EKSPRESI KEBERSAHAJAAN PENAMPILAN PEREMPUAN JAWA PADA IKONOGRAFI MASA MAJAPAHIT

Oleh : M. Dwi Cahyono
(Arkeolog dan Dosen UM)

Pada seni arca (ikonografi) masa lalu, perempuan Jawa tidak senantiasa dihadirkan dengan busana kebesarannya. Arca yang berbusana kebesaran, yang serba "mewah" bahkan terkesan "raya (loh)" adalah arca perwujudan kedewataan dari wanita bangsawan, ratu atau parameswari raja misalnya, tampil tampil di perhelatan resmi pada lingkungan islana. Sedangkan untuk perempuan dari kalangan biasa, tampiilannya biasa, bersahaja, jauh dari apa yang kini dibilang sebagai "glamour". Kendati tampil dalam kebersahajaannya, namun tetap memberi kesan anggun, kewes luwes, dan tentu "merak ati (mempesona)" terhadap yang melihatnya.

Pada salah sebuah arca berbahan lime stone (batu kapur) dari Era Keemasan (Golden Periode) pada kerajaan Majapahit terlampir ditampilkan sosok diri seorang kanya (bahasa Jawa Baru "kenyo" atau wanita perawan) -- terindikasi dari bentuk payudara dan perutanya yang belum terlihat "melut (welut = lipatan-lipatan akibat kehamilan)".

Lantaran pada arca ini si kanya tampil bertelanjang dada (mudo nduwur), maka pustur tubuhnya jelas telihat. Konon tampilan di muka publik dari wanita Jawa dengan tanpa busana atasan adalah pemandangan lazim hingga paling tidak abad ke-18 bahkan sampai paro awal abad ke-20, utamanya di kawasan pedesaan. Tentu bdalan dalam makeup porno aksi ataupun ngumbar aurat.

Kalaupun mengenakan kain (ken, wastra), berupa busana panjang bawahan yang dikenakan hingga sebatas di atas mata kaki namun di bawah lutut. Untuk meneguhkan balutan kain panjang (kini "jarik atau jarik") pada tubuh, dipakailah bandha (sabuk) berhias di ujung atas jarik (sewek)-nya  Baru pada masa yang lebih kemudian, karena ada pemgaruh agama dan budaya Islam yang mempunyai ajaran untuk menutup aurat dan bisa jadi lantaran adanya pengaruh budaya Eropa, maka sebagian dari tubuh wanita ditutupi kain dengan menggunakan kemben agar payudara tak tampak padang.

Terkadang pula, perempuan yang tampil biasa itu mengenakan kain sampur (selendang), yang diselendangkan dengan posisi mengalung leher dan menggantung pundak. Atau bisa juga disabukkan lomggar ke tubuh. Salah sebuah ujung sampur tergerai panjang ke bawah  dan ujung yang lainnya dipegang atau disampirkan di ruas bawah tangan. Sampur anjang panjang dan clebar lebar ini pada saat tertentu dapat dikemulkan ke tubuh.

Telapak kakinya dibiarkan nyeker (tanpa alas kaki). Begitu pula rambutnya tidak bermahkota. Kendati demikian, lantaran bagi wanita organ rambut itu adalah "mahkota, maka ada penataan rambut (tata rikma). Pada arca terlampir, rambut panjang mga dibagi dua (blah loro). Belahan kanannya disanggul tinggi, dan media sisanya digeraikan ke bawah di belakang punggung. Telinganta mengenakan anting (kundala) bersahaja. Demikian pulanya, pada leher terkalungkan hara (kalung) kecil yang bersahaja. Aksesoris pada tangan, seperti kankana (gelang), keyura (kelat bahu) maupun karah (simsim = cincin) tidak tampak terlihat. Demikian pula kakinya tidal mengenakan binggel (gelang kaki) ataupun cincin lingkar pada jari jempol kaki.

Paras wajah wanita yang diarcakan itu tidal amat cantik, namun demikian cukup "sedep" dipandang mata  Nuansa anatominya perluhatkan katuraggan perempuan Jawa. Postur tubuh darinya tidak tinggi semampai  Secara keseluruhan, arca batu yang dipahat dalam bentuk "arca penuh (sclupture in round)" dalam posisi tubuh berdiri tribhangga membentuk serupa huruf "S") ini hadir Sebastian seni arca yang artistik.

Gaya penampilan wanita terpahat mengingatkan kita kepada gaya tampil dari "petempuan model (modeling)" yang tengah difolo oleh seorang fotografer profesional terhadap foto model yang nudis.

Demikianlah tulisan bersahaja yang mencoba untuk mendskripsikan foto dokmenter yang diunggah oleh Riyan Dharma mengenai salah satu peninggalan ikonigafs masa Hindu-Buddha di Jawmrmberikan mrmberikan kefaedahan bagi para pembaca yang budiman, khususnya perihal tata penampilan wanita masa lampau. Nuwun.

Sangkaling, 11 Agustus 2019
Griya Ajar CITRALEKHA

[Sumber tulisan / foto, akun fb Dwi Cahyono]