![]() |
Oleh : Dwi Cahyono
(Arkeolog dan Dosen Univ. Negeri Malang)
“HONG Ulun Basuki Langgeng”
A. P e n g a n t a r
Sebagaimana halnya tahun 2011, tahun ini (2016) upacara (yajna)
Kasada dilangsungkan di tengah erupsi vulkanik Bromo. Gunung berapi
(vulcan) Bromo (2.392 m DPL) — salah satu diantara dua bukit selain
Bukit Bathok, yang menyembul di dasar kawah (caldera) Tengger yang
mengering menjadi laut pasir (segoro wedi) – masih berada dalam
kondisi erupsi.
Pada hari Sabtu (16/7), sepekan sebelum yajna Kasada
(20-21 Juli 2016), aktivitas vulkaniknya terus meningkat. Sinar api
keluar diantara erupsi asap dan abu vulkanik, yang tidak kunjung surut.
Asap kecoklatan membumbung setinggi 900m dari puncak ke arah barat daya
dan utara. Selain itu terdengar suara gemuruh lemah hingga kuat dari
kawah. Tremor terjadi dengan amplitudo maksimal 0,5-10 milimeter,
dominan 2 mm. Bromo terus fluktuatif dengan status ‘waspada’, sehingga
ada larangan memasuki radius 1 km dari kawah aktifnya (Kompas, Minggu 17
Juli 2016).
Peristiwa yang tidak dinyana-nyana ini kembali mengingatkan kita kepada legenda ‘Joko Seger – Roro Anteng’
dan informasi epigrafis abad X-XV M, yang pokok pesannya berkaitan
dengan upaya warga di sekitar gunung api purba Bromo-Tengger untuk
meredam murka (ugra)-nya dengan ritus religius-magis tahunan, yang lazim disebut dengan ‘Yajna Kasada’. Apa yang dilakukan oleh warga sub-etnik Jawa ‘Wong Tengger’
ini merupakan salah satu jejak budaya masa lalu, yang ditradisikan
hingga kini berkenaan dengan adaptasi religio-magis Manusia Jawa dalam
menghadapi kekuatan alam luar biasa (supernatural forces) dalam kerangka
mitigasi bencana gunung api.
B. Legenda dan Informasi Epigrafis mengenai Vulkano-Historis Bromo
- Legenda ‘Joko Seger – Roro Anteng’ terkait Jayna Kasada
Legenda berjudul ‘Joko Seger – Roro Anteng’ mengkisahkan bahwa putra terakhir (ke-25) bernama ‘Dewata Kusuma’ dari pasangan perintis pemukim di Dataran Tinggi Tengger, yakni Joko Seger dan Roro Anteng,
tewas ditelan lava pijar Bromo. Gunung ini meletus untuk menagih janji
kepada kedua orang tuanya, yakni janji (ujar, nadzar) yang diucapkan
sebagai permohonannya kepada dewata agar pasangan yang telah lama tak
dikaruniai putra itu memiliki keturunan. Apabila ujarnya terkabulkan,
kelak dikorbankan putranya yang terakhir ke dalam kaldera Bromo.
Oleh karena Joko Seger dan Roro Anteng tak segera penuhi janjinya, lantaran secara psikologis putera terakhir (ragil) merupakan anak kesayangan (ganthilaning ati),
maka kekuatan alamiah Bromo lewat erupsi dahsyatnya ‘memaksa’ mereka
untuk korbankan apa yang telah dijanjikan. Pengorbanan manusia (human
sacrafice) dalam legenda ini menegaskan tentang pentingnya komitmen
pemenuhan janji (ngluwari ujar/nadzar) yang telah diucapkan
sendiri. Hikmah dari tragedi tersebut adalah bahwa bagi warga Tengger
setia kepada janji merupakan prinsip hidup.
Untuk menghindari terulangnya tragedi itu, maka setiap tahun pada bulan Kasada
warga masyarakat Tengger di empat penjuru daerah, yaitu di Kabupaten
Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang, menyelenggarakan ritus yang
dinamai ‘Yajna Kasada’, dengan jalan melarung hasil bumi dan
ternak yang telah mereka janjikan setahun sebelumnya sebagai bukti
pemenuhan atas dikabulnya janji yang mereka sampaikan lewat Dukun
Tengger.
Tersirat dalam ritus Kasada bahwa pengorbanan manusia, yang dinilai tak
manusiawi (ahumanis) – sebagaimana dikisahkan di dalam legenda ‘Joko
Seger – Roro Anteng’, selanjutnya diganti dengan ‘pengorbanan inatura’,
yakni dengan melarung hasil bumi dan/ atau binatang ternak ke dalam
kaldera Bromo. Tradisi ini sebagai bentuk ekspresi dari ritus arkhais
Masa Hindu-Buddha, yaitu pemberian/pelarungan sesaji (offering) ke dalam
vedi ataupun mahavedi. Dalam hal ini, kaldera Bromo diibaratkan sebagai
mahavedi alamiah yang besar, tempat dilarungkan sesajian dan korban
pada setiap tahun di bulan Kasada.
- Informasi Epigrafis sebagai Data Tekstual tentang Akar Tradisi Kasada
Legenda itulah yang sejauh ini dijadikan
‘penjelas’ untuk Yajna Kasada, yang terkesan bahwa waktu awal ritus
tahunan ini bermula pada masa Akhir Majapahit, mengingat bahwa Joko
Seger dikisahkan sebagai salah seorang warga Majapahit yang melakukan
eksodus ke Dataran Tinggi Tengger ketika Masa Akhir Majapahit (abad
XV-XVI M.). Benarkah bahwa ritus meredam murka Bromo baru dimulai pada
masa itu?
Apabila menelisik data epigrafis,
khususnya prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Pu Sindok (Sri Isana)
pada abad X M. dan Hyang Wkasingsuka – nama lain Hayam Wuruk – pada paro
kedua abad XIV M., yang menginformasikan upaya religius-magis untuk
meredam murka gunung api Bromo-Tengger, tergambarlah bahwa embrio ritus
Kasada sejatinya telah berlangsung jauh sebelum adanya legenda ‘Joko
Seger – Roro Anteng’. Dengan kata lain, legenda ini hanyalah penegasan
lewat kisah lisan (oral story) mengenai peristiwa historis yang telah
bermula beberapa abad sebelumnya pada masyarakat pemuja dewata (Hulun Hyang), yakni ‘warga Tenggermula’, yang bermukim di daerah Malang.
Hal penting untuk dicermati adalah bahwa
empat – diantara delapan hingga sembilan prasasti yang dikeluarkan atas
perintah dari Sri Isana/Pu Sindok di daerah Malang, yaitu :
(1) Prasasti Linggasuntan (929 M.),
(2) Prasasti Gulung-gulung (929 M.),
(3) Prasasti Jru-jru (930 M.), dan
(4) Prasasti Muncang (944 M.),
yang memberitakan tentang bangunan suci
(prasadha) di Walandit maupun di Himad guna memuja Sang Hyang
Swayambhuva, yakni dewata yang menguasai kekuatan dahsyat berupa daya
vulkanik. Prasasti Linggasuntan memberitakan tentang penetapan desa
(wanua) Linggasuntan yang masuk dalam wilayah Rakryan Hujung sebagai
perdikan (sima, swatantra) yang dipersembahkan untuk menambah biaya
pemujaan kepada Bhattara di Walandit setiap tahunnya.
Pemujaan terhadap bhattara di Walandit
juga diinformasikan di dalam Prasasti Muncang, yang memberitakan
mengenai pendirian prasadha kabaktyan bernama Siddhayoga, tempat dari
pendeta melakukan persembahan kepada bhattara setiap hari dan
persembahan bunga kepada bhattara i Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit.
Jelaslah bahwa bhattara yang dipuja di Walandit itu adalah Sang Hyang
Swayambhuwa. Perihal bangunan suci di Walandit tersebut juga diberitakan
di dalam prasasti yang berasal dari Masa Keemasan Majapahit, yaitu
Prasasti Himad/Walandit
Adapun Prasasti Gulung-gulung
memberitakan mengenai penetapan sawah di wanua Gulung-gulung dan
sebidang hutan di Bantaran menjadi sima, dengan tujuan untuk
menjadikannya sebagai wakaf (dharmmaksetra) bagi bangunan suci Rakryan
Hujung, yaitu mahaprasadha di Himad. Selain itu hasil sawah itu
diperuntukkan bagi pesembahan terhadap Sang Hyang Kahyangan di Pangawan.
Dahulu kahyangan di Pangawan terletak di
Gunung Wangkedi. Oleh karena itu, sebenarnya hanya ada satu bhattara
yang dipuja, baik di Pangawan maupun di Himad, sehingga bila sedang
diadakan pemujaan di Pangawan maka Himad mengikuti saja dan sebaliknya.
Upacara dilaksakan setiap equinox, yakni ketika matahari melintasi
katulistiwa, yang jatuh pada bulan Maret dan September. Isi prasasti
Jru-jru terkait dengan pokok pembicaraan dalam Prasasti Gulung-gulung,
yakni upacara bagi bangunan suci Rakryan Hujung yang berupa Sang Sala di
Himad.
Kendati dalam keempat dan lima prasasti
terpapar di atas diberitakan adanya dua bhattara, yaitu bhattara di
Walandit dan bhattara di Himad (termasuk di dalamnya bhattara di
Pangawan), namun pertanyaannya adalah ‘apakah dewata yang dipujanya
sama’? Apabila sama, berarti dewata tersebut adalah Sang Hyang
Swayambhuwa.
Dengan perkataan lain semenjak masa pemeraintahan Pu Sindok
(paro pertama abad X M.) hingga Masa Keemasan Majapahit (medio abad XIV
M.) terdapat bhattara yang dalam lintas masa dipuja di lebih dari satu
tempat, yakni Sang Hyang Swayambhuwa. Fokus pemujaan terhadapnya menjadi
petunjuk bahwa dewata ini diposisikan sebagai ‘penting’.
Lantas siapa yang dimaksud dengan ‘Sang
Hyang Swayambhuwa’ itu? Menurut J.G. de Casparis (1940:51) adalah dewa
yang menguasai Gunung Bromo, mengingat bahwa ‘Sawayambhu’ adalah nama
lain dari Dewa Brahma. Dalam konteks ini, Brahma tidak menunjuk kepada
salah satu dewa dalam Trimurti, namun lebih mengarah kepada Dewa
Kemarahan (Kemurkaan) atau Dewa Api.
Kata Sanskreta ‘Brahma’ atau
‘Brama’ secara harafiah berarti kemarahan atau murka (ugra). Perkataan
‘sang hyang brahma’ menunjuk pada api suci dalam ritus manusuk sima.
Begitu pula, kata jadian ‘kabraman (ka-brama-an)’ berarti: marah
(Pigeaud, 1995:131). Dewa Api tersebut adalah dewata yang menguasai
gunung ber-api, yang pada saat-saat tertentu murka (marah) dalam bentuk
eksplosi atau erupsi menyemburkan lava pijar.
Boleh jadi gunung berapi dimaksud adalah
Gunung Bromo, mengingat bahwa prasasti Linggasuntan, Gulung-gulung,
Muncang, Jru-jru maupun Himad-Walandit tersebar di lereng barat dan
selatan dari Gunung Tengger-Bromo, yang merupakan ‘gunung berapi aktif’
hingga kini. Lantaran kaldera purba Tengger tersumbat dan menjelma
menjadi lautan pasir, bahkan lobang kepundannya tersumbat oleh dua bukit
baru (gunung anyar: Gunung Bromo dan Gunung Bathok) yang menyembul ke
permukaan lautan pasir, maka erupsi berlansung intrusif ke arah selatan
dan barat lereng dari igir-igirnya – yakni bagian tersisa setelah
letusan maha dasyat pada masa sebelumnya yang hancurkan puncak hingga
lereng atas stratonya.
Titik-titik intrusinya bisa jadi
berpindah-pindah, yaitu di Gunung Walandit, Pangawan dan Wangkedi, yaitu
nama kuno dari bukit-bukit yang merupakan anak dari Gunung Tengger.
Nama ‘Walandita (Walandit-a)’ juga disebut dalam susastra dari Masa
Akhir Majapahit, yaitu kitab Tantu Panggelaran, sebagai salah satu
gunung suci (holy mountain) di Jawa Timur. Dikisahkan Dewi Uma yang kala
itu dikutuk oleh Bhsattara Guru lantaran perilaku jahatnya kepada
Kumara, yakni putranya yang dibunuhnya sendiri, mengubur rambut, darah
dan sumsum Kumara di rabut Walandita. Lantas Uma bertapa di bawah tanah (topo pendhem)
hingga akhirnya muncul kembali dalam rupa aslinya di Gunung Bret.
Sebutan ‘bhattara di Walandit, Pangawan, dan Wangkedi’ menunjuk kepada
dewata yang menguasai kawah-kawah yang terbentuk akibat intrusi itu.
Kedahsyatan letusannya tergambar pada topografis Tengger, yang begitu
meranggas beserta tumpahan lavanya yang telah mengering. Kesan yang
demikian dengan jelas bisa disaksikan dari Dusun Blandit Desa Wonorejo
Kec. Singosari.
Pemujaan kepada bhattara yang menguasai
gunung berapi Bromo secara lebih jelas diberitakan dalam Prasasti
Pananjakan. Prasasti tembaga (tamra prasasti) ini ditemukan oleh petani
Tengger di Penanjakan Desa Wonokitri Kab. Pasuruan pada tahun 1880.
Kendati diketemukan di Penanjakan, namun isinya berkenaan dengan
desa-desa yang berada di sub-area timur Kab. Malang, pada lereng selatan
Gunung Tengger-Bromo. Prasasti yang menjadi koleksi Museum Nasional
dengan Nomor Inventaris E28 ini hanya terdiri atas satu lempeng, dengan
aksara dituliskan pada sisi depan (recto) dan belakang (verso),
masing-masing sebanyak lima baris kalimat dalam bahasa Jawa Tengahan.
Sebagian besar tulisannya dalam kondisi jelas terbaca, kecuali baris
ke-5 sisi verso yang dalam keadaan aus.
Jelas bahwa prasasti ini merupakan
salinan (tinulad), yang dituliskan pada tahun 1405 M. terhadap keputusan
yang ditetapkan oleh Hyang Wkasingsuka (nama lain Hayam Wuruk) pada
tahun 1381 M. Pokok isinya adalah : larangan kepada para penarik pajak
di bulan mati (titiloman) untuk memungut pajak di Desa Walandit,
Mamanggis, Lili, Jebing dan Kacaba. Adapun alasannya karena desa-desa
itu merupakan desa keramat (hila-hila), tempat dimana para pemuja dewata
(hulun huang) yang memuja gunung suci Brahma (Sang Hyang Brahma).
Penanggalan dituliskan secara rinci, yaitu pada bulan ke-5 (Margasira)
di dalam tahun ke-3 pada tahun Saka 1327 (1381 M.) di bulan Asada
tertanggal hari ke-9 ketika bulan sedang turun (kresnapaksa) hari Minggu
(Radite)-Pahing wuku Dunggulan (Galung-an). Piagam ini dibuat untuk
mereka oleh Kebayan Made Buyut …… (tak terbaca).
- Ritus Religius-Magis Meredam Murka Alam
Paparan diatas cukup memberi kejelasan
bahwa yajna Kasada yang hingga kini ditradisikan oleh sub-etnik Tengger
memiliki akar sejarah panjang. Embrionya telah ada sejak abad ke-10 M.,
pada masa Pemeritahan Pu Sindok (Isana). Pemula pelakunya adalah para
hulun hyang yang tinggal di desa-desa karamat (hila-hila) pada lereng
selatan dan timur vulkan Bromo pada sub-area timur dan utara Kab.
Malang. Mereka melaksanakan upacara religius magis yang berupa
pengorbanan bunga setiap hari dan pemujaan tahunan berupa seekor kambing
dan 1 pada beras pada saat matahari melintasi garis katulistiwa (Maret
dan September).
Pemujaan dilakukan di beberapa bangunan suci (prasadha,
kah-yangan), yaitu di Desa Walandit serta di Pangawan dan Wangkedi dalam
wilayah Desa Himad. Yang mereka puja adalah bhattara Sang Hyang
Swayambhuwa, yakni dewata yang menguasai/menaungi gunung Bromo, yakni
Gunung Berapi yang secara periodik murka dalam bentuk eksplosi atau
erupsi.
Tradisi ini berlanjut hingga memasuki
Masa Keemasan Majaphit, yakni pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk
(Hyang Wkasingsuka) bahkan hingga memasuki masa Akhir Majapahit (awal
abad XV M.). Kala itu para pemuja gunung keramat (Sang Hyang) Brahma
(kini ‘Bromo’) meluas hingga meliputi Desa Walandit, Mamanggis, Lili,
Kacaba dan Jebing. Bila Walandit di lokasikan di Dusun Blandit Desa
Wonorejo Kec. Singosari, sementara Mamanggis dilokasikan di Kemanggisan
Kec. Pakis, Jebing kini berubah menjadi Jabung, maka tergambar bahwa
sebaran warga Hulun Hyang pemuja Gunung Keramat Brahma (kini ‘Bromo’)
tersebar dari wilayah Kec. Lawang, Singosari, Pakis, Jabung hingga ke
Tumpang. Areal persebarannya itu selaras dengan keletakan Prasasti
Linggasuntan, Gulung-gulung, Muncang, Jru-jru, dan Himad-Walandit.
Waktu pelaksanaan ritus tahunan itu di
dalam pemberitaan prasasti Pananjjakan disebiut dengan jelas, yaitu pada
Bulan Asada (kini ‘Kasada’). Hanya saja, tidak diselenggarakan
bertepatan dengan tibanya bulan purnama (suklapaksa) pada akhir bulan
terang sebagaimana yajna Kasada (Kesodo) di masa sekarang, namun justru
ketika memasuki bulan petang (kresnapakasa).
Pemujaan terhadap dewata yang menguasai kekuatan dahsyat Gunung Bromo
pada yajna Kesodo dilakukan dengan mempersembahkan hasil bumi (inatura)
dan mengorbankan ternak. Persembahan logam mulia (emas) sebagaiaman
dalam ritus Sang Hyang Brahma di Masa Hindu-Buddha telah tidak dilakukan
lagi. Namun pada tempat lain, hingga tahun 1960-an pelarungan emas
masih dilakukan ke kaldera Kelud (Kampud), sebagai kelanjutan dari
tradisi pemujaan kepada Hyang Acalapati (bhattara Palah) sejak masa
akhir Kadiri (abad XII M.), masa Majapahit (abad XIV-XV M.) bahkan
sampai abad XVIII M. Ritus meredam murka (ugra) alam, yang dalam konteks
ini berwujud eksplosi atau erupsi gunung berapi, tergambar pada yajna
Kesodo di sub-etnik Tengger dan larungan pada Gunung Kelud, larungan ke
pucak Merapi dan upacara sejenis di tempat-tempat lain memberikan
gambaran bahwa ritual purba ‘dinamisme’, yakni ritus berkenaan dengan
kekuatan alam yang luar biasa (supernatural forces) masih ditradisikan
hingga sekarang.
Bahkan, dalam sejumlah agama besar
sekalipun ritus yang demikian masih tergambarkan. Seperti upacara
manakala terjadi gerhana, gempa, letusan gunung, kemarau panjang, dsb.
Hal itu merupakan perwujudan dari adaptasi ekologis, yang dilaksanakan
secara religius-magis terhadap lingkungan sekitarnya yang beresiko atau
mengandung bahaya tinggi. Bagi Warga Tengger yang bermukim di lingkungan
vulkan Bromo, ritus ini diposisikan sebagai ‘kewajiban tahunan’.
Terlepas dari agama besar apa yang dianutnya, terlepas bagaimanapun
kondisi vulkanologi Bromo ketika tiba waktu yanja Kasada.
Semoga tulisan bersahaja ini membuahkan makna.
Salam budaya bhumiputra,
‘Nuswantarajayati’. Nuwun.
Salam budaya bhumiputra,
‘Nuswantarajayati’. Nuwun.
Sengkaling, 21 Juli 2016.
(Judul dari akun FB Dwi Cahyono; isi diambil dari patembayancitraleka.wordpress.com)