Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog dan Dosen UM)
Ilustrasi Sungai / net |
Ditilik dari lebar dan panjangnya,
sebenarnya Kali Metro bukanlah tergolong sebagai sungai besar. Namun
dililihat dari jejak-jejak peradaban yang ditemukan di lembah alirannya,
cukup alasan untuk menyatakan bahwa lembah Metro merupakan kawasan
peradaban lintas masa. Kehidupan sosial-budaya telah berlangsung di
lembah sungai yang ber-tuk (mata air) di lereng timur Bukit Panderman
(anak G. Kawi) dan bermuara pada Bangawan Brantas di Pegunungan Kapur
(Kendeng) Selatan Malang ini semenjak Masa Bercocok Tanam di Jaman
Prasejarah hingga kini.
Alirannya melintasai daerah Kabupaten dan
Kota Malang sisi barat dan selatan. Bahkan, pusat kerajaan (kadatwan)
tertua di Jawa Timur, yakni Kanjuruhan, juga terletak di sub-DAS Hulu
Metro. Demikian pula sejumlah permukiman arkhais (kuno), baik dari Jaman
Prasejarah maupun Masa Hindu-Buddha, berderet di lembah kanan dan kiri
alirannya seakan ‘untaian ratnamanikam perkampungan peradaban arkhais
Nusantara’.
Pada Masa Hindu-Buddha, yang di DAS Metro
berlangsung antara abad VIII-XVI Masehi, sungai ini dikonsepsikan
sebagai ‘sungai suci (holy river)’. Nama ‘metro’ sangat boleh jadi
berasal dari kata Sanskreta dan Jawa Kuna serta Jawa Tengahan ‘a-mreta’,
yang berarti tidak mati (mreta), hidup atau abadi. Air yang berada di
dalamnya diyakini sebagai air suci (tirtha), yaitu tirtha amreta (air
kehidupan/keabadian).
Oleh karena itu dapat difahami bila
terdapat tidak sedikit bangunan suci dan perangkat ritus keagamaan yang
diketemukan di lembahnya, diantaranya adalah Pundhen Watugong, Candi
Badut, Candi Gasek, reruntuhan candi di Kali Songo, situs Bakalan
Krajan, dsb. Bahkan, pada paro kedua abad XV hingga paro pertama abad
XVI Masehi, pada sekitar tempuran (pertemuan) Kali Metro dan Bangawan
Brantas di wilayah Desa Jenggolo dan Sengguruh dipilih sebagai kadatwan
dari kerajaan otonom terakhir berlatar agama Hindu, yaitu kerajaan
Sengguruh (Tanjung Sengguruh).
Urgensi dari Kali Metro, baik
dari sudut tinjauan religis, ekologis maupun permukiman itulah yang
kiranya menjadi pertimbangan untuk menetapkan sejumlah desa kuno di
alirannya seba-gai desa perdikan (sima, swatantra). Sebagaimana
diberitakan dalam Prasasti Ukirnegara atau Pamotoh bertarikh Saka 1120
(1198 Masehi) – yang bersisi tentang penetapan sejumlah thani (desa)
sebagai perdikan (sima, swatantra) di kawasan timur (sakarida) Kawi,
yang antara lain meliputi deretan desa pada sepanjang aliran Kali Metro
dan Bangawan Brantas besarta anak-anak sungainya.
Status
perdikan tersebut merupakan waranugraha (anegerah) Rajarsi Jigjaya
terhadap warga watak/watek Pamotoh, dengan perantaraan ‘rakryan patang
juru’, yaitu Dyah Limpa yang berkedudukan di Thani Gasek, Dyah Mget,
Dyah Duhet (toponimi kuno ‘Duhet’ mengingatkan pada ‘Dusun Duwet’
Kelurahan Pisangcandi) dan Dyah Tamani, lantaran telah berjasa menjadi
penjaga atau semacam ‘tanggul’ bagi Bhumi Pangjalu. Sejumlah desa sima
di DAS Metro itu berada sejak di tuk-nya – yaitu Marinci (kini ‘Princi’
Desa Gading Kulon Kec. Dau), Dau, Wurandungan (kini Dusun ‘Klandungan’
serta Kelurahan ‘Landongsari’), Gasek (kini masuk dalam wilayah
Kelurahan Karangbesuki Kec. Sukun), Palakan (kini Dusun ‘Lok Andeng’
atau bisa juga Dusun ‘Lowok Sumber’ Desa Kalisongo Kec. Dau), dan
Paniwen (kini dusun ‘Niwen’ Desa Sidorahayu Kec. Wagir).
Selain
itu terdapat desa sima lain di DAS Metro sebagaimana diberitakan oleh
prasasti Sukun (1083 Saka = 1161 Masehi), yang berisi anugerah sima dari
raja Sri Jayamreta kepada warga Thani Sukun (kini Kelurahan ‘Sukun’ di
Kota Malang) lantaran berusaha dengan sekuat tenaga dan menjadi pemimpin
dalam membela Sri Maharaja terkait dengan seragan musuh terhadap
kabuyutan. Desa sima lain diberitakan pula dalam Prasasti Kubu-kubu
bertarikh Saka 827 (17 Oktober 905), yang ditulis atas perintah dari Sri
Maharaja Rakryan Watukura dyah Balitung. Prasasti ini disalin kembali
pada masa pemeritahan raja Wawa atau mungkin Sindok.
Desa sima
Kubu-Kubu diidentifikasi sebagai Desa Kebonagung di Kec. Pakisaji –
termasuk didalamnya Desa Kebonsari di Kec. Sukun (kubwan kubu-an =
kebun). Salah satu desa tetangga (wanwa tpi siring) dari Wanua
Kubu-Kubu, yaitu Panjora, yang diperintah oleh kepala desa (rama)
Mahuta. Toponimi ini mengingatkan pada Dusun Pajura di Kelurahan
Kebonsari.
Meski nama-nama kunonya tidak disebut di dalam sumber
data epigrafis, namun didapati jejak arkeologis dari tradisi neolitik
dan megalitik dari Masa Bercocok Tanam dan Perundagian pada Jaman
Prasejarah maupun Masa Hindu-Buddha di sejumlah desa pada DAS Metro
besarta anak anak sungainya, misalnya Dusun Watugong di Desa Telogomas,
Desa Merjosari, Dusun Gasek di Desa Karangbesuki, Dusun Genitri di
Kelurahan Pisangcandi, Kelurahan Kacuk, Kelurahan Bakalam Krajan, Desa
Mendalanwangi, Desa Genengan dan seterusnya ke arah selatan hingga
sekitar tempuran Kali Metro dan Bangawan Brantas di Desa Jenggolo dan
Sengguruh di sub-area selatan Kab. Malang.
Keberadaan
desa-desa kuno di DAS Metro, yang sebagian darinya merupakan desa-desa
sima memberi petunjuk bahwa semenjak Jaman Prasejarah, Masa Hindu-Buddha
dan kesinambungannya hingga kini diposisikan sebagai ‘sungai yang
penting’. Aktifitas sosial-budaya, bahkan jejak peradaban kuno,
kedapatan pada sepanjang alirannya. Sebagai desa-desa arkhais yang mampu
bertahan dan berkembang hingga sekarang, tentulah di dalamnya terdapat
tradisi budaya dan model kearifan lingkungan yang diantaranya relevan
untuk kehidupan masa kini.
Dengan kata lain, ada kandungan bahan
untuk mengidentifikasi jatidiri atau karakter lokalnya. Hal ini penting
dikakukan mengingat bahwa di desa-desa itu, khususnya yang berada di
Kecamatan Dau, Sukun, Wagir dan Pakisaji berada dalam ‘posisi transisi’,
yakni dari pedesaan yang rular menuju ke urban. Nilai-nilai budaya lama
kini nyaris musnah, sedangkan nilai-nilai budaya baru belum melembaga.
Dalam bahasa Jawa hal demikian dibilang sebagai kampung/desa yang
‘magak’, setengah tradisional setengah pula modern. Sebenarnya di
tingkat desa/kampung ada wahana untuk melembagakan tradisi budaya lama.
Salah sebuah diantaranya lewat perhelatan budaya kampung yang secara
periodik dilaksnakan setiap tahun, antara lain bersih desa, mayu desa,
sedekah bumi, ruwat bhumi, ritus Suro-an, dsb., atau perhelatan
seni-budaya kampung artifiasial yang diselenggarakan untuk
merevitalisasikan jatidiri desa/kampung, yang boleh jadi dalam beberapa
hal berbeda dengan jati dari desa/kampung lain di tetangganya
sebegaimana tergambar dalam mutiara kata ‘deso mowo coro’.
Salah
satu kamung yang ajeg melaksanakan ‘Festival Budaya Kampung’ di DAS
Metro adalah Kampung Cempluk di Dusun Sumberrejo Desa Kalisongo Kec. Dau
Kab. Malang, yang pada tahun ini (2016) memasuki agenda tahun ke-7.
Festival Kampung Cempluk cukup alasan untuk dijadikan sebagai
percontohan festival kampung bagi desa/kampung lain, utamanya desa-desa
atau kampung-kampung yang berada di entitas ekologis yang sama, yaitu
sama-sama terletak di DAS Metro. Untuk saling menguatkan, alangkah
eloknya apabila desa-desa itu berjejaring satu sama lain ke dalam apa
yang diistilahi dengan ‘Metropradesa’, yaitu jaringan desa-desa yang
berada di DAS Metro beserta anak-anak sungainya.
Kedepan, pada
tempat lain dapat pula dikondisikan hadirnya jaringan desa-desa pada
sepanjang aliran sungai yang dalam lintas masa menjadi lembah peradaban,
seperti di DAS Brantas, DAS Solo, DAS Amprong, DAS Ngrowo, DAS Sampean,
DAS Pekalen, dsb. Pada desa-desa itu tergambar adanya masyarakat
keairan (hidrolic society), yang arif dalam beradabtasi terhadap
lingkungan aquatik padamana mereka hidup dari waktu ke waktu.
Demikianlah telaah singkat sebagai "narasi penghantar saresehan" mengenai ‘Metropradesa".
Semoga membuahkan makna dan bisa menjadi picu bagi revitalisi budaya kampung serta pembentukan jejaring desa-desa/kampung-kampung yang berada di lembah aliran sungai-sungai, yang konon menjadi ‘benang air’ perajut anasir peradaban Nusantara.
Salam budaya, ‘Nusantarajayati’. Nuwun.
Semoga membuahkan makna dan bisa menjadi picu bagi revitalisi budaya kampung serta pembentukan jejaring desa-desa/kampung-kampung yang berada di lembah aliran sungai-sungai, yang konon menjadi ‘benang air’ perajut anasir peradaban Nusantara.
Salam budaya, ‘Nusantarajayati’. Nuwun.
Sengkaling, 18 September 2016. (fb Dwi Cahyono).