WAYANG TANTRI, LAKON ‘HARIMAU VS BANTENG', KORBAN ADU DOMBA

Arkeolog, Penulis, Akademisi Dwi Cahyono dalam sebuah acara budaya / Dok. Dwi Cahyono
Transformasi dari Relief Candi menjadi Pertujukan Wayang
Oleh: M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Dosen UM)

A. P e n g a n t a r
Yang bisa diadudomba ternyata bukan hanya domba. Dalam cerita binatang, walaupun harimau (varian cerita: singa) dan banteng (varian cerita: kerbau jantan, atau lembu jantan) bukanlah domba, namun keduanya menjadi ‘korban adu-domba’. Lewat keculasan srigala, kedua hewan hutan – yang padahal perkasa secara fisik, namun tak perkaasa secara fikir ini – berhasil diadu domba oleh srigala, hingga keduanya sama-sama mernemui ajal.

Siapa yang memetik untung? Sudah barang tentu adalah srigala, sebab tanpa harus bersusah payah untuk membinasakannya, ia tinggal meyantap daging kedua binatang yang tewas sia-sia lantaran korban hasutan tersebut. Demikianlah gambaran pada ‘fabel-visual’ dalam bentuk relief cerita binatang yang dipahatkan di teras I sisi depan Candi Jajaghu (abad XIII Masehi).

Pada rangkaian perhelatan ‘Literasi Singhasari I’, hari ke-3 (Sabtu malam, 1 Oktober 2016), yang berupa Singhasari Performin Art bertajuk ‘Kalangwan ri Jajaghu’, seorang dalang cilik Claudio Akbar mementaskan suatu varian wayang, yang diistilahi dengan ‘Wayang Tantri” di Candi Jajaghu (Jago). Diistilahi demikian, karena yang dijadikan sebagai sumber pengkisahan adalah susastra ‘Tantri Kamandaka’, baik yang berbentuk susastra tekstual, visual maupun oral. Menurut Hooykaas (1931) terdapat tiga naskah Tantri berbahasa Jawa Kuno, dua dalam bahasa Jawa Baru, dua dalam bahasa Madura, dan lima dalam bahasa Bali. Yang menggunakan bahasa Jawa Kuno adalah ‘Tantri Kamandaka” berbentuk prosa, ‘Tantri b Kadiri’ berbentuk kidung, “Kadiri Tantri a Demung’ berbentuk puisi Jawa Tengahan. Menurut R.M. Ng. Poerbatjaraka, cerita Tantri adaah kisah atau dongeng binatang. Induk dari kitab tersebut adalah ‘Pancatantra’ berbahasa Sanskreta, asal tanah Indu (India). Kitab Tantri berbeda dengan kitab Pancatantra hanya pada bagian awalnya.

Relief cerita Tantri banyak hadir pada candi-candi Masa Majapahit, antara lain Candi Jajaghu, Penataran, Mirigambar, Surwana, Rimbi, bahkan di kepurbakalaan di Njawar (lereng selatan Semeru). Namun demikian bukan berarti bahwa sebagai suatu khasnah cerita ini baru dikenal pada masa Makapahit, sebab pada beberapa candi daam Masa Mataram era Sailendravamsa (abad VIII-IX Masehi), relief cerita demikian juga kedapatan, seperti pada Candi Mendut dan Sojiwan. Sebaliknya, cerita Tantri juga hadir di sejumllah kepurbakalaan pada pertumbuhan Islam di Jawa. Bahkan, tradisinya terus berlanjut dalam bentuk cetita tutur. Candi Jago yang merupakan monumen penting masa kerajaan di Jawa Timur peninggalan Kerajaan Singhasari yang diresmikan tahun 1280 Masehi dengan demikian adalah salah sebuah candi yang memuat pahatan Cerita Tantri, suatu dongeng binatang arkhais.

Varian wayang ini mirip dengan ‘wayang kancil’, karena kedua sama-sama menjadikan fabel sebagai khasanah dalam pengkisahannya. Bedanya, Wayang Tantri bersumber pada susastra arkhis. Penghadirannya dimaksudkan sebagai wahana naratif dalam bentuk seni pertujukan wayang. Dengan ikhtiar demikian, maka khalayak – khususnya anak-anak, yang mengalami kesulitan dalam ‘membaca relief candi’ dibantu kemudahannya lewat wahana Wayang Tantri. Semoga kehadiran Wayang Tantri menambah khasana ragam bentuk Wayang Nusantara, dan memberi makna-makna baru tentang ‘budi perkerti’, dengan sasaran pemirsa utamnya adalah anak-anak. Dengan demikian, bila ditilik dari khalayak sasarannya, maka wayang ini masuk dalam kategori ‘wayang bocah’, sedangkan apabila dilihat dari kandungan maknanya bisa dinayatakan sebagai ‘wayang pekerti’.

B. Harimau VS Banteng, ‘Korban Adu Domba’ Srigala
1. Pertimbangan Pemilihan Lakon
Pada relief Tantri di Teras I Candi Jajaghu terdapat delapan kisah binatang (Tantri). Masing-masing terdiri atas tiga buah panil. Sebuah diantaranya adalah cerita ‘Harimau VS Banteng’. Kisah ini disinyalir menginspirasi lahirnya karya seni-lukis Basuki Abdullah, dan dtafsir pula oleh banyak orang sebagai ‘muasal’ ide tentang seni pertujukan ‘bantengan’ atau kombinasi ‘banteng-singo’ ataupun ‘banteng-macan’, yang marak di Malang Raya pada satu hingga dua dasawarsa terkhir. Selain terbilang cukup familier, kisah ini memilki kandungan ‘nasihat budi’ terhadap siapa saja yang merasa kuat-perkasa agar tidak merasa jumawa, sebab keperkasaan fisik belaka bisa dikalahkan oleh pihak lain yang perkasa fikir, bahkan bisa menjadi ‘mangsa’ darinya. Suatu pesan yang berlaku universal. Kisah ini terbilang ‘utama’ di dalam cerita Tantri, karena merupakan ‘bingkai besar’ dari cerita Tantri.

2. Sinopsis Tantri ‘Harimau VS Banteng’ pada Rlief Candi Jajaghu
Cerita Tantri merupakan ‘cerita berpingkai’. Adapun bingkai besar ceritanya sebagai berikut. Cerita Tantri dimulai pada cerita Brahmana miskin bernama ‘Darmaswani’. Sang Brahmana memohon kepada Dewa Siwa agar diberikan berkah, berupa seekor kerbau jantan – dalam relief Candi Jajaghu digambarkan lebih menyerupai banteng atau kerbau liar atau kerbau hutan, yang kelak dinamai ‘Nandaka’. Berkat Nandaka, maka kehidupan Sang Brahmana menjadi semakin makmur dan kaya. Suatu hari Sang Nandaka yang tengah menderita sakit ditinggalkan di tengah hutan oleh dua orang pelayan Darnaswani. Berangkat dari situ, dimulailah cerita mengenai para binatang di dalam hutan.

Tersebutlah seekor Singa – dalam releif Candi Jajaghu digambarkan lebih menyerupai macan (harimau) daripada singa – bernama ‘Candapinggala’. Ia adalah Raja Margasatwa dan sekaligus Penguasa Hutan. Candapingga mengikat persahabatan dengan Nandaka. Namun uniknya, demi persahabatan itu, Sang Singa bahkan rela untuk tidak makan daging, dan mulai makan tumbuh-tumbuhan. Patih dari raja hutan itu bernama ‘Sambada’, yakni seekor serigala. Ia merasa bahwa perubahan perilaku Sang Singa – lantaran persahabatannya dengan kerbau tersebut mengancam posisinya, sebab srigala yang terbiasa memakan ‘daging sisa’ santapan dari Singa takkan lagi didapatkan manakala Singa beralih untuk mengkonsumsi rumput. Oleh karena itu, dengan akal liciknya ia pun ‘mengadu domba’ Nandaka dengan Singa, hingga mereka saling membunuh.

Pada suatu siang Sang Singa tengah menikmati sejuknya angin pada sabana di bawah pohon akasia yang teduh. Dalam hatinya bangga, karena semua binatang di sabana itu mengakuinya sebagai ‘Sang Raja Hutan (Wananata)’ dan ‘Sang Raja Binatang (Satwanata)’. Tak ada yang mampu menandingi kekuatannya. Paling tidak, itulah yang secara turun-temurun diyakinkan kepada khalayak satwa semenjak singa pertama dilahirkan di muka bumi. “Para singa terlahir sebagai penguasa,” pikirnya. Mereka terlahir dengan otot-otot yang amat kuat, mampu berlari kencang, daya cengkeramnya luar biasa kokoh, kuku dan taring yag tajam itu bisa mencabik-cabik kulit maupun daging makhluk lain. “Ya, ya...., memang kita para singa terlahir sebagai penguasa’, demikianlah gede-rasa (GR)-nya.

Keyakinan singa itu tak tergoyahkan, sampai saat ketika dua ekor serigala mendekat padanya. Serigala terkenal sebagai memiliki sifat licik. Itu memang kelebihannya. Sebagai makhluk yang tidak begitu kuat – jika dibanding dengan pemangsa lainnya seperti singa, harimau, banteng, gajah, dsb., maka Srigala musti mengandalkan kelicikannya untuk bisa mendapatkan mangsa. Mereka senantiasa hidup berkelompok. Mereka sadar betul bahwa dengan hidup mengelompok maka kemampuan memburu mangsa maupun propaganda dapat lebih efektif dijalankan. “Kita terlahir sebagai penguasa dalam arti yang sebenarnya. Para serigala diberkati kemampuan guna mengendalikan makhluk lainnya, melalui wacana,” pikir para serigala.
Sebagaimana rencana yang telah dirancang sebelumnya, dua ekor serigala anak buahnya yang bernama ‘Cikrangga dan Cikranggi’ mendekati Sang Singa. “Hormat kami Sang Raja perkasa,” ujar kedua serigala itu secara bersamaan. Sang Singa menjawab dengan malas, “ya…. ada apa? Berani benar kalian mengganggu istirahatku? Sudah bosan hidupkah kau?” jawab Singa dengan sombong.

Kedua mata serigala itu saling bertautan sejenak, diiringi senyum kecil dari mulutnya, seolah memiliki makna tertentu. “Begini Sang Raja, kami mulai meragukan kekuasaanmu sebagai raja hutan”. Belum selesai serigala berbicara, Sang Singa langsung bangkit dan dengan emosi tinggi menghardik kedua serigala. “Benar-benar sudah bosan hidup rupanya kalian! Akan kupisahkan kulit dari daging kalian agar percaya siapa Sang Raja disini!”. Kedua serigala yang sadar bahwa rencananya berjalan sesuai rencana lantas lanjutkan aksi. “Bukan begitu Raja. kami mengakui Andalah Sang Raja hutan. Akan tetapi, …....” Lagi-lagi Sang Singa menyela, “tapi apa?” hardik Singa. “Tapi si banteng lah yang mengaku bahwa dirinya lebih kuat daripada Yang Mulia Raja. Kami baru saja bertemu Banteng, dan ia mengatakan itu .…” ujar serigala dengan wajah inocent (tanpa dosa). Tanpa pikir panjang dan bertanya dimana mereka bertemu banteng?, sontak Sang Singa menjejakkan kakinya, lalu berlari sambil meraung “Akan kujadikan makan siang engkau banteng” Debu-debu padang sabana berterbangan mengiringi setiap hentakkan kaki Sang Raja.

Yakin dengan keberhasilan misinya, kedua serigala itu tak buang waktu untuk segera jalankan aksi selanjutnya. Segera mereka memotong jalan, menuju tempat banteng merumput. Banteng yang memiliki kekuatan besar tapi bersifat pendiam dan selalu menghindari konfrontasi dengan makhluk lain, seringkali diartikan sebagai makhluk yang dungu. Sebutan ‘dungu’ padanya bisa menaikkan tekanan darahnya, meluapkan kemarahannya, lantas menyeruduk ke sana-ke mari. Memahami sifat banteng yang pemarah, serigala yakin dapat dengan mudah memengaruhinya.

“Hai banteng. Kami semakin percaya bahwa kau memang dungu,” ucap para serigala dengan senyuman ledekan. Mendengar ucapan ‘dungu’’ dari serigala itu, nafas si banteng mulai tidak beraturan. Hidung banteng mengdengus-dengus keras. “Bagaimana tak disebut dungu, engkau makhluk yang begitu kuat, namun tunduk di bawah kekuasaan kucing besar,” sambung serigala disambut gelak tawa yang melecehkan.  “Jika kamu memang tidak dungu, buktikanlah dengan melawan kucing yang bermulut besar itu,” para serigala menutup ucapannya dan segera ambil langkah seribu.

Bisa dipastikan emosi banteng segera meledak. Ia mulai meloncat-loncat sambil mendengus kencang. Di saat hampir bersamaan, Sang Singa berhasil menemukan Banteng. Hasilnya, bisa dipastikan, pertarungan hidup dan mati di antara dua kekuatan besar pun terjadi. Dalam waktu seketika padang sabana yang damai itu menjadi riuh. Keriuhan pertempuran kedua binatang perkasa itu dilukisakan oleh Kidung Tantri Kediri sebagai berikut: “4. 331.3a. Melompat ke bawahlah dan didahului terkaman Sang singa, leher Sang Nandaka hancur di........ Lalu ditikam oleh tanduknya 4. 331.3b. dada Sang Candapinggala. Darahnya mengalir deras .............., sudah mati”.

Varian dari Kidung Tantri Kediri lainnya menggambarkannya sebagai berikut: “4. 330a. .......... Mereka semua berteriak-teriak keras di depan Nandaka dan berkata-kata. 4. 330b. Terkejutlah sang Nandaka. Ia berdiri menyeruduk tanah..... 4. 331a. Ah ternyata ini benar-benar Sang Singa. Kemudian <Nandaka> melihatnya dan suka hati akhirnya...... Sang Singa melihat keadaan Sang Nandaka. Dalam hatinya mencari-cari kesempatan ketika Nandaka tidak waspada. Ia bersiasat untuk <menghabisi> hidupnya. Itulah alasan mengapa ia segera mendahului dan menerkamnya, tak salah kena pundak Sang Nandaka. 4. 331 b.

Kagetlah sang Nandaka lalu segera menyerang, melukai dengan tanduknya yang tajam. Ia membalas dan menembus selangkangan paha Sang Candapinggala. Ususnya rantas berseliweran. <Seakan-akan> dipakai sebagai tali sawit Sang Lembu yang telah terbunuh. Maka ia mati dengan Sang Singa yang seolah-olah dipakai sebagai pelana. Mereka mati berpulang dan ditonton oleh semua anjing. 4.332a. Jiwa sang Singa pulang ke kahyangan Batara Wisnu, adapun jiwa Nandaka pulang kembali ke kahyangan Batara Siwa, mereka mendapatkan sorga’. Seketika padang sabana yang hijau lantas memerah oleh genangan darah. Kesedihan dengan segera meliputi seluruh sabana. Satu-satunya pihak yang tersenyum siang hari itu adalah para serigala.

C. Kandungan Pesan
Kisah binatang (Tantri) di panil-panil candi, kata ikonograf Hariani Santiko, merupakan bagian dari ajaran moral dalam kebudayaan Nusantara Masa Hindu-Buddha. Perumpamaannya dengan cerita binatang dilakukan agar tak terlalu keras menyinggung orang yang membaca relief. Kisah Tantri di Candi Jago oleh karenanya menarik para peneliti, tidak terkecuali peneliti asing untuk membaca dan mendokumentasikannya. Salah satunya adalag Ann R Kinney, arkeolog Belanda, yang meneliti Candi Jago dan menulis buku dengan judul “Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java’. Dalam buku ini Kinney menyatakan bahwa relief cerita tantri juga ditemukan di candi-candi lain, seperti Candi Sojiwan dan Mendut dari abad ke-9 di Jawa Tengah. Ada kekosongan sekitar tiga abad sebelum cerita tantri kembali muncul di Candi Jago.Kinney menyamakan relief di Candi Jago sebagai buku cerita bergambar (komik) yang terukir di dinding batu. Cerita tantri dalam kebudayaan Islam bisa disejajarkan dengan kisah 1.001 malam yang penuh pesan moral.

Pesan moral yang terkandung di dalam kisah ‘Harimau VS Banteng’ pada relief Candi Jajaghu dengan jelas dituturkan oleh teks ‘Kidung Tantri Kediri’ sebagai berikut: 4. 332b. ...... kenistaan budi adalah sumber dari duka yang didapatkan orang. 4. 333a. Kerendahan budi menyebabkan sakit, bahaya dan kematian yang ditemui. Oleh sebab itu usahakan berbuat baik dan janganlah berteman dengan mereka yang berbudi rendah. Musuhilah mereka. Janganlah berteman dengan mereka tetapi tinggalkanlah. Sebab mengerikan <mereka> yang buruk hatinya, <karena> tidak akan habis. 4. 333 b. Dapat dibandingkan dengan perhatian yang baik terhadap serigala, diajak Bermain-main tidak ada hasilnya <malahan> menggigit, mencakar. Memang itulah kehendak mereka. Maka mereka yang bijaksana jangan berteman dengan orang tercela dan buruk sifat, hina di dunia. Lihatlah sang Singa dan Lembu bersahabat dengan serigala yang jahatnya seperti Sambada. 4. 334a. Mengakibatkan hancur persahabatan mereka ketika sedang erat dan sungguh jelas matinya keduanya karena diadu oleh Patih Sambada. 4. 334b. Kedua bangkainya habis dimakan oleh para serigala dan patih Sambada sebagai akibat daripada kematian oleh semuanya yang berkuasa besar.'

(Sumber M. Dwi Cahyono / 30/9/2016)