wedus wedok).

Besar kemukinan pada abad IX-XI Maseh telah ada faktor ekonomik (seks komersial), yaitu mendapat uang atau barang sebagai imbal jasa atas layanan seksualnya. Bahkan telah ada institusi pengelola pelacuran, yang berarti pula telah ada legalisasi pelacuran oleh pihak kerajaan. Dengan demikian tidak tepat apabila dinyatakan bahwa legalisasi pelacuran baru di mulai oleh Pemerintah Hindia- Belanda tahun 1852 dengan dikeluarkan peraturan yang menyetujui komersialisasi seks, yang disertai serangkaian pengaturan  pelaksanaannya serta pengawasan lerhadap dampak negatifnya bagi kesehatan. Pelacuran diawasi secara langsung dan ketat oleh polisi. Semua pelacur didaftar, diwajibkan untuk memiliki kartu kesehatan, dan rutin setiap minggu menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi penyakit sipilis atau penyakit kelamin lainnya. Apabila berpenyakit, maka harus segera menghentikan praktiknya dan diasingkan ke suatu lembaga "inrigting voor zieke publieke vrouwen", yang didirikan khusus untuk menangani perempuan yang berpenyakit itu. Untuk permudah penanganan,  pelacur dianjurkan untuk sedapat mungkin lakukan aktivitasnya di rumah bordil. Dua dekade berikutnya tanggung jawab pengawasan kepada rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 dicabut, kemudian diganti dengan peraturan dari penguasa daerah setempat

Dampak kesehatan dari praktik prostitusi telah tergambar dalam berita Cina (kroniek Dinasti Tang, yaktu Ch'iu-T'ang shu dan Hsin T'ang shu), yang menyatakan bahwa di Holing banyak "perempuan berbisa". Bbila orang melakukan hubungan kelamin dengannya, maka akan luka-luka, bernanah, bahkan bisa mati, namun mayatnya tidak membysuk. Berita ini memberi gambaan mengenai adanya penyakit kelamin, yang telah ada di Jawa pada abad VIII Masehi, yang bisa mentebabkan krmatian. Istilah Jawa Baru untuk penyakit kelamin itu adalah "rojo singo (raja singa)". Sebenarnya, di dalam bahasa Jawa Tengahan terdapat kata gabung "rajasingha", namun dalam arti: berbeda, yaitu jenis warna  khas (pola tertentu pada kain), atau krmungkinan adalah cara melipat atau cara mengenakan kain yang khas (Zoetmulder, 1995:908).

D. Penutup

Prostitusi (pelacuran) merupakan bisnis yang polanya telah terbangun sejak berabad-abad lampau. SOP-nya sederhana dan hampir sama di seluruh dunia, yang melibatkan (a) penjual (PSK), (b) mucikari (opsional), dan (c) pembeli (hidung belang). Adapun formulanya adalah "3in1", yaitu  (1) bertemu, (2) bercinta, lantas (3) membayar jasa. Istilah yang kini banyak  digunakan untuk menyebut pelacuran adalah "prostitusi", suatu kata serapan dari bahasa Latin "pro-stituere" (bahasa Inggris "protitution"), yang berarati: membiarkan diri untuk berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Pelaku aya menyebuti dengan "WTS (Wanuta Tuna Susila)", yang memberi kita gambaran mrngenai penilalaian minus terhadap pelacuran, sebagaimsna tergambar pada kata gabung Jawa Kuna dan tenfahan "hinadasi".

Pada batasan istilah tersebut, prostitusi mengalami "penyempitan arti" bila dibanding kata "lacur, jalir, sundal, lanji, dayang, dasi, clor, dan paradara", yang tidak hanya membatasi artinya kepada : pelacuran komersial. W.A. Bonger (1950) mendefiniskan kata "prostitusi" sebagai : fenomena sosial, dalam mana wanita menjual diri dengan melakukan perbuatan- perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya. Pelaku prostitusi mrnyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum dengan melakukan perbuatan- perbuatan seksual untuk mendapatkan imbalan sesuai dengan apa diperjanjikan sebulumnya.

Kegiatan itu acapkali dikategorikan sebagai "praktik hubungan sesat"", yang kurang lebih dilaksanakan dengan siapa saja untuk maksud mendapat uang. Unsur utama praktik ini adalah (a) pembayaran, (b) promiskuitas (perselingkuhan), (c) ketidakacuhan sosial, dan (d) mata pencaharian (Kartini,  2005:3). Faktor yang dianggap paling umum dallam praktik prostitusi adalah adanya pembayaran uang sebagai sumber pendapatan. Ada pula pendapat pelacuran patut "ditabukan", lantran secara moral dianggap bertentangan dengan nilai agama maupun susila. Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap moral atau kesusilaan dan ilegal -- bersifat melawan hukum). Dibdalam ratifikasi perundang- undangan RI Nomor 7 Tahun 1984, dikemukakan bahwa perdagangan perempuan dan prostitusi masuk kategori kekerasan terhadap perempuan.

Menurut Wakhudin (2006), prostitusi telah terdapat semenjak era kemonarkhian di Jawa. Kendatipun demikian, namun sejauh ini tulisan tentang "sejarah prostitusi" di Jawa banyak mengarah kepada Era Kollonial. Sedikit yang mengarahkan perhatiannya terhadap pelacuran masa Pra-kolonial, yaitu di Era Kemonarkhian, terlebih komonarkhian pada Masa Hindu-Buddha. Memang, hanya sedikit catatan sejarah yang mengungkapkan tentang prostitusi di Jawa masa Pra-Kolonial, sehingga bisa difahami bila ada keterbatasan ungkap informasi tentangnya. Telaah bersahaja ini adalah yang sedikit itu tentang "Fenomena Pelacuran Masa Jawa Kuna". Semoga memberikan kefaedahan. Nuwun.

Sangkaling, 20-21 Nopember 2019
Griya Ajar CITRALEKHA
(Sumber naskah / ilustrasi fb Dwi cahyono)