Kedudukan Perempuan dalam Tradisi Kekuasaan Malang Tempo Dulu


Ilustrasi / heroMoba

JurnalMalang - Malang Tempo Dulu atau pada abad 13 disebut Tumapel telah diketahui memiliki jejak peradaban sejarah yang sezaman dengan dinasti Syailendra / Sanjaya bahkan Kutai Martadipura. Prasasti Dinoyo yang berangka 760M menunjukkan tahun dimana maklumat sakral itu dibuat, menunjukkan bahwa jauh sebelum itu kekuasaan Kanjuruhan (Tlogomas/Malang) telah ada dan berdaulat.

Namun pasca Kanjuruhan, hingga abad 13 masehi Malang (yang disebut Tumapel) merupakan cabang dari kekuasaan yang lebih besar yaitu Panjalu/Daharaya yang merupakan kelanjutan dari imperium besar Mataram kuno, melalui Medang - Kahuripan - Jenggala - Panjalu. 

Sejak tahun 1194 Raja Daha yang terakhir, Sri Kertajaya menempatkan para loyalisnya menjabat di seluruh wilayah kekuasaannya termasuk di Malang. Tunggul Ametung merupakan pelaksana kekuasaan lokal Malang atas mandat dari kekuasaan Daha yang merupakan pewaris politik sah dari leluhur Medang/Isana yaitu Mpu Sendok. Medang Jatim juga disebut sebagai newMataram kuno (pasca era Jateng) yang sama sekali tidak terkait dengan Kanjuruhan.

Ada dua ciri kekuasaan dinasti Isana (terutama Kertajaya) yang jarang dikaji, yaitu: Pertama, membuat batasan tegas antara politik/kekuasaan dengan agama (Biara). Bagi Raja Kertajaya, Biara tidak memiliki kapasitas untuk ikut campur dalam urusan kenegaraan dan kebijakan penguasa, karena Raja sendiri merupakan Wakil Dewa di muka bumi (Kertajaya pernah menyatakan diri sebagai Syiwa). 

Corak 'raja rasa Dewata' memang lekat pada sosok sosok pendahulunya seperti raja Joyoboyo yang lebih dikenal sebagai ahli 'supranatural' dibanding statusnya sebagai pemimpin politik di dunia nyata. Namun Raja Kertajaya terlalu fanatis, tidak toleran, sehingga tidak ramah terhadap agamawan lokal (terutama pada Brahmana Syiwa yang memiliki pengikut besar di Jatim kala itu). Sehingga banyak agamawan berpengaruh mencari suaka politik dari Kediri ke Malang antara lain adalah Mahaguru Lohgawe. Tunggul Ametung tidak memiliki cukup kapasitas untuk membendung pengaruh cendekiawan Syiwa ini, dimana kaum muda dididik untuk mengerti tentang agama dan negara. Ken Arok adalah kader Brahmana yang memenuhi kriteria sebagai eksekutor fatwa Biara. Mengidentikkan citra Syiwa pada diri Arok yang Sudra (dengan latar belakang brandal jalanan) adalah bagian dari strategi propaganda Brahmana untuk menghimpun pengaruh publik agar jadi pemimpin yang legitimate. Seharusnya hal seperti ini menarik minat sarjana millenial kita untuk melakukan studi cikalbakal demokrasi dan ketata negaraan.

Kedua, status sosial kaum wanita di era Dinasti Isana tidak terlalu moncer jika dibandingkan dengan tradisi yang dibangun di pranata kekuasaan Malang yang didukung Biara. 

Pada era dimana wanita tidak dihargai dengan layak (Istana Isana pernah menuding wanita tua Calon Arang sebagai dukun hitam pencipta wabah yang menginspirasi film2 konyol modern bahwa hantu/setan identik dengan wanita acak2an dan cekikikan), di Malang sebaliknya melekatkan citra khusus yang positif pada perempuan di kancah sosial dan politik, bahwa wanita adalah sumber kekuatan yang bisa mendatangkan kebesaran. Kaum wanita juga diberi hak untuk belajar baca tulis, memahami rontal, kidung dan kepemimpinan. Gelar Naricwari yang dilekatkan pada ken Dedes adalah bukti penghormatan pada citra perempuan. Sebutan/gelar ken Endok untuk wanita tua yang dihormati (seperti ibu ken Arok) lalu termodernisasi menjadi 'ndok/nduk' untuk anak perempuan adalah citra pengakuan khas Malangan betapa wanita adalah figur yang menelurkan kehidupan/melahirkan perubahan. Arca Sudhanakumara dari candi Jajaghu abad 13 yang mengempit buku tebal adalah bukti arkeologis betapa Malang sudah lama menjadi zona literasi publik yang tak pandang jenis kelamin.

Situasi sosiopol-kultural diataslah yang menamatkan imperium besar Daha dan melahirkan dinasti anyar Malangan yang lebih egaliter yang dipimpin bersama oleh Biara dan Arok mulai tahun 1222. Tanpa legitimasi arus besar agamawan kekuasaan raja Kertajaya menjadi rapuh. Imperium Isana yang bertahan 200 tahun jatuh oleh satu distrik kekuasaan kecil dari pedalaman Tumapel.

Hal yang sama juga yang memungkinkan kokohnya kerajaan Singhasari dalam memulai pelaksanaan doktrin politik integrasi pertama kali dalam sejarah 'Cakrawala Mandala Jawa' ke 'CakraMandala Nusantara', oleh raja Kertanegara dan dikemudian hari mengorbitkan seorang pemimpin perempuan tersukses sepanjang sejarah kekuasaan nusantara: Maharatu Tribuwana Tunggadewi.

Kegagalan kaderisasi raja Airlangga tahun 1042 pada anak perempuannya (Dewi Sangrama) yang menolak tahta menyebabkan pecahnya Kahuripan menjadi negari Panjalu dan Jenggala. Butuh waktu lebih dari setengah abad disintegrasi ini berhasil disatukan kembali oleh pangeran Inu Kertapati (Kamesywara I/ 1115M).

1 abad kemudian poros politik daratan Jawa beralih ke Malang oleh arus perubahan yang digerakkan oleh sinergi Raja - Agamawan. Sejarah mencatat, ekspedisi besar paMalayu era Kertanegara Malang ke pusat Sriwijaya di Sumatera tahun 1275 bukanlah ekspansi militer melainkan diplomasi integrasi yang sarat pendekatan religius. Mobilisasi angkatan laut Singhasari ke berbagai negari bukanlah agresi politik melainkan untuk mengawal utusan pengantar simbol-simbol suci yang dihadiahkan untuk ajakan persatuan nusantara dalam menghadapi ancaman adidaya luar negri seperti Yuan-Mongol yang sudah menaklukkan hampir semua negri Asia Tenggara.

Ketika kerajaan Singhasari runtuh akibat perpecahan dalam negri dan provokasi asing, maka disepakatilah berdirinya kerajaan New-Singhasari yang bernama Majapahit. Baik raja (Raden Wijaya) dan pos kekuasaan strategis Majapahit dipercayakan pada darahbiru Malang. Generasi berikutnya mengunci status kemurnian silsilah ini dengan gelar formal BhreWijaya atau Brawijaya -keturunan (Raden) Wijaya yang asal mulanya adalah dinasti Rajasa dari Kotalama Kedungkandang.

Berbicara tentang kekuasaan Majapahit tidak bisa dilepaskan dari peran para ksatria darah biru asal Malang. Masa awal berdirinya kerajaan ini dihadapkan pada banyak rintangan terutama perseteruan internal ringsatu dalam merebut posisi jabatan di level eselon satu ke bawah. Klaim jasa politik antar kubu (dalam perang tar-tar) yang hingga menimbulkan pertumpahan darah cukup merepotkan Raden Wijaya sehingga konsolidasi kekuasaan melanjutkan pelaksanaan Cakra Mandala Nusantara sulit diwujudkan hingga ia wafat. Selanjutnya putra Raden Wijaya (dari istri asal Sriwijaya) Jayanegara naik tahta pada saat puncak terjadinya konflik internal Majapahit. Nasib buruk menimpa raja Jayanegara, tewas di tangan pejabat tinggi dalam negri (1328) imbas konflik yang berkepanjangan. Inilah momen dimana Majapahit yang "baru seumur jagung" sudah diambang kehancuran. Jika raja berikutnya lemah maka nasib Majapahit tidak akan lebih baik dari Singhasari.

Konstitusi Majapahit melegalkan wanita bertahta. Saudari seayah Jayanegara (putri Raden Wijaya dari perkawinan sesama keturunan klan Rajasa atau cucu mendiang raja Kertanegara) yang bernama lengkap Tribuwana Wijaya Tunggadewi naik tahta Majapahit, menggantikan saudaranya yang terbunuh. Ibunya, Bunda Gayatri, menjadi mentor utama kekuasaan Majapahit. 

Maka dimulailah "duet" kepemimpinan dua wanita Ngalam, Maharatu Tribuwana Wijaya Tunggadewi dan Ibusuri Bunda Gayatri untuk melanjutkan agenda besar leluhur untuk persatuan nusantara. Bhayangkara potensial seperti Gajahmada diberi peran strategis pada era Ratu Tribuwana. Pararaton maupun Negarakertagama mendokumentasikan keberhasilan kepemimpinannya: stabilitas dalam negri; satuan militer tangguh; menguasai jalur-jalur sutera dagang seperti selat Malaka, perairan Natuna; peningkatan akses penghubung ekonomi pedalaman menuju dermaga; jaminan keamanan lalulintas maritim dan memperluas wilayah persatuan Nusantara. Ratu juga mendidik serta mengkader langsung Putranya, Pangeran Hayam Wuruk untuk memahami pentingnya menjaga doktrin Singhasari yaitu Cakrawala Mandala Nusantara, yang akhirnya meluas hingga ke Pahang, Tumasik dan Madagaskar.

Ratu Tribuwana lah yang mendidik langsung calon Patih Utama Gajahmada dan elit Bhayangkara lainnya. Misalnya pada tahun 1331, sang Ratu turun langsung menggenggam tombak dalam memadamkan pemberontakan Sadeng. Para musuh dalam dan luar selimut yang puluhan tahun mengganggu kerajaan gentar terhadap karakter kepemimpinan Ratu yang cerdas dan berani. Tiga tahun kemudian Gajahmada dilantiknya menjadi menjadi Mahapatih yang sekaligus mengucapkan Sumpah Palapa yang melegenda.

Selain melaksanakan perintah integrasi dari Ratu Tribuwana, Gajahmada juga membangun prasasti Singhasari di Malang untuk menghormati mendiang Kertanegara dan Ratu Tribuwana. Inti pesan dari prasasti tersebut amat mengesankan Malang sebagai pusat Nusantara secara defacto; bahwa penempatan ibukota di Bumi Trowulan (Mojokerto) secara dejure semata-mata pertimbangan geografis yang dekat (jarak aman) dengan pantura.

Dipandang dari aspek historis di atas maka wacana kepemimpinan perempuan di tanah Malang khususnya atau Jawa Timur, bahkan Indonesia relevan. Mitos 'perempuan tidak bisa menjadi pemimpin di Malang / Jatim' telah dipatahkan oleh sejarah, bahwa ternyata sebaliknya: bhumi Malang / Jatim / Nusantara pernah amat berjaya di bawah sentuhan tangan wanita. (Ag).