MALANG TEMPOE DOELOE 2014 FESTIVAL BUDAYA YANG TELAH KEHILANGAN TEMA, RASA DAN NUANSA MALANGAN

Malang Tempo Dulu (MTD) atau Festival Malang Kembali adalah sebuah ajang pagelaran budaya khas Malang, dengan menghadirkan suasana Bumi Arema jaman-jaman lampau baik di era-era pra Singhasari maupun di era perjuangan kemerdekaan. MTD, sejak digelar untuk pertama kalinya tahun 2006 acara kebudayaan ini berhasil membangkitkan gairah budaya sejarah rakyat Malang dan mencetak rekor sebagai acara kebudayaan yang paling banyak dikunjungi di Malang bahkan Indonesia. Dalam sehari diperkirakan lebih dari 500 ribu orang mengunjungi festival ini baik pada pagi, siang, sore maupun malam di sepanjang Ijen Bulevar yang bersejarah itu.


Gagasan MTD ini dicetuskan oleh seorang pengusaha muda (Dwi Cahyono) pemilik RM bernuansa budaya Inggil melalui Yayasan Inggil miliknya, disambut oleh Peni Suparto sebagai Walikota Malang saat itu dan akhirnya MTD menjadi agenda budaya rakyat tahunan. Bentuk dari festival ini adalah: di sepanjang jalan kembar ijen di gelar berbagai panggung yang semuanya bernuansa masa lalu: warung tempo dulu yang menjual segala makanan dan pernak pernik jadul tempo dulu; panggung musik tempo dulu yang menampilkan band-band gaya lawas dan lagu lawas seperti Koes Plus, Panbers, D'Mercis, Dangdut Kendang lawas; panggung musik Keroncong, Tayub dan Campursari yang semuanya berpakaian ala jamannya masing-masing. Segala benda lawas yang unik dan antik digelar di ratusan stand-stand jadul berdinding jerami dan beratap ijuk, di jaga oleh laki-perempuan yang juga berpenampilan jadul tempo dulu. Secara rutin digelar penampilan Wayang Kulit semalam suntuk dengan menampilkan dalang-dalang asli Malang; aneka tarian khas Malang dst.

Pengunjungnya adalah masyarakat umum kota Malang maupun sekitarnya, dihimbau agar datang menggunakan pakean gaya tempo dulu dan bagi yang belum punya maka di arena MTD dijual banyak pakean jadul seperti kebaya, batik, sandal jepit lama, topi jerami, selendang dst. Yang lebih penting adalah setiap ajang ini digelar selalu menampilkan tema yang berbeda, misalnya tema Malang era Singosari; Malang Era Kemerdekaan; Malang era Kanjuruhan dst sehingga yang ditampilkan di dominasi oleh tema tersebut sehingga perbedaan nuansa ini membuat MTD makin dinanti-nanti. Maka setiap ada festival MTD banyak turis mancanegara yang datang ke Malang, sehingga tidak heran festival ini tercatat di situs wikipedia sebagai ajang budaya tahunan yang menarik di Indonesia.
----
TAPI KINI, TAHUN 2014 INI..................
Festival Budaya lokal favorit dan kebanggaan masyarakat kota Malang ini telah rusak, kehilangan tema, dilakukan asal - asalan dan panen caci maki dari rakyat kota Malang sendiri. Perhatikan di facebook, akun twitter, bbm dst betapa kecewanya rakyat kota Malang karena ajang budaya yang paling dinanti harus dirubah secara drastis menjadi ajang yang membuat sumpek dan membosankan.
  • MTD tahun 2014 yang dilakukan tanggal 3 Mei 2014 kemarin berubah LOKASI dari Jalan Besar IJEN ke Lokasi Baru yaitu di sekitar daerah padat nan sibuk ALUN-ALUN Merdeka. Bagaimana mungkin menyelenggarakan festival yang paling massal di lokasi yang paling banyak dilintasi oleh kendaraan dalam maupun luar kota di kelilingi oleh jalan-jalan utama dikepung oleh arus lalulintas yang amat sibuk, sehingga lalulintas menjadi kacau dan acara sendiri lebih kacau;
  • MTD kali ini seakan tanpa tema, kehilangan nuansa lampaunya. Yang ada justru seperti PASAR MALAM dan Wisata PUJASERA atau adu tangkas antara pengunjung dengan kendaraan yang bebas melintas di hampir semua area;
  • Kebanyakan panggung dihias seadanya dengan banner bukan ijuk dan bilah bambu seperti dulu. Band dan penyanyi yang tampil lebih banyak berpakaian modern dengan lagu-lagu dangdut modern. Pengunjungnya kompak pakaian modern seperti biasanya menonton karnaval milenium;
  • Panitia acara hampir tidak tampak sehingga lalulintas praktis mengandalkan Polantas. Tidak ada penunjuk arah stand-stand, panggung berpencar jauh-jauh dan dimana mata memandang hanya mall dan toko modern yang nampak;
  • Acara digelar hanya 1 hari dan sama sekali tidak meninggalkan kesan bagi pengunjungnya. Bila dulu digelar antara 4 hingga 7 hari semua masih bisa di atasi mulai dari pengaturan arus lalulintas, lokasi parkir, keamanan dst.
Apa yang menyebabkan MTD sudah kehilangan warna dan rasa?
Diperkirakan pasti banyak faktor penyebabnya. Antara lain adalah: Sponsor jelas kurang. Mana ada produk yang mau suport dana untuk acara dadakan yang kesannya hanya menggugurkan kewajiban tersebut?
Kemudian PEMKOT tidak mau bekerjasama secara total dalam arti tidak menyuport dana untuk even budaya yang membuat kota Malang moncer di kacah wisata even domestik ini. Pemkot lebih memilih menghabiskan anggara wisata APBD untuk kegiatan seperti Karnaval Bunga, Festival Kendaraan Hias, Pemilihan Kakang Mbakyu, lalu Gerak Jalan Sehat dan lain-lainnya yang sebetulnya sangat boros anggaran namun tidak jelas visi wisatanya.

Pemkot nampaknya tidak mau serius mendukung festival MTD sebagaimana konsep aslinya. Pemkot Malang memilih mengorbankan ajang budaya yang berkelas dunia ini mungkin hanya karena pertimbangan "tidak mau berkorban dana rakyat" sementara ratusan juta dana rakyat dihabiskan untuk festival ecek-ecek yang tidak mendukung pamor wisata kota Malang. 

Sehingga pemegang hak cipta MTD (Inggil Foundation) ingin terus melanjutkan ajang MTD namun apa daya tangan tak sampai; tak ada sponsor tak ada dukungan pemerintah dan tak ada orang waras yang mau sewa stand ditengah-tengah toko dan kuliner modern; Inggil tetap mewujudkan MTD sekedar menggugurkan agenda rutin sambil menunggu konsep asalnya diterima kembali oleh pihak yang memiliki dana dan kekuasaan. Daripada nggak ada sama sekali.........

Semakin modern jaman masa-masa tempo dulu semakin jauh ditinggalkan....

Ket Gbr: foto dari jauh Panggung Koes Plus; Sepi penonton dan warna lampaunya ditelah oleh kelapkelip lampu Malang Plasa Mall. Bandingkan dengan suasana Malang Tempo Dulu yang sebelumnya yang foto-fotonya bisa dilihat di Google...