Kontroversi Nama "Red Army" Kota Malang Di Antara Penggila Teory Konspirasi

Ilustrasi : vahnsaryu
JurnalMalang - Belakangan ini (awal Juli 2017) publik dihebohkan dengan munculnya gambar mantan Walikota Malang Peni Suparto di bando jalan yang mengucapkan seruan kebangsaan dan kerukunan nasional. Kehebohan ini disorot luas lantaran adanya identitas organisasi yang bernama Red Army di bando tersebut, dan Peni Suparto adalah ketuanya.

Dalam sekejap gambar itu menjadi kontroversi, viral di media sosial dan diulas oleh lebih dari 50 media lokal hingga nasional. Televisi nasional turut peramaikan beritanya dengan cukup provokatif. 

Disusul oleh gelombang tuduhan: itu simbol nyata komunisme di negri ini; Jaringan komunisme Rusia dan Viethnam sudah mendarat di Jawa Timur; situasi darurat! PKI gaya baru sudah berani muncul terang-terangan di kota Malang. Dan sejumlah tuduhan lainnya yang tidak hanya berkembangan di medsos (Twitter/Facebook) tetapi juga di media massa mainstream yang terpancing menulis dalam gaya opini.

Kontroversi bando bergambar Peni Suparto dan Red Army di atas melahirkan sejumlah teori konspirasi : anasir dari tentara merahnya komunisme nyata ada di Indonesia (Kota Malang). Aparat harus bertindak karena ini darurat. wah.

Bagi yang paham kisah, latar belakang sosok Peni Suparto dan kemunculan nama Red Army serta peristiwa politik kota Malang tahun 2012-an, akan tertawa terpingkal-pingkal dengan teori - teori konspirasi yang amat horor di atas. Apalagi ada yang mengkaitkan antara Red Army sebagai underbow salah satu Parpol yang katanya sangat pro komunisme.

Peni Suparto adalah mantan aktifis GMNI, mantan dosen dan seniman Wayang Kulit di masa mudanya. Tahun 1999 menjadi Anggota DPR-RI. Kemudian tahun 2003 dia terpilih menjadi Walikota Malang hingga 2 periode (2003-2008-20013). Pria kelahiran Blitar tahun 1947 ini merupakan loyalis Megawati sejak zaman Orde Baru dan sempat menjadi ketua DPC.PDIP kota Malang hingga 2013.

Tetapi Peni sangat vokal di partainya. Dia sering melanggar "doktrin anti kritik" partai banteng dengan menjadi oposisi internal. Sering mengkritik kebijakan DPP dan pernah menulis buku yang menyindir partainya sebagai partai feodal dengan judul Demokrasi yang Terpasung. Di ujung kekuasaannya di kota Malang, Peni sangat tidak disukai di DPP, terutama perannya menjadi "provokator" demonstrasi akbar kader PDIP se Jatim di Surabaya sekotar tahun 2013. Kala itu kabarnya Ketua Umum Mega sangat marah. Berdasarkan liputan TV ada pengrusakan kantor DPD.

Puncaknya, awal 2013, bacalon Walikota yang didukung Peni Suparto ditolak oleh DPP; dan Peni sendiri mendapat "bonus" berupa dipecat dari keanggotaan PDIP. Disusul dengan pemecatan puluhan loyalisnya yang kala itu menjabat di DPC. Peni Suparto beserta pendukungnya dihabisi oleh DPP tanpa ampun, Eddy Rumpoko (Walikota Batu) yang merupakan rival Peni ditunjuk sebagai plt. DPC Kota Malang menggantikan posisi Peni.

Saat itulah Peni dan barisannya ingin membalas dendam kepada PDIP yang dianggapnya sebagai partai pembajak demokrasi. Pertama-tama, menghimpun seluruh barisan pendukungnnya dalam wadah, yang diusulkan secara spontanitas, dinamakan RED ARMY. Menurut pengakuannya, nama Red Army dimaksudkan sebagai Pasukan Merah yang sesungguhnya 'para pasukan merah' mantan pecatan dari PDIP. 

Agenda pertama adalah : mengagalkan kemenangan Calon Walikota dari PDIP (Dra. Sri Rahayu), dengan cara memunculkan Calon Walikota koalisi parpol yang didukung penuh Red Army yang sama-sama berbasis nasionalis. Siapapun boleh jadi Walikota Malang asal bukan dari PDIP.

Maka pecahlah suara nasionalis. Calon yang diusung PDIP pun tumbang (urutan kedua)... H.M. Anton yang merupakan warga biasa yang diusung PKB/Gerindra naik jadi Walikota. Sementara calon dari Red Army yang didukung koalisi parpol gurem dan Golkar/PAN juga kalah sesuai prediksinya sendiri.

Pasca hiruk pikuk pilkada, kelompok Red Army ini rupanya semakin solid rasa kebersamaannya. Meski sudah pensiun dari Walikota, Peni tetap aktif menjalin komunikasi dengan basis dan rekan senasib yang terbuang dari PDIP. Maka wadah yang semula "Iseng-iseng" Red Army rupanya tetap eksis dan menjadi wahana bertemu antar mereka. 

Sejak saat itu Red Army makin tidak asing di telinga masyarakat kota Malang karena rutin menggelar baksos, kegiatan amal dan sosial, arisan dan seminar-seminar yang mengundang banyak pihak di luar organisasinya. Hampir semua kegiatannya diliput luas media massa. Harian Malang Post adalah salah satu partner iklan kegiatan Red Army.

Bahkan pada akhir 2013 Red Army mengadakan acara besar di gedung SAB yang dihadiri oleh Mantan Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso. Saat itu Jenderal Djoko meminta namanya di Ganti dengan Warrior Army atau apapun yang penting jangan Red Army. Peni menyanggupi tetapi akan menunggu momentum sambil mencari nama lain.

Tahun 2017 ini rupanya momentum yang dimaksudkan untuk mengganti nama organisasinya, tetapi sudah terlanjur kontroversi. Banyak orang, terutama di luar Malang yang tidak mengerti latar belakangnya terlanjut mencapnya sebagai ormas yang identik dengan komunisme. Teori konspirasi telah menghakimi Peni Suparto dan Red Army sebelum fakta kebenaran dibuka dengan lebar.

Red, Black, Blue, Yellow, Grey atau Green Army adalah istilah dan nama-nama. Siapapun berhak memilih salah satu sebagai simbol dan identitas sepanjang dalam tujuan yang tidak melanggar hukum. Identitas yang bernuansa "Kiri" tidak serta merta berideologi sosialis atau komunis; bahkan seringkali kita temui yang berbau "Kiri" ternyata pemuja kapitalis dan borjuis kelas berat. 

Agar disadari oleh pak Peni Suparto dan Red Army, bahwa zaman sudah berubah. Media sosial sudah menjadi arus besar yang menentukan persepsi publik termasuk menggelar "pengadilan umum" bagi siapapun yang dipandangnya bermasalah. Medsos bahkan sudah mampu mengintervensi hukum. Sehingga, hati-hatilah dalam berpikir dan bertindak. Menghindari kontroversi adalah pilihan bijak ditengah arus zaman yang berubah ini. Dan bagi para penggemar teori konspirasi : berlaku adilah sejak dalam pikiran.... (Catatan/Red1-JurnalMalang)