SEMERU, MENGAPA ITU NAMAMU: Gunung Api yang Dahsyat Mengerikan namun Disucikan

Gunung Semeru, foto Antara

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Sejarahwan Nusantara)

     ............

     Mangku purel neng karaokean

     Ndemek pupu sampai munggah 

          neng Semeru

     ............

(Potongan lirik lagu "Mangku Purel", Nur Bayan)

A. Meru sebagai Gunung Suci pada Pusat Kosmos

Sebutannya yang familier di publik adalah "Semeru". Namun ada dua varian sebuatan lain baginya, yaitu "Mahemeru" dan "Sumeu". Dari ketiga sebuatan itu, sama sama adalah sama-sama memiliki unsur se- butan "meru", dengan perincian : se + meru, maha + meru, dan su + meru. Apa itu "Meru"? Mengapakah nama itu yang diberikan untuk gunung tertinggi di Pulau Jawa yang terletak di Jawa Timur, tepatnya di  Kabupaten Malamg dan Lumajang?

Secara harafiah, istilah Sanskreta yang diserap ke dalam Bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan me-  nunjuk kepada : (1) gunung (mitologis) pada pusat Jambudwipa (dan dunia), (2) bangunan seperti pagoda padakompleks percandian dengan atap yang  berjumlah ganjil (Zoetmulder. 1995: 667). Pada mi- tologi di India (nama arkais : Jambufwipa = Pulau Jambu), Gunung Meru dikonsepsikan berada di titik sentrum Jambudwipa, yang sekaligus sebagai titik pusat jagadraya (makro kosmos). Itulah suatu gunung maha tinggi yang berada di sub-kontinen Asia Selatan, yang lazim dikenal dengan sebutan "Himalaya". Benda angkasa, seperti matahari (sur- ya), bulan (candra), planet-planet maupun bintang- gemintang (maksatra) berke mengitari Meru. 

Pada pandangan mitologis itu, yang tergambarkah adalah "geosentrisme", tepatnya adalah "mountain sentristrisme", bukan "heliosentrisme" seperti yang diteorikan kini. Meru berada di tengah suatu pulau (dwipa), yang dinamai "Jambudwipa". Tergambar bahwa India Raya (region Asia Selatan) dipandang sebagai pulau, meski padahal adalah tanjung yang maha besar dari daratan Asia. Penggunaan unsur sebutan "jambu", sebab di pulau ini banyak tumbuh pohon darsaba, yakni suatu macam dari bermacam pohon jambu. Pada puncak Meru pada Dewa berse- mayam, yang dirajai oleh Dewa Indra, sehingga ada sebutan "Kaindran" untuknya. Lantaran Kaindran itu berada di puncak Meru, maka gunung maha tinggi  ini diyakini sebagai "gunung suci (holy mountain)". Sungai-sungai besar yang bermata air (ber-tuk) pa- danya, seperti Sungai Gangga dan Brahmaputra, kerenanya juga dikonsepsikan sebagai "sungai suci (holy ruber)" dengan airnya yang suci pula (holy wa- ter). Bangunan-bangunan suci di India Raya, baik Hindu ataupun Buddhis, cenderung mengkiblat ke puncak Meru. 

Ada kalanya kata "meru" dipadu dengan kata-kata lain menjadi gata gabung, misal "meruparwata atau Merusaila (gunung Meru), Meruraja (raja gunung- gunung), Merusikara (puncak gunung Meru), Meru- tulya (seperti gunung Meru), Meruwiwara (rongga atau goa pada gunung Meru), dsb. Ada pula kata gabung untuknya di Nusantara, seperti "Mahameru (Meru yang agung) dan Sumeru (Meru yang baik -- varian sebutannya "Semeru"). Sebuatan "Meru" juga acap dipakai untuk menamai atap bangunan suci yang berbentuk tumpang, besusun dalam jumlah gasal (ganjil -- dari tumpang tiga himgga tumpang sebelas). Atap besusun yang demikian juga hadir pada payung, yang dinamai "catra" atau disebut ju- ga dengan "songsong". 

B. Semeru sebagai Gunung Suci, Pasak Pulau Jawa

Mengapa gunung tertinggi di Pulau Jawa (sebutan arkais "Jawadwipa") dinamai dengan menggunakan unsur sebutan "Meru", seperti "Semeru, Sumeru dan Mahameru"? Penamaannya itu berlatar kosmologis, yakni mite tentang (a) pemotongan, dan (b) pemin- dahan (relokasi) puncak Meru dari Jambudwipa ke Jawadwipa. Kosmologi ini tersurat dalam susastra gancaran "Tantupanggelaran" berbahasa Jawa Te- ngahan, yang ditulis (sinurat) pada akhir Majapahit sekitar abad ke-15 Masehi. Pada kisah itu dijumpai alasan mengapa puncak Meru dipotong lantas di- boyong dari Jambudwipa ke Jawadwipa. 

Alasannya adalah untuk menstabilkan Pulau Jawa. Sebelumnya Jawa berada dalam kondisi yang labih lantaran mendapat hempasan ombak dahsyat dari Samudra Selatan. Untuk menstabilkan, pulau besar di Nusantara itu musti "dipasak (dipantek)''. Apa pa- sak untuk pulau yang besar? Pasak untuk pulau be- sar tentunya pasak yang maha besar, yaitu gunung. Itulah sebabnya mengapa puncak Meru dipotong, untuk dijadikan pasak pulau Jawa. Kisah ini memi- liki keserupaan dengan kosmogoni di era Perkem- bangan Islam berkenaan denganGunung Tidar di tengah daerah Magelang sebagai "paku"-nya Pulau Jawa, yang dipakukan oleh Syeh Subakir. Dengan mempasak atau memakunya diharapkan Jawa tak lagi terombang-ambing manakala mendapat terpa- an dahsyat ombak Laut Kidul.

Mengapa tidak seluruh Gunung Meru dijebol untuk dijadikan pasak? Disamping tentunya menjadi lebih berat jika seluruh gunung diboyong ke Jawa. senga- ja puncaknya yang lebih dipentingkan, karena pada  puncak Meru itulah Kaindran (Kahyangan) berada. Dengan memotong dan memindahkan puncak Meru ke Jawadwipa sekaligus memboyong Kaindrama (kahyangan, persemayaman para Dewa) ke Jawa. Kaindran yang mulanya jauh berada di India lantad didekatkan ke Jawa. Proses itulah yang oleh para pengkaji mitologi Jawa diistilahi dengan "Jawanisasi (pen-Jawa-an)". Hal ini merupakan fenomena yang menguat pada Masa Majapahit. Itulah pula mengapa puncak Gunung Semeru dipotong untuk dipindahkan ke Bali menjadi Gunungagung, lantas puncak Gunung Agung dipotong untuk dipindahkan ke Pulau Lombok menjadi Gunung Rinjani. Kaindran menjadi rebutan untuk diboyong ke tempat masing- masing pemujanya. 

Dalam kitab "Tantupanggelaran" yang pertama kali disunting oleh Dr. Th. G. Th. Pigeaud pada tahun 1924 itu dikisahkan bahwa Batara Guru (Shiwa) memerintahkan dewa Brahma dan Wishnu untuk mengisi pulau Jawa dengan manusia. Oleh karena kala itu pulau Jawa masih mengambang di lautan luas, terombang-ambing, dan senantiasa berguncang, maka para dewa putuskan untuk tancapkan paku (pasak) guna menstabilkan Pulau Jawa,.yakni de dengan cara memotong punak Meru kemudian memakamkannya di Bhumi Jawa  Dewa Wisnu berawatara menjadi seekor kura-kura raksasa (Akupa) untuk menggendong gunung itu di punggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular naga raksasa (Ananta) yang membelitkan tubuhnya pada gunung sebagai tali yang beramai-ramai ditarik oleh para dewa dari Jambudwipa ke Jawadwipa  Dalam perjalanan dari Jawa bagian barat ke Jawa bagian timur. 

Puncak Meru rompal beberapa bagian menjadi sejah gunung di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur dan utamanya di wilayah Jawa Timur, yaitu : Gunung Katong (Lawu), Wilis, Kampud (Kelud), Kawi, Arjuna, Ardi Kumukus (Welirang), dan dibomtang sebagian menjadi Gunung Pawitra (kini dikenal dengan nama  "Penanggungan"). Adapun puncak utamanya menjadi Semeru. Semenjak itulah Jawa menjadi stabil. Ketika  Sang Hyang Shiwa datang ke  Jawa dilihat olehNya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau ini  dinamai "Jawa". Wisnu kemudian menjadi raja yang pertama yang berkuasa di pulau Jawa dengan nama "Kandiawan", dengan mengatur pemerintahan, masyarakat, dan keagamaan.

C. Ikhtiar Meredam Murka Gunung Api Semeru

Gunung Semeru sebagai potongan puncak Meru di dalam mitologi Hindu diyakni sebagai tempat persemayanan para dewa (kediaman Hyang), sebagai sarana penghubung antara manusia yang tinggal di bumi dengan Dewa yang berada di Kahyangan. itulah latar mitologis mengapa Semeru (Mahameru) diyakni sebagai "gunung suci" kepadamana banyak bangunan suci di Jawa diorientasikan (dikiblatkan) ke puncaknya. Warga Tengger yang tinggal dekat dengan Gunung Semeru meyakini bahwa mereka bermukim dekat dengan "Alam Kedewan" -- dalam hal ini puncak Semeru diyakini sebagai Alam Ke- dewataan. Bila punya hajat, warga Tengger tidak berani menanggap wayang kulit Purwa yang me- lakoniab.kisah kedewataan. Oleh karena mereka tinggal terlampau dekat dengan Alam Kadaewan, maka nenggantikan pertunjukan wayang kulit purwa  dengan wayang topeng Malang dengan lakon Panji tentang kesejarahan Jawa. Gambaran tentang Alam Kedewataan itu juga kedapatan dalam relief cerita "Kunjarakarna" yang dipahatkan di teras pertama Candi Jajaghu (Jago), yakni ada sebuah panil relief yang menggambarkan jalan kecil berkelok dan menanjak, yang merupakan jalan menuju ke "Swarga (Nirwana)". Boleh jadi. jalan itu menggambarkan jalan sukar menuju ke puncak Gunung Suci Semeru. 

Warga masyarat sekitar Semeru dan pelaku ritual ke Gunung Semeru meyakini bahwa Dewata yang bersemayam.di puncak Gunung Suci Semeru adalah Pasupati (पाशुपतास्त्)"-- sebutan lain yang menunjuk kepada Dewata yang sama adalah "Pasupata", yaitu salah sebuah sebutan untuk Dewa Siwa, yang disimbolkan dalam bentuk Lingga. Siwa adalah satu diantara Trimurti (Brahma, Wisna dan Siwa), yang yang dikonsepsikan sebagai  "pemralina (de- wa perusak)". Terkait itu, dampak destruktif letusan Gunung Berapi (vulkan) Semeru yang membawa kerusakan merupakan pengejawantahani sifat pralina dari Dewa Siwa tersebut. 

Pasupata juga digunakan sebagai sebutan untuk salah satu sekte dalam agama Hindu yang  lebih menonjolkan pemujaan terhadap Lingga sebagai pelinggih Dewa Siwa. Pada agama Hindu di Bali, kata "pasu (varian "pasura") dan "pati (varian "pra- dana) membetuk kata gabung "pasupati", dalam arti : pelinggih sari beruang dua yang ada di mera- jan untuk memuja leluhur dalam wujud purusa dan pradana sebagai sumber dari benih kehidupan. Konon sekte ini pernah ada di Bali, sejumlah konsep berbeda dengan Siwa Shidanta, utamanya dalam hal cara pemujaan, dimana sekte Pasupata meng- gunakan Lingga sebagai perangkat ritus upacara keagamaannya. Penyembahan Lingga -- lambang Siwa -- menjadi ciri khas sekte Pasupata, seperti antara lain hadir di pura Goa Gajah. Arah beragama pada sekte pada Niwrti, yaitu jalan (marga) yang di- proritaskan kepada penguatan kepada hati nurani, yang berorientasi ke dalam diri. Adapun pafa sekte Siddhanta arah beragamanya pada marga Prawrti, yang orientasi ke luar  beragama ke luar diri. Cara Niwrti dalam Siwa Pasupata ditempuh untuk men- capai keadaan yang ”Pasupata”, yaitu penguasaan  nafsu yang identik dengan sifat-sifat kebinatangan. 

Jika Dewa Siwa murka (ugra, saura), maka fungsi ke-pralina-annya berlangsung, yakni timbul ragam kerusakan di bumi. Manusia sebagai penghuni bu- mu tentu berikhtiar supaya buminya terhindar dari kerusakan. Itulah sebab mengapa dilakukan ritual pemujaan kepada Pasupati (Siwa, sebagai pengua- sa gunung, diistilahi dengan "Girisa") yang diyakini  menaungi Gunung Semeru. Bagunan-bangunan suci dalam bentuk candi yang kedapatan tersebar di sekitar Gunung Semeru banyak yang mengorienta- sikan bangunan cucinya ke puncak Semeru untuk antara lain "meredam ugra Dewa Siwa", untuk bisa terhindar atau selamat dari pralina-Nya. 

Untuk kesekian kalinya kini Mahameru tengah aktif, yang diyakni sebagai berlangsungnya proses pralina dari kekuatan Dewa Siwa. Dengan perkataan lain "Sang Hyang Pasupati (varian sebutan "Padupata") tengah maugra (masaura), sehingga perlu secara religis "diredakan ke-ugra-an)-nya. Lava dari lubang kepundannya naik ke kawah tumpah ke lerangnya. Proses alamiah naiknya aliran lava itu tentulah beda dengan naiknya tangah pemangku purel dari paha ke Semeru yang tergambar di dalam lirik lagu viral  "Mangku Purel" terkutip diawal tulisan ini. Nuwun. 

Sangkaling, 5 Desember 2022

Griyajar CITRALEKHA