EKSOTIKA TAMPILAN BUSANA BERMOTIF HIAS "BATIK" SANG PRAJURIT SINGHASRI


Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog - Sejarahwan Nusantara)

A. Tampilan Diri Sang Prajurit Era Singhasari

Jangan salah sangka bahwa pada masa lalu, di masa Hindu-Buddha, pria dan wanita bertelan- jang dada alias tanpa baju atasan (istilah lokal "ote-ote"). Memang tak dapat disangkal bahwa ada tampilan personal yang berelanjamg dada, baik pria ataupun wa- nita, sebagaimana antara lain tergambarkan dalam sumber Ikonografis, yamg berwujud seni arca maupun relief candi. Namun, pada sumber data yang sama, kita pun juga mendapati gambaran tentang penampilan diri dimana terdapat persona yang berbusana atasan (tak bertelanjang dada). 

Pada seni arca era Singhasari, yang bisa dibi- lang sebagai "masterpice"-nya seni arca masa Hindu-Buddha, gambaran yang demikian bisa  dapatkan. Secara jelas figur yang dipatungkan dengan memperlihatkan busana, antara lain hadir pada arca Durga Mahisasuramardhini dan arca Siwa Mahakala. Bahkan, pada arca Siwa Mahakala yang dipersonifikasi sebagai prajurit berbadan kekar dan disertai dengan senjata berupa : dhanda (gada) dan pedang panjang (kadga). Komponen-komponen busa- nanya bukan sekedar kain polos, melainkan berupa kain atau bahan lain bermotif hias. 

B. Motif Hias Batik pada Unsur Busana Era Singhasari

Unsur busana bermotif hias batik yang dikena- kan oleh figur Ikonografis dari era Singhasari itu berupa : (a) kain bawahan hingga di atas lutut, (b) kain atasan yang benutupi tubuh dan pangkal lengan, (c) selendang (sampur) pengi- Kat pinggang, dan (d) tali kasta (upawita) yang menyelenpang tubuh. Motif-hias untuk masing masing unsur busana itu tak semuanya sama. Pada busana bawahan, motif hiasnya berupa "Kawung", yang dibentuk oleh pola lingkaran- lingkaran yang saling beririsan, dengan perte- muan antar irisan membetuk kelopak-kelopak  daun melancip pada empat penjuru. Selain itu, pertemuan itu juga menghasilkan motif hias yang berbangun jajaran genjang yang bersisi lurus dan di dalamnya terdapat jajaran genjang bersisi lengkung. Sebagaimana halnya dalam motif hias batik sekarang, pada kain bawahan yang pemakaiannya disertai dengan "wiru" ini juga dilperengkapi dengan motif hias pinggir yang berbentuk meander berderet. 

Adapun busana atasan memperlihatkan motif hias detail  berupa rekahan bunga delapan ke- lopak dan pinggir awal dalam bingkai bundar berderet horisontal dan vertikal. Empat lingkar- an bersinggungan, sehingga menghasilkan ba- ngun jajaran genjang bersisi lengkung. Busana atas ini terkenakan ketat di badan. Berlengan (namun hanya menutupi pangkal lengan) dan diperlengkapi dengan kerah melingkar leher. Oleh karena tokoh yang mengenakannya itu adalah "prajurit", maka bisa jadi busana atasan ini merupakan baju zirah (disebut juga "harnas" atau "varnan"), seperti halnya baju zirah yang dikenakan pada arca Durga Mahisasuramar- dhini di dalam konteks "keprajuritan". 

Motif hias batik juga tampil pada upawita, de- dengan motif hias yang berupa "ceplok bunga (rekahan bunga teratai)" dalam bingkai lingkar secara berderet. Bisa jadi upawita yang terlihat melempeng itu dan terkesan tebal itu tak dibi- at dari kain, melainkan dari kulit yang diberikan hiasan di permukaannya. Bagan yang serupa bisa jadi pula untuk bahan pembuat baju zirah yang berfungsi sebagai pelindung tubuh dari senjata lawan. Selain upawita, pada tubuh juga terlihat adanya sabuk (bhanda) yang melikari bagian tengah tubuh melintasi posisi hulu hati. Aksesiris bhanda itupun disertai dengan motif hias, yang berupa "bingkai segi delapan (heksa- gonal) berderet horisontal, dengan detail-detail hiasan berupa ceplok bunga di daamnya".

Unsur busana lainnya yang juga diserai dengan moitif hias batik adalah sampur pengikat ping- gang, dengan motif hias berupa "jawung", yang menyerupai motif hias pada kain bawahannya. Sampur itu berupa kain panjang yang lebar, di- lipat beberapa lipatan, layas diikatkan meling- kar punggung dengan tali simpul ikatannya di bawah pusar. Selain untuk memperelok tampil- an diri, sampur tersebut berfungsi sebagai pe- merakyat posisi kain bawahannya pada tubuh. Walaupun kain bawahan itu dililtkan tubuh dan disertai dengan gelungan di sisi atas, namun akan menjadi lebih kokoh apabila diperkuat de- ngan sampur pengikat pinggang. 


C. Eksotika Ikonografi Era Singhasari

Seni arca era Singhasari banyak mendapat pe- ngaruh dari gaya kesenian "phala" atau disebut but "seni Pala-Sena" dari India Timur..Gaya seni yang sangat artistik ini berkembang di negara bagian Bihar dan Benggala Barat, dan di tempat yang sekarang disebut "Bangladesh". Arca pe- tunggu perunggu menjadi produk ikonografi artistik kesenian Phala, dengan pusat produksi  di biara Buddha besar di Nalanda dan Kurkihar,.  Karya-karyanya didistribusikan ke seluruh Asia Tenggara, yang mempengaruhi seni di negeri Myanmar (Burma), Siam (sekarang Thailand ), dan Jawa (sekarang bagian dari Indonesia ). Seni Phala juga memiliki pengaruh yang dapat dikenali pada seni Buddha Kashmir , Nepal , dan Tibet .selain pada era Singhasari, kesenian Phala di Jawa juga berpengaruh di era dinasti Syailendra pada kerajaan Mataram. 

Demikianlah, arca Dewa Siwa dalam aspeknya sebagai "Siwa Mahakala" tersebut dipersonifi- kasikan layaknya seorang prajurit dengan ba- dan yang kekar (bahasa Jawa "gempal" atau "dempal"), berambut ikal panjang digeraikan ke belakang, berkumis dan berjenggot tebal (bre- eokan,), bersenjata ganda (gada dan pedang), serta berbusa lengkap (kain bawahan, busana atasan berupa baju zirah, sampur dan upawita) dan asesoris lain berupa gelang tangan (kanka- nya), kelat bahu (keyura), anting-anting (kunda- la), dan ikat rambut. Sebagai prajurit, terlihat tampil elegan, yakni artistik, modis namun te- tap kelihatan gagah perkasa -- sesuai dengan fungsinya sebagai penjaga candi dari ganggu- an yang bersifat gaib. 

Busana yang dikenakannya bermotif hias, yang dalam sejumlah mengingatkan kepada motif hias batik, misalnya pada motif hias "kawung". Namun, sejauh ini belum bisa ditentukan apa- kah motif hias itu dibuat dengan menggunakan tiknik batik tulis ataukah merupakan motif hias pada kain tenun. Terkait dengan kemungkinan yang kedua, ada yang pendapat yang memban- dingkan kainnyang dikenakan oleh arca itu de- ngan kaini"kain patola" dari Lioi. Selain itu, kain serupa itu juga didapati pada kain bermotif hi- as asal dari India pada keluarga kain "sari atau swree". 

Bahwa kemungkinannya sebagai motif hias yang dibuat dengan teknik batik tulis tetap terbuka, sepanjang ada data pendukung yang memperkuat tafsir identikatif ini. 

Arca Siwa Mahakala, yang semula ditempat- kan di relung depan pada sisi utara dari Candi Singhasari ini, Lantara bagus dan utuh maka diboyong (ada yang menyebut "dirampok") oleh pemerintah Hindia-Belanda ke Negeri Belanda dan kini menjadi benda koleksi pada Museum  Volkenkunde Leiden. Adapun Indonesia, yang menjadi tempat asalnya cukuplah dipuaskan dengan membuat duplikatnya dari bahan fiber glass, yang kini dikoleksi di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Jakarta. Begitulah, di satu sisi kita beruntung memiliki tinggalan Ikono- grafi era Singhasari yang amat artistik, namun pada sisi lain lataran artistik dan masih relatif utuh itu konon di Masa Kolonial arca-arca era Singhasari menjadi obyek jarahan untuk direlo- kasikan ke Negeri Belanda ataupun ke Batavia (kini : Jakarta). 

Demikianlah tulisan dengan obyek telaah mikro hanya berupa sebuah arca. Telah inipun hanya sekilas. Kendati cuma bersahaja kajiannya, di- harapkan dapat memberi sedikit kefaedahan. Nuwun.

Bhumi Ngrowo, 10 Januari 2022

Patembayan CITRALEKA