Visi Intergrasi Jawa Hingga Nusantara (Catatan Sejarah Arkeolog Dwi Cahyono)


Ilustrasi "Jung" / googlecom
CAKRAWALAMANDALA JAWA TUTUG  CAKTRAWAMANDALA NUSANTARA
Oleh: M. Dwi Cahyono (Arkeolog & Akademisi)

Usia tak senantiasa berbanding sejajar dengan kebesaran.
Apabila ditilik dari kurun waktu pemerintahannya,
Kemarajaan Singhasari hanya pendek usia, yakni
tujuh dasawarsa saja lamanya (1222-1292 Masehi).
Namun, kebesarnya hingga menjangkau Nusantara,
dan bahkan berpengaruh kuat di antero wilayah Asia.
 
Tahun 1222 adalah momentum kelahiran Singhasari,
berkat kemenangannya terhadap Kerajaan Kadiri
pada palagan Ganter di kawasan apit Ajasmoro-Kampud.
Sebaliknya, 1292 merupakan tahun keruntuhannya,
lantaran serangan mendadak dari Kerajaan Kadiri.
Demikianlah, kelahiran dan keruntuhan Singhasari
diperoleh dari dan sekaligus disebabkan oleh Kadiri.
 
Tragis memang, Singhasari mengalami keruntuhan
justru ketika tengah berada di Era Keemasannya.
Kebesaran Singhasari menempati paro kedua masa pemerintahannya,
pada era pemeritahan raja Wisnuwarddhana dan Kretanegara.
 
Paro pertama merupakan periode pergolakan internal berdarah-darah,
sebagai buntut dari pertikaian semenjak Pra-Singahasari.
Susastra gancaran Paparaton mengkisahkannya sebagai
tuah dari keris maha-undagi Pu Gandring dari Lulumbang,
dan konflik internal keluarga istana yang berlatar ganeologis,
antara keturunan Ken Desdes - Tuggul Ametung dan
keturunan Ken Dedes - Ken Angrok.
 
Paro kedua adalah Masa Konsolidasi untuk meraih Keemasan.
Kunci konsolidasi itu karenanya adalah ‘berbagai kekuasaan’
diantara dua trah, dengan Ken Dedes sebagai ‘punjer’-nya.
Pararaton memperumpakan keberbagian kekuasaan itu dengan
‘dua ekor ular dalam satu lobang’, yakni pemerintahan bersama
antara Wisnuwarddhana alias Smining Rat dan Narasinghamurti.
Ranggawuni berabhisekanama ‘Sri Jayawisnuwarddhana’ sebagai raja,
 
Mahisa Campaka berabhisekanama ‘Narasinghamurti’
mendamipinginya menjadi Ratu Anggabhaya.
Keduanya diibaratkan ‘pemerintahan Indra dan Madhawa’.
Stabilitas politik sebagai buah dari konsolidasi internal itu
manjadi ‘modal internal’ untuk ‘melangkah ke arah ekstenal’,
dengan prioritas pada integrasi Bhumi Jawa, yakni
penyatuan eks wilayah Jenggala dan Panjalu (Kadiri),
yang sejak kemangkatan Airlangga terbelah jadi dua.
Oleh karenanya, doktrin politik eksternal perdananya
adalah ‘cakrwalamandala Jawa’, yakni penyatuan Nusa Jawa di bawah panji-panji Singhasari.
 
Jawa – termasuk di dalamnya Nusa Madura – diibaratkan
sebagai ‘sebuah mandala (lingkar wilayah)’, atau
sebagai ‘suatu bentang langit (cakrawala)’, sehingga
doktrin politiknya dinamai ‘cakrawalamanada Jawa’.
Fondamen kokoh Singhasari adalah buah daripadanya.
Prasasti Mula-Malurung (1255 Masehi) menyatakan bahwa
 
 Singhasari terdiri atas hastanagari, delapan kerajaan vasal,
ibarat ‘delapan penjuru mata angin, atau hastadikpalaka’,
yaitu: (1) nagari Madhura, (2) nagari Lamajang, (3) nagari Dhaha
di daerah Kadiri, (4) nagari Glang-glang di daerah Wuratan,
(5) nagari Morono; (6) nagari Hring, (7) nagari Lwa, dan
sudah barang tentu (8) nagari Tumapel.
Masing-masing nagari diperitah oleh pejabat ‘Nararya’.
 
Semasa pemerintahan Wisnuwarddhana, putra mahkota,
yakni Kretanegara, menjabat sebagai juvaraja di Dhaha.
Sepeninggal ayahandanya, Kretanegara ditabiskan sebagai
raja Singhasari di pemerintahan pusat.
Pada masa pemerintahan Kretanagera itulah Singhasari berada
di puncak kekuasaan, berkat fondasi kwenegaraan yang kokoh
yang dibangun semasa pemerintahan Wisnuwarddhana.
 
Maka doktrin politik kerajaan Singhasari pun diperluas,
dengan mengintegrasikan kerajaan-kerajaan di antero Nusantara.
Oleh kerenanya, doktrin politik Singhasari kala itu dinamai
‘Cakrawalamandala Nusantara’.
 
Kakawin Nagarakretagama (1365 Masehi) pupuh LXII menyatakan
bahwa Kekuasaan Singhasari meliputi: (1) Pahang, (2) Malayu,
(3) Gurun, (4) Bakulapura, (5) Sunda, (6) Madhura, (7) Bali,
dan sudah barang tentu nagari-nagari setanah Jawa.
 
Lewat expedisi Pamalayu (1275 Masehi), Kerajaan Singhasari
berupaya untuk mendapatkan hegemoni atas jalur peniagaan dunia
di Selat Malaka, yang merupakan gerbang tengah di Jalur Sutra Laut.
 
Inilah yang menggoyahkan ‘keadidayaan’ kaisar China, yang mengklaim
sebagai penguasa tunggal atas Jalur Perniagaan Laut di Asia Tenggara.
Singhasari tampil sebagai ‘Singha’-nya Asia,
yang ‘raungan’ bala tentaranya disegani lawan,
yang wibawanya dihormati oleh seganap kawan.
‘Singhasarijayati’ demikian pekik kemasyhuramu.
Semoga membuahkan makna.
Rahayu.
PATEMBAYAN CITRALEKHA, 30 Sept. 2016
(Sumber Dwi Cahyono).