DRAMA TARI TOPENG MALANG BERLAKON ‘PANJI MARGASMARA’ : Pengayaan Khasanah Kesenian Topeng Malang

Foto Penari Topeng / Fb Dwi Cahyono
Oleh : M. Dwi Cahyono dan Meilia Padma Kartyasa

A. Kategori Cerita ‘Panji Mayor’ dan ‘Panji Minor’
Salah satu karakter Wayang Topeng atau Topeng Dalang Malang terletak pada materi ceritanya, yaitu konsisten untuk melakonkan kisah-kisah Panji. Terdapat puluhan kisah Panji yang menjadi khasanah cerita dalam pementasan Wayang Topeng Malang. Kebayakan kisah-kisah Panji tersebut menampilkan tokoh peran Panji Asmorobangun atau penyamarannya dan kekasihnya, yaitu Dewi Sekartaji atau penyamarannya. 

Latar sejarah dari kisah itu adalah dua kerajaan yang berseteru, yaitu Jenggala dan Pangjalu (Kadiri) pada abad XII-XIII M. -- yang acap dianakroniskan dengan kerajaan-kerajaan vasal pada Masa Majapahit (Abad XIV-XV M). Latar geografis pengkisahan bukan hanya di Jawa, namun terkadang menjangku pulau-pulau di seberang Jawa, bahkan negeri-negeri di luar Nusantara. Pola alur penceritaannya terdiri atas tiga fase, yaitu : integrasi-disintegrasi-reintegrasi. Terhadap kisah-kisah panji tersebut, Th. G. Th. Pigeaud (1967-1970, I:209) mengkategorikan dengan ‘Cerita Panji Mayor’.
Selain Panji Mayor tesebut, terdapat khasanah cerita lainnya yang dalam sejumlah hal mempunyai indikator yang serupa dengan cerita-cerita Panji, meski tidak ditokohsentrali oleh Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji, walaupun tidak berlatar sejarah Jenggala-Pangjalu. 

Meski demikian, di dalam sejumlah hal mempunyai indikator yang serupa dengan cerita-cerita Panji, seperti pola alur penceritaan (integrasi-disintegrasi-reontegrasi), mempergunakan gelar ‘Panji’ pada tokoh peran utama, berlatarkan sejarah Masa Hindu-Buddha, dan berlatar wilayah geografis Jawa – khususnya di wilayah Jawa Timur. Terhadap kisah-kisah yang demikian, Th. G. Th. Pigeud (1967-1970, I: 209) mengkategorikan dengan “Cerita Panji Minor (Minor Panji Romance)’.
B. Kisah ‘Panji Margasmara’ dalam Kategori ‘Cerita Panji Minor’

Pada tahun 1979 S.O. Robson menerbitkan ringkasan susastra berbentuk kidung berbahasa Jawa Tengahan dengan judul naskah ‘Kidung Margasmara’ (Cod.Or.4329). Bagian kolophon menyatakan bahwa naskah ini disalin di Karangasem (Bali) pada tahun 1811. Tidak diketahui bilamana naskah aslinya ditulis, Namun, bila menilik konteks historis kisahnya, diprakirakan disurat pada Masa Akhir Majapahit, tepatnya medio abad ke-15 (1440-1450 Masehi), semasa pemerintahan raja Rajasawardha Dyah Wiajayakumara. Naskah yang terdiri atas 22 pupuh ini hingga sejauh ini belum terbut edisi lengkapnya.

Penari Topeng / Fb Dwi Cahyono
Menilik tokoh peran utamanya adalah Panji Margasmara, timbul pertanyaan ‘dapatkah kisah ini dimasukkan dalam khasanah Cerita Panji Nusantara?’. Apabila masuk dalam susastra Panji, pernyanyaan lebuh lanjut adalah ‘apakah masuk ke dalam kategori Panji Mayor ataukah Panji Minor?’. Sebelum menjawab kedua pertanyaan itu, perlu terlebih dulu diidentifikasikan tokoh Panji Margasmara dan Ken Candrasari. Panji Margasmara dikisahkan sebagai keturunan dari Arya Gegelang. Adapun kekasihnya, yaitu Ken Candrasari, adalah putri Arya Singhasari. Menilik gelar ‘panji’ yang disandang oleh Margasmara, terdapat indikator untuk memasukkan sebagai susastra berlakon Panji. Indikator susastra Panji lainnya tampak pada bentuk sastranya, yaitu kidung. Hal ini serupa dengan bentuk susastra-susastra Panji lainnya, yang juga berbentuk kidung. Disamping itu, tema percintaan, pengelanaan dan pola alur cerita ‘integrasi-disitegrasi-reintegrasi’ ikut mewarnai cerita ini.

Berkenaan dengan kategorisasi ‘Panji Mayor’ ataukah ‘Panji Minor’, perlu diperiksa tentang tokoh peran utama dalam cerita ini. Dalam Kidung Panji Margasmara, tokoh peran utamanya adalah Panji Margasmara dan Ken Candrasari, bukan Panji Asmorobangun atau Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji atau Candra Kirana. Keduanyanya juga bukan merupakan tokoh samaran dari Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji. Latar ganologis dari Panji Margasmara bukan keturunan penguasa Kahuripan seperti pada Panji Asmorobangun, melainkan keturunan Arya Gegelang. Demikian pula, Ken Candrasari bukan putri dari Kadiri seperti Dewi Sekartaji, melainkan keutunan Arya Singhasari. Dalam susastra ini tidak dikisahkan tentang perseteruan antara kerajaan Gegelang dan Singhasari. 

Berbeda dengan kisah-kisah di dalam Panji Mayor, dimana kerajaan Jenggala dan Kadiri (Pangjalu) dikisahkan sebagai dua kerajaan yang saling bermusuhan. Memang, Kidung Panji Margasmara tidak berlatar historis Masa Pemerintahan Kadiri dan Jenggala (abad XII-XIII M) dalam pengkisahannya, namun berlatar sejarah Masa Akhir Majapahit (medio Abad XV M). Oleh karena itu, Kidung Panji Margasmara tak masuk dalam kategori Panji Mayor, dan dengan demikian masuk dalam kategori Panji Minor menurut kategorisasi Th. G. Th. Pigeaud (1967-1970, I:209). Atau dengan perkataan lain, Kidung Panji Margasmara adalah salah sebuah ‘varian’ atau ‘turunan’ dari Cerita Panji.

C. Proses Penciptaan Opera Topeng Malang ‘Panji Margamsara’
Karya seni, tak terkecuali dalam seni-tari, tidak tercipta dengan serta merta, melainkan produk dari suatu proses yang diistilahi dengan ‘Proses Penciptaan Seni’. Oleh karena itu karya seni hendaknya ‘dilihat secara lengkap’, bukan sebatas pada produk (hasil karya)-nya, namun perlu pula diketahui bangimana proses yang melahirkannya. Sayang sekali, pentahapan dalam proses pencitaannya tidak senantiasa dikokumentasikannya baik baik, yakni dengan membuat perekaman secara tertulis dan fotografis. Padahal, rekaman (recording) tersebut memudahkan dirinya atau pihak lain untuk mengetahui tahap demi tahap Proses Penciptaan Seni yang telah dilaksanakannya, yang meliputi: (a) tahap perumusan konsep dan desain, (b) tahap penciptaan, dan (c) tahap penyajian karya seni. Tiap tahap terdiri atas beberapa sub-tahap beserta hasilnya. Menyadari akan urgensi perekaman Proses Peciptaan Seni tersebut, maka penggarapan Opera Topeng Malang Berlakon ‘Panji Margasmara’ ini disertai dengan rekaman, baik secara tekstu-al, piktorial maupun auditif untuk masing-masing tahap.

1. Tahap Perumusan Konsep dan Desain
Karya seni yang diancangkan ini masuk kesenian yang berjenis tari dalam bentuk opera. Mengingat bahwa lakon yang diangkat, yakni ‘Panji Margasmara’ berlatarkan sejarah Nagari Singhasari pada era Akhir Majapahit (medio abad ke-15 M) dan belatar geografis Malangraja hingga Blitar, maka kesenian lokal dijadikan konteks dalam pengemasan karya, yaitu kesenian Topeng Malang. Oleh karena itu, bentuk tarian yang hendak dihadirkan berupa ‘Opera Topeng Malang’. Cukup alasan bila ‘Panji Margasmara’ dipilih sebagai lakon dalam kesenin Topeng Malang ini, sebab Topeng Malang konsisten untuk mementaskan Lakon Panji. Meskipun Panji Margasmara tidak masuk dalam kategiri ‘Panji Mayor’ melainkan ‘Panji Minor’, namun kisah ini tergolong sebagai khasanah Cerita Panji Nusantara, tepatnya varian atau turunan dari Cerita Panji Mayor.

Penari Topeng / Fb Dwi Cahyono
Berbeda dengan kelazimannya, dimana kesenian Topeng Malang dihadirkan dalam wu-jud kesenian tradisional ‘Wayang Topeng’ atau ‘Topeng Dalang’, dalam garap seni ini Topeng Malang dikemas dalam bentuk Opera Topeng Malang. Dengan demikian, garap seni ini tidak tergolong sebagai Topeng Malang Tradisi, melainkan ‘Topeng Malang Kreasi’, sehingga ada peluang untuk mengadakan modifikasi dalam kemasan bentuk sajiannya. Kendati merupakan seni kreasi, namun dalam sejumlah hal prinsip-prinsip pada kesenian Topeng Malang dijadikan dasar pertimbangan dalam pengemasan, agar karakter Topeng Malang tetap melekat. Misalnya pemakaian properti topeng, busana dan aksesori pokok Wayang Topeng, pembabakan cerita, keberadaan ‘dalang’, maupun unsur pokok musik pengiringnya. Hanya saja, dalam garap seni yang berbentuk ‘opera’ ini peran tunggal dari dalang sebagai penghantar kisah dan penyampai dialog tokoh-tokoh peran tidaklah amat dominan, dimana penghantaran kisah dan dialog antar tokoh peran dilakukan dalam bentuk nyanyian (tembang) oleh sejumlah orang. Demikian pula, gerak tari, busana dan aksesori, musik pengiring maupun tata pentasnya mendapat modifikasi [bila dibanding Topeng Malang tradis] untuk disesuikan dengan kemasan opera.

Kidung Panji Margasmara adalah salah satu varian Cerita Panji yang benar-benar berkonteks Malang, baik konteks historis maupun konteks kewilayahan pada pengkisahannya. Latar sejarah (historical background)-nya adalah sejarah Nagari Singhasari, yang terjadi pada Masa Akhir Majapahit (medio abad ke-15 M). Demikian pula, dalam hal konteks kewilayahannya, kisah ini menggambarkan kejadian-kejadian di masa lalu yang berlangsung pada sejumlah tempat dalam wilayah Malang dan sebagian kecil diantaranya terjadi di daerah Blitar. Hal ini tergambar pada pergerakan tokoh-tokoh peran pada tenpat-tempat yang terdapat di Malang dan Blitar.

Hadi Sidomulyo (2014) melokasikan tempat-tenpat yang berada di daerah Malang itu sbb.: Singhasari (kini ‘Singosari), Wewedon (Wedwa-wedwan, kini ‘Gunung Wedon’ di Kec. Lawang), Taman Kawidadaren (Kasurangganan, kini “Sumber Awan’ di Kec. Singosari), Gandamayi (kini 'Bukit Gondomayit' di Singosari), Turen, Wilantik (di selatan Turen), Kayupuring (kini ‘Gunung Puring; di Desa Sindurejo Kec. Gedangan), Kidal (kini ‘Rejokidal’ di Kec. Tumpang), jurang Lamajang (dulu bernama Lamajang Tengah, kini ‘Majangtengah’ di Kec. Dampit), Padang (kini ‘Desa Padang’ di lerang selatan Semeru), Kukub (mungkin situs Petungombo atau situs Gerbo di Kec. Tirtoyudo), Palandungan (di selatan Tirtoyudo, atau mungkin di Kac. Sumber Manjing Wetan),Wante (di pesisir Selatan Malang), Bale (bisa jadi kini ‘Bale Kambang’), dan Gumuruh (kini ‘Sengguruh’). Atas dasar keduaa konteks tersebut, maka cukup alasan untuk mengemukakan bahwa kisah Panji Margasmara adalah ‘drama-kesejarahan Malang’ Masa Akhir Majapahit dalam bentuk kisah-kasih Panji, sehingga layak untuk dijadikan khasanah penting dalam kesenian Topeng Malang.

Opera Topeng Malang berlakon ‘Panji Margasmara’ adalah suatu kesenian transformatif. Dikatakan sebagai ‘transformatif’ karena mentransformasikan seni-sastra ke seni-pertunjukan. Kisah Panji Margasmara hadir dalam bentuk ‘susastra tekstual’ masa lampau (medio abad ke-15 M) dalam betuk kidung, yang pada garap seni ini ditransformasikan menjadi ‘susastra lakon’ dan disajikan dalam bentuk seni pertunjukan (performing art) pada masa sekarang (tahun 2016). Perihal transformasi sebagaimana itu menjadi fenomena jamak di dalam Budaya Panji, yang ditandai oleh serangkaian transformasi, yakni dari susastra lisan (oral story) menjadi susastra tekstual (textual story), lantas ditransformasikan menjadi susastra visual (visual story) dalam bentuk relief candi atau menjadi susastra lakon dalam seni pertunjukan. Ada pula transformasinya ke dalam nyanyian (tembang), resitasi cerita, permainan (dolanan), bahkan ritus tertentu dsb. Oleh karena itu, proses transformatif yang dilakukan dalam garap seni bukanlah hal tidak biasa pada Budaya Panji. Untuk kepentingan pelakonan dalam seni pertunjukan, maka naskah Kidung Panji Margasmara yang terdiri atas 22 pupuh dijadikan 6 (enam) babak di dalam Opera Topeng Malang berlakon ‘Panji Margasmara’, yang terinci dalam 9 (sembilan) kelompok adeg-an, yaitu sebagai berikut.

Babak I : Jejeran Nagari Gegelang dan Singhasari
a. Jejer Nagari Gegelang
b. Jejer Nagari Singhasari
Babak II : Perjumpaan Kasih Panji Margasmara-Ken Candrasari
(Tepung Katresnan)
Babak III : Penentangan Hubungan Kasih Panji Margasmara-Ken Candrasari (Katresan Pinentang)
Babak IV : Penguatan Spirit Cinta Panji Margasmara (Pineguhan Katresnan)
Babak V : Drama Kawin-Lari Panji Margasmara-Ken Candrasari (Wiwahapalayu)
a. Drama Penculikan Ken Candrasari oleh Panji Margasmara (Maling Curing)
b Tualang Panjang Pasangan Kawin Lari (Njajah Deso Milang Kori)
Babak VI : Restu Kasih Panji Margasmara-Ken Candrasari (Restu Kasih)
a. Memboyong Pulang Pasangan Pengantin (Mboyong PIinanganten)
b. Penobatan Panji Margasamara sebagai Patih Majapahit (Panji Winisuda)
2. Tahap Penciptaan

Tahap ini memuat serangkaian kegiatan berkenjutan, yang terdiri atas; (a) membuatan naskah tari; (b) penyusunan team work, yang meliputi penari, musisi pengiring, tim artistik dan sutradara.(c) pengarapan tari, yang beruwujud rangkaian latihan
secara terjadwal dan bertarget, serta (d) uji pentas, Perciptaan seni tidak senantiasa cukup hanya dengan melibatkan seniman, namun dalam hal-hal tertentu perlu pula untuk melibatkan orang atau pihak lain yang memiliki kompetensi relevan dengan garap seni yang dipersiapkan namun berada di luar kompetensi dari para seniman bersangkutan. Meraka dapat diposisikan sebagai mitra kerja, atau bahkan sebagai konsultan dan sekaligus pendampimg dalam hal tertentu. Oleh karena kisah yang bakal digarap berkenaan dengan aspek kesejarahan, maka serajawan tepat untuk dilibatkan sebagai konsultan pada penggarapan Opera Topeng Malang berlakon ‘Panji Margasmara’ ini.

Selain jadwal latihan, hal lain yang dibutuhkan pada tahap penciptaan ini adalah tempat latihan, baik di sanggar tari atau diluar sanggar tari – termasuk di tempat pementasan pada sesi uji pentas (gladi bersih), Hal lain yang perlu untuk dijadikan pegangan bersama adalah karya seni yang akan diciptakan mustilah sesuai dengan konsep dan desain yang telah difomulasikan pada Tahap I (Perumusan Konsep dan Desain). Dengan demikian, maka rangkaian kegiatan itu merupakan Proses Penciptaan Seni yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Catatan: Jadual, Tempat dan Target Latiham sertaTeam Work terlampir.

3. Tahap Penyajian Karya Seni
Hasil garap tari ini, yang berupa Opera Topeng Panji Berlakon ‘Panji Margasmara’, disajikan sebagai salah satu mata acara pada Pembukaan Literasi Singhasari di Pendopo Kab. Malang pada tanggal 18 September 2016. Durasi watu penyakian sekitar 30-35 menit, dengan lokasi pentas adalah di panggung pertunjukan di dalam bangunan Pendopo Kabupaten. Walau karya seni disajikan dalam rangka Pembukaan Literasi Singhasari, namun untuk memberikan nilai tambah dari garap tari ini, maka pada usai acara diselenggarakan ‘Bedah Karya’, untuk mengkomunikasikan kepada publik Proses Penciptaan Seni dan sekaligus pertanggungjawab karya kepada publik.

Proses Penciptaan Seni dengan masing-masing tahapnya – sebagaimana telah dipaparkan di atas – diposisikan sebagai ‘Formulasi Model Garap Seni’, yang dicobaterapkan dam dievaluasi hasilnya untuk penyempurnaan. Lebih jauh diharapkan, proses yang demikian dapat diterapkan pula oleh komunitas-komunitas seni lainnya, baik untuk cabang-seni yang sama atau berbeda. Apabila bisa ditradisikan oleh komunitas-komunitas seni di kawasan Malangraya, maka bukan hanya diperoleh rekam jejak Proses Penciptaan Seni, namun sekaligus diharap dapat membuka kesadaran mengenai adanya banyak kemungkinan untuk mengkayakan materi cerita dan mera-ragamkan kemasan sajian kesenian Topeng Malang.

D. P e n u t u p
Demikianlah rancangan garap tari Opera Topeng Malang Berlakon ‘Panji Margasmara’, yang kini tengah dipersiapkan menyongsong tibanya perhelatan budaya akbar ‘Literasi Singsari I’, yang akan diselenggarakan pada tanggal 18-23 Sepetember 2016 di Kab. Malang. Semoga apa yang tengah kami persiapan ini membuah hasil optimal sebagaiman dirancangkan, dan mampu memberikan kontribusi bagi pengayaan khasanah Topeng Malang. Salam budaya bhumiputra, ‘Nusantarajayati’. 
Nuwun. (sumber: facebook Dwi Cahyono 11/8/16).