SENI MUSIK VOKAL JAWA KUNA: Telisik Awal Sejarah Musika Purba

Ilustrasi: twtr
(Edisi "Sejarah Seni Pertunjukan")

Oleh : M. Dwi Cahyono
[Akademisi dan Arkeolog]

A. Seni Musik Vokal dalam Perspektif Historis
Secara umum seni musik adalah cabang seni yang menggabungkan nada, suara, melodi, harmoni, ritme, tempo serta harmoni alat-alat musik (music instrument, waditra) dan vokal sebagai sarana ekspresi perasaan atau emosi penciptanya. Apabila seni tari berbasis pada gerak (stilasi gerak), seni drama berbasiskan gerak dan suara, maka basis seni musik adalah suara. Olah suara dalam konteks kesenian menghasilkan apa yang dinamai “seni suara’, secara harafiah menunjuk kepada olah suara atau bunyi (nynyian, musik, dsb.) (KBBI, 2002: 1038). 

Sebagai sebuah istilah, musik merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yakni ‘music’, yang secara etimologis berasal dari kata ‘mousike’ pada bahasa Yunani, yaitu sebutan bagi semua seni yang dipimin oleh Muses, yang berupa musik dan puisi. Antara musik dan puisi memang acap berkait. Puisi hadir sebagai syair atau lirik lagu, adapaun musik menjadi pengiring penyanyian (pelaguan) puisi sebagaimana antara lain tergambar dalam sebutan ‘musikalisasi puisi’. Musik dan puisi adalah ‘dua muka dari sekeping mata aung”. Ada musisi yang sekaligus pembuat lirik lagu. Namun terbuka pula suatu kemungkinan bahwa puisi yang dinyanyikan dengan iringan musik dari seorang atau sekelompok orang musisi itu diciptakan oleh orang lain. 

Seperti halnya dengan cabang-cabang seni lainnya, seni musik bersifat “universal’, dalam arti terdapat dimanapun dan kapanpun. Setiap lapis masa memiliki oleh musikalnya sendiri-sendiri. Terkadang oleh musikial yang beasal dari masa lampu mampu melintas masa hingga memasuki lapis-lapis masa yang berikutnya. Proses melintas masa itulah yang melatari terdapatnya ‘musik tradisi’ atau disebut juga dengan “musik tradisional’. Lantaran itulah maka musik tradisi dapat dijejaki perjalanan sejarahnya dari waktu ke waktu, bahkan masa demi masa. Perunutan tentang tumbuh-berkembangnya karya musikal membawa kepada ‘sejarah musik’, yakni kajian sejarah mengenai gagasan, aktifitas dan karya musikal masa lampau berdasarkan jejak tersisanya yang sampai kepada kita di masa sekarang. Dengan perkataan lain, perihal seni musik dapat ditelaah dengan menggunakan ‘perspekrif historis’, sebagaiamana ditelaah dalam tulisan ini. 

M. Dwi Cahyono, sejarahwan nasional / dc
Salah satu pembukti akan “universalitas’ musikal adalah keberadaan musik di Jawa pada Masa Hindu-Buddha (sebuat “Jawa Kuna”). Perihal ‘sejarah musik Jawa Kuna’ inilah yang ditelaah dalam tulisan ini, khususnya musika Jawa Kuna yang berupa ‘seni musik vokal’. Untuk maksud itu, beragam sumber data masa lampau dipergunakan, yang antara lain berupa sumber data (a) tekstual. berupa susastra dan prasasti, (b) artefaktaul, berupa relief candi, dan (c) tradisi musikal. Data yang terdapat di masing-masing sumber data itu hanyalah “informasi tersirat”, yang hanya merupakan ‘informasi sisa’ dari kompleksitas realita musika Jawa Kuna. Kondisi data musika Jawa Kuna yang demikian itu bisa difahami, mengingat bahwa musik merupakan karya budaya yang sifatnya ‘berlalu dalam waktu’. Jika tak ada media yang merekamnya, niscaya musik yang disajian menguap bersama dengan berlalunya waktu. Beruntunglah, kendatipun tidak seberapa banyak, terdapat beberapa sumber data yang secara langsung atau tidak langsung rekaman data musika Jawa Kuna, termasuk di dalamnya data mengenai seni musik vokal. 

Mengingat bahwa seni musik memiliki cakupan yang amat luas, mempunyai beragam jenis dan bentuk. maka tulisan ini sengaja memfokusikan pada salah satu jenis musika yang dinamai “seni musik vokal”. Demikian pula kurun waktu tertelaahnya pun dibatasi hanya pada sebagaian Masa Jawa Kuna, yang terentang dari abad X hingga XVI Masehi. Sumber bunyi dari seni musik vokal adalah suara yang berasal dari manusia -- dalam hal tertentu, suara binatang tertentu mempunyai warna suara yang bernuasa musikal, sehingga bisa juga dicakupkan ke dalamnya. Misalnya, ada sebuatan ‘nyanyian burung, terompet leking belalai gajah, dsb.”. Apabila dibandingkan dengan musik instrumental – yaitu bunyi musikal yang muasal bunyinya dari waditra yang dimainkan oleh musisi, kandungan data seni musik vokal Jawa Kuna pada sumber data tekstual maupun artefajtual tak sebanyak data mengenai seni musik instrumental. Berikut siratan data tentangnya dalam sumber data testual dan artefaktual di Jawa abad X-XVI Masehi. 

B. Sirat Data Sejarah Seni Musik Vokal Jawa Kuna

Sejauh ditemukan dan dapat diidentifikasikan, relief cerita “Kungjarakarana” yang dipahatkan di teras I candi Jajaghu (abad XVI Masehi) memuat informasi mengenai seni oleh vokal Jawa Kuna. Nyanyian itu dinyanyikan oleh seorang wanita, yang digambakan duduk bersimpuh di deretan pertama, diikuti oleh peniup bangsi (seruling tegak) dan dua orang pemetik dawai wina serta seorang pemetik dawai celempung (varian kecapi). Identifikasi bahwa perempuan itu adalah pelantun nyanyian diketahui dari pembandingannya dengan kakawin Kunjarakarnadhamakatana (XXXIII. 1-6), yang menyatakan bahwa para gandharwa memamerkan kepiawiaannya dalam menyanyi dan memainkan instrumen musik pengiring pada upacara dewapuja di Bodhicitta (Teeuw, 1981: 144). Hal ini memberi petunjuk bahwsanya nyanyian yang disajikan itu berupa himne pujian yang diperuntukkan bagi Wairocana dengan iringan dengan dua wina, celempung dan bangsi.

Terdapat lebih dari satu sebutan untuk seni musik vokal. Pada masa sekarang, selain sebutan ‘lagu’, ada pula sebutan yang bersinonim arti dengannya, seperti ‘tembang, kidung, nyanyian, senandung, ataupun gita”. Penyanyi lagu karenanya disebuti dengan ‘pnembang, pengidung, penyenandung”, dan ada pula sebutan ‘biduan (widu+an) maupun pesinden (pa+sindi+an)”. Hal yang serupa berlaku dalam sumber data tekstual Jawa Kuna, dimana dijumpai beragam istilah (sebutan) bagi seni musik vokal, seperti “widu, gita, kidung, sindi, serta gerong”. Dapat pula ditambahkan beberapa istilah lain yang dalam hal tertentu menunjuk kepada seni musik vokal, seperti palupuy, maheli, hungkara, angawat, rinengo dan “lampuran”, yang besar kemungkinan berarti penyanyi jalanan. Mereka yang disebut demikian adalah seniman yang menjual jasa seni suara dengan mengembara (ambara) dari suatu tempat ke tempat lain, sehingga dikenal dengan sebutan “ambarang” – sebuatan yang lebih muda adalah “mbarang” atau ‘kesenian barangan’. Sebutan kuno lain baginya adalah ‘hamen-amen”. Yakni menjajakan jasa seni secara berkeliling, yang kini lazim dinamai ‘ngamen’. 

Dalam metrum (perpuisian) pada susastra Jawa Kuna terdapat apa yang dinamai ‘kakawin’ dan ‘kidung’, yakni puisi pajang yang dapat dinyanyikan. Terkait dengan istilah itu, dijumpai kata ‘angidung, mangidung-ngidung, angidungaken, pakakawin, dan sebagainya’. Beda arti dari masing-masing istilah tersebut tidak senantiasa dapat diterangkan secara memuaskan. Selain berkenaan dengan perbedaan jenis metrum yang dinyanyikan pada istilah ‘kakawin dan kidung”, perbedaan daripadanya berkait pula dengan jenis kelamin dan jumlah penyanyinya. Kata “sindi atau kata jadiannya “sindyan” misalnya, menunjuk kepada seniwati sebagai penyanyi tunggal. Sedangkan gerong berkenaan dengan para penyanyi pria dan yang menyanyi bersama (paduan suara). Adapun kata “widu dan gita” dipakai secara umum untuk menyebut nyanyian. Seringkali kata “widu” dikombinasi dengan “kidung”, sehingga terdapat kata gabung “widu-mangidung”. Adanya beragam sebutan itu menjadi petunjuk bahwa kala itu, dalam sosio-kultura Jwa Kuna seni suara merupakan seni pertunjukan yang kompleks, yang hadir riil di dalam berbagai lini kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada zamannya. 

1. Sebuatan “Widu” dan ‘Kidung”

Secara harfiah istilah “pawidu” berarti : penyanyi, pendeklamasi, pencerita, atau bisa menunjuk pada penari (Zoetmulder, 1982: 2263). Oleh karena itu istilah “widu” acap dikombinasi dengan “mangidung (menyanyi kidung)” menjadi ‘widu-mangidung’ (Zoetmulder, 1982:865; 1985:170). Kata gabung ini besar kemungkinan berkenaan dengan seni musik vokal atau nyanyian. Kidung adalah suatu jenis susastra yang sebenarnya telah ada sejak abad ke-9 Masehi, yang terbukti oleh adanya sebuatan “mangidung”. Istilah ini telah dijumpai dalam prasasti Kamalagi atau Kuburan Candi (B.15-6) bertarikh 746 Saka (821 Masehi) (Goris, 1930: 158). Kendati demikian, sebutan “kidung” baru marak dipergunakan sebagai bahasa dalam susastra sejak perkembangan bahasa Jawa Tengahan, yaitu pada sekitar abad ke-14 Masehi dan sesudahnya. Kidung memiliki notasi musikal atau unsur titi laras yang sesuai dengan pola persajakannya, yang pembacaannya dengan cara ditembangkan. Bisa dikatakan bahwa tembang merupakan komponen yang penting dalam kidung selain pola persajakan dan bahasa. Kidung bisa menempati kedudukan sebagai pengiring gending, yang dapat ditem¬bangkan secara tunggal (solo) atau secara bersama-sama (gerong). Selain itu kidung dapat dinyanyikan sambil menari. Perihal ini terbukti dengan terdapatnya kata gabung "angigel-angidung " (Zoetmulder, 1985:170; Saputra, 1992:37), suatu sajian seni yang mengingatkan pada tandak ludruk yang menyanyi (ngidung) sambil sesekali menari (nandak). 

Istilah "widu" antara lain dijumpai dalam bagian prasasti yang membicarakan mengenai orang-orang yang memperoleh pasek-pasek dan bagian yang membicarakan tentang acara kesenian pasca upacara resmi manusuk sima. Prasasti Alasantan (IV. 17-9) misalnya, menyatakan bahwa penyaji (widu) bernama Wahu memperoleh imbalan (pasek-pasek) sebanyak 2 masa dan wdihan 1 hlai. Pemberian pasek-pasek terhadapnya itu besar kemungkinan adalah berkat jasanya dalam menyajikan nyanyian pada ritus manusuk sima. Prasasti lainnya, yaitu Narasinghanagara (A.8) menginformasikan adanya penyanyi (widu) yang mendapat pasek -pasek sebanyak 2 kupang. Profesi sebagai widu masuk dalam kelompok ‘mangilaladrwaya haji’, yaitu pihak-pihak yang dikenai pengutan pajak. 

Tentu profesi yang dikenai pajak ini adalah profesi yang mendatangkan pendapatan finansial. Perihal ini diberitakan oleh sejumlah prasasti, antara lain prasasti Gulung-Gulung (A.21), Linggasuntan (A.14), Cunggrang I (A.18), Anjukladang (A.21), Hring (B.19), Sobhamreta (IIIb.I), Paradah II (A.21), Kanuruhan A (IVa), Kampak (A.3), Kakurungan (IVa.1), Baru (A.25), Turun Hyang A (A.23), Pandlegan (A.12), Panumbangan (B.7), Kamulan (B.7), Garaman (IIIa.8), Kudadu (Xa), Adan-adan (Xb.1), Balawi (VIIa.3); Himad (A.11) dan prasasti Waringinpitu (XIb.G). Pawidu dijumpai dalam prasasti Hantang (I3. 18). Prasasti lainnya, yaitu Prasasti Jaring (A.17), menyebut tentang anugerah (waranugraha) tambahan istimewa dari raja Kadiri bernama ‘Kroncaryyadipa’ kepada warga thani sima Jaring untuk boleh menyanyikan kidung. Hal ini mmberi gambaran bahwa dahulu tidak semua warga desa (wanua, thnai) boleh menyanyikan kidung. Warga Thani (Desa) Jaring diperbolehkan menyanyikan kidung lantaran mereka mendapat ‘hak intimewa’ yang melekat pada status sima yang disandang oleh desanya. 

Pada sumber data susastra, informasi seni musik vokal tersirat dalam kitab Brahmandapurana (I), yang menyebut adanya tempat pementasan seni pertunjukan nyayian (pawidwan = pa-widu-an) yang terletak di negara Bharatawarsa (Gonda, 1933a:48-49;1933b:1-2). Susastra lain yang me-nyebut widu, yang berkaitan dengan pencaharian hidup, adalah kakawin Kresnayana (XIIL3), yang menceritakan bahwa Kresna datang ke Kundina secara rahasia. Hanya dengan membawa tiga atau empat orang pengawal, kotak sirih dan alat tulis, serta hidup dengan menjual karangan bunga serta nyanyian (awidwa-widwan). Pada bagian lain (KY XVL4) diceritakan bahwa dalam perjalanannya, Kresna dan para pasukan menyaksikan pemain musik dan penyanyi (angidung) sebagai kelompok seniman profesional (Santoso, 1986: 94,104). Kitab Tantupangelaran (VI) menyatakan bahwa bhattara Iswara mengamen ber¬keliling untuk melagukan kidung (manigdun hamen-amen) (Pigeaud, 1924:103-104).

Kakawin Ghatotkacasraya (XII.7) menyatakan bahwa di antara para pengikut Kresna yang turut dalam acara pesiar ada yang bertindak meresitasikan cerita (hangangucap carita) dan ada yang menyanyi (angidung) secara silih berganti. Bagian lain (GK XIL8) menceritakan bahwa dalam acara itu terdapat penari yang tariannya menjijikkan, sehingga gelilah orang yang menyaksikan. Permintaan yang diharap-harapkan oleh seseorang untuk bisa turut bernyanyi (angidung) tidak diindahkan (Wirjosuparto, 1960:28,133; Zoetmulder, 1985:864). Susastra lainnya, yaitu kakawin Sutasoma (XLVIII.6) menceritakan mengenai para bidadari yang menggoda tapa Sutasoma, yang antara lain bertindak dengan mengejap-¬kejapkan matanya sembari bernyanyi (mangidun) serta meresitasikan kakawin (pakakawin¬-kakawin) dengan suara yang sopran (Santoso, 1975:274-275).

Kakawin Sumanasantaka (XLI.1-2) menceritakan mengenai pertemuan antara Aja dengan raja Widarbha yang disemarakan dengan permainan musik (gamel) dan kidung oleh dayang-¬dayang sang putri. Sang putri memberi tanda penghargaan kepada dayang-dayangnya sesuai dengan tingkat kemajuannya dalam berbagai cabang seni. Apabila pandai di dalam menabuh gamelan (agamel), menyanyi ataupun menembang (angidung lawan wruh angawat), maka ia dianugerai sebuah gelang. Kepiawian yang lebih tinggi dihargai de¬ngan memberi perhiasan untuk pakaian (singhel) mereka dan sebuah kalung bagi keunggulannya. Jika berada pada tingkat kawi bahkan mahir dalam aktifitas artistik, maka kepadanya dihadiahkan sebuah cincin (karah). Selain itu Sumanasantaka (CXIII4) menceritakan tentang penyanyi wanita (strining widu) yang berharap dapat menarik perhatian, seperti orang yang bercerita (acarita) sambil menari (anigel). Bagian lainnya lagi (Sum CLX1. l-3) menguraikan perihal patapan. Di tempat inilah para siswa menari dan menyanyikan kidung ketika diselenggarakan acara penutupan satu tahap pelajaran (tutuban). Kemudian Sumanasantaka (CLXVIII. 1-7) menceritakan tentang bhattara Narada yang bernyayi dan memainkan waditra buat menghibur para dewa ketika tengah bercanda di Gunung Ghorkana (Sedyawati 1977:73, 78-9, Zoetmulder 1985: 188, 384).

Kakawin Bhomakawya (V.1) menceritakan bahwa pada waktu menginap di suatu pertapaan yang sunyi, Samba dihibur oleh para pertapa. Mereka ramai menyenan¬dungkan (anidunaken) tembang cinta yang menimbulkan kerinduan. Semalaman para pasukan Samba mendapat hiburan. Mereka minum-minuman sambil bernyanyi-nyanyi (Teeuw 1946: 51-2). Susastra lainnya, yaitu kakawin Nagarakretagama (XC. 6) menyatakan bahwa salah satu hiburan yang disajikan pada perayaan besar tanggal tiga di bulan Caitra adalah nyanyian kidung (panigdung) oleh para biduan (gitada) secara silih berganti dengan suara yang merdu. Bagian lain kakawin Nagarakretagama (XCI.2) menceritakan mengenai para mantri dan upapatti yang minum-minum bersama serta silih ganti bernyanyi. Nyanyian (pangidung) dari Manghuri dan Khandamohi tak henti-hentinya mendapat pujian (Pigeaud 1960: 69-70). 

Suatu sajian nyanyian untuk tujuan menghibur adakalanya disertai dengan upaya rnenampilkan kelucuan. Dalam kidung Panji Angraeni (XIX) misalnya, diceritakan bahwa Semar me¬nembang dengan memencang-mencongkan bibirnya. Demikianlah ulah komis dalam menyanyi. Bagian lain dari kidung Panji Anggraeni (XX, XXII) menceritakan bahwa Dewi Sekartaji mengundang Candrasari dan Onengan untuk menembang di tempat kediamannya. Adapun Dewi Sekartaji, Candrasari, Onengan, Mindaka dan Tamiajeng memainkan gambang secara bergantian. Bayan menembang dan nyanyiannya menggembirakan sekalian orang yang hadir. Bagian lain dari kidung Panji Anggraeni (XXXVIII) menceritakan bahwa Panji meminta agar masing-masing kadeyan menyanyi (Poerbatjaraka, 1968:199-200, 203-4). Demikian pula dalam Kidun Malat (XXXIV) diceritakan bahwa pada acara perjamuan rnakan para kawi menyanyikan lagu-lagu (Poerbatjaraka 1968: 314).

Bernyanyi tidak senantisa merupakan aktifitas khusus, yang melulu dilakukan untuk beroalah seni. Adakalanya bernyanyi dilaksanakan orang sambari bekerja. Kakawin Bhomakawya (VI.2) misalnya, mencerita¬kan bahwa orang-orang yang tengah mencari pucuk-pucuk daun bekerja sambil bernyanyi riang (Teeuw 1946: 64). Kakawin Ghatotkacasraya (XXVII.20) menyatakan bahwa pada suatu pagi seorang penjaga taman menyapu sambil bernyanyi-nyanyi (angidun-ngidun) (Wirjosuparto, 1960:44). Menyanyi (angidung) acap pula dilakukan sambil menari (anigel, atandak). Hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Adiparwa (195. 8), Wirataparwa (19.1), Uttarakanda (3.27), Sarasamuccaya (263.2) dan Bhomakawya (IV.27). Bekerja sambil menyanyi membuat kerja yang dilakukan tidak terasa memberatkan dan sebaliknya justru bisa lebih menggairahkannya.  

Penyanyi dan kemampuannya dalam berseni suara diceritakan dalam kakawin Sumanasantaka (XL1X.3). Aja memiliki sifat seperti seorang pendeta, yang tahu akan susastra. Kidungannya bisa bangkitkan orang yang terkantuk untuk memainkan kangsi (seruling) (Sedyawati 1977: 74). Bagian lainnya dari kakawin ini (CXLCI.5) menceritakan mengenai penyanyi (widu) yang berharap untuk dapat diikutsertakan di dalam peperangan (Zoetmulder, 1982:63). Sementara itu, kitab Tantupangelaran (VII) mengkisahkan tentang seseorang yang menikah dengan seseorang pendeta, lantas dengan seorang guru, dan selanjutnya minta dikawinkan dengan penyanyi (widu). Namun akhirnya widu itu justru diusirnya (Pigeud, 1924:99). Kidung Malat (LXIX) berkisah  bahwa Panji mengambil, membaca dan meneruskan kidung yang telah ditulis oleh Jatiswara. Kemudian raja membaca sebagian dari kidung yang diteruskan oleh Panji itu. Kepiawiannya dalam membuat kidung mendapat pujian dari para bhujanga. Sebagai hadiahnya Panji menfapat anak gadis Arja dan keris dari raja. Bagian lain dari susastra kidung ini (LXXII) menyebutkan bahwa Nrangkeswara tengah berbaring sambil membaca kidung yang dicipta sendiri, yang diberi judul “Ranggawuni” (Poerbatjaraka, 1968:339,341).

Kakawin Ghatotkacasraya (XIV.5) informasikan tentang salah satu cara untuk nyanyikan lagu, yaitu dengan suara terputus-putus. Namun demikian, justru kedengaran merdu (angidung-ngidun pegat-pegat arum) (Wirjosuparto 1960:33). Suara nyanyian didapati pula dalam kakawin Sumasantaka (CXXX), yang menceritakan bahwa pada acara perkawinan Aja dengan Indumati tampillah para penyanyi (panidung) yang menyanyikan (kidung)nya, yang membuat penonton mengeryitkan alis dan bersorak. Kidung yang dinyanyikannya terdengar merdu, mendengking- dengking indah (angalik-alik) seolah memenuhi ruang pertemuan, yang diselingi dengan bunyi gending yang bagus (Sedyawati 1977:79).

Dalam susastra diberitakan adanya binatang- bianatang tertentu acapkali digambarkan sebagai mempunyai suara merdu dan diasosiasikan dengan nyanyian (kidung). Kata jadian “mangidung” dalam konteks ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan jenis metrum yang berupa kidung, melainkan berarti menyanyi dalam arti yang amat umum. Kakawin Kresnayana (XXIII. 11-12) misalnya melukiskan bahwa ketika Kresna dan para pengiring menginap di suatu Dharmasabha, manakala malam hari terdengar burung-burung bernyanyi (mangidung), tetapi pada pagi harinya tidak lagi bernyanyi (Santoso1986: 121). Demikian pula, dalam kakawin Bharatayudda (VI.1) digambarkan bahwa suara burung kokila (engkuk) yang tengah bertengger di pohon kanigara  menyerupai getaran nyanyian (kidung) dari orang yang jatuh cinta (Wirjosuparto, 1968:64).

Sementara itu, kakawin Ghatotkacasyara (XI.1) menggambarkan nyanyian dari burung merak (mrak angdung), yang ditimpali dengan suara genta kemenangan. Pada bagian lain dari kakawin ini (LXXI.1) digambarkan tentang nyanyian (widu) dari burung kuwong, yang tidak sebanding apabila ia menari (Teeuw 1946:75). Kitab Hariwangsa (XX.16) melukiskan bahwa sura burung kuwong dengan seni musik vokal tercermin dari nama lain dari burung ini, yaitu manuk widwan. Sebutan ‘widuwan’ terbentuk dari “widu+an”. Kidung Sri Tanjung (1.11) menceritakan bahwa tatkala Sidapksa dan para pasukannya sampai pada jurang-jurang berbatu, terdengarlah suara “ketak-ketok” kincir air dari bambu kuning. Burung-burung bernyanyi seakan paduan suara. Adapun Kidung Harsawijaya (1.65a) menyebut mengenai kidung dari burung gending ditimpali oleh suara dari insekta cenggeret. Suatu paduan bunyi yang terkesan musikal.

Kidung ada kalanya dinyanyikan sebagai pengiring suatu pertunjukan wayang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pertunjukan wayang harus disertai dengan lagu-lagu (kidung) (Zoetmulder, 1985:265). Dalam hubungan ini, kidung Malat (XXII-XXIV) menceritakan bahwa apabila ada pertunjukan wayang di keraton, maka akan dinyanyikanlah kidung Wulir Polaman. Perihal kidung Wikir Polaman itu, kitab gancaran Pararaton (VI) menceritakan bahwa pada waktu Aji (Jaya) Katong ditahan di Ujung Galuh, sang raja menggubah sebuah kidung yang diberi judul “Wukir Polaman” (Brandes, 1920:81, Berg, 1930:103). Demikian pula pemberitaan di dalam Kidung Ranglawe (VII.142), yang menyatakan bahwa pada waktu Jayakatong dipenjarkan di Jung Galuh, ia menggubah kidun Wukir Polaman. Seetelah itu Jayakatwang moksa, kembali ke kahyangan (suranadi) (Berg, 1930:13). Wukir Polaman adalah nama sebuah lagu (Zoetmulder, 1985:182).

Kemampuan seorang raja dalam mencipta nyanyian juga dijumpai di dalam kakawin Bharatayudda (LII,9), yang menceritakan bahwa nyanyian (gita) yang disusun oleh Bhattara Haji Jayabhaya bisa menghancurkan hati orang sedang menderita sakit asmara dan keharuman namanya (Jayabhaya) dijadikan bahan untuk dinyanyikan (kinidungan) oleh para apsara-aspari. Ada kemungkinan bahwa seorang penyanyi (widu) dapat menyajikan suatu pertunjukan wayang, mengingat di dalam kakawin Ramayana (XXIV.112) terdapat perumpamaan bahwa burung culik culik mengembara bagaik seorang ‘widu mawayang’, yakni widu yang tampil dalam pertunjukan wayang (Zoetmulder, 1985:265-6).

Selain banyak data yang telah dipaparkan di atas, istilah “kidung” dalam arti lagu atau nyanyian juga dijumpai pada pustaka Udyogaparwa (54.17), Wrehaspatitattwa (33.104), Smaradahana (1.6), Sumanasantaka (XXXIII.7, XLIX.3, CXII.6-7) dan Abhimanyuwiwaha (LII.23). Bisa juga ditambahkan data tentang aktifitas menyanyi (angidun, angidun-idung, pangidung, kidungaken) di dalam kitab Uttrakanda (52.17, 114.28), Sumanasantaka (XLI.1), Arjunawijaya (XXXVII.1), Sutasoma (CXLVII.15), Hariwijaya (II.3) maupun kidung Harsawijaya (I.77a, IV.110b, VI.49b). Demikianlah, perihal kidung terbilang banyak dibicarakan dalam sumber data prasasti maupun susastra Jawa Kuna. Hal ini memberi petunjuk akan popularitas kidung dalam kehidypan warga Jawa Kuna kala itu.

2. Sebutan ‘Gita” 

Kata “gita” dipinjam dari bahasa Sanskreta, yang secara harafiah berarti : lagu. Istilah ‘gita’ ini bersinomim dengan “kidung” dalam bahasa Jawa Kuna. Meski bisa berarti lagu pada umumnya, namun terdapat kutipan-kutipan dimana kata “gita” disebutkan bersama dengan kata “kakawin”, seperti dijumpai dalam kitab Bharattayuddha (XV.7, XXXVIII.4), Gatotkacasraya (XLVII.5), Bhomakawya (IV.31, XIV.2), Sumanasantaka (CIX.51, CLIX.5, CLXVIII.3), Sutasoma (LXV.1, LXIX.2, CXLVIII.3), Nagarakretagama (XVII.9, XCI.3, XCIII.2), Abhimanyuwiwaha (IV.19; LXIV.7), kidung Harsyawijaya (LIII.2) dan Wangbangwideya (A. I.103a), yang kemungkinan menunjuk kepada lagu dalam metrum Jawa (Zoetmulder, 1985:171). Dengan demikian, kata ‘gita’ menunjuk kepada lagu dalam arti umum, atau dalam hal tertentu bisa juga berarti lagu di dalam metrum Jawa. Pada sisi lain, kutipan yang berkaitan dengan gita tidak pernah kedapatan bersama-sama dengan kidung, sehingga gita tidak bisa untuk diartikan sebagai lagu dengan pola persajakan berupa kidung.

Dalam prasasti Jawa Kuna (abad ke-10 hingga 16 Masehi), kata “gita” hanya dijumpai dalam prasasti Waringinpitu (VIIIa.8) yang menyebut bahwa bhattari ring Tanjungpura terpuji berkat nyanyian darinya yang merdu (sadgitasan kirttana manginaya). Sebaliknya dalam sumber data susatra istilah “gita” justru banyak didapati, antara lain disebutkan dalam bagian ke-6 dari kitab Bhismaparwa, yang menceritakan bahwa kendatipun bhagawan Bisma terluka oleh sejumlah mata panah yang menembus tubuhnya, namun ia menolak upaya perawatan oleh para tabib. Untuk itulah naka terhadapnya antara lain dipersembahkan bunga harum dan nyanyian lagu (gita) dengan iringan genderang (pataha), munda dan mahasara (Gonda, 1936:140). Dalam kisah ini, seolah seni musik memiliki kekuatan untuk dapat mengilangkan rasa sakit.

Kakawin Kresnayana (X.10) menceritakan tentang pimpinan para selir yang senantiasa memberi instruksi dengan nyanyian (gita), bahasa dan wacana dalam bahasa Sanskrta (Santoso, 1986:87). Susatra lain, yakni kakawin Sumanasantaka (LIX.1) menyatakan bahwa Indumati dibawa ke luar dalam iring-iringan. Pada bagian depan tampak dua orang men-men. Lantas terdengar nyanyian (gita) dengan iringan rebana (tabang-tabang). Dalam bagian lain dari kakawin Sumanasantaka  (CXXX.1) diceritakan bahwa pada upacara perkawinan antara Aja dan Indumati terdengar suara mredanga dan salukat untuk mengiringi lagu (gita) (Sedyawati, 1977:75,79). 
Kakawin Smaradahana (IV.9-10) menceritakan bahwa untuk menghibur hati Ratih yang sedih dan khawatir terhadap keselamatannya, maka Kama menggelar beragam hiburan. Ada sajian nyanyian (ginitan), ada pula tarian (panretta) disertai dengan nyanyian (iningita) (Poerbatjaraka, 1931:9).

Kakawin lainnya, yaitu kakawin Bhomakawya (IV.27) menceritakan bahwa di dalam perjalanannya untuk membinasakan Bhoma, Sambha dan para pasukannya menginap di suatu pertapaan yang sunyi. Pada malam hari ada yang suaea riuh yang mendendangkan (anidunaken) lagu cinta yang menimbulkan kerinduan, sehingga sang raja putra terharu mendengar lagu (gita) tersebut (Teeuw, 1946:61). Kakawin Hariwangsa (II.13) menceritakan bahwa golongan Upit lupa menyanyi (angita) karena melihat keindahan langit. Pada bagian lain dari kakawin ini L.5) diceritakan bahwa untuk menghibur hati Rukmini, maka Kesari tembangkan (angita) kakawin dengan suara yang lembut perlahan. Selain itu, bagian lain dari kakawin ini (L.8) menceritakan tentang indahnya suara mredangga (kendang) dan nyanyian (gita) yang dapat menyenangkan hati Kresna dan Rukmini, bagai kenikmatan sorgawi yang tiada duanya (Teeuw, 1950:15,20,81).

Kakawin Ghatotkacasraya (VII.5) menyatakan bahwa di tempat pesiar, diantara para pengiring Kresna ada yang menyanyi (anggita), ada pula yang menari dengan bertepuk tangan. Bagian lain dari kakawin ini (C.3, 9) menceritakan bahwa tatkala tiba acara makan, disajikan nyanyian (gita) dengan iringan mredangga yang bersuara lembut mengharukan hati. Abhimanyu yang tengah kasmaran kepada Ksiti Sundari bersedih hati. Ia memainkan salukat (gambang) disertai dengan nyanyian (gita) yang merdu. Bagina lainnya lagi (XXXV.6) menceritakan bahwa Abhimanyu yang gundah hatinya dijamu oleh Ghatotkaca dengan sirih, makanan, minuman dan ikan, namun tidak dimakannya. Suara mredanga yang serba merdu tidak dihiraukannya, suara gita pun tidak didengarkannya (Wirjosuparto, 1960:22, 24-25, 53).

Semantara itu, kakawin Nagarakretagama menyebut istilah “gita” hingga beberapa kali. Pupuh XCI.2-6 misalnya, menyatakan bahwa baginda (Hayam Wuruk) berdiri dan mengimbangi nyanyian Manhuri dan Khandamohi dengan melaras lagu (rep alango). Kemudian baginda menyanyikan lagu (gita) dengan suaranya yang merdu, seindah nyanyian burung merak, yang membuat para penonton tercengang. Nyanyian (gita)nya adalah suatu yang berbeda, sehingga penonton senang. Lagu (gita) yang dinyanyikan baginda memuat sindiran-sindiran (Pigeaud, 1960, 1:70-71).
Kitab Nawantya (Xb) menyatakan bahwa rakyan demung antara lain bertugas sebagai Pembina untuk tujuh orang musisi (saptaswara) dan para penyanyi (gita) (Pigeaud, 1960, 1:83). Adapun Kidung Sorandaka (I.1-6) melukiskan tentang pengembaraan sang kawi di bawah terang sinar bulan melewati jurang-jurang terjal, banyak persimpangan jalan dan berbagai halangan hingga akhirnya mencapai pasir-pasir gunung. Kembaranya ini dituangkan ke dalam puisi (bhasa) dan nyanyian (gurit, gita) yang memberi kesan tentang pertunjukan alam. Dalam bagian lain kidung Sorandaka (III.136) diceritakan bahwa ketika pertempuran usai, para pembesar menghadap raja untuk melaporkan mereka yang telah gugur. Untuk itulah raja meminta kepada penulis kakawin (kawiswara) untuk memuliakan kepahlawannya ke dalam sebuah syair (gita) (Van den Berg, 1939:1-5, 170).

Kidung Malat (LX) menceritakan bahwa tatkala Panji masuk ke dalam istana, didapati putri raja Gegelang sedang mencipta lagu yang diperolehnya dari Panji, yang dimainkan dengan iringan gambang. Panji diminta untuk duduk didekatnya dan mengajari memainkan gambang. Panji mengatakan bahwa akan lebih baik jika lagu itu digubah. Untuk itulah, maka kepada sang putri diberikan tiga lembar lontar, yang diatasnya tertera lagu yang digubah itu. Sang putri diminta memainkannya dengan gambang, namun ia tidak mau, sehingga Panji memainkannya sendiri. Panji berkata bahwa ia memiliki lagu yang lebih baik lagi, yang dibuat manakala ia berada di Sangasari. Lagu tersebut diambil dan diberikan padanya. Bagian lain dari kidung Malat (LXVIII) menceritakan bahwa ketika acara makan dan minum, dimainkan redep, kacapi, serta sajian lagu yang bukan Jawa. Bagian lainnya lagi (LXXXVI) menguraikan bahwa di Gegelang diadakan keramaian besar untuk menghormati sang permaisuri. Pada acara itu Panji menembang di tempat kediaman sang tuan putri (Poerbatjaraka, 1968:332, 338, 352). Susastra kidung Panji Anggraeni (XXXVIII) menceritakan bahwa raja Nusakancana diterima oleh para pangeran Kadiri. Sebagai penyemarak, Semar dan Turas menari sambil menampilkan kelucuannya, sehingga penonton tertawa atas penyajiannya. Atas permintaan dari Panji, masing-masing dari kadeyan menyanyi (Poerbatjaraka, 1968:232).

Apabila kata “gita” ataupun kata jadiannya menunjuk pada nyanyian atau menyanyi, maka kata “gitada” menunjuk kepada penyanyi. Dalam arti ini dijumpai misalnya dalam Nagarakretagama (LXVI.5), yang menceritakan bahwa dalam upacara sradha bagi Rajapadhi disajikanlah segala macam kesenangan. Widu, amacanah, raket maupun semua penyanyi (gitada) ditampilkan silih berganti setiap hari. Pada pupuh lainnya (XC.6) diberitakan bahwa dalam acara perayaan besar pada tanggal tiga bulan Caitra disajikan nyanyian oleh para biduan (gitada) yang menyanyikan kidung (pangidung) dengan suara yang merdu. Pupuh lainnya lagi (XCI.5) menyatakan bahwa golongan kebanyakan berharap dapat menyaksikan pertunjukan raket. Kretawarddhaneswara menjadi pemain musik pembuka. Shori dan gitada dari sang raja juga telah hadir. Demikian pula tekes-tekes-nya yang cantik (Pigued, 1960, 1:51, 69, 70). Istilah ‘gita’ juga kedapatan di dalam pastaka Wirataparwa (11.18, 94, 33), Brahmandapurana (20.30, 140.19), Uttrakanda (120.7), dan Bharatayudha (52.9). Adapun kata jadian “anggita” dijumpai dalam kitab Uttarakanda (115.21), Abhimanyuwiwaha (LXXII.4), kidung Malat (1.12) dan kidung Harsawijaya (4.54a). Kata “angitaken, ginitaken” dijumpai dalam Uttarakanda (120.16). sedangkan kata jadiannya “piningitaken” dijumpai juga di dalam Uttarakanda (115.120, Kelompok penyanyi (paragita) disebut dalam Udyogaparwa (95.10).

3. Sebutan ‘Sindi”

Istilah lain yang juga menunjuk kepada seni musik vokal adalah “sindi”, dengan variasi istilah berupa “sinden”. Kata jadiannya adalah “sindhyan”, seperti disebut dalam kakawin Kresnayana (XXXI.12), yang menceritakan bahwa di antara para wanita yang menemani Rukmini di suatu taman pada malam hari jelang perkawinannya dengan raja Cedi, ada orang yang bersenandung (sindhyan) (Santoso, 1986:146). Pada kakawin Bharatayudda (V.6) diceritakan bahwa diantara para wanita yang sedang bermain-main di bawah sinar rem bulan, ada yang dengan diam-diam menyenandungkan (manindyaken) surat dari kekasih yang menimbulkan cintanya (Wirjosuparto, 1968:63). Dalam kidung Sri Tanjung (V.48) dikisahkan bahwa Sidapaksa kembali ke Sindureja melewati samudra luas dan indah. Ada banyak parahu (perahu), kano, mayang, kano mancing dan kano jorong yang menjulang tinggi. Para awak kapalnya bernyanyi-nyanyi (pada sinden) dengan riuh sambil mendayng perahu (Prijono, 1938:103). Kata ulang “sinindi-sindyakan” yang berarti dinyanyi-nyanyikan dijumpai dalam kakawin Abhimanyuwiwaha (XX.2).
Disamping itu dijumpai kata jadiannya “sindyan”, yang berarti : bersenandung, sebagaiamana disebutkan dalam kakawin Smaradahana (XXXVIII.16), dan kidung Hariwijaya (IX.2). Adapun jadian “asindyan” terdapat dalam kakawin Subharawiwaha (XXVII.17).

4. Sebutan ‘Tembang” dan “Gerong”

Kata “tembang” dan kata jadiannya juga menunjuk kepada seni musik vokal. Kidung Sundayana (VII.2-3) menyatakan bahwa Gajah Mada dituduh sebagai biang keladi atas mangkatnya Hayam Wuruk, sehingga akhirnya diputuskan untuk dihukum mati. Segera dipersiapkan pasukan guna mengepung tempat kediaman dari rakyan patih Gajah Mada. Orang-orang berdatangan sambil menyanyikan lagu (anembang) kesiapsiagaan (Berg, 1928:30). Kidung Rangalawe (IX.103-4) menceritakan bahwa ketika pihak Tuban mengalami kekalahan, Gagarangan menghadap kepada Rangalawe. Di luar telah disiapkan pasukannya, lengkap dengan persenjatanya masing-masing. Ketika itu terdengarlah suara tabeh-tabehan (tetabuhan) dan tembang Sinom dengan iringan  gending dan gong (Berg, 1930:132). Kidung Malat (LXXXV) menceritakan bahwa Gunungsari mengaku sebagai putra sulung dari Juru Bacangah. Dia menyatakan kesediaannya menggantikan ayahnya. Lalu dilagukannya sebuah tembang. Alangkah pandainya ia menembang, sebagaimana halnya Panji, meski suaranya tidak lebih bagus dari Panji. Bagian lainnya (XCVIII) menyatakan bahwa pada acara perjamuan terhadap raja Jenggala dan Kadiri yang berkunjung ke Gegelang, para raja menembang, yang kemudian diikuti oleh para putri (Poerbatjaraka 1968:351,364).

Istilah “gerong” antara lain menunjuk kepada seni musik vokal, khususnya paduan suara dengan iringan gamelan (Kunst, 1968:84, Zoetmulder, 1982:522). Dalam bahasa Jawa Baru istilah ini mempunyai arti yang lebih khusus lagi, yaitu koor pria yang diiringi dengan gamelan untuk membedakan dengan sindhenan yang merupakan nyanyian para wanita (Lindsay, 1991:262). Kidung Wasengsari (III.13b, 14a) menceritakan bahwa ketika Jaran Waseng berbaring di pendapa utara, ia mendengar nyanyian kidung yang tidak seberapa keras. Berkatalah Ken Sengit “ ..... pergilah saya ke pendapa utara untuk menyanyi bersama (anggerong).”. Sesampainya di pendapa utara ki Jaran Waseng Sekar menyanyi bersama (panggerongakena) menyanyikan kidung bersama dengan Terik untuk menghibur kegusaran hati dari Ken Sangit (Zoetmulder, 1982:523). Nyanyian ini disenandungkan oleh lebih dari seorang, yaitu oleh ki Jaran Waseng Sekar dan Terik, atau dengan perkataan lain merupakan suatu koor pria. Kemungkinan, kata “gerong” dalam arti koor pria terdapat juga dalam kitab Nawaruci (68.19).

Kata “gerong” mempunyai arti lain – selain koor pria, yaitu waditra untuk mengiringi nyanyian (Kunst 1968:84). Menurut Zoetmulder (1982:523) konstruksi waditra ini menyerupai buah labu yang oval. Pendapat ini berbeda dengan Poerbatjaraka (1968:347), yang menterjemahkan kata “gerong” dalam kidung Malat (LXXX) dengan terbang (?). Bagian ini menceritakan bahwa Panji yang merasa malang nasibnya tidak dapat tidur. Untuk melupakan kepedihan hatinya, kemudian ia mengambil sebuah gerong, lalu dimainkan sambil membayangkan cintanya pada Nrangkesari. Namun akhirnya dengan kesal gerong itu dibantingnya, sehingga semua orang merasa terkejut mendengarnya.

Gerong dalam arti waditra tertentu antara lain disebut dalam kidung Rangalawe (VII.132), yang menceritakan bahwa setelah tentara Tar Tar berhasil mengalahkan Jayakatong, mereka menagih janji yang pernah dikemukakan oleh Raden Wijaya. Siasat Ranggalawe untuk dapat kalahkan tentara Tar Tar adalah sebagai berikut. Ketika menjemput sang Putri Daha, diminta sebaiknya mereka tidak membawa senjata, melainkan disemarakkan dengan musik. Keesokan harinya dikumpulkan 300 orang tentara Tar Tar guna menjemput SangPutri. Pula para musisi (paniyaga), pemain gerong, salukat, curing (panguntan curin) maupun gending telah disiapkan. Bagian lain (XII.15) mengkisahkan bahwa upacara pembakaran mayat Ranggalawe dan Kebo Anabrang serta bela pati dari Dewi Mertaraga dan Tirtawati diiringi dengan oleh bunyi gending. Sementara itu di sisi luar dimeriahkan dengan gerong, guntang dan curing selama semalam suntuk (Berg, 1930:102). Kidung Sunda (III.40) menceritakan bahwa menjelang upacara pembakaran mayat raja Sunda, para wanita Sunda keluar dari dalam puri sambil menopang sesajian. Pada waktu itu terdengar gemerincing suara curing dan gerong, yang disertai dengan suara guntang (Berg, 1927: 51). Selain itu, kata “gerong” dalam arti waditra pengiring nyanyian dijumpai di dalam susastra Nawaruci (68.19).

C. Seniman Musik Vokal dan Olah Seni Suaranya

Paparan diatas menggambarkan bahwa seni music vokal memungkinkan untuk dinyanykan oleh semua orang, baik orang dari keles sosialatas seperti raja, keluarga raja, bara bangsawan hingga warga kebanyakan seperti punakawan dan kadeyan sekalipun. Pada masa lalu seorang raja acap digambarkan sebagai piawi dalam bernyanyi. Bahkan, ksatria Panji dilukiskan mahir menggubah dan menyanyikan kidung. Untuk merangsang ataupun meningkatkan kemampuan orang dalam bernyanyi, konon pihak kerajaan memberikan semacam ‘reward (hadiah)’ bagi tingkat-tingkat kemampuan para punggawan keraton. Kalaupun mereka bisa disebut sebagai ‘penyanyi’, namun masuk dalam kategori sebagai penyanyi amatir. Selain para penyanyi amatir. Dalam jumlah yang tak sebanyak dengannya, terdapat para penyanyi profesonal, yakni profesi penjual jasa seni, yang dari karenanya mereka masuk sebagai pihak yang menjadi obyek pemungitan pajak.

Selain sebutan “gitada, pawidu, pangidung. panembang, dan pasindyan’, terdapat sebuatan lain untuk penyayi. Mislnya sebuatan ‘swarawati”, yang berdasarkan adanya kata ‘-wati” itu, sangat boleh jadi pelaku seni musik vokal ini berjenis kelamin perempuan. Kakawin Arjunawiwaha (XXXI.1) mempergunakan istilah “swarawati” untuk menyebut nyanyian wanita. Dikisahkan bahwa Tatkala Arjuna dan Dewi Suprabha bercinta di tempat peraduan, dibagian luar gandarwi dan bidadari memainkan genderang (mrdanga) untuk mengiringi penyanyi wanita (swarawati). Dengan piawinya wina rawanahasta dipetik secara bergantian. Ada pula yang disertai dengan nyanyian (kidung) (Poerbatjaraka, 1929:237). 

Dalam kakawin Nagarakretagama (XCII.3) dan Parthayajna (I.1) terdapat istilah “swarastuti”, yang berarti : nyanyian pujian, istilah lain yang juga menunjuk pada seni musik vokal adalah “rinengo” sebagaimana dijumpai dalam kakawin Kresnayana (XXXII.9), yang menyebut himne yang dinyanyikan oleh gadis-gadis terdengar indah (rinengonya lango puja-pujan). Para pendeta membunyikan waditra genta (ghanta) dan memanjatkan mantra sala (Santoso, 1986:152). Kata ‘rengo’ ada kemungkinan digunakan untuk nyangian yang bersuara tidak keras. Dalam bahasa Jawa Baru, sebuatan ‘rengeng’ atau ‘rengeng-rengeng” digunakan untuk menyebut penyanyian yang lirih, yang bahkan hanya bisa didengar oleh orang menyanyikannya.  

Kakawin Bhomakawya (LXXIV.6) menyebut kata “angawata” dalam arti menyanyi. Dikisahkan tentang dua orang utusan dari Bhoma ke Dwarawati. Para tamu ini diperlakukan dengan hormat. Kepadanya disediakan penginapan dan disajikan musik genderang (pahadi) yang menyenangkan hati. Kerabat Wabru menyanyi (angawata) secara bergantian (Teeuw 1946:164). Istilah lainnya yang juga berkenaan dengan nyanyian adalah “hungkara” sebagaimana antara lain disebut pada kakawin Bharatayudda (V.8), yang mengisahkan bahwa pada waktu tengah malam keadaan kian sunyi dan indah. Terdengar merdu nyanyian (hungkara) seorang pendeta bagai suara lebah yang mengikuti bunga yang terjatuh dari (sanggul) orang yang baru bercinta. 

Berkaitan dengan mantra, terdapat istilah “maheli mantra”, seperti anatara lain dijumpai di dalam kakawin Bharattayuddha XII.4), bahwa ketika rsi Bhisma gugur, diangkasa para rsi menaburkan bunga tabur dan bunga-bunga lain. Bau bunga boreh merata ke segala arah dan sayup-sayup terdengar nyanyian mantra (maheli mantra). Istilah lainnya lagi adalah “palupuy” sebagaimna dijumpai juga dalam kakawin Bharattayuddha (XIII.30) yang menceritakan bahwa Abhimanyu sanggup untuk dipotong-potong bahkan dibinasakan apabila ada nyanyian (palupuy) yang (terdengar) ditelinganya (Wirjosuparto, 1968:64, 82, 88, 197,221,228). Selain itu dapat pula ditambahkan suatu perumpamaan dalam kakawin Sumanasantaka (XXVIII.26), yang menceritakan bahwa perjalanan Aja dan Pasukanya sampai disuatu pertapaan. Kedatangan mereka disambut dengan ramah sekali, ketika itu terdengarlah suara lembut genderang (padahi), yang selembut nyanyian putri raja (Sedyawati, 1977:72).

Dalam beberapa susastra dijumpai kata ‘lampuran’ yang berarti ‘penynyi keliling’ (Zoetmulder, 1982:972). Mereka melaksanakan penjajaan jasa seni secara bereliling, serupa dengan apa yang dinamai dengan ‘hamen-amen’ atau ‘ambarang’. Istilah ini disebut dalam kakawin Kresnayana (XXXII.4), yang menyatakan bahwa panggung bagi para penyanyi keliling (lampuran) terletak pada suatu tanah lapang di ibu kota kerajaan (rajya) yang indah (Santoso, 1986:150). Susastra lainnya, yakni kakawin Hariwangsa (XXVII.7) menyatakan bahwa sesampainya di Drawarawati Kresna dan Rukmini disambut dengan bunyi garantung dan curing yang bagus. 

Ada lampuran yang beryanyi (anindunaken) merdu, ada gending yang dimainkan oleh para wanita, terdapat juga permain kangsi (Teeuw 1950:48). Istilah ‘lampuran’ juga disebut dalam kitab Parthayajna (VI.9), yang menyatakan bahwa ‘…turut serta susash sensara sebagaimana lampuran yang keliling (ke luar masuk) desa (Adiwimarta, 1992:76). Prasasti Balingawan (Singosari) (B.7) tahun 891 Masehi menyebut adanya pejabat yang dinamakan ‘juru lampuran’ (OJO XIX). Semetara prasasti Taji (6) yang beratrih 901 M. menyebut adanya pejabat yang dinamakan ‘nayaka lampuran’ (OJO XXIII).

Kitab “Ying-Yai Sheng-lan” karya Ma Huan (1416) menginformasikan bahwa pada tiap tanggal 16 bulan purnama ada sekelompok wanita (kira-kira 20 hingga 30 orang) berjalan dengan posisi berbaris. Salah satu dari mereka bertindak sebagai pemimpin. Ia menyanyikan satu baris kalimat, dan segera disambut ioleh yang lainnya dengan nyanyian pula. Mereka berarak, berjalan sambil bernyanyi. Ketika sampai di muka pintu rumah orang kaya, kepada para wanita itu dihadiahkan uang kepeng atau barang-barang lainnya (Zhi, 1993:80). Demikianlah gambaran lain mengenai pemberian jasa buat seni music vokal yang diberikan daram kronik Cina teresebut. 

Demikianlah sekelumit info masa lampau mengenai seni music vokal masa Jawa Kuna (abad X- XVI Masehi). Pada tuisan ini, pokok-pokok informasi yang terdapat dalam ragam sumber data terpapar diatas belum dianalis atau dakaji lebih lanjut, lantaran tulisan ini telah cukup panjang. Pada tulisan lain mendatang, kajian terjadapnya akan dilakukan dan dikomunikasikan kepada para pembaca budiman. Semiga tulisan deskriptif ini memberikan kefaedahan. Nuwun.

Sangkaling, 26-27 Agustus 2019
Griya Ajar CITRALEKHA

[Sumber: Dwi Cahyono fb]