Tren Politik Berubah, Pertarungan Pilkada Kota Malang 2018 Bakal Sengit (OpiniPilkada Bag-2)

Ilustrasi dari apritos.com
JurnalMalang, Opini - Zaman sudah berubah. Perubahan itu terjadi begitu cepat, seringkali melampaui perhitungan umum. Sesuatu yang disebut 'masa depan' sudah bisa dihadirkan sekarang. Cara-cara lama yang konservatifpun sudah ditinggalkan atau tertinggal dengan sendirinya, digantikan formulasi baru yang benar-benar beda. 

Contohnya sistem transportasi, pasar, restoran bahkan prostitusi sudah banyak meninggalkan dunia nyata, bergeser ke alam digital yang serba maya. Bisnis-bisnis yang semula berjaya dengan pola lamanya kini tergilas oleh inovasi yang sungguh gila. Pelayanan/Jasa yang menggunakan tenaga manusia pun berangsur angsur hilang: para futuris sudah memperkirakan tak lama lagi mobil sudah tidak butuh supir.

Perubahan ini juga pasti terjadi di dunia politik dan kekuasaan. Pada era-era sebelumnya, kekuasaan dapat diraih dengan mengandalkan mobilisasi massa dan kekuatan logistik. Lalu berubah dengan tambahan pencitraan media. Sejak 5-6 tahun yang lalu tren itu berhasil mengorbitkan banyak penguasa baik di eksekutif maupun legislatif.

Tetapi tren itu juga akan berubah. Dunia politik akan mengalami perubahan drastis dan frontal. Baik yang menyangkut strategi maupun tindakan praktis dalam mencapai tujuan. Masyarakat zaman android ini sudah sedemikian menyatu dengan teknologi dan sistem informasi yang serba cepat, mudah dan meluas. Untuk mengetahui sebuah berita dan ilmu orang tidak perlu lagi harus beli koran atau buku. Dari jejaring medsos semua orang bisa langsung terakses dengan konten-konten tak terhingga. Maka jarak antara fakta dan hoax semakin tipis. Cukup dengan menekan satu tombol maka orang sudah bisa menciptakan kegemparan publik.

Politik gaya pencitraan media pun pada akhirnya akan pudar pengaruhnya. Masyarakat yang setiap detik dijejali konten informasi dan foto menjadi sangat terbiasa, hambar lalu jenuh. Dan akhirnya kebal terhadap rayuan politik pencitraan. Sebaik apapun seseorang membangun pencitraan, kalau hal itu tidak seusai fakta maka masyarakat memiliki akses untuk melacak kebenarannya. Apabila ternyata pencitraan tidak sesuai fakta maka bukannya mendatangkan popularitas-elektabilitas, melainkan mendapat cemooh (bully) dan kondang sebagai pembohong.

Politik yang mengandalkan logistik (uang) juga berpotensi dilumat oleh era baru ini, bukan karena masyarakat tidak doyan money politik. Tetapi karena meluasnya jangkauan informasi, seolah-olah dunia ini punya mata di mana-mana, kita seperti tinggal di rumah kaca. Ruang menjadi sempit, menjadi sangat rentan untuk siapa saja yang berani melanggar hukum. Kasus viralnya "beras-politik" di pilkada DKI yang turut berkontribusi menghancurkan citra incumben adalah bukti betapa rawannya penggunaan logistik politik di era rumah kaca ini. Menggagalkan gerakan money politik sudah bukan hal rumit di era sekarang, dengan kecanggihan sistem informasi menemukan alat bukti sangatlah sederhana.

Di zaman yang lalu, incumben selalu dipandang paling kuat di antara para kompetitor Pilkada. Di era Google ini justru bisa sebaliknya. Sebab incumben bisa menjadi sasaran empuk serangan yang diakibatkan oleh : 1) Janji-janji politik yang tidak terpenuhi tetapi terekam dalam screeshot media atau link google sendiri; 2) Dokumentasi kegagalan dan kelemahan yang akan sangat mudah di viralkan ke publik oleh siapapun yang memiliki paket internet 3) Intaian penegak hukum yang semakin canggih dan agresif mencari "korban". Akses informasi yang luas justru tidak menguntungkan para incumbent; terutama bagi para incumbent yang kolot dan tidak mahir mengolah potensinya. 

Saat ini, pemegang kendali arus informasi sudah berubah dari bawah ke atas. Publik sudah menjadi pengendali arus informasi, dan era monopoli informasi oleh media massa sudah usai.

Perubahan sudah tidak terbendung. Koran cetak kalah cepat dari situs online. Perusahaan taksi bermodal raksasa disalip oleh pemain baru yang sama sekali tidak punya armada tetapi bisa mengendalikan ratusan ribu kendaraan yang bertarif lebih murah dan lebih lincah dari transport konvensional. Modalnya adalah ide-perubahan. Omzet mall-mall raksasa di kalahkan oleh toko-toko "khayalan" seperti BukaLapak dan Lazada. Demikian pula dengan bos-bos hotel berbintang dan juragan pesawat yang mulai kalah tajir dari "makelar bayangan" seperti Traveloka dan PegiPegi.com

Iklim perubahan ini akan mempengaruhi Pilkada kota Malang yang tinggal setahun lagi (2018), dimana akan menjadi arena terbuka persaingan sengit merebut kursi empuk Walikota-Wakil Walikota Malang. Entah dari unsur incumben, beringin, banteng atau siapaun, calon yang akan menang adalah mereka yang mampu menciptakan strategi yang sesuai dengan kehendak perubahan dan tren zaman. Kita tunggu saja. (redaksi1).