GMNI Malang Raya Tegaskan Konflik Rakhine Myanmar Tidak Terkait Agama

Ilustrasi : resistco
JurnalMalang, PressRelease - Dimulai tahun 1825, ekspansi Inggris menduduki kawasan Rakhine,  salah satu negara bagian Myanmar. Dalam upayanya menduduki Rakhine, Inggris melakukan mobilisasi pekerja dari Bengali, India. Pekerja yang didatangkan tersebut  sudah di-islam-kan , eksodus tersebut juga diikuti dan diizinkannya bangsawan asal Banglades mengorganisir pekerja dan memperoleh lahan rampasan dari pribumi. Unit kerja kolonial Inggris tersebut-yang sekarang dikenal sebagai warga islam Rohingya. Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh.
Pada dekade 1940-an, bersamaan dengan tercetusnya gagasan Muhammad Ali Jinnah, seorang politisi dan pengacara lulusan the city low school, London. Beliau adalah pendiri Pakistan yang meyakini bahwa Muslim India harus memiliki/mendirikan negara mereka sendiri, Resolusi Lahore. Resolusi itu yang menginspirasi warga muslim Rohingya ( yang berada di belahan tepi barat Myanmar mendeklarasikan kesetiaan Pada Pakistan. Meminta Islamabad -sebagai Ibukota Pakistan- untuk menduduki Rakhine.  Deklarasi kelompok Islam Rohingya didukung oleh otoritas Inggris, dan dipersenjatai.
Dalam sejarah dicatat bahwa warga pribumi Rakhine yang tersisihkan akibat sistem kolonial,  menolak dan melakukan perlawanan atas gagasan berdirinya Negara Islam Rakhine, negara Enklave dari Pakistan. Mayoritas pribumi Rakhine adalah umat Budha, mereka menyebut Warga Islam Rohingya sebagai " Kaum Pendatang Ilegal".
Pada 1942, pecah perang antara pasukan Muslim Rohingya yang dipersenjatai oleh Inggris, melawan gerilyawan pribumi Rakhine. Pribumi Rakhine memanfaatkan bantuan Jepang untuk berperang. Mengingat Jepang pada PD-II adalah pihak yang berlawanan dengan Inggris.
Setelah kemerdekaan Myanmar pada tahun 1848. Pemerintah Myanmar menetapkan undang undang kewarganegaraan,  yang tidak mencantumkan etnis Rohingya sebagai bagian dari etnis yang tidak diakui negara, buntutnya etnis Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan.
Tahun 1971, meletusnya perang kemerdekaan Bangladesh atas India. Terjadi eksodus warga muslim ke Rakhine, dan bergabung ke kelompok Rohingya yang berasa di Rakhine, atas dasar persamaan ras dan agama, sekaligus persamaan nasib yaitu sama sama tidak memiliki kewarganegaraan.
Diplomasi pemulangan pengungsi Bangladesh mendapati jalan buntu ketika pemerintah Banglades menolak 200.000 pengungsi yang telah dipulangkan oleh pemerintah Myanmar. Padahal sebelumnya, 1975 Duta besar bangladesh untuk Myanmar mengakui ada 500.000 pengungsi Bangladesh di wilayah Myanmar, Rakhine.
Pemerintahan Myanmar didorong oleh kepentingan negara negara ASEAN atas keamanan regional Asia tenggara untuk melakukan rekonsiliasi antara etnis Rohingnya dan Pribumi Rakhine. Rekonsiliasi ini terhambat diakibatkan tindakan kekerasan oleh beberapa pemuda yang berasal dari etnis Rohingya terhadap perempuan pribumi Rakhine.
Tahun 2016, RSO ( Rohingya Solidarity Organitation) yang masih aktif berjuang sejak berdirinya pada tahun 1982 untuk mendirikan negara Islam di Rakhine, tanpa kaum Budha Myanmar yang notabene mayoritas berstatus pribumi. Atas dasar itu dilancarkanlah serangan yang menewaskan 17 aparat keamanan Myanmar di utara Rakhine.
Saat ini dengan adanya konflik tersebut, atas dasar kemanusiaan DPC GMNI Malang Raya ikut prihatin yang mendalam atas krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar, yang telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian moril serta amateril yang besar, bukanlah konflik agama melainkan konflik sosial dan kemanusiaan.
DPC GMNI Malang Raya sangat mengharapkan Pemerintah Indonesia menjamin umat beragama untuk beribadah dengan tenang dan aman, serta menjamin keamanan terhadap rumah ibadah yang berada di Indonesia. Juga ikut mengimbau masyarakat Indonesia untuk dapat menyaring informasi yang beredar melalui media sosial, dan tidak terprovokasi untuk menyebarkan kebencian.
Ttd

DPC GMNI Malang Raya