Mandala di Awaban : Benteng Terdepan Tumapel Bagi Kemenangan Angrok dalam Perang Ganter (1222 M)

Ilustrasi: gg

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog / Sejarahwan Nusantara)

Mandala di Awaban berada di desa "Ngabab" Kecamatan Pujon sub-area barat Kabupaten Malang. Terjadi perubahan konsonan "W" menjadi "B", dari topinimi arkais "Awab+an" Menjadi nama sekarang "Ng+abab". Area dan bangunan suci tempat pembe- lamaran dan pertapaan (mandala, disebut lengkap "mandala kadewagurwan") di Awaban diberitakan dalam sumber data tektual pertama kali di dalam prasasti Kanuruhan (Wurandungan) B beratikh 944 Masehi, yang di surat atas perintah dari Pu Sindok (Sri Isana), yakni raja Mataram perdana yang beribu kota pemerintahan (kadatwan) di wilayah Jawa Timur. Awaban dinyatakan sebagai sebuah di antara lima mandala (panca kahyangan) di wilayah Malang Raya pada sebelah barat. 

Keberadaan mandala Awaban berlanjut hingga masa pemerintahan Wikramawardhana di Majapahit, sebagaimana ddiaebut didalam prasasti Selabraja (Watu Sendenan di Dusun Selobrojo Desa Banjarejo Kecamatan Ngantang, di lereng barat Gunung Kawi) bertarikh 1414/5 Masehi. Pada inskripsi pendek ini, mandala Awaban desebut bersama dengan Mandala Sagara (bisa jadi berlokasi di sekitar bendungan Selorejo sekarang), serta di dalamnya disebut pula toponimi "Samantung (kini "Mantung" di Kecamatan Pujon) ". Dengan demikian, boleh dibilang mandala Awaban adalah tempat pembelajaran tertua di sub- area barat Malang, yang berada di lembah antara Gunung Kukusan dan Gunung Anjasmoro. Gunung Kukusan yang memiliki varian sebutan "Ndorowati" dan "Tondo" adalah "anak" G. Anjasmoro. Meskipun gunung yang nentuknya menyerupai perangkat da- pur "kukusan" Ini tidak amat tinggi, namun terlihat jelas dari kejauhan, sehingga menjadi "landmark" atau semacam "petanda alamiah". 

Mandala Awaban yang oleh awam acap dinamai "Punden Gilang" berada di jalan alternatif penghubung Pujon-Ngantang lewat "jalur atas" melewati desa Mantung dan Ngabab serta Dusun Ganten (salah satu Dusun Desa Tulungrejo di Kecamatan Ngantang). Jalan sepanjang punggung bukit ini kini hanya merupakan jalan alternatif, jalan pintas yang medannya cukup berat dan kondisinya amat kurang layak lintas. Padahal, konon di Masa Hindu-Buddha justru merupakan jalan utama (jalan poros) yang menghubungkan wilayah kerajaan Tumapel di hulu Brantas dan wilayah kerajaan Pangjalu (Kadiri) di midle Brantas. Sebagaimana namamya, yakni " G. Tondo", seakan gunung ini memakai demarkasi antara wilayah Tumapel dengan Pangjalu yang saling beseteru. Mandala Awaban dengan demikian berada di sekitar garis demarkasi itu. 

Pada tahun 1222 Masehi, ketika pecah perang be- sar antara Tumapel - Pangjalu, arena pertempuran (palagan) berada di Ganten (kini bernama "Ganten"), yang berlokasi sekitar 2 km sebelah barat Mandala Awaban. Pada peristiwa ini, mandala Awaban didi- versifikadikan menjadi "benteng terluar" dari kerajaan Tumapel yang diperintah oleh Ken Angrok (Sri Ramggah Rajasa sang Amurwabhumi). Berkat bantuan dari dari para murid (sisya) dan pertapa yang berada di Mandala Awaban, maka Tumapel memperoleh "kejayaan (kemenganan)". Dengan demikian, tahun 1222 Masehi merupakan momentum historis "Tumapeljayati" atas rivalnya Panjalu. Tahun 1222 Masehi selagus merupakan "the turning point (titik balik)" bagi kejaan Pangjalu, yang di sekitar tahun 1120/1130-an raja Jayabhaya dari kerajaan Kadiri (Panjalu) memperoleh kemenangan (jayati) atas "saudara tuannya" Hemabhupati yang berkuasa di timur G. Kawi -- sebagaimana diabadikan di dalam prasasti Hantang (1135 Masehi). 

Demikianlah, mandala Awaban pernah memainkan peran penting bagi kemenangan Tumapel dalam pertempuran di Ganter tahun 1222 Masehi. Bleh jadi, peritiwa "Tumapelhayati" ini diperingati pada masa Majapahit dengan membuat bangunan suci berarca Siwa Mahadewa, yang situsnya terletak di Desa Ganten dengan sebutan "Coguru (Reco Guru = Bhattara Guru)". Gunung Tondo menjadi "saksi bisu" dari pertempuran dahsyat itu. Semoga perang antar negeri yang demikian ke depan tidak lagi berulang. Nuwun. 

Sangkaling, 9 Oktober 2020

Giyajar CITRALEKHA

(Sumber: m dwi cahyono)