PESAN "KEMERDEKAAN" RELIEF CERITA GARUDEYA CANDI KIDAL

Sumber Ilustrasi : mapio.net
Oleh: M. Dwi Cahyono (Arkeolog)

Kisah "Garudeya" yang tertalian erat dengan cerita Samodramantana atau Amretamantana adalah salah satu episode cerita yang terdapat dalam bagian (parwa) pertama wiracarita Mahabarata, yakni Adiparwa. Pokok kisahnya berkenaan dengan keluarga Viyasa, tepatnya kisah ganeologis Vyasa (Byasa) dengan kedua istrinya, yaitu Winata dan Kadru beserta kejadian dramatik di seputar anak keturunan keduanya. 

Sesuai permintaan masing-masing istrinya itu, yang tak mampu beranak (stiril, mandul), maka Vyasa memberikan tiga butir telor kepada Winata untuk dierami. Namun, yang berhasil menetas dan melahir orok sempurna hanyalah sebuah, dalam bentuk makhluk antrophomorfis (manusia setengah burung) bernama "Garudeya". Adapun seratus butir telor yang dierami oleh Kadru, semuanya menetas, dalam bentuk seratus ekor ular.

Walaupun susastra tekstual Adiparwa telah dialihaksarakan (transliterasi) dan dialihbahasakan (translasi) pada pemerintahan Dharmmavamsa Tguh (awal abad XI M) dari Sanskreta ke aksara dan bahasa Jawa Kuna, namun dalam bentuk susastra visual baru hadir sebagai relief candi pada masa Majapahit (abad XIV M). Misalnya di Candi Kidal -- hasil renovasi Masa Keemasan Majapahit, Kedaton dan Sukuh. Diantara ketiganya, relief Garudeya di Candi Kedaton adalah yang paling banyak jumlah panil reliefnya dan runtut. Sedangkan pada Candi Kidal, hanya ditampilkan adegan kunci (key scene), sebanyak tiga buah panil, yang dipahatkan di pilaster (tiang semu) bagian tengah dari batur candi (soubasement) sisi selatan, timur dan utara. Arah baca relief ini prasawya, yakni berlawanan dengan arah jarum jam.

Ada pertimbangan struktural dari penetapan jumlah panil relief dan kisahnya. Panil I (sisi selatan) beroposisi biner dengan panil III (sisi utara). Sedangkan panil II (sisi timur) menjadi penghubung dan sekaligus solusi kunci bagi pengubahan kondisi yang dikisahkan di panil I ke kondisi yang dikisahkan di panil III

Panil I mengkisahkan ketika Winata dan putra bungsunya, yakni Garudeya, menjalani hidup sebagai budak dari Kadru. Tugas Garudeya mengasuh para ular putra Kadru, sebagaimana divisualkan pada panil ini. Dalam relief digambarkan Garudeya memanggul ular-ular pada pundaknya. Winata dan putranya menjadi budak keluarga Kadru, lantaran ia dikalahkan secara 'licik" oleh Kadru ketika bertaruh dalam menebak warna kuda Uchaiswara yang menyembul dari dalam samodra susu (samodra/ksirarwana). Sesuai dengan perjanjian, pihak yang kalah menjadi budak dari pihak pemenang. Jadi, inti kondisi yang digambarkan adalah perbudakan atau belenggu penjajahan manusia atas manusia lainnya(imperalism, colonialism).

Panil III mengkisahkan kejadian ketika Garudeya berhasil membebaskan atau memerdekakan ibunya (Winata) dari praktik perbudakan Kadru. Dalam relief ini Garudeya digambarkan tengah menggendong ibunya pada punggungnya (gendong buri) untuk diterbangkan meninggalkan kediaman Kadru. Jadi, inti kejadian yang digambarkan adalah pembebasan atau pemerdekaan (freedom).

Jika panil I dioposisikan dengan panil III, maka tergambar oposisi biner (binnery oposition), yakni perbudakan (penjajahan) versus kebebasan (kemerdekaan). Peralihan kondisi dari dijajah ke merdeka dijelaskan lewat panil II, yakni berkat keberhasilan Garudeya dalam mendapatkan amreta (air kehidupan, air keabadian) sebagai 'penebus" bagi perbudakannya. Untuk itu, Garudeya musti berjuang mati-matian untuk mendapatkan tirtha Amreta -- sebagai sari samodra susu -- yang diamankan oleh Dewa Wisnu. Demikian besar semangatnya, hingga dalam pertarungan antara Garudeya melawan Wisnu memperebutkan amreta, Wisnu nyaris terkalahkan olehnya. Akhirnya disepakati bahwa Wisnu bersedia 'meminjamkan' amreta untuk penebusan itu, dengan syarat Garudeya mau dijadikan sebagai wahana (kendaraan)Nya. Dalam panil II ini Garudeya digambarkan tengah menyunggi amreta dalam suatu wadah yang bentuknya menyerupai piala bercerat (kamandalu). Inti kejadian yang dikisahkan adalah perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu perbudakan (penjajahan) guna mendapatkan kebebasan (kemerdekaan).

Jika ketiga panil diatas dijajarkan secara linier menjadi paniil ujung kanan (Il), tengah (II) dan kiri (III), maka di dalamnya menyiratkan pesan sebagai berikut: (a) panil ujung kanan >< ujung kiri bermakna perbudakan/penjajahan VS kebebasan/kemerdekaan, (b) panil tengah berfungsi sebagai mediator dan sekaligus faktor kunci untuk menjelaskan perubahan kondisi yang dikisahkan dalam panil ujung kanan dan panil ujung kiri, yang bermakna perjuangan mati-matian untuk membebaskan diri dari perbudakan/penjajahan dan kemudian mendapatkan kebebasan/kemerdekaan. Dalam panil tengah ini, perjuangan yang dilakukan oleh Sang Garuda (Garudeya) merupakan ekspresi tentang bhakti anak kepada ibu. Jika pesan yang tersirat itu dielaborasi ke dalam konteks yang lebih luas, yakni konteks kenegaraan, maka bisa disebut sebagai "bhakti kepada ibu-pertiwi (tanah-air)" atau "bhakti nagari", yaitu perjuangan untuk membebaskan tanah air dari penjajahan asing guna meraih kemerdekaan. Dalam konteks demikian, Sang Garuda tercitrakan sebagai ikon pejuang kemerdekaan.

Siratan makna yang terkandung dalam cerita Garudeya itu menjadi pertimbangan tim perumus Lambang Negara RI, antara lain Moh. Yamin, RM. Ng. Poerbatjaraka dan Soepomo untuk mempertimbangkan dan kemudian memilih Garuda sebagai Lambang Negara RI. Makna demikian juga tergambar pada tokoh Jatayu dalam wiracarita Ramayana, yang berupaya hingga ajal untuk membebaskan Dewi Sita dari pengambilan paksa atau penyekapan oleh Rahwana. Teks susastra literal dan susastra visual (dalam bentuk relief cerita) tentang cerita Garudeya tersebut dijadikan referensi bagi penentuan figur Lambang Negara RI.
Untuk mendesain bentuk lambang, selain relief cerita tersebut juga didayagunakan data ikonografis di Candi

Sukuh, yaitu: (a) relief garuda di sisi kanan dan kiri gapura I Candi Sukuh, yang menggambarkan seekor burung garuda berukuran besar dalam posisi menggepakkan sayap dan kedua kakinya setengah jongkok sambil mencengkeram dua ekor naga yang saling membelitkan badan dengan arah hadap berlawanan -- relief ini dalam baberapa hal mengingatkan kita kepada wahana Wisnu pada arca perwujudan Airlangga (abad XI M); (b) dua buah arca manusia setengah garuda di halaman III Candi Sukuh, yang digambarkan dalam posisi berdiri sambil menggepakkan sayap. Kedua data ikonografis itu dimodifikasi seperlunya dan dipadukan, antara lain dengan mengganti sepasang naga saling membelitkan badan dengan pita yang memuat sasanti "Bhineka Tunggal Ika", yakni perkataan yang disitat dari teks Kakawin Sutasoma.

Paparan di atas memberi gambaran cukup bahwa para faunding father kita memiliki kepekaan dan kepedulian sejarah, tak terkecuali ketika memformulasikan Lambang Negara RI, yaitu Garuda Pancasila. Ada tiga makna pokok yang tersirat dalam Lambang Negara RI. Pertama, makna "kemerdekaan", yang tersirat dalam figur Garuda beserta lambang-lambang angka dari jumlah bulu-bulu pada ekor, sayap, leher dan tubuh garuda -- terkait dengan penanggalan Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-45). Kedua, makna "pluralistk-integratif" dari sosio-budaya Indonesia, yang tersirat dalam sasanti "Bhineka Tunggal Ika". Ketiga, lambang masing-masing sila yang menjadi Dasar Negara RI, yaitu Pancasila.

Demikianlah, relief cerita Garudeya di Candi Kidal konon menjadi salah satu media pendidikan keagamaan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dalam bentuk penentangan terhadap praktek perbudakan atau penjajahan manusia atas manusia. Relief ini sekaligus menjadi salah satu referensi, baik referensi tekstual ataupun referensi visual, dalam proses pembuatan Lambang Negara RI. Mengingat akan adanya pesan berharga yang tersirat dalam kisah itu, maka Cerita Gurudeya layak dipertimbangkan oleh para seniman seni pertunjukkan (sendratari dan teater) maupun seniman perupa, khususnya di Malang Raya, untuk menjadikannya sebagai naskah pertunjukan atau insiprator bagi karya kesenirupaannya.
Semoga membuahkan makna.
Salam budaya "Nusantarajayati".
Nuwun.
(Sumber Dwi Cahyono)