Kurangnya Fasilitas Bagi Disabilitas

Ilustrasi : kompas
Oleh : Dyta Christine Rachmawati

(Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan 
Universitas Muhammadiyah Malang)


Bagaimana rasanya menikmati fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah di tempat-tempat umum? Seperti kamar mandi, trotoar, dan lain sebagainya. Pasti menyenangkan bukan? Apa yang kita butuhkan telah tersedia dan tidak susah untuk dijangkau. Di mall tersedia kamar mandi, lift, ekskalator, dan lain sebagainya. Tapi bagaimana dengan fasilitas yang didapatkan bagi kelompok disabilitas? Apakah mereka mendapatkan fasilitas yang sama layaknya orang “normal” umumnya? Faktanya tidak.

Dengan tidak memperhatikan dan justru bersikap acuh tak acuh pada mereka, secara tidak langsung kita telah melakukan diskriminasi. Kita selalu memandang sebelah mata pada mereka kelompok minoritas. Pernahkah kita mengerti bagaimana perasaan mereka ketika mereka diremehkah dan sering kali dipandang sebagai satu hal yang menjijikkan? Pertanyaannya adalah, apakah mereka yang memilih untuk dilahirkan dengan segala “kekurangan”? Apakah mereka memiliki pilihan untuk dipilih? Tidak.

Disabilitas adalah sebutan untuk seseorang yang memiliki kekurangan secara fisik atau mental, dan sering kali disebut “cacat” (KBBI). Hampir semua dari mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mandiri dan tidak menyusahkan orang lain ataupun menjadi beban bagi orang lain. Tapi semua itu tidak dapat terlaksana dengan mudah, karena mereka memiliki keterbatasan yang tidak dapat dilampaui. 

Trotoar. Kita merasa nyaman ketika berjalan di tepi jalan atau trotoar, karena memang itu merupakan fasilitas umun yang memang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Lalu bagaimana kelompok disabilitas menikmati fasilitas yang sama ketika mereka sedang dalam posisi sebagai pejalan kaki?

Pastinya kebanyakan orang tidak mengerti apa yang harusnya disediakan bagi kelompok disabilitas ketika mereka akan menggunakan fasilitas trotoar. Tunanetra membutuhkan garis timbul di tengah trotoar untuk menjaga langkah mereka berada pada posisi yang benar, tunadaksa membutuhkan bidang miring pada trotoar untuk memudahkan langkah mereka dengan kursi rodanya. Sedangkan pada faktanya, trotoar yang disediakan oleh pemerintah tidak accessible (dapat diakses) bagi kelompok disabilitas.

Hanya sedikit daerah yang menyadari hal ini dan menyediakan fasilitas bagi mereka kelompok disabilitas. Kamar mandi. Ketika kita berada di pusat kota atau alun-alun, terdapat kamar mandi yang dapat digunakan ketika kita ingin buang air kecil atau buang air besar. Lalu bagaimana ketika tunanetra dan tunadaksa ingin melakukan hal yang sama? Apakah mereka tidak memiliki hak untuk buang air kecil atau buang air besar seperti orang “normal”? Mereka juga manusia dan juga makhluk hidup yang memiliki sistem ekskresi dalam tubuhnya.

Tapi pertanyaannya adalah, apakah kamar mandi yang disediakan sudah accessible? Faktanya tidak. Jalan menuju kamar mandi kebanyakan menggunakan tangga, sedangkan kelompok tunadaksa tidak dapak mengakses itu, jikapun jalan menuju kamar mandi tidak menggunakan tangga dan menggunakan bidang datar, akan tetapi toilet yang disediakan bukan diperuntukkan bagi mereka. 

Lalu bagaimana tunanetra dapat dengan benar berjalan menuju kamar mandi, sedangkan ia tidak tau harus kemana ia melangkah, tidak tersedia jalan bagi mereka dan juga tidak ada petunjuk arah timbul yang dapat mengarahkan mereka.

Transportasi umum. Dengan nyaman kita dapat menggunakan transportasi umum dalam kehidupan kita sehari-hari, sebagai contohnya adalah bus. Kita dapat dengan tenang menunggu bus di halte bus, ketika bus yang kita tunggu datang, kita dapat langsung naik dan pergi ke tempat tujuan kita. Lalu bagaimana kelompok disabilitas menggunakan transportasi umum yang sama? 

Tunadaksa tidak dapat menunggu di halte bus yang teduh, karena tidak tersedia space bagi mereka dan kursi roda mereka. Jika mereka mau, mereka dapat duduk di depan tempat duduk yang tersedia di halte bus demi mendapatkan tempat yang teduh dan beratap, tapi mereka tidak melakukannya karena itu akan menghalangi orang lain untuk duduk di kursi halte. 

Lalu ketika bus datang, kebanyakan orang merasa dirugikan ketika mereka harus membantu tunadaksa untuk masuk ke dalam bus, jikapun tidak, mereka melakukannya hanya atas dasar rasa iba.

Kelompok disabilitas memiliki hak yang sama untuk mendapatkan fasilitas seperti orang “normal” umumnya, akan tetapi fasilitas yang mereka butuhkan cenderung lebih khusus. Hanya saja masyarakat, khususnya pemerintah kurang memperhatikan atau menyediakan fasilitas yang mereka butuhkan. Semoga kelompok disabilitas mendapatkan hak mereka yang telah hilang selama ini.

(dytarachmawati@gmail.com)