Menuju ‘BAHANA BADUT’ CANDI BADUT, SEMBAHBHAKTI GAJAYANA KEPADA YAYAHNDA DEWASINGHA

Sumber foto : idsejarah.net
Oleh: M. Dwi Cahyono
(Arkeolog & Dosen Sejarah UM)

A. Kuil Agastyapuja pada Pra-Candi Badut
Banyak ahli menghubungkan Candi Badut dengan Prasasti Kanjuruhan (Dinoyo I) bertarikh Saka 682 (21 Nipember 760 Masehi) yang disurat semasa pemeritahan Raja Gajayana, yakni raja kedua di Kerajaan Kanjuruhan setelah Dewasingha. Pendapat demikian membayangkan bahwa tempat peribadatan Hindu (puri, dalam arti kuil atau candi) baru hadir di sub-DAS Hulu Metro pada tahun 760 di era pemerimtahan Gajayana. Padahal, apabila mencermati isi prasasti itu, tergambar bahwa sebelumnya, yakni pada masa pemerintahan Raja Dewasingha, di tempat yang sama sudah terdapat bangunan suci [yang boleh jadi lebih kecil dan lebih bersahaja] untuk pemujaan terhadap Maharsi Agastya (Agastyapuja). Sesuai peruntukannya, pada bangunan suci ini hanya terdapat sebuah arca, yaitu arca Agastya. Pendapat ini didasarkan pada keterangan mengenai penggantian arca Agastya yang semala berbahan ‘kayu cendana lokal’ yang ketika itu telah rusak dengan arca serupa namun dari bahan ‘batu hitam’ – menunjuk pada batu kali (andesit) berwarna abu-abu kehitaman.
Paparan pada alinea diatas menggambarkan bahwa semasa pemerintahan Gajayana, arca Agastya dari kayu cendana yang dibuat pada pemerintahan ayahnya (Dewasingha) dalam keadaan rusak, karena telah berusia paling tidak tiga dasawarsa atau sebelumnya, sehingga perlu diganti dengan arca serupa (Agastya) dari bahan lain (batu hitam). Bersamaan itu bangunan suci yang semula kecil dan bersahaja, yang konon hanya dipakai untuk Agastyapuja diperluas, diperbesar, dan dijadikan sebagai tempat peribadatan (dewagrha) Hindu sekte Saiwa. Di dalam candi induk berlatar Hindu sekte Saiwa, Agastya adalah salah satu dewata yang diarcakan dan ditempatkan pada relung/bilik candi sisi selatan, Selain itu, terdapat pantheon Hindu lainnya, yaitu arca dewa utama (istadewata) dalam bentuk Siwa Mahadewa atau bisa diganti dengan Lingga-Yoni di bilik utama (garbagrha), Siwa Mahakala dan Nandiwara pada sepasang relung/bilik di sisi muka, Durga Mahisuramardhini di relung/bilik utara, dan Ganesya di relung/bilik sisi belakang. Dengan demikian Maharsi Agastya yang dikonsepsikan sebagai wakil Dewa Siwa dalam aspeknya sebagai Mahaguru atau Mahayogi bukan;ah satu-satunya arca di candi Hindu sekte Saiwa.
Disamping itu, dibangun tiga buah candi perwara, yang ditempat berderatan di depan candi induk. Bersamaan itu, dibangunlah asrama (srama) yang besar dan permai bagi para peziarah, perangkat pensucian diri, tempat pemujaan kepada api dan persembahan caru, serta disediakan pula berbagai perlengkapan untuk para pertapa, sthapaka dan pendeta yang faham akan kitab-kitab Weddha yang berupa padi jelai, tempat tidur, pakaian, sapi yang gemuk-gemuk dan sejumlah kerbau, sebidang tanah, maupun budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaganya. Candi Hindu-Saiwa tersebut oleh banyak ahli diidentifikasikan dengan apa yang kini dinamai dengan ‘Candi Badut’ – pendapat lain menghubungkan dengan Candi Gasek pada areal makam umum Keluarahan Karangbesuki.
B. Dharmmabhakti Gajayana terhadap Dewata dan Ayahanda
Purnabangun Candi Badut yang rampung pada medio abad VIII (tahun 760 Masehi) diabadikan di dalam Prasasti Kanjuruhan (Dinoyo I). Gajayana adalah raja ke-2 pada kerajaan Kanjuruhan, yang demi kebhaktiannya kepada dewata Hindu-Saiwa dan bhakti dewata dari Ayahandanya (Dewa Simha) kepada Maharsi Agastya, memerintahkan untuk membina ulang kuil Agastyapuja karya Dewa Simha pada awal abad VIII. Upaya luhur Gajayana ini karenanya dapat dibilang sebagai sembahbhkati anak terhadap yayah (ayah)-nya, dalam bentuk bina ulang terhadap bangunan suci yang telah dibangun semasa pemerintahan ayahnya. Upaya ini dapat dibandingkan dengan bhakti Sri Isana (Pu Sindok) -- raja pertama Kerajaan Mataram berpusat di Jawa Timur – yang menurut keterangan dalam linggorasasti Cunggrang (929 Masehi) memperbaiki patirthan di lereng utara-timur Gunung Penanggungan (umahaywa pancuran i Pawitra), yang sebelumnya telah dibangun oleh mertuanya, yakni raja Wawa, yang tiada lain adalah yayah (ayah) dari Ariparameswari Dhyah Kbi (istri permaisauri Pu Sindok).
Bhakti anak kepada ayahanda ataupun bhakti menantu kepada mertuanya dalam bentuk bina ulang bangunan suci buah bhakti pendahunya juga tergambar pada pemugaran candi kolosal Borobudur oleh Pramodhawardani yang telah diawali pembangunannya oleh ayahnya (Samaratungga). Begitu pula yang dilaksanakan oleh Balitung, yang membina ulang candi kolosal Prambanan, yang boleh jadi telah diawali pembangnannya oleh Rakai Pikatan (leluhurnya). Maharaja Hayam Wuruk juga melakukan hal sama, yang menurut keterangan dalam kakawin Nagarakretagama membina ulang 27 candi – yang merupakan pendharman para leluhurnya. Demikian sebagian contoh perwujudan dharmabhakt para raja Jawa terhadap karya bhakti para leluhurnya terhadap dewata. Ada semacam ‘kewajiban moral’ bagi para penguasa untuk meneruskan dan memperbesar karya bhakti terhadap dewata yang telah dirintis oleh pendahuku (leluhur)nya, yang terwadahi dalam makna istilah ‘bwat haji’ dalam sumber data prasasti. Bwat haji dengan demikian bukan hanya dilakukan oleh rakyat terhadap rajanya, atau raja bawahan (penguasa vassal) terhadap yang dipertuan, namun bisa juga dari seorang raja terhadap raja pendahulunya. Dengan cara demikian, maka kegotongroyongan dan kebelanjutan eksistensi karya luhur terjaga dari waktu ke waktu. Teadan yang baik demikian terus belanjut hingga kini, misalnya pada bina ulang terhadap bangunan pura di Bali, renovasi bangunan masjid atau musolah di banyak tempat, dan bangunan-bangunan peribadatan agama-agama lain di penjuru wilayah Indonesia.
C. Sembahbhkati Musikal Nova kepada Ayahanda Totok Tewel
Dalam bentuk lain, sembahbhakti anak kepada ayahanda dalam konteks perhelatan seni bertajuk ‘Bahana Badut’ digambarkan lewat persembahan karya musikal yang bakal (8 Sepetember 2017) dilaksanakan oleh Nova Ruth, yakni putri sulung dari musisi Totok Tewel, di situs Candi Badut. Pilihannya untuk menyajikan sembahbhakti musikal di Candi Badut meneladani sembahbhakti yang pada 1,3 milenium lalu dilakukan oleh raja Gajayana terhadap ayahandanya (Dewa Simha) dalam bentuk bina ulang Candi Badut. Selain itu, pilihannya pentas di Malang karena keduanya sesungguhnya berasal dari Kota Malang, tepatnya dari Kelurahan Glintung – walaupun kini lebih banyak dikenal sebagai musisi Jakarta untuk Totok Tewel dan Yogyakarta-Spanyol untuk Nova. Seakan ‘sejarah beruang’, dua ekspresi sembahbhakti anak terhadap ayahanda itu dilangsungkan di areal candi tertau di Jawa Timur, yakni halaman Candi Badut.
Pada sisi lain, ‘Bahana Badut’ seakan mecairkan kembali ‘kebekuan’ perhelatan ‘Mbulan Ndadari ri Badut’ yang telah vakum hampir setahun lamanya. Kebetulan, pada tanggal 8 September malam masih di seputar bulan purama, sehingga nuansa bulan purnama diharap turut mewarnai perhelatan ini. Semoga ‘Bahana Badut’ akan menjadi lembar pertama, yang bakal membuka kembali lembar-lembar perhelatan seni-budaya di situs candi yang lokasinya terbilang sangat dekat dengan pusat Kota Malang. Sungguh disayangkan bila situs Candi Badut yang menjadi pertanda mula perdaban klasik (Masa Hindu- Buddha) di Malangraya tersebut tidak didayagunakan untuk ajang ekspresi seni-budaya di kawasan yang kaya akan pelaku ragam cabang seni -- baik seni tradisi maupun non-tradisi. Ke depan, perhetan ‘Bahana Badut’ yang bakal menurunkan musisi lokal, nasional bahkan internasional (antara lain Totok Tewel, Nova Rutg dan suami yang musisi asal Spanyol, Erington musisi asal Amarika, gitaris Ikhsan Vespa, musisi dawai Redy Eko Prastyo, aerophone etnis dari Madira, dsb.) maupun teater, tari, dan orasi budaya ini dapat menjadi ‘agenda tahunan’, yang dari waktu ke waktu kian dilibati seniman nasional maupun ternasional sebagai semacam ‘puncak’ dari rangkaian agenda bulanan ‘Mbulan Ndadari ri Badut’.
Sebagai pamungkas kalam, mengndang khalayak untuk berkenan hadir mengapresiasi perhelatan seni-budaya ‘Bahana Badut I’, yang insya Allah bakal dihelat pada tanggal 8 Sepetember 2017, mulai sore hari (Jelajah Jejak Peradaban Kanjuruhan, Saresehan Budaya bertema ‘Konservasi dan Fungsionalisasi Cagar Budaya di DAS-Metro’, dan prosesi pembilan tirthamreta di Kali Metro) hingga malam hari sembari bermandikan bulan purnama di pelataran Candi Badut. Reguk ragam faedah seni-budaya yang kami suguhkan. Salam budaya ‘Kanjuruhanjayati’. Nuwun.
Sengkaling, 1 September 2017 
PATEMBAYAN CITRALEKHA

(Sumber Dwi Cahyono)