Fenomena Via Vallen : Buktikan Musik Dangdut Bisa Melambung di Era Millenial

Via Vallen - Kota Malang / jm
JurnalMalang - "Apa kabar semuanya... Arek Malang?" Sapa penyanyi dangdut Via Vallent di sebuah panggung ekslusif tempat hiburan malam di jantung kota Malang jumat lalu (28/10/17). Tampil selama satu jam mulai pukul 01.00 dinihari wanita yang mulai tenar bersama lagu "Selingkuh" ini sukses menggetarkan semangat ratusan penggemarnya yang rela menunggu berjam-jam lamanya.

Via Vallent, ikon baru musik dangdut yang rata-rata mengusung lagu-lagu berbahasa daerah (Jawa) dan anehnya sukses mengorbit di pentas nasional. Beberapa TV Nasional menghadirkannya diacara-acara talkshow sebagai selebriti.

Via Vallen termasuk biduan koplo yang berhasil mematahkan adagium yang mengatakan bahwa dangdut (tanpa goyang) sulit berkibar seiring dengan maraknya citarasa erotik kaum millenial yang taat dengan pop-culture.

Inilah contoh sempurna dari, (meminjam istilah Profesor Reinald Kasali) Disrupsion - inovasi dan pembaharuan (di sektor musik) yang mampu menjawab selera zaman, yang membuat suatu produk seni ini bisa moncer di tengah ketatnya persaingan pasar. Dangdut inovatif ini juga hadir tepat di saat lesunya produksi musik nasional.

Via tidak mengandalkan keseksian fisik dan wajah rupawan. Dari segi usia dia bukanlah yang termuda seperti para gadis cantik jebolan akademi talent televisi. Hal yang mungkin tidak disadari juru riasnya adalah, ada kalanya 'kesederhaan' fisik akan menjadi aset pemikat yang membuat bakat seninya lebih menonjol.

Via tidak memiliki jenis goyang tertentu sebagai ciri khasnya. Bahkan, gestur panggung Via Vallen sekilas tampak biasa dan banyak "berkomunikasi" dengan penonton ketimbang goyangan yang menggoda. Menyapa penonton, mengangsurkan mic untuk menyanyi bersama; sesekali meminjam beberapa ponsel penonton depan panggung dan mengambil foto selvie dengan tangannya sendiri.

Via Vallen termasuk tokoh muda yang berhasil mengenalkan dangdut di kalangan penggemar millenial dan bahkan kepada segmen penggemar musik yang selama ini fanatik tidak tertarik dengan dangdut yang dipandangnya jadul. Selain suara merdu, kekuatan Via Vallen ada pada penjiwaan dalam membawakan tema, tema aktual yang selama ini menjadi milik lagu-lagu pop dan rock and roll.

Dia (juga pengarang lagunya) membawa keluar dangdut ke arah yang lebih segar, terbuka dan realist, menjauhi tema-tema standar dangdut yang biasanya mendayu-dayu, syair duka-lara, mengalah kecewa dan jiwa yang terluka oleh asmara. Lagunya tidak harus diiringi dengan goyang dangdut pakem melainkan bisa dilebur dengan goyang reggae dan rock.

Panggung dangdut bukan lagi hanya milik biduan (satu arah) melainkan sebagiannya dibagi bersama penonton untuk menyanyi bersama dalam gaya millenial. Histeria mewah yang selama ini jarang ada di pagelaran musik dangdut. Dangdut juga akhirnya bisa masuk ke zona 'premium' setelah melewati serangkaian uji pasar yang ketat.

Jika dilihat dari penontonnya malam itu, rata-rata dari kalangan "borjuasi" dan level middle-up; segmen berselera mahal yang tidak gampang terbuai dalam urusan hobi; namun bisa ditembus oleh karena corak milenial yang ada pada lagu-lagunya dan (digaris bawahi) gestur panggung Via Vallen yang keluar dari pakem penyanyi dangdut mainstream.

Salah satu video klipnya di YouTube (lagu Sayang) sudah ditonton oleh lebih dari 80 juta kali dalam waktu yang relatif singkat. Beberapa klip nya yang lain juga ditonton jutaan kali. Ini jelas melampaui ukuran popularitas penyanyi dangdut bahkan musisi non dangdut lainnya. Rating YouTube salah satu cara sederhana mengukur ketenaran seorang musisi.

Tanpa kita sadari, selama ini para sarjana Barat antusias dalam mengamati dan mengkaji musik Dangdut Indonesia, seperti Prof. Andrew Weintraub PhD dari Amerika Serikat yang pernah lama meriset bahkan secara khusus menerbitkan satu buku tentang sejarah dan perkembangan musik dangdut Indonesia. Dan penerbitnya bukan main-main : Oxford University Press (2005). Guru Besar di sebuah kampus ternama USA ini merumuskan beberapa point penting tentang dangdut dan menjadi rujukan banyak sarjana dalam negeri.

Tetapi, fenomena Via Vallen (lebih dari konteks dia sebagai individu) cukup tepat melengkapi (pada beberapa sisi mengoreksi) analisa Prof Andrew dalam bukunya. Bahwa musik dangdut bukanlah 'oplosan' dari musik-musik luar yang tertutup dari masuknya unsur lokalitas seperti unsur seni jaranan pada lagu-lagunya (Eny) Sagita.

Sebaliknya, dangdut adalah musik asli kita yang orisinil, yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman serta terbuka dari meleburnya nuansa seni-tradisi; bahkan 'wahana' bertemunya warna lokal dengan corak musik millenial seperti hip-hop yang beberapa diantaranya sedang mengorbit bersama Via Vallen. (la.m).